Pematung Adat Dayak

Alexander Hendrato S
 
0
813
Alexander Hendrato S
Alexander Hendrato S | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Tidak ada kata terlambat untuk menekuni sebuah pekerjaan yang dicintainya. Itulah yang dilakukan oleh dr Mayor (Purn) Alexander Hendrato Suryoprawiro (62) saat mulai menekuni seni patung Dayak pada usianya yang sudah menjelang 50 tahun.

Kini namanya dikenal di kalangan pencinta benda-benda etnis dan para kolektor patung-patung tradisional. Ratusan karyanya sudah tersebar di berbagai penjuru dunia karena sudah sangat sering menjadi cendera mata di lingkungan perusahaan pertambangan minyak di Kota Balikpapan.

Berbicara dengan Alex tentang seni patung dapat berlangsung berjam-jam. Pengetahuannya yang luas terhadap detail-detail pakaian adat berikut aksesorinya dari berbagai sub-etnis Dayak Kalimantan Timur sangatlah mengagumkan.

Ketika berlangsung bazar ekstravaganza yang digelar Balikpapan Expatriat Women Club (BEWC) beberapa waktu lalu, ia dengan telaten menjawab pertanyaan pengunjung tentang perbedaan khas pakaian adat Dayak Kenyah, Punan, Bahao, Tunjung-Benuaq, dan Lundaya.
“Sekarang sulit membedakan pakaian mereka karena relasi antarmereka lalu saling mempengaruhi. Tetapi ada yang khas pada Dayak Kenyah dan Bahao,” katanya. “Yaitu adanya aksesori yang terbuat dari bulu-bulu burung enggang dan burung terda yang panjang di kepala.”

Selain pengamatan dan pergaulannya dengan orang Dayak, model-model patung berikut pakaian adat dan aksesorinya dia pelajari dari buku-buku tentang Dayak terbitan lama, seperti Naga dan Burung Enggang karya Bernard Sellato dan A Journey Among the Peoples of central Borneo karya HF Tillema.

Lahir di Jakarta 25 Juni 1940, Alex menamatkan pendidikan dokternya di Universitas Airlangga (1967), kemudian masuk wajib militer dan diteruskan dengan militer sukarela sampai akhirnya berpangkat Mayor saat bertugas di Rumah Sakit Tentara Balikpapan. Tahun 1982, ia mundur dari dinas militer karena jiwa seninya ternyata lebih kuat memanggil.

Selama aktif di tentara, hobi melukisnya terus diasah. Konon, sejumlah jenderal pernah minta dilukis oleh Alex.
“Saya melukis sejak kecil. Ayah saya memang senang melukis,” kata anak juragan batik di Pekalongan itu. Ia merasa beruntung, dulu sering bertugas ke pedalaman Kaltim dan bertemu banyak orang Dayak dari berbagai sub-etnis. Itulah modal dasarnya saat membuat model patung Dayak.

“Terus terang saya gelisah, budaya Dayak lama-lama akan punah dan anak cucu kita tidak akan pernah bisa menyaksikannya. Di sinilah saya berusaha melestarikan budaya mereka dalam bentuk tiga dimensi,” katanya memberi alasan kenapa ia memilih patung Dayak sebagai model.

Ia kemudian bercerita soal tradisi memanjangkan telinga di kalangan wanita Dayak Kenyah, Bahao, dan Punan. Katanya, “Di kalangan anak muda sekarang tradisi itu sudah tidak ada. Bahkan di kalangan orangtua pun sudah banyak yang malu berkuping panjang dan ada kecenderungan memotongnya. Saya berusaha mengabadikannya dalam bentuk tiga dimensi yang tentu berbeda dengan foto.”

***

Advertisement

Setelah mundur dari tentara, Alex sempat menjadi politikus dengan duduk sebagai anggota DPRD Balikpapan (1982-1987). Sampai dengan 1997, ia menjabat sebagai Direktur Rumah Sakit Restu Ibu Balikpapan dan sampai sekarang aktif di yayasannya. Tetapi di luar semua itu, dr Alex tetap aktif melukis.

Menjelang usia 50 tahun, ia berpikir untuk mengembangkan bakat lebih dalam dirinya yang merupakan anugerah Tuhan. Secara kebetulan ia bertemu dengan seorang rekannya yang sudah biasa membuat patung-patung rohani untuk keperluan gereja. Ia mulai tertarik. Katanya, “Ketika mencoba, ternyata saya langsung sreg.”

Bermula dari situ, Alex mengembangkan seni patungnya dengan membuat model patung Dayak. Alasannya sangat sederhana, patung serupa belum ada. Orang Dayak sendiri masih sebatas membuat patung atau ukiran dari kayu. Sedangkan patung yang dihasilkannya terbuat dari bahan campuran marmer dan resin yang mudah dibentuk dan kokoh ketika kering.

Dibantu dua orang karyawannya, di sela-sela kegiatannya sebagai dokter praktik dan berbagai kegiatan lainnya, Alex terus bergiat membuat patung-patung Dayak maupun patung lainnya. Ia yang membuat desain patung serta mengerjakan finishing dengan memberi sentuhan warna-warni maupun aksesorinya.

“Pekerjaan yang halus masih harus saya kerjakan sendiri sampai karyawan saya benar-benar dapat dipercaya,” katanya.
Untuk membuat patung-patung Dayak atau pernik-pernik kecil berornamen Dayak seperti tempat pensil, Alex pertama-tama membuat model dari tanah liat. Model yang sudah jadi itu kemudian dibuatkan cetakan lunak dari campuran silikon dan resin. Model patung berikut cetakannya itu kemudian dibungkus dengan cetakan keras yang terbuat dari campuran marmer dan resin.

Setelah dikeringkan 2-3 jam, model dari tanah liat itu kemudian dihancurkan, diganti dengan bubur marmer dan resin. Satu jam kemudian, cetakan siap dibongkar dan patung sudah jadi. Pekerjaan selanjutnya adalah mewarnai dan menambah aksesori, sehingga penampilannya benar-benar mirip orang Dayak. Ada yang sedang menari, ada yang sedang memadu kasih, ada yang siap berperang, dan bermacam-macam model penampilan tokoh warrior Dayak.

Pembuatan patung itu sendiri semula hanya sekadar hobi, tetapi lama-lama rumahnya penuh dengan patung. Lalu seorang rekannya menawari pameran. Ia pun bingung menentukan harga.

“Teman saya bilang bikin saja harga sesukamu. Jangan murah-murah. Ternyata ada juga yang beli,” katanya mengenang pameran perdananya.

Dalam pameran, yang banyak laku justru patung-patung kecil dengan harga Rp 250.000 – Rp 500.000. Patung berukuran sedang biasa dipesan perusahaan untuk cendera mata. Sedangkan patung besar yang harganya bisa Rp 30 juta ke atas, biasa dibeli para kolektor.
“Wali Kota Balikpapan sudah setuju menggunakan patung-patung ini sebagai cendera mata. Malah beliau minta dibuatkan model patung beruang madu,” kata Alex.

Beruang madu direncanakan akan menjadi maskot Kota Balikpapan sebagai simbol upaya melestarikan Hutan Lindung Sungai Wain yang menjadi habitat beruang itu.

***

Dari berbagai pameran, ia kemudian mulai dikenal sebagai pematung Dayak. Di arena pameran itu pula ia mendapat kritik atau masukan dari tokoh-tokoh adat Dayak yang semakin menyempurnakan karya-karyanya.

Kini, banyak peminat yang datang ke rumahnya, banyak juga yang memesan dalam jumlah banyak untuk cendera mata. Ia bermaksud membuka outlet untuk pemasaran di hotel atau bandar udara, tetapi tidak mungkin ia kerjakan sendiri. Karena itu, ia sangat antusias ketika Lembaga Pemberdayaan Dayak meminta koleksinya dipajang di kantornya yang merangkap gerai artshop di Balikpapan. Ketika ternyata kantor lembaga itu on-off on-off, ia terpaksa menarik semua koleksinya. “Kalau ada yang mau beli biar pesan,” katanya.

Banyak orang Dayak yang sudah mengenal dirinya dan karyanya, tetapi belum ada orang Dayak sendiri yang termotivasi untuk berbuat sesuatu bagi orang Dayak itu sendiri. Tuturnya, “Saya menunggu kok belum ada pemuda Dayak yang mau belajar kemari.”

Sekarang ia sangat ingin mewujudkan obsesinya membuat sebuah museum di Kalimantan Timur lengkap dengan isinya.
“Saya ingin membuat patung Dayak dalam ukuran raksasa yang monumental,” katanya. Untuk itu, proposal sudah ia kirimkan ke banyak instansi, tetapi belum juga mendapat respons. Repro Kompas, M Suprihadi)

Data Singkat
Alexander Hendrato S, Mantan Direktur RS Restu Ibu Balikpapan / Pematung Adat Dayak | Ensiklopedi | dokter, direktur, DPRD

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini