Pemikir dan Pelaku Industri Pupuk
Rauf Purnama02 | CEO BUMN Fenomenal dan Kreatif

Maka, melihat kiprah dan prespektif pemikirannya, jika kemudian banyak kalangan menjulukinya sebagai industriawan sejati, adalah hal yang logis dan pantas. Ia juga dinilai pantas diberi kesempatan lebih luas untuk mengembangkan berbagai industri, termasuk enerji alternatif yang diimpikannya.
Selain itu, ia disebut banyak orang sebagai CEO andal yang bertangan dingin. Seluruh proyek yang dibidani dan dipimpinnya baik di Kujang maupun di Petrogres berhasil dengan baik. Kedua proyek itu merupakan industri pupuk dan kimia pertama di Indonesia, bahkan (pupuk) di ASEAN. Keberhasilan juga telah mulai diciptakannya setelah ia memimpin PT ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) sejak pertengahan tahun 2001. Beberapa penghargaan telah ia raih, baik dari dalam maupun luar negeri. Terakhir penghargaan dari Perdana Menteri Kamboja (2002).
Dia memang seorang CEO BUMN yang fenomenal, kreatif dan menatap jauh ke depan. Kalangan industri pupuk dan kimia nasional pasti mengenal sarjana teknik kimia ITB (1972), kelahiran Garut 21 Maret 1943, ini. Dia sosok pemikir, CEO dan industriawan yang mengangkat citra industri pupuk dan kimia nasional.
Lihat saja kiprahnya selama delapan tahun di PT Pupuk Kujang (1976-1990). Dialah yang merancang dan menyelesaikan pembangunan beberapa proyek dalam mengukuh-kan fondasi industri pupuk dan kimia di tanah air. Seperti proyek Hidrogen Peroksida (H202), Asam Formiat (Formic Acid), Amonium Nitrat (bahan peledak) dan proyek Katalis. Sebagai kepala proyek, dia juga menyelesaikan pembangunan proyek Gasket.
Kiprahnya tak berhenti di sini. Pada tahun 1990 pemerintah meng-angkatnya menjadi Direktur Penelitian dan Pengembangan PT Petrokimia Gresik (Petrogres). Jabatan ini dipegangnya selama lima tahun sampai 1995. Sete-lah itu dia diserahi tanggung-jawab yang lebih berat lagi menjadi Direktur Utama Petrogres. Tugas utamanya adalah untuk menyelamatkan perusahaan ini agar tidak bangkrut.
Kepercayaan itu tidak disia-siakannya. Selama 11 tahun menjabat Litbang dan Direktur Utama (1990-2001), dia telah berhasil menyehatkan manajemen dan membesarkan Petrogres, sehingga sejajar dengan industri pupuk dunia.
Penulis beberapa makalah dan artikel, di antaranya — Fertilizer Industry Outlook In Indonesia (1994); Peningkatan Kemampuan Alih Teknologi Dalam Bidang Industri (1995); Prospect of Sulphur and Its Derivative In Indonesia (1996); Fertilizer Businnes in Indonesia (1997); Pengembangan Industri Pupuk Majemuk dalam rangka Pencapian Swasembada Pangan (2000); Budaya & Etika Korporasi BUMN (2000); Benefit of Natural Gas Utilization for Industries (2001) dan Qualification and Performance of Chemicals Engineer in Industries – ini sangat prihatin dan ‘gelisah’ melihat kondisi pangan Indonesia.
Menurutnya, persoalan besar yang masih dihadapi bangsa Indonesia adalah masalah sandang, pangan dan papan. Dari tiga permasalahan itu yang paling lemah adalah masalah pangan. Sebab, untuk menutupi kebutuhan pangan nasional, masih mengimpor beras lebih dari 3 juta ton per tahun. “Kondisi ini sungguh memprihatinkan dan sangat riskan,” katanya.
Untuk memutus ketergantungan impor beras, paling tidak agar produksi padi dapat mengimbangi kebutuhan pangan nasional, Ketua Badan Persatuan Insinyur Kimia Indonesia, ini menyarankan agar pemerintah berani mengubah kebijakan industri pupuk nasional. Perubahan kebijakan ini menurutnya, bukan hanya dari segi penggunaannya oleh petani. Lebih dari itu, yakni mengubah mekanisme pupuk nasional agar tidak terfokus pada produksi urea (pupuk tunggal) yang selama ini sudah kurang mendukung dalam peningkatan produksi pangan, khususnya beras. Tetapi beralih mengembangkan dan memproduksi pupuk majemuk.
Jika orientasi industri pupuk nasional hanya mengandalkan urea, maka pada titik tertentu petani yang paling dirugikan. Sebab, dengan menggunakan pupuk urea saja atau menggunakan pupuk urea secara berlebihan, akan menyebabkan terjadinya penurunan produksi secara mencolok. Seharusnya, katanya, dilakukan pemupukan berimbang (balance fertilization).
Sementara, dari enam badan usaha milik negara (BUMN) produsen pupuk, hanya Petrokimia yang memproduksi pupuk majemuk, sekitar 300.000 ton per tahun. Paling rendah dibanding negara lain, seperti Thailand, Vietnam, Malaysia dan Filipina. Padahal, kebutuhan domestik untuk tanaman padi saja mencapai 3,6 – 4,8 juta ton per tahun, tergantung pada formula pupuk.
Menurut Rauf, dari hasil ujicoba di beberapa daerah di Pulau Jawa dan di luar Jawa, penggunaan pupuk Phonska (pupuk majemuk) terbukti dapat meningkatkan produksi padi rata-rata 2,45 ton per hektar. Sementara harganya lebih murah dibandingkan pupuk NPK impor. Saat ini rata-rata harga pupuk NPK impor 3-4 ribu rupiah per kilogram. Sedangkan phonska harganya di bawah 2 ribu rupiah per kilogram.
Maka dia menyambut gembira upaya Departemen Pertanian untuk menyosialisasikan penggunaan pupuk majemuk phonska. Pada tahun 2003 targetnya satu juta hektar dari total 11,6 juta hektar. Kebijakan ini, merupakan awal yang baik untuk mencapai ketahanan pangan. Sehingga tahun 2010-2015, Indonesia tidak perlu mengimpor beras.
Untuk itu, menurut Rauf, upaya sosialisasi pupuk phonska yang dilakukan Deptan perlu diimbangi dengan kesiapan Departemen Perindustrian dan Perdagangan mempersiapkan pembangunan pabriknya. Kalau tidak, akan menjadi pincang. Sebab, akan terjadi kesulitan karena produksi phonska tidak dapat menutupi kebutuhan dan akhirnya harus impor phonska. Sebaiknya mulai sekarang perencanaan pabriknya sudah harus dimulai, dengan mempercayakannya kepada orang yang mempunyai kompetensi tentang industri pupuk.
Minimal pada tahun 2007 produksi phonska nasional mencapai 2,3-2,8 juta ton. Atau targetnya sama dengan produksi phonska Thailand sebesar 2,8 juta ton per tahun. Bila ini bisa dicapai maka jumlah ini cukup untuk memupuki 5,3 juta hektar, dengan asumsi tiap hektar menggunakan 500 kg phonska. Ch. Robin Simanullang (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 01)