Presiden RI ‘Terpopuler’
Susilo Bambang Yudhoyono05 | Kejutan Pasangan SBY-Boediono

SBY secara mengejutkan, menolak berpasangan dengan Jusuf Kalla dalam Pemilu Presiden 2009. Paling mengejutkan lagi, SBY memilih Prof Boediono (Gubernur Bank Indonesia) sebagai Cawapres-nya. Kejuatan ini kemudian terjawab beberapa bulan setelah Pilpres 8 Juli 2009 usai. setelah skandal Bank Century terungkap, Didukung dana yang cukup banyak, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tampil perkasa dalam Pilpres 2009.dimana Boediono mempunyai peran penting dalam pengambilan kebijakan pengucuran dana Rp.6,7 triliun ke bank Century.
Didukung dana yang cukup banyak, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono tampil perkasa dalam Pilpres 2009. Mereka menang dalam satu putaran. Walaupun kemenangan itu lebih dulu harus diuji di persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) dengan menolak gugatan pasangan Mega-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto.
Kedua pasang capres-cawapres yang menolak menandatangani hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu presiden, Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto mengajukan gugatan sengketa hasil pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Rabu (12/8/2009), MK, setelah melalui persidangan yang alot, menolak gugatan sengketa hasil pilpres yang diajukan tim hukum kedua pasangan calon presiden-wapres itu.
Sebelumnya, KPU menggelar rapat pleno penetapan dan pengumuman hasil rekapitulasi Pilpres, Sabtu (25/7/2009), di kantor KPU, Jakarta. Rapat pleno KPU itu hanya dihadiri pasangan SBY-Boediono dan JK-Wiranto. Sementara pasangan Megawati-Prabowo tak hadir dan hanya diwakili tim kampanye. Selain itu, hasil rekapitulasi Pilpres yang sebelumnya sudah digelar juga tidak ditandatangani pasangan JK-Wiranto dan Megawati-Prabowo.
Namun hal ini tidak menghalangi KPU untuk mengambil keputusan penetapan dan pengumuman hasil rekapitulasi Pilpres. Hasilnya, pasangan Capres-Cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) – Boediono ditetapkan sebagai pemenang dengan perolehan suara terbesar, yaitu 73.874.562 suara atau 60,80 persen. Disusul pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto mendapat 32.548.105 suara (26,79 persen) dan pasangan M Jusuf Kalla-Wiranto memperoleh 15.081.814 suara (12,41 persen).
Perolehan suara berasal dari 121.504.481 suara sah dari 176.367.056 pemilih yang terdaftar. Jumlah itu termasuk pemilih dengan menggunakan kartu tanda penduduk sebanyak 382.393 orang. Sementara pemilih yang tidak menggunakan haknya mencapai 49.212.158 (27,77 persen).
SBY-Boediono unggul di 28 provinsi dan JK-Wiranto menang di empat provinsi, yaitu Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara. Sedangkan Megawati-Prabowo hanya unggul di Provinsi Bali.
Koordinator Advokasi Tim Kampanye Megawati-Prabowo, Gayus Lumbuun, mengatakan pihaknya mengajukan gugatan ke MK karena menilai penyelenggaraan pemilu tidak sesuai dengan undang-undang.
Wakil Ketua Tim Kampanye Kalla-Wiranto, Burhanuddin Napitupulu, juga mengatakan, tim JK-Win mengajukan gugatan serupa ke MK. Meski datang dalam acara penetapan hasil pilpres dan menerima salinan keputusan, tim mereka menolak menandatangani berita acara rekapitulasi penghitungan suara pilpres Kamis 23/7. Tim Advokasi JK-Wiranto menyerahkan gugatan ke MK, Senin (27/7).
Kedua pasangan ini, Mega-Prabowo dan JK-Wiranto, sama-sama mempersoalkan DPT. Menanggapi hal ini, Ketua Badan Pengawas Pemilu Nur Hidayat Sardini menilai KPU gagal mengelola pemilih dan pendaftaran pemilih pilpres. KPU dinilai tak memiliki standar pokok politik dalam pemutakhiran daftar pemilih tetap (DPT) pilpres dan mengubah-ubah jadwal pemutakhiran dan penetapan DPT. Akibatnya, KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota tidak optimal dalam memutakhirkan DPT dan terdapat beberapa versi DPT.
Pendapat senada dikemukakan Anggota Bawaslu, Bambang Eka Cahya Widada. Ia mengatakan Bawaslu menghargai setiap upaya untuk mengakomodasi suara rakyat. Namun, cara itu harus dilakukan dengan landasan hukum yang jelas.
Perubahan DPT pada 6 Juli dan berubah lagi sesuai kondisi riil saat pemungutan suara dinilai tak memiliki payung hukum apa pun. KPU menyalahartikan makna rekomendasi Panitia Pengawas Pemilu dalam Pasal 31 dan 32 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Rekomendasi pengubahan DPT itu hanya dapat dilakukan dalam proses pemutakhiran, bukan setelah DPT sebenarnya ditetapkan.
Sementara itu, Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan memahami dan dapat menerima adanya kekurangan dan kecurangan pemilu (voting irregularities). Menurutnya, kekurangan dan kecurangan itu bukan khas Indonesia yang perlu dikoreksi dan diselesaikan lewat mekanisme demokrasi yang telah disepakati.
Yang namanya irregularities dalam election tidak selalu kecurangan, tetapi bagaimanapun harus dikoreksi dan diselesaikan secara baik,” ujar SBYdidampingi Boediono dan anggota tim suksesnya di pendapa Cikeas, Bogor, Jawa Barat, Sabtu 25/7.
SBY berseru atas nama tim SBY-Boediono, mengajak semua pihak untuk terus mengawal dan menuntaskan proses Pemilu 2009 agar semuanya berlangsung baik dan kemudian bangsa ini bersatu kembali untuk melanjutkan pembangunan lima tahun mendatang. SBY menilai, dibandingkan dengan pemilu sebelumnya dan pemilu di banyak negara, Pemilu 2009 pada hakikatnya berjalan secara damai dan demokratis. Untuk pihak-pihak yang tidak menerima, Yudhoyono mempersilakan mengajukan protes dan aduan.
KPU Kurang Profesional
Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyebutkan substansi pemohon Capres-Cawapres (JK-Wiranto dan Mega-Prabowo) soal daftar pemilih tetap (DPT) fiktif, penggelembungan suara, penciutan jumlah tempat pemungutan suara, serta keterlibatan asing dalam tabulasi nasional tidak dapat dibuktikan secara hukum.
Majelis menolak permohonan pemohon I dan pemohon II untuk seluruhnya,” kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan keputusan dalam sidang MK 12/8.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) memandang secara kualitatif, Pemilu Presiden 2009 masih banyak mengandung kelemahan, kekurangan, dan ketidaksempurnaan. Salah satu faktor penyebabnya adalah kinerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dinilai tidak profesional.
Namun, menurut MK, hal itu tidak membuat Pilpres 8 Juli 2009 cacat hukum dan tidak sah. Meski terjadi pelanggaran dan kecurangan, itu bersifat prosedural dan administratif. MK tak melihat adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang membuat Pilpres perlu diulang.
Hakim konstitusi Mohammad Alim, Rabu (12/8/2009), mengatakan untuk menegakkan keadilan substantif yang mendasari keputusan hukum, sekaligus demi kemanfaatan bagi masyarakat dan negara, MK harus menyatakan, Pemilu Presiden dan Wapres 2009 adalah sah dengan catatan, semua pelanggaran yang terjadi yang belum diproses secara hukum dapat diproses lebih lanjut melalui peradilan umum.
MK dalam pendapat hukumnya, menyoroti KPU sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang terkesan lemah dan mudah dipengaruhi berbagai tekanan publik dari peserta pemilu. KPU terkesan kurang kompeten, kurang profesional, serta kurang menjaga citra independensi dan netralitasnya. Maka, seusai pembacaan putusan, Ketua MK Mahfud mengatakan oleh sebab itu, MK merekomendasikan agar ke depan hati-hati memilih anggota KPU.
MK dalam pertimbangannya menyatakan, kedua pemohon tak bisa membuktikan terjadinya pelanggaran kualitatif dan kuantitatif seperti yang didalilkan. Dalil soal penggelembungan suara, sebesar 25,3 juta seperti ditudingkan tim hukum JK-Wiranto atau 28,6 juta suara seperti ditudingkan tim hukum Megawati-Prabowo, juga tidak terbukti.
Soal kisruh daftar pemilih tetap (DPT) yang didalilkan pemohon, terdapat sekitar 25 juta NIK ganda dan bermasalah, menurut Mahfud, MK hanya menemukan NIK bermasalah dalam soft copy DPT yang diserahkan pemohon sejumlah 3,6 juta. Jumlah itu total di seluruh Indonesia. “Itu pun tidak digunakan penyelenggara pemilu,” ujarnya.
Dengan demikian, selesailah perjalanan sengketa Pilpres 2009. Final sudah posisi Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dan Boediono sebagai Wakil Presiden periode 2009-2014. Hal itu sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi disebutkan bahwa keputusan MK bersifat final dan mengikat. Ch. Robin Simanullang