Sastrawan yang Dinamis
Motinggo Busye
[ENSIKLOPEDI] Ia terkenal lewat novel-novelnya yang bercerita tentang seks dan kehidupan malam seperti Cross Mama (1966) dan Tante Maryati (1967). Karyanya yang berjudul Malam Jahanam dipilih sebagai naskah drama terbaik oleh Departemen P & K dan menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah seni dan teater. Selain dikenal luas sebagai novelis, mantan Redaktur Kepala Penerbitan Nusantara ini juga menyandang predikat dramawan, sutradara film, penyair, dan pelukis.
Motinggo Busye, seniman berdarah Minang kelahiran Kupangkota, Telukbetung, Lampung, 21 November 1937 ini sejak kecil sudah gemar membaca. Kegemarannya itu tidak bisa dilepaskan dari kecintaan pada buku yang diperlihatkan oleh ayahnya. Ketika masa pendudukan Jepang di Tanah Air sekitar Maret 1942, sebuah “mobil buku” milik Balai Pustaka ditinggalkan lari begitu saja oleh supirnya yang ketakutan dengan tentara Jepang. Saat yang lain sibuk mempreteli onderdil kendaraan tersebut, sang ayah malah sibuk menjarah buku-buku yang ditinggalkan.
Saat peristiwa itu terjadi, Motinggo baru berumur 5 tahun. Selang beberapa tahun kemudian, setelah ia sudah lancar membaca, buku-buku Balai Pustaka seperti karya-karya Karl May dan buku Mowgli Anak Didikan Rimba terjemahan Haji Agus Salim mendampinginya tumbuh dewasa. Dari situlah ketertarikan anak ketiga dari delapan bersaudara ini pada dunia tulis menulis berawal.
Motinggo Busye lahir dengan nama asli Bustami Djalid, dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabi’ah Ja’kub, keduanya berasal dari Minangkabau. Ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman, sedangkan ibunya berasal dari Matur, Agam. Setelah menikah, kedua orangtua Motinggo pergi merantau ke Bandar Lampung. Di sana ayahnya bekerja sebagai klerk KPM di Kupangkota, sementara ibunya menjadi guru agama dan bahasa Arab. Ketika usianya mendekati 12 tahun, Motinggo menjadi yatim piatu. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo kecil diasuh sang nenek dan tinggal di Bukittinggi hingga tamat SMA.
Di dunia sastra, mantan redaktur kepala Penerbitan Nusantara periode 1961-1964 ini terbilang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi, antara lain Malam Jahanam, Badai Sampai Sore, Tidak Menyerah, Hari Ini Tak Ada Cinta, Perempuan Itu Bernama Barabah, Dosa Kita Semua, Dia Musuh Keluarga, Sanu, Infita Kembar, Madu Prahara, serta ratusan karya lainnya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, DC, Amerika Serikat.
Nama Motinggo yang dipilihnya sebagai nama pena berasal dari Bahasa Minang, mantiko, yang maknanya antara sifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Namun nama itu dalam diri Motinggo bukanlah yang berkonotasi negatif. Untuk itu, ia kemudian menambahkan kata bungo, yang berarti bunga, di belakang nama samarannya itu, sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Busye yang pertama kali digunakannya di tahun 1953 dalam majalah Nasional. Selain nama pena dan nama pemberian orang tua, sesuai adat Minangkabau, Motinggo juga memilki nama dewasa atau gelar yaitu Saidi Maharajo.
Seperti kedua orang tuanya dan kebiasaan orang Minang pada umumnya, Motinggo pun meninggalkan kampung halamannya untuk pergi merantau demi mengembangkan potensinya. Yogyakarta dipilih sebagai tempat persinggahannya sekaligus untuk melanjutkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Jurusan Tata Negara, meski belakangan ia tidak berhasil menyelesaikan kuliahnya lantaran kecintaan pada dunia seni yang lebih besar telah menyita seluruh perhatiannya. Pilihannya untuk melanjutkan studinya di Yogyakarta semakin menyuburkan bakat seninya tersebut. Di kota berjuluk Kota Pelajar inilah, ia bertemu dengan seniman-senimana kawakan seperti Rendra, Kirdjomuljo, Nasjah Djamin, dan membuatnya bergabung di Sanggar Bambu.
Meski gagal meraih gelar sarjana, tidak menghalanginya untuk berkarya. Justru setelah meninggalkan bangku kuliah, Motinggo lebih leluasa mendalami berbagai kegiatan berbau seni, seperti mengisi siaran sandiwara radio di RRI Bukittinggi, bermain drama, menjadi sustradara, melukis, menulis puisi, cerpen, novel, dan essai. Nama Motinggo Busye perlahan-lahan mulai berkibar di dunia kesusastraan Tanah Air. Karya-karyanya dimuat di berbagai media massa, seperti Minggu Pagi, Budaya, Mimbar Indonesia, Kisah, Sastra, dan Aneka.
Di dunia sastra, mantan redaktur kepala Penerbitan Nusantara periode 1961-1964 ini terbilang cukup produktif dalam berkarya. Sedikitnya ada 200-an karya yang telah dihasilkannya baik novel, drama, cerpen, maupun puisi, antara lain Malam Jahanam, Badai Sampai Sore, Tidak Menyerah, Hari Ini Tak Ada Cinta, Perempuan Itu Bernama Barabah, Dosa Kita Semua, Dia Musuh Keluarga, Sanu, Infita Kembar, Madu Prahara, serta ratusan karya lainnya yang sampai saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Kongres di Washington, DC, Amerika Serikat.
Pada tahun 1958, sebuah naskah drama berjudul Malam Jahanam dianugerahi Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama Bagian Kesenian Departemen P & K. Karyanya yang lain yaitu cerpen Nasehat buat Anakku, mendapat hadiah majalah Sastra tahun 1962. Kemudian di tahun 1997, cerpennya yang berjudul Bangku Batu menyabet Juara IV dalam Sayembara Mengarang Cerpen di Ulang Tahun ke-31 Majalah Horison. Selain mendapat banyak penghargaan, karya-karyanya juga telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, di antaranya bahasa Inggris, Ceko, Belanda, Perancis, Jerman, Korea, Cina, dan Jepang.
Karya-karya Motinggo Busye menunjukkan perjalanan seni sekaligus perjalanan hidupnya. Salah satu novelnya yang berjudul 1949 merupakan gambaran sejarah tentang kenangan buram masa revolusi fisik yang menyebabkan dirinya bersama keluarga harus mengungsi di hutan belantara. Bahkan demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang lebih baik, ia pernah memasuki fase menulis novel-novel pop porno. Namun itu tak berlangsung lama, hidayah kemudian datang dari anaknya yang belajar di Pesantren Gontor. Setelah itu, karya-karya sastra seorang Motinggo Busye menjadi lebih religius dan serius.
Sebagai penyair, karya-karyanya pernah masuk dalam antologi penyair Asia di tahun 1986 dan antologi penyair dunia, empat tahun berikutnya. Selain terlibat dalam dunia sastra dan drama, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua II Koperasi Seniman Indonesia ini juga hobi melukis. Pada tahun 1954, sebuah pameran lukisan di Padang pernah menampilkan 15 lukisan karya Motinggo.
Seniman besar ini tutup usia pada 18 Juni 1999 di Jakarta akibat komplikasi penyakit diabetes. Sebelum wafat, sastrawan yang sempat menyutradarai beberapa judul film layar lebar di tahun 70-an ini meluncurkan cerpen terakhirnya yang berjudul Dua Tengkorak Kepala yang dimuat di Kompas, 13 Juni 1999. Cerpen tersebut kemudian diterbitkan oleh Penerbit Bentang dalam Buku Kumpulan Puisi Motinggo Busye. eti | muli, mlp