Seniman Legendaris yang Menginspirasi

Bing Slamet
 
0
2567
Bing Slamet
Bing Slamet | Tokoh.ID

[ENSIKLOPEDI] Namanya sebagai musisi, penyanyi dan pencipta lagu mulai berkibar ketika bergabung dengan grup musik Eka Sapta di awal tahun 60-an. Belakangan, ia menjadi ikon dunia lawak Indonesia lewat sejumlah grup lawak, salah satunya Kwartet Jaya. Sebagai produser sekaligus aktor, ia mempopulerkan film serial layar lebar dengan mencantumkan namanya di awal judul film. Saat seniman multi talenta ini wafat, ribuan orang berbondong-bondong mengantarkannya ke peristirahatannya yang terakhir.

Bing Slamet lahir di Cilegon pada 27 September 1927 dengan nama Achmad Syekh Albar. Putra dari seorang mantri pasar bernama Rintrik Ahmad ini sejak kecil telah menunjukkan bakatnya yang luar biasa di bidang seni. Oleh karena itu, meski bersekolah di HIS Pasundan dan STM Penerbangan, ia tidak mau menjadi insinyur atau dokter seperti keinginan ayahnya. Pilihan untuk mengabdi sepenuhnya pada dunia seni sudah bulat tertanam dalam diri Bing.

Sejak usia belasan tahun, ia sudah nongkrong di Pasar Ciplak, Sawah Besar, tepatnya di restoran Kalimantan, di Rekutenci yang kini menjadi Lokasari, bersama para seniman dan intelektual, seperti Sutan Syahrir, Rosihan Anwar, Djamaluddin Malik, Fifi Joung, Chairil Anwar, dan Jilis Tahir.

Karena kemampuannya berolah vokal, di masa kanak-kanak ia pernah dijuluki Abdullah Kecil. Abdullah adalah nama seorang penyanyi tenar di zaman itu. Menginjak usia 12 tahun, Bing sudah berani tampil menunjukkan kebolehannya bernyanyi di depan umum saat mendukung Orkes Terang Bulan yang dipimpin Husin Kasimun. Selain dikenal pandai menyanyi, Bing juga piawai bermain gitar.

Beranjak remaja, Bing bergabung dalam rombongan sandiwara Pantja Warna di tahun 1944. Di masa kependudukan Jepang, Bing yang tergabung dalam barisan Penghibur Divisi VI Brawijaya ikut mengobarkan semangat para pejuang. Dari balik corong mikrofon radio, Bing tampil sebagai agitator yang menyemangati pejuang melawan kaum penjajah. Sebelumnya, ketika revolusi bergulir, ia sempat ikut latihan militer. Namun belakangan, ia menyadari lebih cocok berjuang lewat kesenian.

Seolah tanpa pamrih, Bing lalu bersedia ditempatkan di kota mana saja. Saat masuk ke Radio Republik Indonesia (RRI), Bing ditempatkan di Yogyakarta dan Malang. Ia pun sempat bergabung di Radio Perjuangan Jawa Barat. Antara tahun 1950 sampai 1952, Bing Slamet aktif pada Dinas Angkatan Laut Surabaya dan Jakarta. Di tahun 1952 saat Bing ditempatkan lagi di Jakarta, ia kemudian bergabung ke RRI Jakarta dan mulai aktif mengisi acara bersama Adi Karso. Bakat dan kemampuan musiknya makin terasah saat bergabung di RRI hingga tahun 1962.

Kiprah Bing di bidang tarik suara memang mulai terlecut ketika memasuki dunia radio. Dari RRI, Bing Slamet banyak menyerap ilmu dan pengalaman dari pemusik Iskandar dan pemusik keroncong tenar, M Sagi, serta sahabat-sahabat musisi lainnya seperti Sjaifoel Bachrie, Soetedjo, dan Ismail Marzuki. Yang banyak mempengaruhinya adalah penyanyi Sam Saimun yang dikenalnya sejak bertugas di Yogyakarta pada tahun 1944. Bagi Bing, Saimun adalah tokoh penyanyi panutan. Tak sedikit yang menyebut bahwa timbre vokal bariton milik Bing sangat mirip dengan Sam Saimun.

Bing juga mengagumi penyanyi asal Amerika Serikat, Bing Crosby. Saking kagumnya pada entertainer dunia itu, ia lalu memakai nama Bing sebagai nama panggungnya. Rekaman lagu-lagu Bing di tahun 1950-an diiringi oleh Orkes Keroncong M Sagi dan Irama Quartet yang didukung Nick Mamahit (piano), Dick Abell (gitar), Max Van Dalm (drum), dan Van Der Capellen (bas).

Selain menyanyi, Bing juga seorang pencipta lagu berbakat. Ia cermat memilih tema serta pandai menumpahkan perasaannya dengan cara yang halus. Sebagai pencipta lagu, Bing terbilang jago merayu alam maupun manusia, tangkas bercanda sehingga mengajak orang-orang di sekitarnya bergembira. Tembang pertama yang ditulisnya berjudul Cemas.

Sejumlah judul lain yang lahir dari hasil kreativitas Bing antara lain Murai Kasih, Hanya Semalam, Ayu Kesuma, Risau dan Belaian Sayang. Judul yang disebut terakhir dianggap sukses di mata publik.

Advertisement

Bing yang sangat menyukai irama meriah ini kemudian membentuk sebuah kelompok musik yang diberi nama Mambetarumpajo, merupakan akronim dari Mambo, Beguine, Tango, Rhumba, Passo Double, dan Joged, yang saat itu adalah jenis musik untuk mengiringi dansa. Tahun 1963, ia membentuk grup musik yang diberi nama Eka Sapta dengan pendukungnya, antara lain Bing Slamet (gitar, perkusi, vokal), Idris Sardi (bass, biola), Lodewijk Ireng Maulana (gitar, vokal), Benny Mustapha van Diest (drum), Itje Kumaunang (gitar), Darmono (vibraphone), dan Muljono (piano). Eka Sapta menjadi fokus perhatian karena keterampilannya memainkan musik yang tengah tren pada zamannya. Grup musik tersebut lalu merilis sejumlah album pada label Bali Record, Canary Record, dan Metropolitan Records, yang kelak berubah menjadi Musica Studio’s. Eka Sapta menjadi kelompok musik pop yang terdepan di negeri ini pada era 60-an hingga awal 70-an.

Bing juga bergaul dengan musisi lain seperti Jack Lesmana, hingga Nyoto, tokoh PKI yang kala itu juga dikenal sebagai musisi. Bahkan dengan Jack dan beberapa musisi yang membentuk Suara Bersama, ia membuat album Mari Bersuka Ria dalam Irama Lenso, dan salah satu lagu hitsnya yang sangat terkenal adalah Genjer-Genjer. Lagu berbahasa Banyuwangi ciptaan Muhammad Arief itu sempat dilarang rezim Orde Baru karena dianggap lagu propaganda PKI.

Julukan sebagai seniman serba bisa memang layak disandang Bing karena ia juga berbakat melawak. Pada awal tahun 50-an, ia pernah membentuk grup lawak bernama Los Gilos bersama dua rekannya, Tjepot dan Mang Udel. Los Gilos kemudian menjadi pengisi tetap acara lawak di RRI. Bersama dua rekannya itu, Bing menjadi pelopor lawakan cerdas yang penuh sindiran politik dan kritikan sosial, yang kemudian banyak mempengaruhi generasi lawak di bawahnya, salah satunya Warkop Prambors.

Pada tahun 1953, ia menjuarai lomba lawak tingkat nasional. Setahun kemudian ia menjuarai Bintang Radio jenis hiburan. Pada tahun 1956, setelah merebut gelar Bintang Radio, Bing menikah dengan Ratna Komala Furi. Pasangan ini dikaruniai delapan anak, enam putra dan dua putri. Tiga diantara anak-anak Bing yakni Uci, Adi, dan Iyut di kemudian hari mengikuti jejak sang ayah berkiprah di dunia hiburan Tanah Air.

Julukan sebagai seniman serba bisa memang layak disandang Bing karena ia juga berbakat melawak. Pada awal tahun 50-an, ia pernah membentuk grup lawak bernama Los Gilos bersama dua rekannya, Tjepot dan Mang Udel. Los Gilos kemudian menjadi pengisi tetap acara lawak di RRI. Bersama dua rekannya itu, Bing menjadi pelopor lawakan cerdas yang penuh sindiran politik dan kritikan sosial, yang kemudian banyak mempengaruhi generasi lawak di bawahnya, salah satunya Warkop Prambors.

Sejak dinobatkan sebagai Bintang Radio, popularitasnya di dunia hiburan kian menanjak. Sukses dengan Los Gilos, Bing kembali mendirikan kelompok lawak baru bernama Trio SAE dengan menggandeng Eddy Sud dan Atmonadi di tahun 1967. Tapi sayang, grup lawak ini tak berumur panjang.

Karirnya sebagai komedian baru benar-benar bersinar terang saat mendirikan grup lawak legendaris, Kwartet Jaya. Grup yang beranggotakan Bing, Ateng, Iskak dan Eddy Sud ini mendominasi dunia pementasan era 1970-an. Pertunjukan grup lawak yang kerap mengangkat peristiwa aktual sebagai tema lawakannya ini selalu dipadati penonton. Ketika melawak, keempat pelawak itu mempunyai gayanya masing-masing, Bing misalnya, tampil dengan mimik wajah yang jenaka dan kekanak-kanakkan namun tetap alamiah. Kalau sudah begitu, sulit rasanya bagi siapapun untuk menahan tawa melihat aksi Bing mengocok perut para penggemarnya.

Dari dunia lawak, Bing masuk ke dunia seni peran. Bing mulai diajak main film karena suaranya yang merdu, diawali dalam film Menanti Kasih besutan Mohammad Said dengan bintang A. Hamid Arief dan Nila Djuwita. Awalnya Bing hanya mendapat jatah memainkan peran-peran kecil. Setelah kemampuan aktingnya dirasa pantas mendapat porsi lebih banyak, Bing mulai diplot untuk tampil sebagai aktor utama dalam film Di Simpang Jalan di tahun 1955. Setahun setelah itu, Bing lebih banyak tampil dalam film bergenre komedi, dimulai dari film besutan Nya’ Abbas Akup berjudul Pilihlah Aku, sebuah satire mengenai Pemilihan Umum. Tahun 1957, Akub kembali memasang Bing sebagai bintang utama dalam filmnya, Tiga Buronan. Di film tersebut, Bing berperan sebagai jagoan Mat Codet, yang dibawakannya secara karikaturistik dan mengesankan.

Tak puas hanya menjadi pemain, Bing kemudian mendirikan Safari Sinar Sakti Film dan memproduksi film komedi secara berseri dengan grup lawak Kwartet Jaya di awal tahun 70-an. Film-film yang diproduseri sekaligus dibintanginya saat itu sebagian besar menggunakan nama Bing sebagai judulnya. Sebut saja Bing Slamet Setan Jalan, Bing Slamet Tukang Betjak, Bing Slamet Merantau, Bing Slamet Sibuk, Bing Slamet Dukun Palsu, dan film terakhirnya Bing Slamet Koboi Cengeng. Tren judul dengan nama bintang film di depannya memang merupakan gagasannya. Namanya bahkan pernah diabadikan sebagai piala untuk film komedi terbaik dalam Festival Film Indonesia.

Demi mengejar kesuksesan, Bing sangat menjunjung tinggi profesionalisme. Ia bekerja tanpa kenal lelah untuk memberikan yang terbaik pada masyarakat. Seperti yang pernah diutarakannya dalam buku biografi berjudul Bing Slamet Hasil Karya dan Pengabdiannya, karya Drs. Sutrisno, “Sebenarnya dari ketiganya (nyanyi, lawak, dan film) yang ingin saya capai ialah sukses, sebagai suatu profesi yang saya miliki, yang harus diberikan kepada masyarakat. Di Negara yang sudah maju, dengan umur yang tua, seorang biduan tetap mendapat perhatian dari publik dan juga perusahaan-perusahaan piringan hitam”.

Totalitas Bing dalam melakoni peran-perannya di dunia hiburan sebagai penyanyi, komedian, dan aktor tak perlu disangsikan lagi. Bahkan ketika kesehatannya menurun akibat penyakit lever yang dideritanya, Bing tetap tampil sebagai penghibur. Seperti saat syuting film terakhirnya, Bing Slamet Koboi Cengeng, ia masih berusaha berakting secara maksimal di film garapan Nya’ Abbas Akub itu demi memikat para pecintanya. Begitu pula, saat ia jatuh di panggung beberapa bulan menjelang kematiannya, semua orang tetap tertawa karena menganggap itu bagian dari lawakannya. Sebagian besar penonton tetap tak sadar bahwa Bing jatuh sebagai ekses penyakit lever yang diiidapnya. Kenyataan ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sebagai penghibur sejati mendorongnya bekerja tanpa kompromi termasuk ketika sakit keras.

Namun semua totalitas dan dedikasi tanpa batas itu akhirnya terhenti pada 17 Desember 1974. Bing Slamet dipaksa menyerah pada ganasnya penyakit lever yang dideritanya. Sang seniman dengan sejuta bakat itu menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sahabatnya Eddy Sud di Jakarta pukul 14.50 WIB pada usia 47 tahun.

Pada 18 September 1974, iring-iringan mobil dan motor sepanjang 4 kilometer mengantarkan jenazahnya ke tempat peristirahatan terakhirnya di TPU Karet Bivak Jakarta. Panjangnya iring-iringan yang mengantar jenazahnya ke pemakaman menunjukkan betapa masyarakat sangat mencintai seniman legendaris ini. Jasad Bing Slamet dilepas dengan iringan isak tangis ribuan orang rekan sesama seniman dan para penggemarnya. Sifat humoris Bing membuatnya luwes dalam bergaul dengan berbagai kalangan, pandai membawa diri, dan dikenal sebagai pribadi yang pemurah, baik di mata teman dan keluarganya. Tak heran bila setelah kepergiannya, Bing menjadi sosok yang selalu dikenang dan menjadi sumber inspirasi bagi seniman lainnya.

Seniman-seniman besar sekaliber Titiek Puspa dan Benyamin Sueb misalnya, menganggap sosok Bing bukan hanya sebagai senior melainkan juga guru yang mendorong mereka maju. Titiek Puspa bahkan mengungkapkan bahwa alasannya ingin menjadi penyanyi karena ingin berkenalan dengan Bing Slamet. Tak heran, saat mendengar berita duka wafatnya Bing, Titiek yang ketika itu sedang dalam pesawat saat hendak ke Sumatera untuk menunaikan tugasnya sebagai penyanyi, langsung mengarang lagu Bing yang kemudian dipopulerkan oleh Grace Simon. Lagu berirama dan berlirik melankolis itu bahkan masih sering dibawakan hingga saat ini.

Sementara, Benyamin Sueb yang saat itu belum ngetop, sempat mengikuti Bing untuk menawarkan lagu perdananya, Nonton Bioskop. Namun Bing menyarankan agar Benyamin menyanyikan sendiri lagu berlirik jenaka itu. Seniman Betawi yang akrab disapa Bang Ben itu kemudian mengikuti saran Bing. Belakangan, lagu Nonton Bioskop mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Ben juga berguru pada Bing saat membintangi film arahan Nya’ Abbas Akub yang berjudul Ambisi, terutama saat berduet menyanyikan lagu Tukang Sayur dan menjadi penyiar radio. Tak heran kalau wasiat terakhir Benyamin adalah dikuburkan di samping makam Bing Slamet, guru, teman, dan sosok yang sangat mempengaruhi hidupnya.

Beberapa penyanyi muda yang tak pernah secara langsung mengenal sosok Bing pun tak mau ketinggalan mengapresiasi karya-karyanya. Lagu berjudul Belaian Sayang dibawakan kembali oleh duet Glen Fredly dan Dewi Sandra, dan Ruth Sahanaya. Shelomita bersama grup jazz Opustre melantunkan Payung Fantasy karya Ismail Marzuki yang lekat dengan citra Bing Slamet di akhir era tahun 50-an. Denny Wong Pitoe malah mencoba menjadi impersonator (meniru) Bing lewat Nurlaila, lagu yang pertamakali dinyanyikan Bing Slamet dalam film Bing Slamet Tukang Betjak.

Berkat dedikasinya di bidang seni, Bing menerima Piagam Penghargaan dari Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin pada 10 Juni 1972. Presiden Megawati Soekarnoputeri pun menghadiahi kesetiaan Bing pada dunia seni dengan Anugerah Tanda Kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma di Istana Negara pada 7 November 2003. eti | muli, red

Data Singkat
Bing Slamet, Musisi, Pelawak, Aktor / Seniman Legendaris yang Menginspirasi | Ensiklopedi | musisi, pelawak, aktor

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini