Simbol Hidupnya Demokrasi di PKB
Saifullah Yusuf02 | Politisi Muda Antarpartai

Ketua Umum GP Ansor 2000-2010, Mantan Sekjen/Ketua DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kabinet Indonesia Bersatu 2004-2007, ini seorang politisi muda yang terkenal paiwai lobi. Dia politisi muda antarpartai, dari PDIP lalu menjadi Sekjen PKB, kemudian bergang ke PPP.
Pada Pemilu Presiden putaran kedua 2004 dia mendukung SBY-JK. Pilihan itu telah mengantarkannya dipercaya SBY-JK menjabat Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal Kabinet Indonesia Bersatu. Namun, pada Mei 2007 dia digantikan Muhammad Lukman Edy.
Drs. Saifullah Yusuf pria kelahiran 28 Agustus 1964 di Pasuruan, Jawa Timur, itu bersama Eros Djarot, Saifullah Yusuf turut melahirkan tabloid Detik. Melalui profesi sebagai wartawan tabloid itu pada 1994, ia kenal banyak tokoh, baik tokoh politik maupun militer. Kerap mewawancarai Mega, akhirnya ia akrab dengan tokoh PDI tersebut. Di kemudian hari, setelah Detik dibredel dan Kang Iful—demikian panggilan akrabnya—terjun di ormas Nahdlatul Ulama (NU), dari Sekjen IPNU sampai Ketua Umum GP Ansor, hasil lobi tersebut cukup berguna.
Tapi ia menampik jika dikatakan jago lobi. “Itu terlalu berlebihan,” ujarnya. Ia sendiri mengumpamakan diri sebagai tukang pos, kurir. Sebagai kurir, ia punya peran dalam berbagai lobi politik, antara lain pertemuan Ciganjur I (1998), Ciganjur II (2000). Prestasi lain: Iful bisa menghadirkan Megawati di Istighotsah Kubro II di Senayan, 2001. Itu semua berkat pergaulannya yang luas dengan berbagai kalangan, tanpa melihat perbedaan agama, garis politik, dan partai.
Di saat NU mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Kang Iful bukannya masuk PKB, tetapi menjadi kader PDI Perjuangan yang mengantarkannya ke Senayan sebagai anggota DPR RI dari Fraksi PDIP. Namun, pada akhirnya, ia keluar dari PDIP dan bergabung dengan PKB, dan menjadi Sekjen/Ketua DPP PKB, 2002-2004. Belakangan dia bergabung dengan PPP.
Kemudian lantaran sebelumnya dia dianggap mewakili PKB di Kabinet Indonesia Bersatu dalam jabatan Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal, setelah pindah ke PPP, dia diberhentikan dan diganti oleh Sekjen DPP PKB Muhammad Lukman Edy.
Dua hal tersulit dalam menjalani profesi politisi adalah ketika Gus Dur terpilih sebagai presiden, mengalahkan Megawati yang ketua partai pemenang pemilu. “Gus Dur paman saya, sedangkan saya di PDIP. Itu rasanya satu hari seperti 20 tahun,” ujarnya. “Juga sebaliknya, ketika Gus Dur digantikan oleh Mbak Mega,” katanya lagi. Untuk menghadapi situasi tersebut, Iful berusaha tetap tenang, menahan diri, dan meyakinkan diri apa yang perlu diyakinkan.
Sebenarnya cita-cita Iful ingin menjadi guru madrasah, karena melihat kondisi madrasah yang menyedihkan. Cita-cita tersebut tampaknya juga ada pengaruh dari ayahnya, pegawai Departemen Agama, seorang guru agama di SD, SMP, dan pernah menjadi pegawai Kantor Urusan Agama. Ibunya, Shalichati, juga bekerja di Departemen Agama. Demi cita-cita mulia itu, Iful menempuh pendidikan dasar dan menengah di pesantren di Jombang sampai lulus sekolah menengah atas.
Waktu itu, ia sudah terbiasa bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan, bahkan yang berbeda agama sekalipun. Ia pun berkawan dengan anak kepala sekolah Sekolah Menengah Persiapan Pembangunan, di Jombang, yang beragama Kristen, dan pernah mengadakan perayaan rohani bersama.
Baginya, kesempatan bergaul dengan orang beragama lain itu: “Semakin memperdalam rasa kebangsaan saya,” ujarnya. Kalau saja pamannya, Abdurrahman Wahid, tidak menyuruh dia kuliah di Jakarta selepas SMA, barangkali cita-cita Iful menjadi guru madrasah sudah terwujud. Atas saran pamannya itu, ia kuliah di Universitas Nasional, tapi tidak selesai. Di Ciganjur—tempat kediaman Gus Dur—Kang Iful menimba ilmu langsung dari Ketua Umum (waktu itu) PB NU tersebut.
Pertemuannya dengan Eros Djarot mengantarkannya jadi wartawan. Ketika Eros menerbitkan tabloid Detik, sampai tabloid tersebut dibredel bersama Tempo dan Editor.
Mengenal Ummu Fatma, sesama aktivis NU, pemilik sebuah hotel, pada 1995. Suatu ketika, ia menginap di Hotel Fatma. “Saya kira dia petugas front office, malah dia yang punya,” kenang Kang Iful. “Saya jatuh cinta pada pandangan pertama,” ujarnya. Setahun kemudian, Iful menikahi Ummu Fatma, yang kini dikaruniai dua anak. Walau sering ditinggal ke luar kota, sang istri cukup memahami.
Dalam hal pendidikan anak, “Saya menyerahkan semuanya kepada mereka, apa yang mereka inginkan, karena saya sendiri jarang ketemu. Mereka berangkat sekolah, saya belum bangun; dan saya berangkat, mereka belum pulang,” tuturnya. Pengagum Gus Dur, yang pamannya sendiri, ini biasa tidur sehabis subuh dan bangun pukul 09.00.
Saat luang, Iful biasa membaca buku yang ringan-ringan, misalnya cerita pendek, atau buku biografi. Kalau menonton TV, ia lebih suka yang lucu-lucu, tak suka yang tegang-tegang. Karena sehari-harinya ia sudah tegang. Kini, Iful tak sempat menyalurkan hobi di masa remajanya: sepakbola, bulutangkis, dan catur; ia cukup joging.
Moto hidupnya: “Saya menjalani hidup, kalau orang Jawa bilang, glundung semprong, seperti air mengalir saja,” tuturnya. Alasannya, “Karena di dalam hidup ini, hanya ada dua cara orang hidup. Pertama; orang yang berpikir tertib dalam hidupnya, perencanaannya dan sebagainya. Kedua; orang yang menjalani hidup dengan motivasi, kalau tidak jadi, ya, tidak apa-apa,” kata pengagum Wahid Hasyim, Hamka, dan pemikir Islam Ali Syari’ati itu. ti/sumber al: pdat
***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)