Sosok Pekerja Keras
Haryono Suyono03 | Jejak Rekam Karir

Setelah menyelesaikan pendidikan di AIS di Jakarta (tiga tahun), dan langsung dipercaya menjadi Asisten Direktur AIS, Haryono menikah dengan gadis cantik asli Betawi Astuti Hasinah, 30 Agustus 1963. Pasangan tersebut dikaruniai empat orang anak: Ria Indrastuti ( 1964), Dewi Pujiastuti (1965), Fajar Wiryono (1967) dan Rina Mardiana (1968). Dengan empat orang anak tersebut kadang-kadang Haryono disangka tidak melaksanakan program keluarga berencana, padahal anaknya yang terkecil dilahirkan dua tahun sebelum program KB resmi dimulai 1970.
Angkatan Haryono pada AIS termasuk angkatan yang istimewa. Selama tiga tahun AIS angkatan ini mendapat dosen yang sebagian besar para pakar PBB yang sedang membangun perstatistikan di Indonesia. Karena beruntung mendapat dosen yang hebat, dan selama mahasiswa dinilai menonjol serta aktif sebagai Wakil Ketua dan Ketua Senat Mahasiswa AIS, maka setamat AIS tahun 1963, Haroyo ditunjuk menjadi Asisten dari Direktur AIS.
Haryono kemudian mendapat kesempatan yang luas untuk bekerja pada Biro Pusat Statistik (BPS). Tahun 1965 diangkat sebagai Wakil Kepala Kanwil Sensus dan Statistik DKI Jakarta, suatu jabatan yang sebenarnya masih sangat jauh dari golongan pangkat yang dimilikinya. Haryono, 1966, dipercaya sebagai Pjs. Kepala Kanwil, tetapi tidak lama, karena kemudian dipercaya memimpin suatu bagian baru, Bagian Konsultasi dan Humas BPS di kantor pusat.
Pada jabatan inilah Haryono menyebarluaskan kesadaran statistik di berbagai departemen dan instansi pemerintah. Dia menggerakkan para wartawan untuk mengulas hasil-hasil survey, termasuk Survey sembilan bahan pokok yang dilakukan BPS setiap minggu. Pada saat itu pula, pemerintah sedang giat-giatnya menurunkan angka inflasi yang sangat tinggi (600%).
Haryono, setiap minggu, mondar-mandir ke Jalan Medan Merdeka Barat No.15 untuk mengirimkan laporan kepada Sudharmono, SH (Mensekneg pada waktu itu) untuk keperluan Sidang Kabinet. Pernah terjadi, sewaktu Menteri Sekretaris Negara masih dijabat oleh Alamsyah Ratu Perwiranegara, perubahan inflasi cukup ruwet, sehingga Haryono ditahan untuk duduk di pojok selama beliau menerangkan angka-angka inflasi, berjaga-jaga kalau ada kemacetan.
Dia juga meyakini bahwa pendidikan merupakan pemutus mata rantai kemiskinan. Karena itu setamat AIS dan bekerja dari tahun 1963-1969 di BPS, Mei 1969, dia berkesempatan mewujudkan cita-cita melanjutkan ke luar negeri yaitu di University of Chicago, universitas terkemuka dan termahal di Amerika Serikat.
Saat itu, di Indonesia, jurusan statistik belum ada sampai tingkat master. Kalau masuk ke jurusan lain, dia harus memulai baru lagi. Haryono menyelesaikan tugas belajar di University of Chicago, Amerika Serikat tersebut dalam waktu tiga tahun (1969 -1972) hingga menyandang gelar master dan doktor dalam bidang Sosiologi dengan spesialisasi bidang Komunikasi dan Perubahan Sosial serta Kependudukan dan Pembangunan.
Semasa studi di AS, di kalangan kampus, terutama bagi orang Amerika yang agak sulit menyebut nama Haryono, maka dia mendapat panggilan keren, Mr Hary. Bahkan teman-teman lamanya sampai sekarang masih memanggilnya dengan nama Mr Hary.
Setelah kembali ke tanah air, Haryono bekerja kembali di BPS dan merangkap di Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kala itu, dengan gelar doktor yang disandangnya, Presiden Soeharto kesulitan ketika mau mengangkatnya sebagai pejabat eselon I, karena Haryono masih golongan 3C/3B.
Sehingga perlu dikeluarkan peraturan pemerintah agar orang-orang yang bergelar doktor tetapi berpangkat 3C, bisa diangkat menjadi pejabat eselon I. Kepada mereka diberikan pangkat tituler. Haryono termasuk salah seorang yang memperoleh pangkat tituler, naik dari 3C ke 4C. Kala itu, tahun 1970-an, pemegang gelar doktor masih langka.
Pada saat itu, Ketua Bappenas, Prof Wijoyo Nitisastro juga mau mengangkat Hasibuan, dari swasta, menjadi pejabat eselon satu. Maka dikeluarkanlah peraturan pemerintah. Peraturan ini menjadi dasar untuk perencanaan personil selanjutnya. Sampai sekarang peraturan itu dipakai pemerintah karena banyak juga orang partai mendadak diangkat menjadi pejabat eselon satu.
Saat itu, Harono ditanya: Apakah memilih tetap ditempatkan di Biro Pusat Statistik (BPS) atau di BKKBN? Haryono memilih BKKBN. Alasannya, karena BKKBN secara profesional bisa mengantar manusia agar mampu melakukan proses perubahan dari masyarakat agraris menjadi masyarakat modern dan profesional.
Kemudian nama Haryono sangat melekat dengan BKKBN, dan karirnya menanjak sebagai deputi untuk beberapa bidang, sampai kemudian dipercaya Presiden Soeharto sebagai Kepala BKKBN mulai 1983.
Sepuluh tahun berikutnya, 1993, Haryono merangkap sebagai Menteri Negara Kependudukan dan Kepala BKKBN pada Kabinet Pembangunan VI. Pada kabinet terakhir Pak Harto, Kabinet Pembangunan VII, Haryono masih dipercaya sebagai Kepala BKKBN merangkap Menko Kesra dan Taskin. Jabatan Menko Kesra dan Taskin masih dipercayakan kepadanya ketika terjadi pergantian pucuk pimpinan pemerintahan dari Pak Harto kepada Presiden BJ Habibie (Mei 1998).
Di dalam perjalanan karirnya, Haryono ditakdirkan selalu dekat dengan orang-orang miskin. Usianya memang sudah senja, tetapi dia tetap berjuang untuk memberdayakan masyarakat pedesaan. Selaku Wakil Ketua I Yayasan Damandiri, dia memberdayakan ekonomi rakyat dan pemberdayaan sumber daya manusia. Dia seperti tidak kenal lelah, berkeliling ke berbagai penjuru Nusantara. Bahkan juga ke berbagai belahan dunia untuk membagi keahlian dan pengalamannya dalam bidang kependudukan dan pengentasan kemiskinan. crs-sh-am (Diterbitkan juga di Majalah Tokoh Indonesia Edisi 26)