Berkarya Lewat Harpa
Maya Hasan
[DIREKTORI] Salah satu pemain harpa terbaik Indonesia ini kerap mendapat undangan untuk tampil bersama dengan beberapa orkestra musik klasik Tanah Air dan mancanegara. Ia juga menjadi guru harpa bagi anak-anak muda yang ingin menjadi peharpa profesional. Menurutnya, musik bukan cuma alunan nada tapi bisa menyembuhkan dan memberikan kekayaan terhadap jiwa.
Jika menyebut alat musik harpa terutama di Indonesia tentunya masih kalah populer dari alat musik petik serumpun seperti gitar atau bass. Apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa hanya segilintir orang yang tertarik untuk mempelajari harpa. Katanya, selain susah, harpa juga tidak terlalu komersil. Pendapat itu tidak sepenuhnya salah jika melihat sedikitnya harpis, sebutan untuk pemain harpa, asal Indonesia yang dari tahun ke tahun hanya dihuni oleh wajah-wajah lama, selain Uzi Pieters dan Heydi Awuy, juga ada nama Maya Hasan.
Nama yang disebutkan terakhir, Maya Hasan merupakan salah satu harpis terbaik yang dimiliki negeri ini. Jika opini di atas ditanyakan padanya, ia akan dengan tegas membantah anggapan tersebut. Sebenarnya banyak yang tertarik belajar harpa, hanya mungkin mereka tidak sabar atau kurang terekspos saja,” jelas wanita bernama lengkap Maya Christina Hasan itu. Menurut wanita blasteran Cina-Jawa itu, persepsi masyarakat yang sudah terlanjur mencap harpa sebagai alat musik yang sulit untuk dimainkan sudah waktunya untuk diubah.
Maya berasal dari keluarga yang senang musik. Sejak kecil putri pasangan Mohammad Hasan dan Sri Mulyati ini sudah akrab dengan koleksi piringan hitam milik orangtuanya. Di rumahnya pun terdapat berbagai macam alat musik. Sebelum tertarik pada harpa, ia sudah terlebih dahulu mempelajari biola dan flute, tetapi ia merasa kurang cocok dengan dua instrumen itu.
Kecintaan bungsu dari lima bersaudara itu pada harpa berawal saat ia masih duduk di bangku SMP. Sejak itu, Maya yang lahir di Hong Kong pada 10 Januari 1972 ini mulai menekuni alat musik petik itu. Ia pertama kali menimba ilmu di Jakarta pada Heydi Awuy, harpis senior Indonesia. Karena belum merasa puas dengan ilmu yang didapatnya dari sang guru, Maya pun bertekad untuk belajar lebih serius. Setelah lulus SMA, tepatnya di tahun 1990, ia memilih untuk meneruskan pendidikannya di jurusan musik dengan studi utama pertunjukan harpa di Universitas Wilamette, Salem, Oregon, Amerika Serikat.
Ketika kuliah, Maya untuk pertama kali menampilkan kebolehannya bermain harpa bersama The Salem Chamber Orchestra, Oregon. Maya juga sempat mendapat beberapa penghargaan seperti The Music Talent Award dan The Stannus Music Award.
Tahun 1993, usai menyelesaikan pendidikannya, meski ada tawaran untuk bermain di Amerika, Maya Hasan memilih kembali ke Tanah Air. Di Indonesia, Maya menemukan kendala dengan minimnya tempat untuk bermain harpa. Hal itu tidak menghentikan semangatnya untuk lebih memasyarakatkan harpa. Sejak kembali ke Indonesia itulah, ia kerap mendapat undangan untuk tampil bersama dengan beberapa orkestra musik klasik Tanah Air dan mancanegara seperti Nusantara Chamber Orchestra, Twilite Orchestra, Malaysia Philharmonic Orchestra, Surabaya Symphony Orchestra, Erwin Gutawa Orchestra, dan The World Harp Ensemble. Namanya pun semakin dikenal publik dan mulai diundang untuk manggung di berbagai tempat.
Pada tahun 2000, dia merilis album instrumental perdananya yang diberi judul Sea Breeze bersama kelompok musik bentukannya, Celtic. Sayang, album itu kurang meledak di pasar. Nama Maya baru melejit setahun kemudian ketika berkolaborasi dengan grup band Padi saat mengisi tembang Kasih Tak Sampai di album Sesuatu Yang Tertunda. Saat berkolaborasi, ia tak pernah memilah-milah, siapa pun dan dari genre musik apapun, karena itu Maya sering dijuluki omnivora oleh sebagian kalangan musisi.
Berbagai prestasi dan sederet penghargaan pun telah berhasil diraih penganut Kristen Protestan yang taat ini, sebut saja The Violet Burlingham M.P.E. Award, Golden Musician Award hingga Indonesia Tattler Society.
Berbeda dengan sebagian besar harpis di dunia yang memainkan harpa dengan teknik dan dalam pementasan musik tertentu, tidak demikian halnya dengan Maya Hasan. Ia justru cenderung memberontak keluar dari pakem itu dan menemukan cara sendiri memainkan harpa. “Pemberontakan” itu mulai dilakukannya setelah bertemu dengan harpis Caroll McLaughlin dari Universitas Arizona, Amerika Serikat.
Di samping menggeluti dunia musik, ibu dari Alexandra, Andrea, dan Austin ini juga pernah menjajal dunia akting di tahun 2006 dalam film layar lebar bertajuk Koper. Pemilik kulit putih bersih ini berperan sebagai Jasmin, seorang wanita yang tertindas dan merana. Meski baru satu kali bermain film, ia tak memungkiri rasa rindu untuk kembali berakting kerap dirasakannya. Sayang, sejauh ini ia masih sulit membagi waktu antara kesibukannya di dunia musik, baik sebagai musisi di atas panggung maupun pembicara di berbagai seminar tentang musik. Namun, ia tak akan mengelak jika suatu saat kesempatan itu datang di waktu yang tepat.
Berbeda dengan sebagian besar harpis di dunia yang memainkan harpa dengan teknik dan dalam pementasan musik tertentu, tidak demikian halnya dengan Maya Hasan. Ia justru cenderung memberontak keluar dari pakem itu dan menemukan cara sendiri memainkan harpa. “Pemberontakan” itu mulai dilakukannya setelah bertemu dengan harpis Caroll McLaughlin dari Universitas Arizona, Amerika Serikat.
Di universitas yang sama, sejak tahun 2000, Maya Hasan juga mengikuti kursus music for healing. Sesuai dengan namanya, Maya meyakini nada dari petikan harpanya memiliki efek tersendiri bagi pendengarnya. Yakni bukan sekadar dentingan nada-nada indah yang membuat orang terlena tapi lebih dari itu, musik bisa membuat jiwa menjadi tenang bahkan bisa menyembuhkan penyakit.
Melalui music for healing, pengagum John Ruskin ini memperkenalkan nada sebagai alat penyembuh. Music for healing yang sedang ia lakoni sudah banyak memberikan nilai-nilai positif bagi jiwanya. Ia banyak belajar pada musisi dunia yang sudah tak asing lagi seperti Campbell, ahli Mozart.
Sebagai praktisi musik, Maya senantiasa ingin berbagi pengalamannya pada orang banyak. Maya sering diundang menjadi pembicara di berbagai seminar termasuk fakultas kedokteran dan psikologi. Mereka ingin tahu tentang hubungan musik dengan kesehatan. Dengan begitu, harpis yang juga kerap menerjemahkan buku non fiksi ini bisa memberikan wawasan baru bagi masyarakat bahwa musik bukan hanya materi tapi bisa memberikan kekayaan terhadap jiwa dan spiritual.
Pada akhir Januari 2011, Maya tampil di World Economy Forum, Davos, Swiss sebagai delegasi Indonesia pada pertemuan yang dihadiri para kepala negara, menteri ekonomi, dan ahli di bidang ekonomi. “Saya merasa terhormat karena ini adalah pertama kali saya melakukan pertunjukan atas nama negara. Juga karena terngiang ucapan almarhum H Moh Hasan, ayah saya, dia bilang “Ini negaramu, berbuat apa yang kamu bisa, walau sekecil apa pun, tidak akan pernah sia-sia,” ujarnya seperti dikutip dari situs detikhot.
Pada kesempatan itu, Maya membuat dua komposisi baru dan satu aransemen. Komposisi baru itu merupakan kolaborasi dengan tarian Pakarena dengan lagu Rose of the East (Mawar dari Timur) yang juga mempunyai arti ganda yaitu rose (asal kata to rise) yang juga berarti Kebangkitan Daerah Timur.
Selain itu, lagu Rising Sun dikolaborasikan dengan alat musik Saluang yang berorientasi pada lanskap Indonesia dengan pegunungan, dan matahari terbit. Sementara lagu Ibu Pertiwi dimainkan Maya dengan memadukan harpa dengan alat musik Sasando. Menurut Maya, seni dan budaya telah lama dipandang sebagai salah satu ujung tombak negara besar dunia. Pada penampilannnya itu, tema kolaborasi Timur bertemu Barat bisa ditampilkan dengan sempurna. eti | muli, red