Penulis Skenario Film-film Terkenal

[ Jujur Prananto ]
 
0
181

Kesuksesan film Ada Apa dengan Cinta, Petualangan Sherina, Cintappucino, maupun Doa Yang Mengancam tidak bisa dilepaskan dari peran Jujur Prananto sebagai penulis skenario film-film tersebut.

Film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), sebuah film nasional yang dirilis tahun 2002 mencetak sukses besar dengan meraup keuntungan sebesar 10 miliar rupiah. Kesuksesan Film remaja yang berhasil menyedot 1,3 juta penonton itu turut melambungkan beberapa nama seperti Dian Sastro dan Nicholas Saputra yang memerankannya serta Rudy Soedjarwo yang menyutradarai. Namun, ada beberapa nama lagi di balik layar yang tak banyak orang tahu yang sebenarnya sangat menentukan kesuksesan film tersebut. Ia adalah si penulis skenario, Jujur Prananto.

Bakat, pendidikan, dan gemblengan perjalanan hidupnya menjadikan pria kelahiran kelahiran Salatiga, Jawa Tengah, 30 Juni 1960 ini sukses menekuni bidangnya dalam soal tulis menulis skenario. Dia bahkan sudah terlibat dalam berbagai event besar dan penting, salah satunya sebagai juri dalam Anti-corruption Film Festival (ACFFest) 2019 yang digelar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Sejak kecil, Jujur memang sudah terbiasa hidup mandiri, terlebih setelah sang ibu, Boedyarti, meninggal dunia. Apalagi, ia mengaku kehidupan keluarganya di masa lalu juga terbilang primitif. Dikatakan demikian, karena walaupun ayahnya sebenarnya adalah seorang guru SMA di Yogyakarta, namun rumahnya dulu tidak ada penerangan. Selain karena tinggal di daerah pinggiran, ayahnya juga tidak mau pasang listrik.

Meskipun ayahnya seorang guru, sejak kecil Jujur mengaku tidak berminat mengikuti jejak sang ayah menjadi guru atau dosen. Waktu masih berseragam SD, ia justru ingin menjadi seorang penyanyi. Namun, jalan hidupnya justru Tuhan arahkan menjadi seorang cerpenis dan penulis skenario sukses.

Karena kesederhanaan hidup keluarganya itu, bungsu dari tiga bersaudara ini tumbuh menjadi anak yang minder dan kurang bergaul. Menyadari kekurangannya itu, maka ketika sekolah di SMP, Jujur mengaku berusaha mengatasinya dengan cara aktif mengelola majalah dinding di bawah asuhan kakak kelasnya, Seno Gumira Ajidarma. Sejak itu pulalah bakat menulisnya mulai tampak.

Karena ia menyukai hal yang berhubungan dengan seni, maka setamat dari SMA, Jujur meneruskan pendidikannya dengan masuk kuliah di Institut Kesenian Jakarta Jurusan Sinematografi. Seiring dengan itu, Jujur pun hijrah dari Yogyakarta menuju ibukota. Di Jakarta, ia tinggal bersama pamannya.

Kuliah di IKJ, kelulusan Jujur sempat terlambat akibat kesulitan biaya saat membuat tugas akhir. Ia pun akhirnya minta bantuan temannya. “Saya minta dibelikan film 16 mm, dan ada yang bersedia membantu sebagai pemerannya,” tutur Jujur.

Ketika masih kuliah, Jujur juga tetap rajin menulis cerpen yang kemudian banyak dimuat di majalah-majalah terbitan ibukota seperti Gadis, Femina, Zaman, Matra, dan yang terbanyak adalah di harian KOMPAS.

“Yakin dengan kemampuan sendiri,” itulah motto hidup suami Sri Wulan ini. “Kalau saya besar karena orang lain, maka apabila orang tersebut tenggelam, saya pun akan ikut tenggelam,” ujar penulis yang menyukai gaya cerita yang kalem ini.

Advertisement

Jujur sangat menyukai karya Putu Wijaya dan Arswendo Atmowiloto, sampai-sampai ia pernah meniru habis gaya mereka. Namun, lambat laun ia bisa menemukan gaya sendiri.

Setelah berhasil menyelesaikan kuliahnya di IKJ, pria berperawakan pendek dan berkulit putih ini sempat bekerja magang di Art Departement Gramedia Film untuk film Badai Pasti Berlalu pada tahun 1984. Kemudian menjadi asisten sutradara hingga tahun 1992.

Dalam proses kreatif penulisan cerpennya, ayah dari Faiz Awanda ini mengaku melakukannya dengan berandai-andai. Ide cerpen yang berjudul Kado Istimewa yang dimuat dalam antologi Cerita Pendek Pilihan Kompas 1991 yang kemudian diadaptasi jadi skenario sinetron misalnya, didapatnya dari proses berandai-andai saat pernikahan sepupunya. Ia melihat tumpukan kado di gudang rumah Om-nya di Jakarta. Kebetulan, ibunya yang datang dari Yogya juga membawa sebuah kado.

Padahal sebelumnya, Jujur mengaku sudah melarang sang ibu untuk membawa kado. Karena Jujur yakin, kado dari ibunya akan bernasib sama dengan kado-kado yang lain. Rupanya perkiraan Jujur benar. Kado itu hanya berakhir pada gudang saja. Dari situlah Jujur berandai-andai tentang seorang pejuang datang ke pernikahan veteran juga. Ia membawa kado makanan khas Jawa. Tapi rupanya kado yang ia bawa menumpuk bersama kado-kado di gudang. Hingga akhirnya busuk dan menimbulkan bau.

Darah seni yang mengalir di tubuhnya telah mendorong Jujur untuk lebih menekuni dunia sinematografi. Di dunia itulah Jujur memilih jalan sebagai penulis skenario ketimbang sutradara. Karena ia merasa banyak orang yang berminat menjadi sutradara. Namun hanya sedikit yang tertarik di dunia tulis menulis, terutama menulis skenario. Celah itulah yang dimasuki oleh Jujur untuk menapaki gerbang kesuksesannya di dunia sinema.

Pelan tapi pasti, Jujur pun mulai menapakkan jejaknya di dunia penulisan skenario. Skenario pertamanya, Rini Tomboy, diangkat ke layar lebar. Pada Festival Film Indonesia 1992, film yang dibintangi Cornelia Agatha dan Adjie Massaid ini mendapatkan lima nominasi Piala Citra. Diantaranya untuk Jujur sebagai nominee Penulis Skenario Terbaik. Skenarionya yang lain adalah Tamu dari Jakarta, Jakarta Sunyi Sekali di Malam Hari dan Doa yang Mengancam. Skenario terakhir mendapat predikat skenario terpuji dalam Festival Film Bandung 2008.

Jujur semakin menunjukkan kualitasnya sebagai cerpenis berbakat setelah karyanya yang lain, Parmin, berhasil meraih Piala Vidia untuk bidang teleplay di Festival Sinetron Indonesia 1994.

Dalam menyusun skenario, Jujur mempunyai kiat tersendiri. “Menulis skenario itu tidak bisa hanya mengandalkan keterampilan membuat dialog, karena hasilnya akan membosankan. Menulis skenario harus membayangkan filmnya akan seperti apa, kemudian baru bisa menggambarkannya,” ujar penulis skenario film Petualangan Sherina itu.

Jujur merupakan tipikal penulis yang menyukai kerja di bawah tekanan. Tak jarang ia menulis skenario di tempat syuting. Baginya kondisi tersebut cukup menyenangkan untuk berkarya. Ia juga tak merasa terganggu jika harus menulis di antara lalu-lalang orang-orang. Namun, ia mengakui dirinya tidak akan mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi manakala ia harus menulis sembari mendengarkan musik.

Satu keinginan sederhana, yaitu membuat film-fim yang dapat menghibur orang lain, menjadi alasan Jujur terus berusaha tetap eksis di dunia perfilman, sekaligus menjadi cambuk keberhasilannya.

Di tengah kesibukannya sebagai penulis skenario film televisi dan layar lebar, Jujur juga tidak pernah melupakan keluarganya. Ia misalnya selalu berusaha meluangkan waktu untuk mengantar istrinya ke kantor dan anaknya sekolah. Setelah itu, ia baru kembali melanjutkan aktivitas menulisnya. (cid, red)

TINGGALKAN KOMENTAR

Please enter your comment!
Please enter your name here