Donald Trump Indonesia
Peter F Gontha
[DIREKTORI] Selain dikenal sebagai pengusaha di bidang bisnis properti dan media, namanya juga lekat di dunia hiburan lewat perhelatan jazz kelas dunia, Jakarta International Java Jazz Festival (Java Jazz). Dimulai dari orang gajian, ia lalu merintis usahanya dari bawah. Semasa kuliah, ia pernah bekerja sebagai sopir taksi, pelayan restoran, kelasi hingga pembersih karat kapal.
Kisah perjalanan hidup pria berkepala plontos ini memang begitu berwarna. Pahit manis kehidupan telah dikecapnya. Perjuangan Peter dalam menapaki karirnya layak mendapatkan acungan jempol. Sebelum namanya dikenal khalayak sebagai pengusaha sukses, pria kelahiran Semarang, 4 Mei 1948 ini memulai kariernya dari bawah. “Kalau ingin sukses, kita harus mulai dari bawah,” kata Peter.
Peter Gontha merupakan sosok pekerja keras, pintar, ulet, ceplas-ceplos dan bersahahat. Jika banyak pengusaha yang sukses hanya dengan meneruskan tahta orangtua, Peter termasuk segelintir profesional yang sukses menjadi pengusaha dengan merintis dari bawah. “Saya seorang pekerja profesional yang digaji dan kemudian banyak mendirikan perusahaan besar,” kata mantan pemilik harian The Indonesia Observer dan Mandiri.com ini tanpa bermaksud menyombongkan diri.
Ia pernah bekerja sebagai awak kapal pesiar Holland-American Line yang berpusat di Belanda dan rutenya trans-Atlantik. Nasib baik mulai menghampirinya ketika ia berkesempatan untuk belajar akuntansi di Praehap Institute Belanda berkat beasiswa dari Shell. Semasa kuliah, sebagai orang rantau, Peter bekerja keras untuk membiayai hidupnya tanpa harus membebani kedua orangtuanya. Oleh karena itu, berbagai pekerjaan pun dilakoninya mulai dari sopir taksi, pelayan restoran, kelasi, hingga menjadi pembersih karat kapal. Setelah itu, ia mulai meniti karir di Citibank New York hingga akhirnya menjadi Vice President American Express Bank untuk Asia.
Mungkin tak ada seorang pun yang menyangka, mantan sopir taksi itu kini menjelma menjadi pengusaha sukses. Berbagai perusahaan telah didirikannya, mulai dari perusahaan properti seperti: Plaza Indonesia Realty (The Grand Hyatt Jakarta), Bali Intercontinental Resort, hingga perusahaan penyiaran seperti Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Surya Citra Televisi (SCTV), dan Indovision.
Di media penyiaran, Peter merupakan penggagas program berita yang kala itu hanya didominasi oleh televisi pemerintah, TVRI. Memang pada masa pemerintahan Orde Baru, TV swasta tidak bisa sembarangan menayangkan berita beserta liputannya. Sementara di sisi lain, kebutuhan masyarakat akan informasi kian tak terbendung. Atas dasar itu, ia lantas menyusun program berita pertama di RCTI dengan tajuk Seputar Jakarta, dengan muatan berita seputar masalah kecelakaan dan kejadian kriminal. Baru kemudian pada tahun 1991, ia membuat acara berita Seputar Indonesia yang masih bertahan hingga kini dan menjadi andalan program berita di RCTI.
Selanjutnya, Peter yang juga salah seorang pendiri stasiun televisi SCTV itu membuat produk acara berita Liputan 6 yang hingga kini juga menjadi andalan SCTV. “Saat itu kita membuat program berita secara hati-hati karena sangat diawasi oleh pemerintah saat itu. Namun, ternyata program berita di RCTI dan SCTV mendapat respons positif dari masyarakat,” ujar pendiri Indonesia Forum ini. Sebagai orang yang berpengalaman di bidang media dan penyiaran, Peter mengaku prihatin dengan program-program di televisi yang hanya menyuguhkan kekerasan, seksualitas, sinetron, serta tayangan berbau mistis yang tidak mendidik.
Pelan tapi pasti, nama Peter F Gontha sebagai pebisnis handal semakin berkibar. Namun demikian, menurut Peter, menjadi entrepreneur kelas menengah itu lebih enak daripada pengusaha kelas tinggi. Karena, semakin banyak karyawan maka ia akan semakin pusing. Pasalnya berhubungan atau bernegosiasi dengan manusia jauh lebih sulit daripada bernegosiasi dengan pipa. Pipa tak bisa bicara. Manusia bisa protes, bisa membantah, dan bisa memberikan pendapat.
Peter bukan sosok pemimpin yang alergi kritikan. Ia akan dengan senang hati menerima kritik dari anak buahnya sejauh itu bersifat membangun. Ia juga tak berat memperhatikan kesejahteraan bawahannya selama dapat memberikan kontribusi yang setimpal kepada perusahaan.
Menurut alumni SMA Kanisius ini, untuk menjadi seorang pebisnis yang sukses, tidak hanya mengandalkan kepintaran akademis. Namun juga harus mau bekerja keras, mempunyai naluri yang peka serta berani mengambil risiko. Selain itu, membangun jaringan lewat pergaulan, mengetahui psikologi orang dan cara orang lain berpikir juga tak kalah pentingnya. Dan yang paling utama adalah bagaimana kita bisa menempatkan diri pada orang yang sedang diajak bernegosiasi agar dapat mengetahui dengan pasti apa yang diinginkan. Untuk dapat bernegosiasi dengan baik ada dua hal yang menurutnya wajib dimiliki oleh seorang negosiator, yakni harus punya track record dan kejujuran.
Nampaknya, jiwa entrepreneurship Peter itu diwarisi dari kedua orangtuanya. Ayahnya adalah seorang profesional yang bekerja di Pertamina sementara sang ibu merupakan suplier di Caltex dan Stanvac, Prabumulih, Sungai Gerong, Pendopo, Sumatera Selatan yang biasa membeli barang di pasar, kemudian dikemas dengan baik, dan dikirim pakai pesawat.
Kiprahnya sebagai seorang pengusaha tak selalu berjalan mulus tanpa hambatan dan masalah. Dampak krisis moneter tahun 1998 juga turut mempengaruhi laju usahanya. Peter yang kala itu mendirikan Indovision, nyatanya mengalami kegagalan karena saat itu ia mengambil pinjaman dalam bentuk dollar. Tak ayal nilai tukar dollar yang terus mengalami kenaikan berimbas pada usahanya.
Tapi bermodalkan mental yang telah ditempa dengan berbagai pengalaman, Peter berusaha menghadapi setiap cobaan dengan tegar. Baginya yang terpenting adalah berani mencoba. Jika di tengah perjalanan terjadi kesalahan, hal itu menurutnya dapat diperbaiki dengan lebih baik. Ia juga tidak takut melawan arus dan mempertahankan idenya selama ia yakin itu benar.
Peter selalu optimis dan berusaha melakukan yang terbaik dalam menjalani hidupnya. Begitu pula terhadap para pesaingnya, ia menghadapinya secara ksatria. Intinya, saya harus bekerja keras, cerdik, dan berani mengambil risiko,” ujar mantan komisaris Bank Andromeda itu.
Menurutnya, kesuksesan seorang pemimpin juga ditentukan oleh perencanaan, penentuan prioritas serta kedispilinan waktu. Waktu adalah “majikan” bagi kesempatan yang sama untuk semuanya. Sepenggal kalimat itulah yang menjadi motivasinya untuk terus bekerja tanpa menyia-nyiakan waktu. “Seorang pemimpin harus mengerti bahwa satu jam yang disia-siakan adalah menyia-nyiakan kesempatan besar. Ibu saya pernah mengatakan, dan itu tak akan saya lupakan, bahwa kita mempunyai kesempatan sama untuk mencapai cita-cita kita. Ingat, bahwa hari, jam, dan detik terus berjalan. Setiap manusia memiliki waktu, jam, menit, dan detik yang sama setiap hari,” katanya.
Kerja keras yang dilakukannya bukan semata-mata karena alasan materi. Suami Purnama itu mengaku dirinya bukan tipe orang yang hanya mengejar uang. “Saya seorang yang menilai uang sebagai hiburan, dan menikmati hidup itu menjadi tantangan utama. Saya nggak pernah berpikir untuk mengerjakan sesuatu karena nilai uangnya,” ujar Peter berfilosofi.
Selain pengusaha, sosok ayah dua anak itu juga berkecimpung di dunia hiburan tanah air. Embel-embel selebriti mulai melekat padanya setelah penampilannya sebagai ‘bos’ di acara reality show The Apprentice Indonesia. Berkat acara itu pula, julukan “Donald Trump Indonesia” melekat pada putra pasangan V Willem Gontha dan Alice ini.
Dalam The Apprentice Indonesia, Peter F Gontha didaulat untuk menjadi CEO karena dianggap sosok seorang businessman yang mempunyai kredibilitas tinggi dan mempunyai gaya hidup yang sesuai dengan kesuksesan yang telah diraihnya.
Pada pertengahan tahun 1990-an, Peter juga sempat mendapat julukan sebagai “Rupert Murdoch Muda Indonesia” karena kiprahnya yang malang melintang di bisnis media di Indonesia saat itu.
Selain itu, sebagai seorang pecinta musik jazz, ia menggelar pentas musik terbesar di Indonesia, Jakarta International Java Jazz Festival (Java Jazz). Namun dengan nada merendah, Peter mengaku hanya bertindak sebagai konseptor sedangkan yang menjalankan, menyukseskan serta bertanggung jawab secara operasional ataupun finansial adalah putri bungsunya, Dewi Gontha.
Dari segi materi, kesuksesan Java Jazz tentu mendatangkan pundi-pundi rupiah yang tak sedikit, namun bagi Peter semua itu tak ada artinya jika dibandingkan dengan kesenangannya melihat penggemar musik jazz menikmati suguhan musik kelas dunia.
Peter memang sudah sejak lama jatuh cinta pada musik khususnya jazz. Sejak usia delapan tahun, alunan musik Jazz sudah akrab di telinganya. Tak heran, Peter kecil memang tumbuh di lingkungan pecinta musik yang seringkali diidentikan dengan musik kalangan atas itu. Ayah kandungnya, Wim Gontha, adalah pendiri dan pemimpin big band di perusahaan minyak Shell di Surabaya. Band tersebut beranggotakan nama-nama yang tak asing lagi di kancah musik jazz tanah air, seperti Bubi Chen, Jack Lesmana, dan Maryono. Menurut Peter, “Jazz itu ekspresi yang bebas, bukan seperti musik klasik yang sudah tertata. Jazz itu kejujuran berekspresi”.
Bagi pengagum pengusaha Warren Buffet dan Ciputra ini, musik adalah obat mujarab. “Saat susah, senang, patah hati, jatuh cinta, dan sebagainya, semuanya selalu menjadikan musik sebagai pelarian. Musik juga bisa digunakan untuk berbagai acara. Musik adalah bahasa universal yang diterima siapa pun tanpa halangan dan music is very important to me,” urainya.
Peter berharap, suatu saat ada universitas-konservatorium yang dapat melahirkan musisi kelas dunia. Karena, bagi ayah dari Francois dan Dewi ini, bakat saja tak cukup namun juga perlu ditunjang pendidikan musik yang komprehensif. e-ti | muli, red