Haryadi Baskoro: Pena, Budaya, dan Kemanusiaan

 
0
114
Dr. Haryadi Baskoro Menanam Pohon Jati Emas di Al-Zaytun
Dr. Haryadi Baskoro Menanam Pohon Jati Emas di Tep Jalan Remontada, Ma'had Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat, 24 Agustus 2024

Dengan pena sebagai alat perjuangan, Haryadi Baskoro tak hanya merangkai cerita tentang sejarah dan kebudayaan Yogyakarta, tetapi juga menyuarakan isu-isu kemanusiaan yang sering kali terlupakan. Dari buku-buku biografi hingga karya tentang anak-anak penderita kanker, Haryadi Baskoro menggunakan kekuatan tulisan untuk menggerakkan perubahan, menjembatani masa lalu dan masa kini, serta menginspirasi orang lain untuk melihat lebih dalam pada nilai-nilai kemanusiaan dan pelayanan sosial.

Penulis: Mangatur L. Paniroy

Wartawan TokohIndonesia.com berkesempatan melakukan wawancara dengan Dr. Haryadi Baskoro, M.A., M.Hum. pada perayaan ulang tahun ke-25 Al-Zaytun, yang berlangsung pada Sabtu, 24 Agustus 2024. Wawancara dimulai sekitar pukul 21.00 di Restoran Wisma Tamu Al-Ishlah, ketika suasana mulai tenang dan dentingan sendok garpu sudah tak terdengar lagi.

Dr. Haryadi Baskoro kemudian memperkenalkan dirinya sebagai seorang penulis asal Yogyakarta, kota yang kaya akan sejarah dan budaya. Konsentrasi Dr. Haryadi Baskoro dalam menulis buku-buku tentang kebudayaan dan sejarah lokal Yogyakarta mencerminkan kecintaannya pada kota yang memiliki status sebagai Daerah Istimewa ini. Di samping karyanya, ia juga terlibat aktif dalam forum Ketahanan dan Pembangunan Nasional, sebuah wadah yang menghimpun ilmuwan dari berbagai bidang untuk memikirkan solusi bagi kemajuan bangsa.

Dr. Haryadi Baskoro berbagi cerita tentang perjalanan penulisannya yang dimulai dari pengaruh ayahnya, Pak Sudomo Sunaryo, yang juga seorang penulis. Selama 30 tahun, ayahnya menulis pidato untuk Sultan Hamengkubwono IX, Gubernur pertama Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari situ, Haryadi terinspirasi untuk meneruskan jejak ayahnya, meskipun ia memilih fokus pada bidang kebudayaan dan kemanusiaan.

Menjadi penulis bagi Dr. Haryadi Baskoro bukan hanya profesi, tetapi panggilan hidup. Ia melihat menulis sebagai salah satu bentuk pelayanan untuk membantu sesama. “Pelayanan bisa dilakukan melalui banyak cara, salah satunya lewat karya tulis,” ujarnya. Baginya, tulisan dapat menjadi alat untuk mengangkat suara-suara yang terpinggirkan dan daerah-daerah yang kurang diperhatikan. Melalui buku-bukunya, Dr. Haryadi Baskoro berusaha mengangkat isu-isu penting, seperti perjuangan Yogyakarta dalam mendapatkan undang-undang keistimewaannya, yang ia tulis sebagai bagian dari upaya memperjuangkan keadilan bagi kota kelahirannya.

Salah satu karya yang ia banggakan adalah buku tentang anak-anak penderita kanker. Dalam buku ini, Dr. Haryadi Baskoro bekerja sama dengan Yayasan Kanker Anak Indonesia (YKAI) dan Lions Club, serta melibatkan penggerak kegiatan batik. Buku tersebut mengisahkan perjuangan berat anak-anak yang menderita kanker, dengan harapan bisa menarik perhatian dan bantuan dari berbagai pihak. “Mereka sudah menderita secara fisik dan juga secara ekonomi karena biaya pengobatan yang mahal. Dengan buku ini, saya berharap bisa menggerakkan hati para donatur,” jelas Dr. Haryadi Baskoro. Usahanya tidak sia-sia, karena setelah peluncuran buku tersebut, banyak donatur yang tergerak untuk membantu anak-anak tersebut.

Selain menulis buku tentang isu-isu kemanusiaan, Dr. Haryadi Baskoro juga aktif menulis biografi. Menurutnya, biografi adalah salah satu cara untuk mendukung seseorang atau tokoh dalam menyampaikan pesan, visi, dan pemikirannya kepada dunia. Ia tidak hanya menulis biografi tokoh-tokoh terkenal, tetapi juga sosok-sosok yang mungkin kurang dikenal namun memiliki kontribusi besar. Salah satu biografi yang ia tulis adalah tentang Helmy Sungkar, seorang penggerak olahraga otomotif di Indonesia.

Ketertarikannya pada biografi dan kebudayaan mencerminkan kecintaannya pada aspek-aspek humaniora. Bagi Dr. Haryadi Baskoro, menulis adalah sebuah cara untuk menjaga dan merawat nilai-nilai kemanusiaan dan kebudayaan, dua hal yang menjadi fokus utamanya dalam berkarya. Dengan latar belakang keluarga yang juga penulis, ia merasa terpanggil untuk melanjutkan warisan ini, tidak hanya sebagai profesi, tetapi sebagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. (atur/TokohIndonesia.com)

Tim Reportase TokohIndonesia.com: Mangatur L. Paniroy (Koordinator), Yenita Tangdialla, Rigson Harianto, Rukmana Fadli, Wiratno

Advertisement

***

TokohIndonesia.com mewawancarai Dr. Haryadi Baskoro
TokohIndonesia.com mewawancarai Dr. Haryadi Baskoro di restoran Wisma Tamu Al-Ishlah, Ma’had Al-Zaytun, Sabtu, 24 Agustus 2024

Transkrip wawancara dengan Dr. Haryadi Baskoro, M.A., M.Hum.

[TokohIndonesia.com]
Ya, kami dari Tokoh Indonesia, Pak. Selamat malam. Ini perjumpaan kita perdana juga di momen ulang tahun ke-25 AL-Zaytun. Ya, mungkin Bapak bisa perkenalkan nama, profesi. Profil dulu, singkat Bapak. Silakan.

[Haryadi Baskoro]
Ya, saya Haryadi Baskoro. Asal dari Jogja. Saya penulis. Saya menulis buku-buku tentang kebudayaan, sejarah lokal. Terutama konsentrasi di Yogyakarta ya. Di Yogyakarta karena Yogyakarta ini merupakan daerah istimewa.

Jadi, saya menulis buku-buku tentang itu. Saya bersama Prof. Djagal Wiseso Marseno, membuat forum Ketahanan dan Pembangunan Nasional. Jadi, ini forum yang menggalang jejaring ilmuwan-ilmuwan dari berbagai bidang untuk memikirkan bersama bangsa ini.

Ya, kira-kira begitulah kegiatan saya.

[TokohIndonesia.com]
Tadi kan sempat jumpa juga dengan Pemred kita, Pak Robin Simanullang.

[Haryadi Baskoro]
Oh, iya.

[TokohIndonesia.com]
Tukeran buku juga.

[Haryadi Baskoro]
Ya, terima kasih Pak Robin.

[TokohIndonesia.com]
Terus, sempat juga sudah kami baca sekilas sebenarnya buku yang Bapak tulis, Sang Pengarang.

Kami baca, dari orang tua sendiri sudah suka menulis buku ya. Saya baca Bapak juga sudah menulis 30 buku. Itu gimana Bapak?

[Haryadi Baskoro]
Iya, ayah saya itu seorang penulis juga. Jadi, ayah saya itu penulis pidato Gubernur Pertama D.I.Y. Daerah Istimewa Yogyakarta ya. Jadi, Gubernur Pertama D.I.Y. itu Raja Yogyakarta yang dulu Sultan Hamengkubwono IX. Nah, Bapak saya itu namanya Pak Sudomo Sunaryo itu penulis pidatonya selama 30 tahun. Jadi, ya dari situ sebetulnya saya terinspirasi untuk saya ikut jadi penulis. Cuma bidang saya di bidang kebudayaan, di bidang pembangunan.

Seperti itu.

[TokohIndonesia.com]
Kemudian di situ kan sebagai penulis itu karena panggilan hidup pelayanan gitu ya. Mungkin perlu dijelaskan lebih jauh maksudnya seperti apa itu?

[Haryadi Baskoro]
Ya, pelayanan karena sebetulnya pelayanan itu kan berbicara ikut menolong orang, membantu orang. Orang bisa menolong orang, bisa membawa kebaikan lewat berbagai cara. Cara yang saya bisa lewat karya tulis.

Misalnya, ada orang-orang yang sedang dipinggirkan. Kita kan perlu mengangkat mereka. Caranya saya menulis tentang orang-orang itu.

Ada daerah yang pembangunannya agak terbelakang. Kita bisa angkat itu lewat buku-buku. Sama seperti dulu, Yogyakarta itu sekian lama itu belum mendapatkan undang-undang khusus tentang keistimewaannya.

Sehingga saya ikut memperjuangkannya supaya Yogyakarta mendapatkan undang-undang itu dengan cara saya menulis buku-buku tentang hal itu. Nah, itu contoh. Nah, itu yang saya sebut pelayanan.

[TokohIndonesia.com]
Itu kan di bagian dari pelayanan. Berarti lebih banyak ke humaniora juga ya? Budaya, humaniora.

[Haryadi Baskoro]
Ya, pelayanan itu kan bicara tentang orang-orang ya. Contoh nih, yang buku saya yang terbaru itu saya menulis tentang anak-anak yang menderita. Anak-anak yang sakit kanker.

Saya menulis buku-buku yang mengangkat kehidupan mereka. Kerjasama dengan Nyayasan Kanker Anak Indonesia, YKAI. Juga dengan Lions Club.

Juga dengan para penggerak kegiatan batik. Nah, saya membuat buku-buku tentang itu sebetulnya tujuannya untuk mengangkat mereka. Kan anak-anak berjuang kanker itu kan berat ya.

Mereka udah sakit, biaya mahal. Nah, dengan buku itu ternyata Alhamdulillah, Puji Tuhan ada beberapa yang jadi terbeban. Mereka kan jadi tahu, ada anak yang begini.

Bayangkan di Jogja saja, pernah dalam satu bulan itu ada delapan anak sakit kanker yang wafat. Jadi, kita bisa lihat, penderitaan itu berat. Tapi orang kalau nggak tahu penderitaan itu, ya gimana bisa menolong.

Nah, melalui tulisan itu saya mengangkat, oh ada anak yang harus diperjuangkan nih. Ya, Puji Tuhan Alhamdulillah kemarin setelah buku saya launching itu ada banyak donatur yang membantu anak-anak itu.

[TokohIndonesia.com]
Itu contoh ya. Bapak menulis-nulis biografi juga ya?

[Haryadi Baskoro]
Ya, saya menulis salah satu pelayanan ya. Pelayanan saya adalah mengangkat sebetulnya tidak hanya tokoh yang terkenal ya, tapi orang yang sebetulnya jadi biografi itu kan macam-macam bentuknya. Ada biografi yang mengekspos sejarah hidup.

Ada biografi yang mengekspos pemikiran seseorang. Ada biografi yang menjelaskan tentang karya seseorang. Nah, itu jadi tapi intinya sebagai penulis biografi, saya itu ingin mendukung orang atau tokoh untuk dia bisa menyampaikan pesannya.

Bisa menyampaikan ide-nya.

[TokohIndonesia.com]
Visinya.

[Haryadi Baskoro]
Pengalamannya. Jadi seperti itu. Misalnya saya punya pengalaman itu saya menulis buku biografi dulu ada tokoh otomotif senior namanya Pak Helmy Sungkar.

Saya menulis buku tentang pengalaman dia sebagai penggerak kegiatan olahraga otomotif.

[TokohIndonesia.com]
Jadi multi dimensi Bapak nulisnya ya?

[Haryadi Baskoro]
Ketertarikan saya, kenapa biografi? Karena itu humaniora kan? Kemanusiaan. Kebudayaan. Dua hal itu. Kemudian juga di teologi juga ya, di keagamaan. Lintas agama tapi.

[TokohIndonesia.com]
Jadi Bapak udah besar di lingkungan penulis?

[Haryadi Baskoro]
Ya, Bapak saya penulis.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini