Keteladanan Pintu Keberhasilan

Herris B. Simandjuntak
 
0
299
Herris B Simandjuntak
Herris B Simandjuntak | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Semenjak menjadi CEO PT.Asuransi Jiwasraya tahun 2001 lalu, Herris B. Simanjuntak bertekad menjadikan Jiwasraya sebagai perusahaan asuransi jiwa komersial terbesar di Indonesia, serta menjadi pemain yang tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga menjadi pemain di tingkat regional Asia Pasifik. Sebagai agen perubahan dia menekankan dua hal penting yaitu menjadi teladan dan menerapkan prinsip good corporate governance di Jiwasraya.

Simanjuntak, kelahiran Pematang Siantar, 9 Januari 1950, ini dalam setiap mengawali kepemimpinannya selalu dengan cara memberi keteladanan. Menurutnya, jika ingin sukses memimpin suatu perusahaan harus memberi keteladanan dan menerapkan prinsip good corporate governance. Tanpa keteladanan, menurutnya, perubahan apa pun yang dilakukan tidak akan berdampak besar bagi perusahaan. Prinsip itu jugalah yang dipegangnya ketika dipercaya memimpin PT. Asuransi Jiwasraya, perusahaan asuransi milik negara (BUMN) yang mempunyai aset Rp 2,5 triliun itu.

“Pada akhirnya yang terpenting adalah keteladanan. Kita ngomong ke sana ke mari, kalau kita tidak bisa memberi keteladanan yang baik, jangan mimpi berhasil. Jadi sebenarnya memimpin perusahaan tidak ruwet-ruwet banget, asal kita bisa memberikan keteladanan, dan melakukan good corporate governance, maka sebagai Chief Executive Officer (CEO) bisa berhasil,” tuturnya.

Berbagai cara diusahakannya untuk memajukan perusahaan yang telah berusia 140 tahun itu. Berbicara di hadapan publik, juga dijadikannya sebagai ajang promosi gratis untuk perusahaan. Menurutnya, setidaknya dengan cara itu dia bisa mengangkat citra perusahaan sebagai perusahaan profesional. Dengan tujuan itu pula, maka dia sangat rajin menjadi pembicara publik. Bahkan kepada anak buahnya, ia juga mewanti-wanti agar mengambil setiap kesempatan menjadi pembicara, yang tentu saja untuk urusan asuransi.

“Saya bilang ke teman-teman di daerah, kalau ada seminar di universitas dan diminta bicara, kalian maju, jangan pikirkan honornya. Itu nanti akan menjadikan citra, bahwa perusahaan ini merupakan perusahaan profesional,” tuturnya.

Lagi-lagi demi menciptakan citra Jiwasraya sebagai perusahaan yang terbuka, transparan dan profesional, alumni Universitas Krisnadwipayana Jakarta ini juga paling gampang dihubungi, khususnya wartawan. Di mana pun dia berada, entah di luar kota atau di luar negeri, kalau ada wartawan menghubungi via telepon tak bakal ditolaknya. Sehingga banyak tulisan dan hasil wawancaranya menghiasi beberapa media. Dan uniknya, tulisan-tulisan tersebut dijadikannya sebagai media promosi bagi agen-agen Jiwasraya dan ternyata sangat membantu meyakinkan calon nasabah. “Mereka bahkan meminta saya agar sering menulis di media,” katanya menambahkan.

Bagi pria yang pernah kuliah di Akademi Usaha Perikanan Jakarta, ini dunia asuransi bukan dunia baru lagi. Sejak tahun 1977, dia sudah meniti karier di PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), kemudian tahun 1993-1995 sudah dipercaya menjabat Kepala Divisi Reasuransi, dan tahun 1995-1996 menjadi Kepala Divisi Klaim. Selanjutnya ia ditunjuk menjadi Managing Director PT Asuransi Allianz Utama Indonesia (1996-2001) mewakili Jasindo yang juga memiliki saham 40 persen di perusahaan tersebut. Dan terakhir sempat menduduki posisi teratas di PT Asuransi Jasindo tersebut yakni sebagai Direktur Utama selama enam bulan sebelum kemudian dipercaya memimpin PT Asuransi Jiwasraya perusahaan asuransi yang telah berusia 140 tahun itu.

Pengalaman-pengalaman selama berkarier di asuransi tersebut khususnya di PT Asuransi Alianz Utama Indonesia, perusahaan asuransi patungan itu, dia mengaku banyak belajar terutama dalam penerapan prinsip good corporate governance, yang menjadi modalnya dalam memimpin Jiwasraya.

Herris yang mendapat beasiswa pendidikan di Glasgow Caledonian Univesity, Department of Banking and Insurance, Glasgow, Skotlandia ini mengaku bahwa ketika baru saja memimpin Jiwasraya tahun 2001 silam, ia merasa diwarisi sejumlah beban berat. Sebagaimana juga merupakan beban yang dialami BUMN pada umumnya, Jiwasraya tak luput dari citra yang kurang sedap, dimana disebutkan bahwa BUMN itu lamban, SDM banyak tetapi kualitasnya rendah, birokratis dan juga sering diasosiasikan sebagai lahan KKN, pencitraan yang sedikit banyak berpengaruh terhadap citra Jiwasraya.

Demikian juga mengenai citra asuransi pada umumnya yang memang kurang begitu bagus sehingga masih belum dipercaya masyarakat. Sering disebutkan bahwa asuransi pada umumnya, ‘manis di depan pahit di belakang’, pengurusan klaim yang susah, proses yang berbelit-belit, kurang ada jaminan, dan pelayanan yang tidak memuaskan. Itu semua merupakan beberapa citra negatif di bidang asuransi.

Advertisement

“Kalau seseorang masuk menjadi CEO di BUMN, yang pertama dihadapi adalah masalah image BUMN. Citra BUMN itu banyak jeleknya, meskipun kita sudah melakukan perubahan tetapi orang masih menduga-duga, ah BUMN. Tetapi apa boleh buat, itu sudah merupakan beban kita. Kemudian kita menghadapi tantangan kedua yaitu citra asuransi juga tidak bagus-bagus banget,” ujarnya.

Pria yang juga Dosen pada Sekolah Tinggi Manajemen Asuransi Trisakti ini mengaku beban lain yang dihadapinya selain citra BUMN dan perusahaan asuransi umumnya adalah menyangkut citra perusahaan Jiwasraya sendiri. Hasil sebuah survei kecil-kecilan menyebutkan, asuransi Jiwasraya cocoknya untuk orang tua, logonya terkesan kuno dan kaku, birokratis, kerjanya lambat, dan kurang dikenal.

“Jadi ketika ditunjuk pemerintah menjadi CEO Jiwasraya, saya menghadapi tiga image ini. Citra BUMN yang kurang baik, citra industri asuransi yang kebanyakan negatifnya dan citra terhadap Jiwasraya sendiri,” lanjutnya.

Tetapi tantangan sebenarnya baginya adalah kecenderungan market share dari Jiwasraya yang menurun tiap tahunnya, meskipun dari segi pendapatan premi meningkat 10-15 persen. Penurunan market share ini terjadi dipengaruhi kenaikan rata-rata pertumbuhan industri asuransi yang naik 25-30 persen per tahunnya. Pertumbuhan yang membuat persaingan merebut pasar menjadi sangat ketat.

Khusus untuk asuransi jiwa, Jiwasraya masih berada di urutan tiga besar dari 61 perusahaan asuransi yang meraih pendapatan premi tertinggi. Tetapi perusahaan asuransi lain terutama perusahaan asuransi patungan terus membuntuti dan menempel ketat posisi Jiwasraya tersebut. Menurutnya, jika ingin tetap bersaing dengan perusahaan lain, tidak ada jalan lain kecuali melakukan perubahan.

Dan yang menjadi tantangan menurutnya adalah, bagaimana mengangkat citra Jiwasraya agar makin membaik, produktivitas meningkat dan bisa mengejar market share Jiwasraya agar tumbuh minimun sebesar rata-rata pertumbuhan industri. “Kita melihat sebenarnya pesaing terdekat kita adalah swasta asing (joint venture). Sedangkan, kalau yang lokal masih bisa kita tandingi,” katanya.

Menyadari peta dan iklim industri asuransi jiwa saat ini dan mendatang sudah jauh berbeda maka pembenahan citra perusahaan merupakan keharusan. Jiwasraya bertekad menjadi perusahaan asuransi jiwa komersial terbesar di Indonesia, serta menjadi pemain tidak hanya di pasar domestik, tetapi juga menjadi pemain di tingkat regional Asia Pasifik. Inilah visi Jiwasraya sekaligus visi Simanjuntak yang akan dipertajam.

Menurut penyandang gelar Magister Manajemen dari Prasetya Mulya Business School ini, upaya masuk pasar regional itu telah mulai dirintis. Tapi sementara masih menunggu perangkat pendukung seperti perbankan. Nantinya, mungkin di Timor Leste dulu yang pertama dibuka, kemudian Kuching, Serawak dan Papua Nugini. Setelah semua itu berjalan bagus, selanjutnya baru ekspansi lebih jauh. “Intinya, Jiwasraya ingin berubah menjadi pemain global,” tuturnya.

Mendengar pencitraan Jiwasraya yang disebutkan cocoknya untuk orang tua, tidak dikenal dan terkesan kaku dan kuno maka diapun melakukan terobosan dengan mengganti logo perusahaan menjadi logo yang memberi kesan modern dan dinamik. Melalui perubahan tersebut, diharapkan timbul kesan menarik, optimisme dan perubahan di bidang pelayanan di semua jajaran.

Di bidang target pasar, Jiwasraya juga mulai memperluas. Kalau sebelumnya ‘captive market’ Jiwasraya adalah instansi pemerintah seperti Pemerintah Daerah, DPRD, Bank-bank Pembangunan Daerah, BUMN, dan BUMD, kini akan diperluas supaya bisa mencakup segmen usia 25-45 tahun.

“Diharapkan dengan perubahan identitas perusahaan, kita akan menjadi perusahaan asuransi jiwa yang profesional. Ke depan, kita juga tidak terlalu mengunggul-unggulkan bahwa Jiwasraya merupakan perusahaan asuransi jiwa milik negara. Kita hanya mau tonjolkan bahwa Jiwasraya merupakan perusahaan asuransi jiwa yang profesional, kuat, dikenal dan dipercaya masyarakat,” ungkapnya.

Untuk mewujudkan dan mencapai visi tersebut, Ketua Bidang Litbang Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (AAMAI), ini sudah menyiapkan strategi dengan apa yang dinamakannya 3 P (Product, Process dan People).

Soal produk, Jiwasraya harus terus menciptakan produk-produk yang kompetitif dengan mempunyai nilai yang tinggi. Belum lama ini Jiwasraya telah mengeluarkan produk unit link (kombinasi antara asuransi dan investasi) yang dinamakan JS Link. Respons pasar luar biasa terhadap produk ini, bahkan saat ‘soft launching’ saja sudah Rp 1,1 miliar premi masuk. Dalam waktu dekat Jiwasraya juga akan mengeluarkan produk bancansurance kerja sama dengan sejumlah bank. Selain itu akan dikeluarkan juga health insurance yang lebih kompetitif.

Sedangkan proses bisnis seperti mulai dari permintaan penutupan asuransi, penerbitan polis, pembayaran premi, penyelesaian klaim, perpanjangan polis dan yang lainnya, akan dilakukan secara efisien. Jiwasraya bahkan telah menggunakan sistem online XL Indo (untuk pertanggungan perorangan) dengan 17 kantor-kantor regional dan 70 kantor cabang. Untuk keperluan ini investasi yang telah dikeluarkan mencapai Rp 6 miliar. “Kita bisa menjadi pelopor teknologi informasi di asuransi jiwa. Sejauh ini belum ada perusahaan asuransi yang menggunakan teknologi sejenis ini,” ujarnya.

Di samping itu, Jiwasraya juga mengembangkan GL Indo, sistem online untuk pertanggungan kumpulan, yang selesai pertengahan 2003. Kemudian dilanjutkan dengan mengembangkan mengembangkan PL Indo, untuk pertanggungan pensiun.

People, diartikan sebagai SDM yang berkualitas. Selain pendidikan dan latihan untuk karyawan, Jiwasraya juga meningkatkan kesejahteraan yang cukup signifikan bagi karyawannya. “Bagi karyawan kan yang penting itu, kalau kita ngomong perubahan-perubahan segala macam, kalau income-nya tidak naik, mereka akan bilang ngomong doang nih,” kata Herris.

Wakil Ketua Bidang Pengembangan Industri Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) ini mengatakan bahwa ketiga strategi tersebut bisa sukses dijalankan kalau prinsip-prinsip good corporate governance seperti transparansi, fairness dan tanggung jawab bisa diterapkan di Jiwasraya. Lebih penting lagi adalah keteladanan dari pemimpinnya. Tanpa itu, jangan bermimpi perubahan-perubahan yang dilakukan akan berhasil.

“Misalkan kalau rapat dimulai jam sembilan, ya… bosnya sebelum jam itu harus sudah datang, tidak harus menunggu. Kalau dulu budayanya biasanya telat. Kalau rapat mulai pukul sembilan, bosnya datang pukul sembilan lewat atau pukul sepuluh. Sekarang harus on time, anak buah sudah lengkap atau belum rapat dimulai. Akhirnya yang berikutnya, anak buah tidak ada yang terlambat, takut. Juga kalau tidak ingin ada KKN, maka pemimpinnya jangan KKN,” katanya.

Penggemar olahraga golf ini merasa perubahan manajemen yang dilakukan di Jiwasraya sudah mulai terasa efeknya, meski secara kuantitatif belum terlihat. Tetapi dalam jangka panjang 3-4 tahun mendatang, perubahan tersebut akan menjadikan Jiwasraya sebagai perusahaan yang kuat dan profesional.

Mengenai kinerja Jiwasraya, sampai akhir tahun 2002 terlihat terus meningkat setiap tahunnya. Akhir Desember 2002, perusahaan ini mempunyai Risk Based Capital (semacam rasio kecukupan modal di bank) yang lumayan tinggi 109,51 persen atau melebihi ketentuan minimum yang ditentukan pemerintah sebesar 75 persen. Bahkan ketentuan minimum tahun 2003 sebesar 100 persen pun telah terlampaui. “Memang RBC kita disetel tidak perlu terlalu tinggi. Kalau terlalu tinggi itu malah modalnya banyak yang tidak jalan (idle),” ungkapnya menanggapi peningkatan RBC tersebut.

Demikian juga perolehan Jiwasraya dari premi terus meningkat tiap tahunnya. Jika pada tahun 2001 premi yang bisa diraih Rp 908,715 miliar, maka pada tahun 2002 melambung menjadi Rp 955,001 miliar. Melihat perkembangan tersebut maka untuk tahun 2003, Jiwasraya berani membuat target fantastis sebesar Rp 1,4 triliun.

Dalam hal investasi, Jiwasraya masih dominan menginvest dalam bentuk deposito. Dari total investasinya sebesar Rp 2,25 triliun pada tahun 2003 misalnya, sekitar 40-50 persen masih berupa deposito, 20 persen di obligasi, sekitar 15 persen di properti, dan sisanya ada di reksadana, pinjaman pemegang polis dan saham.

“Problemnya di asuransi jiwa sekarang, ‘kan idealnya kalau kita punya kewajiban jangka panjang maka investasinya juga jangka panjang. Tetapi di Indonesia, instrumen investasinya terbatas, sehingga kebanyakan liability kita panjang tetapi kita investasikan dalam jangka pendek”. Ucap pria peraih kualifikasi profesional, Associate of the Chartered Insurance Institute (ACII), London (1989), Ahli Asuransi Kerugian, Asosiasi Ahli Manajemen Asuransi Indonesia (1996), dan Chartered Insurer, the Chartered Insurance Institute, London, (1997) ini menjelaskan perihal investasi tersebut. TI

Data Singkat
Herris B Simandjuntak, Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya, 2001 / Keteladanan Pintu Keberhasilan | Direktori | Dosen, direktur, asuransi

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini