Menjunjung Tinggi Integritas
Bigman Sirait
[DIREKTORI] Bagi Bigman Sirait, menjadi pendeta tidak hanya dituntut pandai berkhotbah. Tetapi juga tekun menjaga keselarasan antara kata dan perbuatan. Panggilan pelayanannya pun sederhana yakni di jalur pengajaran dan pendidikan Kristen dengan mengisi apa yang kosong, melengkapi yang kurang dan membangunkan yang jatuh, hingga titik darah penghabisan.
Bigman Fredore Leonard Sirait, itulah nama yang diberikan oleh orang tuanya. Sang ayah yang berprofesi sebagai tentara dikenal flamboyan atau suka bergaya. Posturnya tinggi besar dan keren. Itulah sebabnya, Bigman berpikir bahwa namanya itu mungkin diberikan orang tuanya karena mengikuti tren pemberian nama kebarat-baratan kepada anak saat itu alias buat gaya-gayaan. Maka bermunculanlah nama seperti Hotman, Bernard, dan sebagainya. Sebenarnya, dalam bahasa Jerman, ada nama ‘Bergman’ yang artinya orang yang hidup di pegunungan. Tapi entah kenapa, dibuat menjadi Big Man atau Bigman, yang artinya laki-laki besar. Dengan nada bercanda, Bigman malah bersyukur bagian namanya yang lain yaitu ‘Fredore Leonard’ tidak pernah terangkat ke permukaan karena takut dianggap sok kebarat-baratan. Bahkan pada akte lahir dan ijazah pun yang tercantum cuma nama ‘Bigman Sirait’. Meski demikian, Bigman tetap menyadari bahwa nama yang diberikan orang tua pasti ada makna dan harapan di dalamnya.
Di tengah kekalutannya itu, hati Bigman menjerit tatkala mendapati dirinya tidak mampu menyenangkan hati ketiga anaknya yang saat itu masih kecil-kecil. “Kami pergi ke sebuah restoran burger cuma untuk main bola karena tidak punya uang dan demi penghematan, anak-anak saya suruh makan dulu di rumah. Padahal waktu saya kerja, itu uang receh tapi saat itu terasa besar sekali jadi harus kami siasati,” katanya mengenang.
Bigman Sirait melewati masa kecilnya di Pematang Siantar. Setamat dari sekolah dasar, Bigman melanjutkan pendidikan SMP di Jakarta. Ia kemudian meneruskan ke STM jurusan mesin. Sebagaimana pelajar STM pada umumnya, Bigman juga suka ikut berbuat nakal. Kendati demikian, Bigman yang terlahir dalam keluarga taat beribadah tetap rajin ke gereja. Hingga pada tahun 1981, Bigman memutuskan untuk bertobat dan sungguh-sungguh mengikut Tuhan. Tidak tanggung-tanggung, bapak tiga anak ini langsung mengambil pelayanan sebagai guru sekolah minggu di gereja tempatnya bernaung, Bala Keselamatan di Kramat, Jakarta. Sebagai orang yang kasar dan tak bisa ramah pada anak-anak sebagaimana yang saya alami ketika masih anak-anak dikasari oleh yang lebih tua, melayani di sekolah minggu sungguh sebuah realita yang tak pernah terbayangkan,” ceritanya kepada wartawan TokohIndonesia.com. Bahkan dalam pelayanan anak-anak itu, Bigman dipertemukan Tuhan dengan Greta Mulyati DS yang resmi menjadi istrinya pada 3 Oktober 1987.
Kendati telah aktif sebagai guru sekolah minggu, pria yang suka bicara nyerocos ini masih limbung soal identitas diri. Setamat STM, Bigman bekerja di sebuah perusahaan farmasi milik Amerika. Tak berapa lama kemudian, Bigman bergabung di sebuah anak perusahaan milik Astra Group pada divisi marketing. Karena dianggap cukup berprestasi dalam bekerja, maka Bigman terpilih oleh perusahaannya untuk mengikuti training ke Singapura selama beberapa tahun. Hingga kemudian ia juga diutus untuk mengikuti program ke Jepang. Namun karena resesi ekonomi tengah mengguncang dunia maka ia pun batal ke negeri Sakura. Tak cuma itu saja, perusahaan tempatnya bekerja pun ikut kena imbasnya hingga terjadi PHK secara besar-besaran kecuali Bigman yang tetap dipertahankan.
Di saat krisis ekonomi melanda Indonesia, Bigman malah sedang berada di puncak karir. Gajinya sekitar 2,5 juta/bulan di tahun 1987. Tapi di saat itulah ia justru tengah bergumul antara memilih pekerjaannya atau pelayanan. “Cuma panggilan tadi makin kuat sehingga saya putuskan untuk sekolah teologi di Malang dan meninggalkan pekerjaan,” ujarnya mantap.
Sayang, harapannya untuk menjadi hamba Tuhan harus pupus di tengah jalan karena Bigman gagal dalam tes. Ia sempat tak percaya dan diliputi rasa malu saat mengetahui bahwa ia gagal ujian. Ironisnya, anak remaja yang dibimbingnya justru lolos masuk. Bigman yang bingung mau bekerja apa akhirnya memutuskan untuk menjadi wiraswastawan di bidang alat-alat berat, suku cadang dan pemeliharaan. Usahanya yang didirikan di sekitar Jawa Barat itu berkembang cukup pesat.
Namun di tengah menikmati hasil kerja kerasnya, hati Bigman kembali gelisah dan ingin mencoba lagi untuk mendaftar sekolah Teologia. Pada tahun 1995, atas anjuran para seniornya, Bigman memutuskan untuk mengikuti ujian saringan masuk sekolah Teologia. Dan kali ini ia berhasil lulus ujian. “Begitu diterima, saya tidak mikir 2-3 kali lagi, usaha langsung saya lepas,” katanya.
Di tengah keyakinannya untuk menuntut ilmu teologi dengan menanggalkan usahanya yang tengah berkibar, pada tahun 1996, Bigman diperhadapkan dengan persoalan serius. Sang mama divonis dokter menderita gagal ginjal. Sebagai anak sulung, Bigman merasa bertanggung jawab untuk turut membantu memberikan pengobatan yang terbaik kepada sang mama. Krisis ekonomi yang sedang menghantam Indonesia saat itu ikut mempengaruhi keuangan Bigman dalam membiayai pengobatan penyakit ibundanya yang harus cuci darah 2-3 kali seminggu. Demi pengobatan tersebut, semua harta benda yang dimiliki Bigman, berupa mobil, rumah dan deposito habis terkuras.
Selama 2 tahun sang mama bergelut dengan penyakitnya. Tahun 1998 menjadi puncak krisis dalam ber-Tuhan pada diri Bigman. “Saya sudah meninggalkan pekerjaan, uang dan lain sebagainya tapi kenapa Tuhan tidak jaga saya,” tanya Bigman saat itu. Kondisi tersebut ikut mempengaruhinya dalam hal berdoa, dimana pada 3 bulan pertama, ia dilingkupi perasaan dilematis antara harus bergantung kepada Sang Pencipta atau berpaling dari-Nya, sebab doa yang dipanjatkannya terasa begitu hambar.
Di tengah kekalutannya itu, hati Bigman menjerit tatkala mendapati dirinya tidak mampu menyenangkan hati ketiga anaknya yang saat itu masih kecil-kecil. “Kami pergi ke sebuah restoran burger cuma untuk main bola karena tidak punya uang dan demi penghematan, anak-anak saya suruh makan dulu di rumah. Padahal waktu saya kerja, itu uang receh tapi saat itu terasa besar sekali jadi harus kami siasati,” katanya mengenang.
Tidak lama kemudian sang mama dipanggil Tuhan namun kesulitan seolah belum menjauh dari kehidupan Bigman. Pada tahun 1999, dokter memvonis bahwa klep jantungnya bermasalah dan harus segera dioperasi. Sebagai pribadi yang menganut pola hidup sehat, tentu saja vonis dokter tersebut terasa mengada-ngada. Demi membuktikan vonis dokter itu, Bigman melakukan medical checkup ke empat rumah sakit sekaligus dan semua hasilnya sama bahwa Bigman harus segera dioperasi.
Saat itu, Bigman telah melakukan pelayanan ke berbagai daerah dan salah satunya adalah Batam. Teman-teman Bigman yang mengetahui dirinya tengah sakit menyarankan agar jantungnya segera dioperasi di Singapura. Kota Singa itu dipilih sebab letaknya tak jauh dari Batam. Namun, sebelum operasi dilakukan, Bigman harus menyetor deposit ke rumah sakit sebesar 75 juta rupiah dari total biaya operasi sebesar 99 juta rupiah.
Karena keterbatasan dana maka istri Bigman, Greta Mulyati DS, meminjam uang ke kantor sebagai jaminan deposito. Kesusahan yang dialami Bigman membuat teman-temannya tak tinggal diam. Mereka bahu membahu dalam soal pendanaan hingga akhirnya dana operasi yang dibutuhkan lebih dari cukup. Tak cuma itu saja, selama berada di Singapura, Bigman dan istrinya bisa tinggal dengan nyaman di sebuah apartemen milik salah satu sahabat baik mereka.
Setelah operasi, Bigman kembali ke Tanah Air. Ia sangat terkejut saat mendapati tabungannya berisi sejumlah uang yang sangat besar. Usut punya usut, semua itu hasil pemberian para sahabatnya. Ia pun mampu membeli kendaraan khusus untuk operasionalnya sehari-hari walaupun mobil tersebut jauh lebih sederhana dari kendaraan sebelumnya. Bigman bersyukur bisa ditolong Tuhan lewat sahabat-sahabatnya.
Pada tahun 2000, Pemimpin Umum Tabloid Kristiani Reformata ini resmi ditabiskan sebagai pendeta. Ada tiga gereja yang mengajak Bigman untuk bergabung namun pilihannya jatuh pada sebuah gereja dengan jemaat yang kehidupannya rata-rata di bawah garis kemiskinan. Di tengah-tengah aktivitasnya melayani jemaat di situ, Bigman terkejut saat mendapati ada penggelapan sejumlah uang dalam gereja tersebut. “Saya kecewa setengah mati karena ketidakjujuran finansial akhirnya bikin saya mundur. Uang orang kaya saja jangan sampai kita tipu apalagi ini, pantang bagi saya mengambil haknya orang miskin,” tegas Bigman.
Bagi Bigman, tak ada kompromi saat bicara soal ‘penilepan’ uang. Menurutnya, hidup baik-baik dan rendah hati akhirnya akan menjadi sia-sia jika tak memiliki sifat jujur. Dari peristiwa itu, Bigman sempat diliputi rasa dilematis antara ingin meneruskan pelayanan atau menyudahinya. Tapi untunglah, lewat sebuah perenungan yang panjang akhirnya Bigman memilih untuk tetap bekerja di ladang Tuhan bahkan ia tak ingin sebatas dalam pelayanan mimbar semata melainkan bisa menjangkau daerah yang tak tersentuh oleh pendidikan dan masih didera kemiskinan, contohnya Kalimantan. “Bagi saya, kesalahan besar jika ada gereja tapi tetap ada kemiskinan dan kebodohan. Buat apa gereja hadir,” tegas Bigman.
Berangkat dari kondisi tersebut, Bigman bersama rekan-rekan pelayanannya mendirikan yayasan MIKA (MIsi Kita BersamA) yang bergerak untuk misi pendidikan Kristen unggulan di pedesaan. Selain mendirikan Sekolah Kristen Makedonia (SKM) tingkat PAUD, SDK, SLTPK dan SMUK, di desa Amboyo Inti, Plasma II, Ngabang, Kalimantan Barat, terdapat pula taman bacaan di Tubangraeng (belakangan menjadi PAUD) dan Sosok di Kalimantan Barat. Bigman melirik kawasan Kalimantan karena pengembangan pendidikannya masih rendah.
Sesuai dengan misi yang dicanangkan dan dengan dana yang terbatas, Ketua Sinode dan gembala sidang Gereja Reformasi Indonesia (GRI) Antiokhia Jakarta ini hanya mampu membangun 1 kelas tiap tahunnya. Saat memulai misinya, Bigman menghadapi kendala karena masyarakat Amboyo Inti belum memahami pentingnya pendidikan.
Menurut pengakuan Bigman, anak-anak mereka lebih memilih untuk menyadap karet yang bisa menghasilkan uang daripada sekolah. Maka saat pembukaan kelas pertama yang mendaftar hanya 6 orang padahal tersedia bangku sebanyak 26 orang. Ironisnya, anak-anak yang mendapat peringkat satu hingga lima sehingga berhak mendapat beasiswa nyatanya memiliki kemampuan menulis dan membaca yang sangat rendah.
Meski ruang kelas masih sedikit namun kerja keras dan kesungguhan untuk mendidik anak-anak yang dimulai dari tingkat SMA itu membuahkan hasil lewat kelulusan mereka. Para orang tua yang lain menjadi terdorong untuk mendaftarkan anak-anaknya sekolah. Karena kondisi pendaftar yang membludak maka lahan untuk membangun sekolah diperluas hingga 1 hektar. Dana didapat dari berbagai donatur dan salah satunya berasal dari Singapura.
Bigman berusaha memasukkan pengajar-pengajar berkualitas dan calon siswa harus mengikuti beberapa tes masuk seperti psikotes, tes akademis, tes umum, dan percakapan. Dalam proses belajar, kurikulum yang digunakan adalah melihat pelajaran apa yang paling penting misalnya saja matematika, fisika, biologi dan lain sebagainya. Alasannya agar tidak membebani si anak.
Selain mengajarkan ilmu pengetahuan yang dianggap perlu dan dibutuhkan sesuai dengan perkembangan jaman, anak-anak juga diajarkan tentang kejujuran. Setiap hari Sabtu selalu diadakan Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) dan setiap paginya para siswa diharuskan melakukan ‘saat teduh’. “Jadi kita punya motto Berilmu tinggi, beriman teguh, karakter teruji. Jadi memang aspek itu bukan sekadar slogan semata tetapi kita aplikasikan dalam kesehariannya,” papar Bigman.
Aplikasi yang ia maksud tersebut pernah terjadi pada salah satu anak muridnya yang gagal lulus dari Ujian Nasional (UN) gara-gara tidak mau ikut mencontek seperti yang lainnya. Tindakan tersebut langsung mendapat pujian dari Bigman. “Saya bangga bahwa ia jujur dan sangat respect dengan apa yang dilakukannya. Kejujuran itu nilainya lebih tinggi karena kalau kebodohan itu bisa diatasi dari belajar sedangkan kalau jujur adalah hal yang susah, makanya sekolah kami dikenal sebagai sekolah idealis,” kata Bigman. Ia mengaku sangat prihatin terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Contohnya saja soal Ujian Nasional dengan standar nilai yang dirasa kurang masuk akal. Padahal, soal pendidikan di Indonesia belumlah merata dan terdapat kesenjangan antara pulau Jawa dan kawasan Indonesia Timur.
Hal itu bisa dilihat dari sarana dan prasana maupun kualitas dari para pengajarnya. Belum lagi kasus kebocoran UN yang masih sering terjadi. Seperti kasus seorang anak dari Jawa Timur yang jujur malah dimusuhi dan terusir dari kampungnya. Pendidikan itu sederhana, yang dibutuhkan hanya masalah kejujuran, itu yang paling dasar dan berikanlah yang menjadi hak anak untuk belajar,” kata Bigman yang menambahkan kalau dunia pendidikan bangsa ini telah bernuansa politis dan akan sulit maju jika semuanya berbau politis.
Tak terasa sekolah itu telah berdiri di atas lahan seluas 12 hektar dan telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas termasuk 55 staf pengajar yang berkualitas, perpustakaan, bis sekolah, 1 mobil box sampai guest house juga tersedia. Sepanjang 10 tahun ajaran (2002-2012), SKM telah meluluskan 308 siswa, dan 77,25% melanjutkan ke Perguruan Tinggi, dibiayai oleh Yayasan, Beasiswa Pemda, dan biaya sendiri.
Tak cuma menyediakan tempat menuntut ilmu saja, di lokasi yang sama juga didirikan taman bacaan khusus bagi pendidikan anak usia dini serta balai kesehatan. Bagi para kaum wanita disediakan gedung BLK (Balai Latihan Kerja) yang rencananya akan dibangun konveksi untuk kegiatan jahit menjahit serta meningkatkan bidang pertanian. Daerah tersebut diharapkan bisa memenuhi kebutuhan sendiri sekaligus mengurangi tingkat pengangguran sehingga memiliki harga diri dan bisa jadi kebanggaan.
Berkembangnya sekolah itu tidak membuat Bigman memegahkan diri. Ia mengaku hidupnya menjadi lebih berarti karena bisa melakukan hal lain selain pelayanan di atas mimbar. Agar pelayanannya lebih maksimal, Bigman mengurangi jadwal khotbah dan berkonsentrasi membuka kelas Pendalaman Alkitab (PA) dan pelatihan-pelatihan, serta perluasan pengabaran Injil melalui Reformata yang terdiri dari tabloid dan media online dan siaran di dua stasiun tv dan 39 radio di seluruh Indonesia. “Jadi saya tidak mengejar berapa uang yang kita dapat tapi saya sudah mendapat upah kepuasan karena banyak tahu bagi saya adalah berkat dan hikmat yang Tuhan kasih itu lebih dari cukup,” ungkap Bigman.
Pengajar di Hagai Institut ini pun berharap dari situ setiap orang mendapat perspektif teologi yang kuat sehingga dapat mengubah mindset (cara berpikir) mereka, di sisi lain ia pun memiliki kerinduan agar melahirkan generasi penerus dan pemimpin yang berkualitas. Menurut Bigman, konsep penting dalam leadership adalah menjadi teladan dan bukan banyak berkotbah. Pemimpin juga harus berani berkorban dan pelopor untuk tampil di depan. “Makanya menjadi model melakukan apa yang kita khotbahkan, itu pelayanan yang sebetulnya, bukan khotbah itu sendiri,” kata Bigman.
Hal itu ia contohkan seperti taat dalam membayar pajak dan anti membeli barang-barang bajakan misalnya DVD atau VCD bajakan yang diterapkan di dalam keluarganya. “Jadi bagaimana saya berkotbah jika semua itu saya langgar? Saya berkotbah jujur tapi listrik nyolong? Kan tidak mungkin. Buat saya integritas itu penting sehingga menjadi mudah untuk berbicara dan memberikan ketenangan dan kenyamanan. Apakah kamu menjadi pendeta yang disegani orang dan dipercaya, itu penting dan sangat berharga sekali,” tegasnya.
Dalam menjaga integritas, Bigman tak hanya tegas dan disiplin pada dirinya sendiri melainkan juga diberlakukan kepada tiga anaknya melalui pola didik yang merdeka tapi terarah. Alasannya tiap anak itu memiliki keunikannya masing-masing. Di sisi lain, Bigman tidak bisa memungkiri bahwa mendidik anak tidaklah mudah hingga terkadang perselisihan tak bisa dihindari. Bigman mengaku bahwa ia terbilang keras terhadap anak-anaknya. Saat anak-anaknya masih kecil, salah satu pola didiknya adalah dengan menyabet jika melakukan kesalahan. Bigman yakin saat mereka nanti menjadi orangtua akan mengerti kenapa ia melakukan hal itu. Namun saat anak-anaknya bertambah besar, Bigman sadar kalau ia harus merekonstruksi sikap dan hidupnya.
Selain itu, dalam perjalanan hidupnya, Bigman melihat campur tangan Tuhan lewat pertolongan dari teman dan sahabat-sahabatnya. Itulah sebabnya, Bigman sangat menjunjung arti persahabatan. Bigman mencontohkan, seorang gangster bisa menjadi sosok yang baik karena kualitasnya sebagai sahabat tak perlu diragukan lagi. Gangster itu rela mengosongkan dompetnya demi temannya yang sakit padahal di sisi lain, ada pendeta yang justru lari diam-diam dan tidak membantu.
Salah satu kunci yang dimiliki Bigman dalam mendapatkan banyak sahabat adalah jangan pernah menuntut orang untuk berteman dengan kita. Sebab apabila sikap atau tindakan kita tidak baik maka jangan harap orang lain akan baik dan percaya. Persahabatan adalah menjaga hubungan dan memiliki nilai, integritas, kepercayaan, kesetiaan dan komitmen. “Yang jelas jangan pernah berhitung jika membantu orang lain karena saya percaya bahwa berkat itu datangnya dari Tuhan,” katanya.
Ia pun berharap bisa mengisi apa yang kosong, melengkapi yang kurang dan membangunkan yang jatuh dalam hal melayani Tuhan hingga titik darah penghabisan. “Yang pasti saya dan istri akan banyak mutar dalam segi kegiatan. Saya orang yang paling tidak suka comfort zone, apalagi saya pendeta, sangat berpontensi terjebak ke arah itu,” jelasnya lagi. Bio TokohIndonesia.com | bety, san, atur