Muda, Berkarakter dan Visioner
Dedi Mulyadi
[DIREKTORI] Dedi Mulyadi, SH seorang pemimpin muda usia berkarakter, cerdas, visioner dan teguh pada komitmen. Dia masih tergolong muda (37 tahun) untuk sebuah jabatan yang cukup tinggi, Bupati Kabupaten Purwakarta (2008-2013). Bupati termuda, kelahiran Subang 12 April 1971, ini punya visi membangun Purwakarta menuju digjaya berbasis kearifan lokal.
Sebelumnya, ia menjabat Wakil Bupati Purwakarta, dilantik pada tanggal 13 Maret 2003 mendampingi Drs. Lily Hambali Hasan, M.Si. Dia tercatat sebagai wakil bupati termuda (32 tahun). Ketua DPD Partai Golkar dan mantan anggota DPRD Purwakarta ini punya prinsip, “berpikir cerdas dan bekerja keras.
Selama lima tahun menjabat Wakil Bupati, ia banyak mengunjungi berbagai pelosok Purwakarta serta mendalami tata kelola pemerintahan daerahnya. Pengalaman selama lima tahun itu telah menginspirasinya menetapkan visi pembangunan Purwakarta Berkarakter. (Baca: Wawancara Dedi Mulyadi)
Visi Purwakarta Berkarakter itu dijabarkannya dalam misi: (1) Mengembangkan pembangunan berbasis religi dan kearifan lokal, yang berorientasi pada keunggulan pendidikan, kesehatan, pertanian, industri, perdagangan dan jasa; (2) Mengembangkan infrastruktur wilayah yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan berorientasi pada semangat perubahan kompetisi global; (3) Meningkatkan keutuhan lingkungan baik hulu maupun hilir, fisik maupun sosial; dan (4) Mengembangkan struktur pemerintahan yang efektif, yang berorientasi kepada kepuasan pelayanan publik, mengembangkan potensi kewirausahaan birokrasi yang berorientasi kemakmuran rakyat. (Baca: Visi: Berbasis Kearifan Lokal dan Sembilan Langkah Menuju Digjaya Purwakarta).
Pemimpin Sejak Belia
Dedi memang sudah dilahirkan menjadi pemimpin yang pejuang, berpikir cerdas, gigih dan pekerja keras. Ayahnya, seorang prajurit TNI, meninggal pada usia muda (28 tahun), sehingga ibunya Karsiti harus berjuang keras untuk menyekolahkannya. Masa kecilnya sudah harus dijalani dengan perjuangan hidup, bekerja keras sebagaimana layaknya anak-anak yang hidup di kampung. Mengembala domba dan membantu ibunya menjadi buruh tani di sawah dan ladang para tetangga.
Banyak kenangan yang bernuansa kejuangan pada masa kecilnya. Salah satu yang tak pernah dilupakannya, saat ibunya harus menjual cincin kenangan sunatan Dedi untuk membeli seekor domba untuk diternak. Dedi kecil pun bekerja keras membantu ibunya menernak domba itu hingga berkembang menjadi lebih 40 ekor.
Dedi menempuh sekolah dasar dan SMP swasta di Subang. Sewaktu duduk di bangku SMP, Dedi harus mengayuh sepeda sejauh 10 kilometer. Kemudian, dia melanjut ke SMA Negeri I Purwadadi, Subang, tamat tahun 1990. Saat menempuh pendidikan di SMA itu dia menyambi jadi tukang ojek sepeda motor dan tukang foto keliling.Saat itu, dia juga sudah dikenal sebagai pelajar yang pintar pidato, ceramah dan bermain drama, sehingga dia dijuluki si unil dan si lembe.
Setelah menamatkan SMA, ia melanjutkan pendidikan di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Purnawarman, Purwakarta, meraih gelar sarjana hukum tahun 1999. Jadi pada puncak reformasi, dia baru saja menamatkan kuliah.
Sejak hijrah dan kuliah di Purwakarta, dia sudah giat dalam berbagai organisasi. Aktivis muda ini sudah sangat dikenal dan diperhitungkan berbagai kalangan, baik mahasiswa maupun birokrat dan politikus. Sejak kuliah ia sudah bersentuhan dengan dunia politik. Tahun 1993, Dedi sudah menjadi penulis pidato ketua partai Golkar Purwakarta, almarhum Babisni.
Masalah kepemimpinan sudah digumulinya sejak anak belia. Dedi terbilang amat gemar bergaul dengan berbagai kalangan masyarakat. Berbicara bahkan berpidato di depan orang-orang tua, sudah dilakoninya sejak kelas 6 SD. Dedi, sang pemimpin belia, telah menjadi ketua kelas sejak kelas satu SD.
Bahkan di kalangan anak-anak penggembala kambing, ia menjadi ketua penggembala kambing di kampungnya. Jadi sejak kecil, Dedi sudah terbiasa bagaimana cara mengelola sebuah komunitas dan bagaimana cara berkomunikasi yang baik. Memimpin dan berbicara di hadapan banyak orang tua dan terpelajar bukan hal yang baru baginya.
“Kadang-kadang saya terlalu ke-pede-an. Mungkin karena usia muda, saya merasa apa yang saya sampaikan ini begitu dipahami oleh banyak orang. Padahal orang mungkin tidak paham dan mungkin orang tidak suka dengan apa yang saya sampaikan,” katanya kepada Wartawan Tokoh Indonesia.
Hal itu dikemukakannya tatkala ditanya masalah kepemimpinan. Sebagai seorang muda yang memimpin sebuah kabupaten yang terdiri dari beragam masyarakat mulai dari yang muda sampai yang tua. Tentu banyak yang merasa lebih punya kepemimpinan dari dirinya. Bagaimana caranya untuk tampil dan didengar?
Tatkala masih kanak-kanak, ia sudah didengar, apalagi setelah menjadi bupati! “Nah, saya sekarang itu justru terbalik, saya belajar untuk tidak pede. Karena, sejak kecil saya selalu pede, gitu lho. Nah, saya takut over dosis kepercayaan diri saya. Nah, itu tidak baik. Over confident itu kan tidak baik. Nah, saya sekarang mulai belajar untuk tidak percaya diri,” katanya.
Dedi mengaku, sebagai pemimpin akan selalu menghadapi tantangan. “Ya, tantangan pasti banyak. Setiap pekerjaan pasti ada tantangan. Kepemimpinan saya sangat banyak tantangan. Mungkin di antara bupati di Indonesia ini, saya yang paling sering didemo. Bahkan, ada langganan. Setiap jumat, saya didemo. Didemo, karena ada kerangka pemahaman yang saya sampaikan yang menimbulkan kontroversi. Nah, saya justru belajar dari itu,” katanya.
Beberapa umat Islam, termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) Purwakarta mengecam pernyataannya yang disampaikan pada acara Pengajian Bale Paseban, di Pendopo Purwakarta, Jawa Tengah, pada 7 Agustus 2008, mengenai ayat-ayat kitab suci Al Quran dan alat musik suling. Ia dinilai menyejajarkan kitab suci Al Quran dan alat musik suling.
Menanggapi kecaman ini, Dedi menunjukkan kebersahajaan kepemimpinannya. Dengan jiwa besar, dia mengaku pernyataan yang disampaikan dalam acara Pengajian Bale Paseban tersebut merupakan bagian dari kekhilafan dari lemahnya pemahaman agama yang dimiliki.
“Saya meminta maaf kepada umat Islam di Purwakarta. Itu memang kekhilafan saya. Saya tidak bermaksud menyejajarkan eksistensi Alquran dengan alat musik suling. Itu hanya perbedaan interpretasi dan pemahaman saja. Saya tidak mau berargumen lebih jauh, dan saya tak ingin berdebat,” katanya seperti dikutip KB Antara dan berbagai media.
Untuk itu, dalam perspekif ke depan, kepada Tokoh Indonesia, dia mengatakan merasa perlu harus merubah style. “Belajar untuk tidak percaya diri dengan apa yang diucapkan. Sehingga proses mengkaji setiap ucapan-ucapan itu lebih didahulukan dibandingkan dengan berucap. Karena memang kebiasan saya itu spontan. Pikiran dan ucapan itu hampir bareng,” katanya.
Dedi, memang sosok yang terbuka dan giat di berbagai organisasi sejak muda. Tahun 1994, dia menjabat Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta. Kemudian anggota Senat Mahasiswa STH Purnawarman, Purwakarta, pada periode yang sama. Dia pernah menjabat Wakil Ketua DPC Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI), tahun 1997, Sekretaris PP SPTSK-KSPSI, tahun 1998, Wakil Ketua GM-FKKPI, Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muslim Indonesia, dan Sekretaris KAHMI Purwakarta (semua tahun 2002)
Karir politiknya makin mengorbit pada era reformasi. Tahun 1999 dia terpilih duduk di kursi DPRD Purwakarta dari Partai Golkar dan daerah pemilihan Kecamatan Tegalwaru. Selama lima tahun, ia selalu terpilih menjadi Ketua Komisi E. Dia pun menjabat Wakil Sekretaris Partai Golkar, kemudian menjadi Sekretaris. Sampai akhirnya didaulat secara aklmasi menjadi Ketua DPD Partai Golkar, tahun 2004 sampai sekarang.
Perihal bagaimana jalan ceritanya sampai ia bisa menjadi Ketua DPD partai Golkar (partai besar) dan wakil bupati dalam usia 32 tahun, kemudian jadi bupati dalam usia 37 tahun. Dedi mangakuinya sebagai ketentuan Allah. Dia sendiri merasa semuai itu sebagai faktor perjalanan dan bekerja saja.
Semuanya alamiah. Dia selalu meyakini, apa yang dilakukan, apa yang didapat, dan apa yang diperbuat semuanya tidak lepas dari Allah SWT, yang menentukan segala sesuatu. “Jadi, banyak hidup ini yang tidak terencana dan tidak direncanakan. Satu prinsip saja dalam hidup ini, kerja keras. Ketika orang sudah kerja keras, tidak usah merencanakan sesuatu, karena Allah akan memberikan sesuatu. Ini yang ada dalam diri saya,” katanya.
Dia berkisah bahwa ketika reformasi, banyak orang-orang muda yang loncat meninggalkan Golkar karena dianggap partai orde baru. “Saya malah asyik dengan Golkar. Kenapa? Karena ada sebuah barang yang ditinggalkan oleh banyak orang. Potensi saya jadi pemimpin itu menjadi besar, karena saingannya menjadi sedikit. Dan hal itu memang terjadi,” katanya jujur.
Bagi dia, reformasi itu sebagai berkah. “Karena tanpa reformasi ini, tidak mungkin saya jadi ketua partai. Waktu itu kan tidak mungkin. Sangat sulit saya menjadi anggota DPRD. Apalagi jadi bupati. Tapi dengan reformasi ini, dimungkinkan setiap orang untuk memimpin,” ungkapnya.
Memang, reformasi telah memungkinkan mutiara-mutiara kepemimpinan muncul ke permukaan, tidak lagi mudah terbenam. Dedi mengalami itu. Ketika reformasi, dia menjadi pengurus partai, menjadi sekretaris, menjadi anggota DPR dan wakil bupati sebelum menjadi bupati.
Menjadi wakil bupati apalagi menjadi bupati, semula tak pernah direncanakannya. “Ya, itu sudah menjadi ketentuan Allah, karena segala sesuatunya sangat mendadak. Saya diminta oleh teman-teman waktu itu untuk maju. Dimintanya untuk menjadi bupati tapi saya menolak, karena saya melihat kapasitas diri saya. Kemudian, saya konsisten untuk mendukung Pak Lily waktu itu menjadi bupati, dan saya menjadi wakil,” ungkapnya.
Semula Dedi menjadi tim sukses calon bupati Drs. H. Dedi Mulyadi, Msi. Tetapi dinamika politik yang berkembang memberi peluang kepada Dedi maju sebagai calon wakil bupati untuk mendampingi calon calon bupati Lily Hambali, tahun 2003. Ternyata pasangan tersebut memenangkan pemilihan dengan meraih 25 suara.
Selaku pembantu bupati, Dedi melihat Purwakarta telah berkembang pesat dan masyarakatnya berkembang dinamis dalam tingkat heteroginitas tinggi. Namun dia melihat sisi lain dari perkembangan tersebut, pemerintah daerah harus mampu mengubah pola hidup masyarakat yang instan menjadi alami. Pendekatan kultur budaya harus dicanangkan sebagai roh pembangunan untuk mendongkrak perekonomian pedesaan.
Ketika menjadi wakil bupati, ia tahu wakil bupati itu sedikit pekerjaannya. “Saya tidak pernah mengeluh dengan sedikit pekerjaan atau tidak ada pekerjaan. Saya justru senang punya kesempatan untuk berkeliling,” ujarnya.
Dalam setiap saat bertemu dengan masyarakat, berkomunikasi, berdialog, Dedi berupaya memahami mereka. Dia pun melihat dan mendalami alur birokrasi. “Saya belajar betul selama lima tahun,” katanya.
Dedi pun kemudian ikut pilkada berpasangan dengan Drs Dudung B Supardi, MM, mantan Sekretaris Kabupaten Purwakarta, dengan keyakinan sejak awal bahwa ia akan menang, karena ia berkeyakinan lebih mengenal rakyat dibanding dengan yang lain. “Saya lebih mengenal Purwakarta. Sampai jalan kecilnya saya tahu. Jalan bagusnya, jalan jeleknya saya tahu di sebelah mana. Dengan keyakinan itulah saya maju dan alhamdulillah, saya terpilih. Dan ketika saya terpilih, saya sudah tidak bingung lagi program apa yang akan mau saya kembangkan. Karena selama lima tahun sudah tahu apa yang harus dilakukan,” jelasnya.
Suami Anne Ratna Mustika, mantan mojang Prahyangan, dan ayah dari Maulana Akbar Yudistira dan Ahmad Habibi ini, memang dikenal supel, cerdas, dan merakyat. Ketika menjadi anggota DPRD pun, ia rajin mengunjungi dan rutin Salat Jumat di Tegal Waru, di tengah konstituennya. Banyak waktunya yang dihabiskan dengan rakyat. Bagi dia, figur seorang pemimpin harus merakyat dan jangan ada pembatas.
Menurut Dedi, politisi itu harus membangun karakter dan bersahaja agar apa yang diucapkan dan apa yang melekat dalam tubuhnya menjadi simbol jati dirinya, tanpa bersikap dibuat-buat. Sikap bersahaja dengan sering tampil dengan pakaian tradisional Sunda, hitam-hitam dan “lepas iket” di kepala membuat dirinya semakin dikenal banyak orang. Hal ini sesuai dengan programnya “balik kalembur” dengan konsep kesundaan.
Dukungan Isteri
Seorang pemimpin, keberhasilannya sangat banyak dipengaruhi dari rumah. Titik berangkatnya dari rumah. Kondisi rumah, keluarga, terutaama isteri. Dedi cukup merasa beruntung, berbahagia dan bersyukur karena didukung isteri yang cantik dan baik.
“Alhamdulillah, saya punya istri walaupun masih relatif muda usianya, sangat memahami tentang pekerjaan yang saya miliki. Tidak pencemburu. Kemudian dia tegar ketika menghadapi berbagai tekanan politik yang begitu kuat,” ungkap Dedi Mulyadi meenjelaskan peran isterinya Anne Ratna Mustika, mantan mojang Prahyangan.
Isterinya juga memahami bahwa pemimpin hari ini harus dekat dengan rakyat. “Secara ekonomi, kita tidak boleh lagi sayang terhadap harta benda yang kita miliki. Penghasilan yang kita miliki bukan hanya penghasilan kita, sudah penghasilan banyak orang. Suatu saat harus kita bagi. Jadi sudah terbiasa menerima tamu puluhan orang ke rumah.”
Di bawah asuhan Sang Isteri, anak-anaknya pun tumbuh menjadi anak-anak yang memahami betul pekerjaan bapaknya. Mereka tahu ayahnya seorang politisi, pemimpin di daerahnnya. Kedua anaknya, Maulana Akbar Yudistira dan Ahmad Habibi, juga mengikuti jejak Sang Ayah, menjadi pemimpin di lingkungannya.
Dedi dan isteri mendidik anak-anaknya bersahaja. Mereka memilih lebih sering tinggal di kampung daripada tinggal di rumah dinas. Hal ini sengaja dilakukan agar anak-anaknya jangan tumbuh menjadi eksklusif. “Di rumah dinas, anak saya tumbuh menjadi eksklusif. Dia tidak punya teman, hanya berdua. Saya khawatir kalau dewasa punya kelainan. Sehingga saya bawa lagi ke desa. Anak-anak saya suruh bergaul dengan anak-anak desa. Mancing di pinggir kali, kemudian kemarin itu kan ada pemilihan kepala desa, ada ngubiak balong, anak saya ikut ngubiak balong. Kakinya bengkak-bengkak, saya biarkan. Mereka harus tumbuh menjadi anak yang hebat dalam linkungannya,” jelas Dedi.
Bagaimana ia bisa mendapatkan isteri yang cantik dan menjadi ibu yang baik? Ternyata diperkenalkan Nina Meinawati, yang kini menjabat Kabag Humasnya IPemkab Purwakarta. Pertama kali mereka bertemu di rumah dinas bupati. “Mendapatkannya, ya biasa saja. Memperlihatkan sikap keegoannya, memperlihatkan sikap biasalah. Kalau ingin dapatkan perempuan cantik, kita kan harus kelihatan seperti pandai,” kenangnya seraya tersenyum-senyum.
Dedi mengaku isterinya memang sangat cantik. “Pemimpin itu kan harus punya selera. Saya melihat, presiden itu rata-rata istrinya cantik-cantik. Tidak ada salahnya, saya pun kalau bupati, istrinya cantik. Begitu kan,” katanya.
“Jadi, kalau mendapatkan perempuan cantik kan kita harus percaya diri dan sedikit kita sering berbohong, gitu. Akhirnya dapat. Kalau sudah dapat kemudian isteri kita, tahu kita aslinya kan. Ia menyesal, gimana, sudah jadi isteri, akhirnya diterima apa adanya kan,” ujarnya setengah bercanda.
Dedi mengaku cukup banyak kontribusi isterinya untuk mendorong kepemimpinannya. “Kalau saya tidak punya isteri yang sabar, yang bisa menerima keadaan, yah sudah berantakan. Tapi karena isteri saya selalu menerima, bahkan dari segi sistem, sangat menghormati saya sebagai pemimpin di keluarga. Dan tahu watak keras saya kalau sudah bersikap,” aku Dedi.
Menurut Dedi, isterinya sudah dibiasakan untuk tidak diantar pakai mobil. Sekali-kali naik angkot pergi ke pasar, tidak boleh perintah staf. “Istri saya tidak boleh perintah staf saya. Tidak boleh mencampuri urusan saya sebagai kepala daerah. Tidak bisa isteri saya nitip orang untuk jabatan tertentu,” katanya. Ia mengaku termasuk lelaki yang sangat konvensional, punya sikap sangat primitif sebagai suami. Bukan laki-laki modern seperti kebanyakan orang.
Tapi, akunya, semuanya itu memang didasari sikap isterinya yang juga lebih memilih peran sebagai ibu rumah tangga. Ibunya anak-anak. Seorang ibu yang baik, yang melahirkan dan mengasuh anak-anak yang kuat dan soleh. mti/crs-benhard sihite
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
02 | Visi: Berbasis Kearifan Lokal
Purwakarta Berkarakter, Menuju Digjaya Berbasis Kearifan Lokal. Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, dalam visi Bupati Dedi Mulyadi, SH, dalam proses pembangunannya harus berkarakter menuju digdaya berbasis kearifan lokal. Pengalaman selama lima tahun sebelumnya sebagai Wakil Bupati telah menginspirasinya menetapkan visi pembangunan Purwakarta Berkarakter itu.
Visi Purwakarta Berkarakter itu dijabarkannya dalam misi: (1) Mengembangkan pembangunan berbasis religi dan kearifan lokal, yang berorientasi pada keunggulan pendidikan, kesehatan, pertanian, industri, perdagangan dan jasa; (2) Mengembangkan infrastruktur wilayah yang berbasis nilai-nilai kearifan lokal dan berorientasi pada semangat perubahan kompetisi global; (3) Meningkatkan keutuhan lingkungan baik hulu maupun hilir, fisik maupun sosial; dan (4) Mengembangkan struktur pemerintahan yang efektif, yang berorientasi kepada kepuasan pelayanan publik, mengembangkan potensi kewirausahaan birokrasi yang berorientasi kemakmuran rakyat.
Dengan visi dan misi itu, Bupati Dedi Mulyadi, berkeyakinan akan mengantarkan Kabupaten Purwakarta menuju kedigjayaan dengan berbasis kearifan lokal. Untuk mewujudkan keyakinan itu, ia menetapkan kebijakan strategis yang dirumuskannya dalam Sembilan Langkah Menuju Digjaya Purwakarta. (Baca: Sembilan Langkah Menuju Digjaya Purwakarta).
Dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia dan Berita Indonesia (10/08), Dedi pria kelahiran Subang, 12 April 1971, itu menegaskan prinsipnya selalu mengembangkan sesuatu itu berdasarkan potensi yang dimiliki atau berdasarkan karakter yang dimiliki. Menurutnya, Purwakarta punya beragam karakter. Dari mulai karakter masyarakat industri, karakter sebagai masyarakat pertanian, baik dalam arti sempit maupun dalam arti luas. Termasuk di dalamnya adalah perikanan, perkebunan, kehutanan dan berbagai potensi yang dimiliki. Termasuk potensi-potensi yang bersifat identiti lokal masyarakat. Misalnya, kemampuan untuk membuat gerabah atau keramik, kemampuan untuk membuat makanan yang punya citra rasa Purwakarta.
Kerangka itulah yang ingin ia kembangkan. Karena, menurutnya, tidak ada kekuatan untuk membangun sebuah bangsa kecuali berasal dari kekuatan bangsa itu sendiri. Sementara, kekuatan bangsa ini sebenarnya adalah kekuatan kultur wilayahnya. Kekuatan kultur wilayah yang ditopang oleh kekuatan manusianya. “Sehingga menurut saya, setiap orang harus terintegrasi dengan potensi di sekitarnya,” jelas Dedi.
Walaupun dia menyadari dalam sisi idealisme, hal yang dikemukakannya itu sebenarnya sebuah kerangka berpikir jangka panjang yang tidak mungkin dicapai dalam waktu lima tahun. Tetapi, paling tidak, obsesinya adalah meletakkan kerangka dasar yang kuat.
Dalam kerangka berpikir seperti ini, Dedi Mulyadi, tidak mau terjebak dalam kebiasaan selama ini, ketika memimpin sebuah daerah, kebanyakan ingin membuat yang instan saja dengan berpikir dalam parameter lima tahun atau sepuluh tahun. “Saya tidak. Saya ingin membangun parameter jauh lebih ke depan dengan memanfaatkan waktu yang lima tahun ini membuat fondasi yang kuat tentang Purwakarta. Karena dengan kekuatan itulah kita akan mempunyai daya tahan,” tegasnya.
Lebih jauh Dedi menjelaskan, dalam hidup ini, setiap manusia yang punya integrasi dengan lingkungannya, punya integrasi dengan alamnya, maka dia sangat kebal terhadap penyakit. “Ini yang ada dalam frame berpikir saya tentang pembangunan,” katanya. Jadi, menurutnya, kalau pembangunan bisa mengintegrasikan diri dengan seluruh potensi dirinya maka akan sangat kuat daya tahannya terhadap krisis global.
Dalam kerangka berpikir dan kebijakan strategis seperti itu, Dedi bertekad ingin mengembalikan Purwakarta pada habitatnya, pada karakteristik wilayahnya. Menurutnya, karakteristik wilyah ini yang harus senantiasa dijaga. Jadi pembangunan itu harus berbasis kearifan lokal, berbasis wilayah pedesaan. Menurutnya, memelihara kampung (desa) itu sebenarnya membangun kejayaan bangsa. “Kita hari ini selalu bicara tentang Indonesia, bicara tentang kebangsaan, tetapi kita tidak bicara tentang desa. Sehingga menjadi rapuh. Nah, saya ingin mengembangkan Purwakarta itu berdasarkan potensi dan kearifan lokal itu,” katanya.
Dedi memberi contoh tentang masalah pendidikan yang menjadi salah satu dari sembilan langkah kebijakan yang akan ditempuhnya. Ia ingin memulai dengan membangun sistem pendidikan yang berbasis kearifan lokal. “Sistem pendidikan berbasis kearifan lokal ini diharapkan mampu membangun keunggulan global, karena dengan kearifan lokal itulah keunggulan global itu bisa diwujudkan,” jelasnya.
Ia menyatakan sangat kagum terhadap China yang dalam pergulatan ekonomi, politik dunia dan aspek global yang begitu kuat, mereka muncul dengan integritas dirinya, sehingga China menjadi sebuah negara yang sangat diperhitungkan dengan integritas ke-China-annya. Juga kagum terhadap Iran. Di tengah tekanan dunia internasional yang begitu kuat pada dirinya, dia tumbuh menjadi negara yang mempunyai integritas diri, sehingga menjadi negara yang diperhitungkan.
Walaupun Dedi juga menyadari, tidak selalu mudah untuk menerapkan strategi pembangunan berbasis pedesaan itu. Terkadang idelisme atau kerangka berpikir kebijakan bisa berbanding terbalik dengan realita. Contohnya, ketika jalan-jalan ke desa dibangun hotmix dan aliran listrik masuk, harga tanah di sekitarnya naik, dan rakyat cenderung menjual tanahnya. Sehingga orientasi jalan membangun kekuatan ekonomi rakyat, berbanding terbalik dengan realita. Ketika ada jalan hotmix dan listrik, rakyat sudah tidak punya tanah lagi. Jadi, katanya, pengembangan jalan pedesaan ini, harus diimbangi oleh kesadaran publik, rakyat, terutama soal kepemilikan tanah. Rakyat jangan cepat-cepat menjual tanahnya.
Perihal peningkatan pelayanan kesehatan, selain ia ingin mendekatkan pelayanan dengan membangun Puskesmas di beberapa desa atau wilayah, ia berpikir lebih strategis melakukan pelayanan untuk mencegah orang sakit. “Sehingga dalam prospek kesehatan, ukurannya bukan semakin banyaknya rumah sakit, dan semakin banyak dokter spesialis. Ukuran keberhasilan kesehatan itu adalah semakin kosongnya rumah sakit karena tidak ada orang sakit,” katanya. “Tapi kalau jumlah orang sakit semakin banyak, penyakitnya semakin bertingkat, dokter spesialisnya semakin banyak, kemudian kadar obatnya semakin tinggi. Berarti gagal dunia kesehatan. Makanya menjadi dunia kesakitan,” jelasnya.
Jadi bicara tentang kesehatan, menurutnya, itu bukan bicara tentang Puskesmas atau rtumah sakit saja. Rumah sakit itu bengkel, pengobatan. Puskesmas masih ada pencegahan. “Bicara tentang kesehatan adalah bicara tentang sistem pembangunan yang sehat. Dari mulai sistem tata ruang, sistem tata wilayah, sistem pertanian, sistem peternakan, perikanan, perhubungan, kemudian kebinamargaan, keciptakaryaan, pendidikan, semuanya harus melahirkan sistem yang masyarakatnya di situ sehat,” tegasnya.
Menjawab pertanyaan berkaitan dengan programnya berbasis desa, membangun bangsa dari kampung, seperti apa maunya bangsa ini dalam pikirannya? Mantan Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta, ini menjawab: “Dalam pikiran saya, bangsa Indonesia itu dalam kebhinekatunggalikaan, dalam keragaman, dalam perberdaan. Kampung-kampung harus tumbuh menjadi kekuatan kampung. Punya integritas kebudayaan, punya integritas ekonomi, punya integritas politik, punya integritas pertahanan. Ini yang saya inginkan.”
Ia sendiri ingin menerawang tentang Purwakarta, tentang Jawa Barat, dalam karakter kesundaannya. Karena menurutnya, kalau setiap orang mempertahankan lingkup kampungnya maka Indonesia akan kuat. Kampung kita tidak lagi tercabik-cabik. “Dan kalau saya, ingin melihat keanekaragaman itu, perbedaan itu, orang toleran satu sama lain, saling menghormati dan saling menghargai. Kultur itulah yang ada dalam diri saya,” katanya.
Dalam pemahaman Dedi, kebhinekatunggalikaan itu adalah bagian dari sunatullah yang tidak bisa terbantahkan. “Memang kita diciptakan berbeda. Karena kita diciptakan berbeda, maka kita harus menghormati perbedaan itu,” katanya. mti/crs-benhard sihite
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)
03 | Sembilan Langkah Menuju Digjaya Purwakarta
Sebagai upaya meningkatkan pembangunan di Kabupaten Purwakarta, Bupati Purwakarta telah menetapkan sembilan langkah kebijakan yang akan ditempuh, yaitu:
1. Pendidikan gratis sampai tingkat SLTA bagi masyarakat miskin;
2. Pembebasan biaya pembelian buku sekolah dan pengembangan kurikulum pendidikan baca tulis Al-Quran bagi siswa TK, SD, SLTP dan SLTA yang beragama Islam;
3. Pelayanan KTP, KK dan Akta Kelahiran gratis bagi seluruh masyarakat dengan sistem pelayanan di tingkat desa dan kelurahan
4. Pembangunan Puskesmas rawat inap di seluruh kecamatan (tahap awal pada 6 puskesmas);
5. Peningkatan kesejahteraan guru dan pegawai melalui insentif kehadiran serta peningkatan kesejahteraan kepala desa, aparatur desa, Bamusdes, LPM, Linmas Hansip, Kadus, RT, RW, DKM dan guru ngaji melalui otonomi desa dan kelurahan;
6. Pengembangan dan pelebaran jalan hotmix serta listrik sampai pelosok pedesaan, membuat/mengoptimalkan jalur tembus Cikaobandung-Babakancikao, Kiarapedes-Cibatu, Pasawahan-Pondok Salam, Pasawahan-Purwakarta, Pondoksalam-Bojong, Wanayasa-Pondoksalam, Bojong-Darangdan, Campaka-Cibatu-Bungursari, membuka pintu tol Sawit serta pelebaran jalan Sawit-Wanayasa;
7. Pengembangan air bersih dan irigasi pedesaan secara menyeluruh dan mengoptimalkan Sungai Ciherang untuk irigasi perairan Pondoksalam-Pasawahan, Sungai Cikao untuk irigasi perairan Bojong-Darangdan-Jatiluhur dan sungai Cimunjul untuk irigasi perairan Purwakarta-Babakancikao, Pengembangan irigasi Cilamaya untuk pertanian Kiarapedes-Wanayasa-Cibatu-Campaka-Bungursari serta mengoptimalkan fungsi bendungan Cirata dan Jatiluhur untuk pertanian masyarakat Maniis, Plered, Tegalwaru, Sukatani, Sukasari dan Jatiluhur dengan pola integrasi kehutanan , pengairan, perikanan, pertanian, peternakan dan pariwisata;
8. Pengembangan kawasan terpadu kecamatan Bungursari, pengembagan tata kota dan tata bangunan yang beridentitas Purwakarta, renovasi bangunan tua, pengembangan halaman stasiun, penyempurnaan Situ Buleud, penataan Alun-alun, integrasi bangunan pemerintah serta pemberian perlindungan yang menyeluruh terhadap keberadaan dan kualitas pedagang serta pasar tradisional;
9. Pengembangan investasi dengan menyiapkan tanah untuk industri dengan sistem sewa yang disiapkan oleh pemerintah daerah. mti/crs-benhard sihite