
[DIREKTORI] Ia dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya soal seks dan agama. Namanya langsung tenar sejak karya pertamanya yang berjudul ‘Saman’ terpilih sebagai Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta pada tahun 1998.
Novel ‘Saman’ yang dianggap sebagian kalangan agak ‘liar’ itu dalam waktu tiga tahun terjual kurang lebih 55 ribu eksemplar. Sejak itu, nama Ayu Utami sangat akrab di telinga para pecinta sastra sekaligus menempatkan namanya di deretan atas penulis novel di Tanah Air. Beberapa karya wanita kelahiran Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968 ini selanjutnya menjadi incaran pembaca.
Lima novel yakni Saman, Larung, Si Parasit Lajang, Bilangan Fu, dan Manjali dan Cakrabirawa, yang sudah ditulis sarjana sastra jurusan Sastra Rusia Fakultas Sastra Universitas Indonesia, ini semuanya mendapat apresiasi dari pembaca. Gaya penulisan Ayu yang gamblang, terus terang, terkait isu gender, seks, dan spiritualisme, membuat pembaca selalu menunggu-nunggu karyanya.
Berkat novel ‘Saman’, ia juga mendapat Prince Claus Award 2000 dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag, Belanda yang mempunyai misi mendukung dan memajukan kegiatan di bidang budaya dan pembangunan. Melalui novelnya yang berjudul ‘Bilangan Fu’, ia mendapat penghargaan Khatulistiwa Literary Award pada 2008.
Menurut kritikus sastra dan penyair Sapardi Djoko Damono, ‘Saman’ memamerkan teknik komposisi yang belum pernah dicoba oleh pengarang lain. “Dengan menulis novel, saya merasa bisa memberikan sesuatu untuk pengembangan bahasa Indonesia,” ujar Ayu.
Sebelum namanya terkenal oleh novel-novelnya, putri dari pasangan Johanes Hadi Sutaryo dan Bernadeta Suhartinah ini sebenarnya sudah pernah berkarir sebagai sekretaris di perusahaan pemasok senjata, kemudian sebagai guest public relation di Hotel Arya Duta, dan jurnalis.
Sewaktu mahasiswa, ia pernah terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah Femina, urutan ke sepuluh. Tapi bidang ini menurutnya tidak cocok baginya. “Sebagai model, saya kurang laku. Yang memakai saya cuma Femina dan saya merasa bahwa dunia model bukanlah dunia saya,” ujarnya.
Di dunia jurnalis, ia pernah menjadi wartawati di beberapa media cetak seperti wartawan lepas Matra, wartawan Forum Keadilan, dan wartawan D&R. Ketika menjadi wartawan majalah Matra, ia banyak mendapat kesempatan menulis. “Dalam menulis, saya lebih menekankan kepada bentuk. Jadi, saya harus dekat dengan obyek lain seperti musik, seni rupa, dan lain-lain,” tutur penyuka karya novelis Ahmad Tohari dan penyair Sapardi Djoko Damono ini.
Sebagai wartawan pada era Orde Baru, ia juga terlibat dalam aktivitas perjuangan kebebasan informasi. Bersama teman-temannya, ia mendirikan Aliansi Jurnalis Independen. Organisasi yang berseberangan dengan pemerintah saat itu membuat ia dan temannya kena hukum. Beberapa temannya sempat masuk penjara, sementara ia dipecat dari media tempatnya bekerja.
Tapi sebelum memasuki dunia jurnalis dan lainnya itu, ia mengaku sebelumnya pernah gagal menerbitkan novel. Justru karena itu pulalah ia jadi memilih berprofesi wartawan.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, ia kemudian menulis novel, dan di situlah namanya langsung meroket. Jadi, jika dulu ia gagal jadi novelis kemudian menjadi jurnalis. Belakangan terbalik, gagal menjadi wartawan lalu jadi sastrawan. Namun, diakuinya, dunia jurnalistiklah yang membuat dirinya punya disiplin dan lebih matang, sekaligus membuatnya berhasil jadi novelis.
Ketertarikan Ayu Utami akan cerita kehidupan sebenarnya sudah tampak dalam dirinya sejak anak-anak. Contohnya, sejak masih kecil, ia sudah punya kebiasaan berkhayal sebelum tidur. Seusai menonton televisi misalnya, ia bersama kakaknya Retno sering bercerita di kamar sampai pukul sebelas malam. Ayu mengaku menggemari cerita petualangan seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin.
Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, ia kemudian menulis novel, dan di situlah namanya langsung meroket. Jadi, jika dulu ia gagal jadi novelis kemudian menjadi jurnalis. Belakangan terbalik, gagal menjadi wartawan lalu jadi sastrawan. Namun, diakuinya, dunia jurnalistiklah yang membuat dirinya punya disiplin dan lebih matang, sekaligus membuatnya berhasil jadi novelis.
Namun ketika itu, seperti diakui Ayu, orangtuanya masih kurang mendukung minatnya tersebut. “Orangtua kurang mendukung proses kreatif saya,” kata Ayu. Kalaupun mereka membelikan buku, itu pun buku ensiklopedia, bukan buku sastra. Orangtuanya juga tak setuju ketika Ayu ingin masuk jurusan seni rupa karena menganggap bidang tersebut tidak bisa menunjang hidupnya. Akhirnya, Ayu pun masuk jurusan Sastra Rusia.
Latar belakang Ayu mulai menulis, menurutnya karena sejak kecil memang sudah senang menulis. Kemudian ketika menjadi jurnalis dan novelis, ia mengaku sering sekali menulis karena gelisah atas ketidakadilan yang terjadi di negeri ini. Misalnya ketika menulis novel Saman, ia melihat ketidakadilan ekonomi terhadap petani kecil dan ketidakadilan budaya terhadap perempuan. Sementara latar belakang penulisan Bilangan Fu, ia mengaku karena melihat kekerasan atas nama agama. Jadi, jika dunia ini sudah adil, menurutnya, ia pasti akan senang membikin komik yang lucu-lucu, seperti Tin tin, Lucky Luke, Asterix dan Obelix, atau Doraemon.
Mengenai kiat menulis yang produktif dan berbobot, Ayu kepada respondennya di rubrik Kompas Kita edisi 3 Agustus 2010, menjelaskan tiga kiatnya yakni: Pertama, banyak membaca, karena membaca menurutnya membuat banyak ide. Jadi, jangan narsis dan hanya pengen dibaca. Tapi baca juga orang lain. Kedua, berdisiplin. Jangan hanya menulis kalau ada mood, tapi menulislah tiap hari. Ketiga, jangan takut kalau tulisan kita akan diejek, ditolak, atau dihujat orang. Juga jangan takut kalau terpaksa menulis malam-malam, sendirian.
Untuk mendapatkan ide bahan tulisan, caranya menurut Ayu adalah dengan tertarik kepada orang lain. Menurutnya, kalau narsis, atau kenarsisan, alias terlalu tertarik kepada diri sendiri, kita bisa cepat kehabisan bahan. Namun, kalau tertarik kepada orang lain, mempelajari mereka, membaca mereka, niscaya akan punya banyak sekali bahan tulisan.
Sedangkan mengenai bagaimana semua fantasi tulisannya bisa hadir dalam pikirannya, Ayu mengaku dirinya bisa berfantasi berkat orangtuanya yang tidak pernah melarang atau menyalah-nyalahkan dirinya karena fantasi yang aneh. Menurutnya, setiap anak punya fantasi aneh, tetapi sering kali kemampuan berfantasi itu dimatikan oleh orang dewasa.
Dari novel-novelnya yang sudah diterbitkan, banyak yang memuji tulisan Ayu. Namun, tidak sedikit juga yang menganggapnya terlalu berani. Sebab, tulisannya mendobrak norma dan bicara hal yang masih tabu bagi sebagian besar orang Indonesia. Di novel ‘Saman’ misalnya, Ayu Utami bicara amat terbuka soal seks. Sementara di Bilangan Fu, persoalan yang ingin didobrak Ayu adalah monotheisme dan militerisme yang bahkan sempat membuat beberapa pembaca menduga Ayu seakan mengampanyekan sesuatu yang anti-Tuhan, bahkan hidup tanpa Tuhan.
Namun menjawab dugaan itu, Ayu kepada respondennya di Kompas menjelaskan, bahwa dalam Bilangan Fu itu ia hanya bersikap kritis. Sikap untuk mengajukan pertanyaan dan keraguan dengan tulus, tanpa maksud jahat ataupun kesombongan. Karena itu, dalam novel itu ia mengajukan istilah “spiritualisme kritis”.
Lebih jelas mengenai hal ini ia mengatakan, kita bisa tetap beriman sekalipun kita punya keraguan. Kita tak perlu takut jika kita ragu. Kita bisa tetap menggugat konsep dan dogma agama, sembari menyediakan sebuah ruang di hati untuk adanya misteri Illahi. Dalam “spiritualisme kritis”, yang harus dihilangkan adalah arogansi. Jangan takut untuk menggugat, asal bukan dengan maksud jahat. Jangan takut untuk beriman, asal bukan dengan kesombongan.
Terhadap pertanyaan Klub Buku dan Film SCTV yang ingin mengetahui apakah tulisannya itu merupakan gambaran dari diri Ayu atau ia hanya seorang pencerita yang sedang berkisah tentang orang lain sebagai sebuah fakta kehidupan, Ayu mengatakan, ia bukan anti kemapanan. “Kalau ada yang tidak adil, maka perlu dibicarakan. Dan, pemberontakan bukan tujuan utama saya,” katanya.
Dari kecil, Ayu yang dididik dengan latar agama dan budaya yang kental, mengaku melihat ada banyak ketidakadilan sehingga mengungkapkannya melalui tulisannya. Misalnya, novel Saman yang dianggap mendobrak tabu karena menggunakan kata-kata kotor, menurut Ayu, latar belakang dari novel itu adalah adanya ketidakadilan pada perempuan. Di level bahasa salah satunya. “Sebagai bangsa, kita ingin tampak bermoral tapi melampaui batas, dan justru malah tak adil,” katanya.
Ia mencontohkan moralitas berlebihan itu salah satunya ada di kamus bahasa Indonesia karangan Purwadarminto terbitan era ’70-an. Di situ, orgasme diterjemahkan menjadi kemarahan. Orgi dipaparkan sebagai sebuah pesta keagamaan. “Ini sopan santun yang membuat kita tersesat,” katanya. Ketidakadilan lainnya adalah penggunaan kata pelacur – yang supaya terdengar sopan – diganti dengan kata WTS atau wanita tuna susila. Padahal, menurut Ayu, justru sangat kasar terhadap kaum perempuan.
Ketidakadilan dan moralitas berlebihan itu menurut Ayu sangat mengganggunya. Ketika bisa bikin novel, ia ingin membebaskan bahasa Indonesia dari moralitas berlebihan itu. Sekalian, tentunya menggugat banyaknya ketidakadilan pada perempuan. Pada Bilangan Fu, pendobrakan itu makin luas. Di situ, ia juga menggugat fundamentalisme yang belakangan makin berlebihan.
Sedangkan mengenai tulisan Ayu yang selalu memasukkan persoalan seks yang vulgar, Ayu kembali mengatakan hal itu karena ketidakadilan pada perempuan. Dijelaskannya, buat laki-laki seks terlihat gampang, tapi bagi perempuan, problemnya lebih nyata sehingga harus lebih berani bicara soal seksualitasnya.
Dikatakan, fungsi seks perempuan dan lelaki berbeda. Perempuan bisa hamil meski tidak menikmati seks. Perempuan bisa diperkosa dengan gampang sehingga dia harus tahu organ tubuhnya. Ironisnya, nilai-nilai di masyarakat seringkali membuat perempuan tak tahu dan tidak menguasai tubuhnya. Ada problem biologi dan kultural yang bisa diatasi dengan membuat perempuan lebih berani bicara mengenai tubuhnya.
Namun mengenai lembaga pernikahan, ia mengaku bahwa dirinya juga mempercayai lembaga perkawinan. Menurutnya, pernikahan itu lembaga yang baik dan dibutuhkan untuk melindungi yang lemah, wanita dan anak-anak. Apalagi di negara yang belum melindungi perempuan dan anak-anak. Tapi, itulah menurutnya yang belum ada di Indonesia.
Ditambahkannya, perempuan lemah terutama ketika hamil, melahirkan dan menyusui. Dia harus keluar dari publik untuk sementara waktu sehingga harus dilindungi negara, sehingga perempuan tak punya pilihan selain mencari perlindungan pada keluarga inti dan suami. “Itu batasan pernikahan buat saya,” katanya. Sementara di Skandinavia, perlindungan itu menurutnya sudah diberikan kepada perempuan sebagai individu, tanpa merujuk status menikah atau tidak.
Tentang pilihannya yang belum menikah hingga di usianya yang kepala empat ini, Ayu mengaku tidak ingin menikah. Tapi, itu katanya bukanlah suatu keputusan final. Ia mengatakan, sering menyaksikan wanita yang tidak menikah itu dianggap jahat, syirik, suka omongin orang. Mereka dilecehkan masyarakat, dianggap tidak laku, cerewet, judes, dan sebagainya. Stigma itu membuat perempuan jadi takut jika tidak menikah. Karena ketakutan itu, mereka memilih menikah meskipun dengan lelaki yang suka memukuli mereka. Karena itu, Ayu yang waktu kecil mengaku pernah ingin jadi biarawati dan sangat mengagumi para biarawati, ini mengatakan ingin membuktikan bahwa wanita yang tidak menikah adalah wanita yang sempurna juga.
Berkaitan dengan itu, ia ingin perempuan bebas dari rasa takut itu. Sederhananya, ia ingin menunjukkan bahwa tidak punya suami bukanlah hal yang mengerikan dalam hidup. Ia menyatakan, dirinya ingin semua manusia bebas dari rasa takut. Ia ingin kita berbuat baik bukan karena takut melainkan karena masing-masing kita membutuhkan belas kasih dari manusia lain.
Mengenai keagamaannya, Ayu mengatakan, ia dulu sangat religius. Keluarganya konservatif tapi membebaskan anaknya menikah dengan beda agama, asal tidak dengan komunis. Di usia 20-an awal, Ayu mengaku mulai tak percaya agama. Alasannya, ia menyebut lebih banyak mudaratnya, patriakal, dan terkesan saling memusuhi antaragama. Ketika mahasiswa, ia bahkan memutuskan untuk menjadi seorang Agnostic.
Di usia 20-an akhir, ia mulai melihat agama dengan kacamata baru: sebuah kenyataan peradaban. Bergulat dengan semua itu, yakni agama, ketidakadilan, moralitas berlebihan, akhirnya membuat Ayu diperkirakan “terjebak” untuk selalu menulis tiga tema, yakni: seks, kegilaan, dan agama.
Namun, ia tidak bisa memungkiri kalau bahasa Alkitab sangat berpengaruh pada dirinya. “Meski benci agama pada satu periode, tapi agama sudah batubata dalam diriku,” katanya. Itulah fakta sejarah yang tidak bisa dihilangkan Ayu Utami dalam dirinya.
Di level peradaban, meski berdarah-darah, Ayu tetap tidak bisa memungkiri kalau agama juga membangun peradaban. Baginya, agama adalah energi yang bisa membuat orang mengasihi atau membunuh orang lain. Pembelaan kaum beragama yang mengatakan kesalahan tidak pada agamanya, tapi pada orang yang menafsirkannya, dianggap Ayu sah-sah saja. Hanya saja dia tetap belum mendapat jawaban: Kenapa harus ada agama kalau tidak bisa mentransformasi orang menjadi lebih baik?
Dalam kesehariannya, Ayu menampilkan gaya hidup sederhana. Ketika pembangunan rumahnya pada tahun 2005 misalnya, Ayu membangun dengan sederhana tapi asri dan sehat. Ia memanfaatkan kayu bekas sebisa mungkin. Menurutnya, tujuannya adalah mengurangi penebangan pohon. Ayu juga memanfaatkan keindahan-keindahan alam, seperti bulan. Hal itu maksudnya untuk membangun hiburan kecil di rumahnya. Di puncak genteng, Ayu memasang ayam-ayaman sehingga bulan bisa terlihat dari kamar kerja maupun kamar tidur. eti | muli, red