Obsesi Menembus Peringkat Sepuluh Besar
Angelique Widjaja
[DIREKTORI] Petenis putri penuh harapan, Angelique Widjaja sudah menyabet dua gelar juara dunia junior di dua grand slam yang berbeda. Baru saja dia menggondol sebuah gelar bergengsi yakni juara Prancis Terbuka yang biasa disebut Holland Garros. Prestasi yang ditorehkannya di Negeri Napoleon Bonaparte itu merupakan gelar tertinggi yang pernah diraih petenis wanita Asia. Mahkota itu mengantar Angie menduduki peringkat kedua di nomor tunggal junior. Adapun di nomor ganda, dia menempati posisi ketiga. Tahun lalu (2001) dia merebut gelar juara di Wimbledon, Inggris.
Prestasi petenis dengan tinggi 1,73 meter dan berat 62 kilogram ini pun mulai membuat orang berdecak kagum. Gelar juara tertinggi yang diraihnya adalah ketika menjuarai seri WTA Tour di Bali, yang diikuti para petenis papan atas dunia, September 2001. Angie pun menjadi petenis keenam dunia yang mampu meraih gelar seri WTA, dalam penampilan perdananya di kelompok senior.
Kini mojang Bandung itu mulai berkonsentrasi di ajang senior yang lebih menantang. Modal peringkatnya memang sudah cukup. Dia meraihnya dari turnamen WTA (Asosiasi Tenis Profesional Wanita) Wismilak International di Bali, September tahun lalu. Meski rankingnya saat itu masih 579, dia bisa ikut bermain karena sebagai tuan rumah. Sebagai pemain pupuk bawang, ia berhasil membuat kejutan dengan meraih gelar juara. Gadis yang tak suka berdandan ini langsung melonjak ke peringkat 151 dunia.
Bersamaan dengan prestasinya yang terus mengilap, rezeki pun mengalir ke pundi-pundinya. Setelah dipotong pajak, duit yang telah dikumpulkan Angie tahun 2001 sekitar Rp 280 juta. Tahun 2002 uang yang diperolehnya pasti lebih besar. Tapi gadis yang kurang suka keluyuran ini belum mau membeberkannya.
Ganjalan memang ada. Karena usianya yang belum genap 18 tahun, anak bungsu dari enam bersaudara ini hanya boleh bermain di 13 turnamen senior. Tapi tak mengapa. Akhir April 2002 lalu dia melakukan tur ke Eropa untuk mengikuti sepuluh turnamen. Dari tur ini, ia berhasil mengerek peringkatnya ke posisi 92 dunia.
Dengan prestasi secemerlang itu, wajar jika dia mematok target masuk dalam 20 besar dunia dalam dua-tiga tahun mendatang. Satu-satunya petenis Indonesia yang pernah masuk wilayah elite ini hanyalah Yayuk Basuki, saat usianya sudah 27 tahun, pada 1997.
Bukan sesuatu yang mustahil. Malah pengamat tenis Beni Mailili menilai Angie berpeluang besar menembus sepuluh besar dunia. Selain usianya yang masih muda, kemampuannya komplet. Ia mampu bermain di segala jenis lapangan. ” Setidaknya dia sudah membuktikan sebagai juara di Wimbledon yang lapangan rumput, dan Rolland Garros dengan tanah liatnya,” kata Beni.
Bekal teknis Angie memang sudah lumayan. Selama ini Angie dikenal memiliki pukulan yang menyengat dan back hand dua tangan yang mematikan. Dengan dua senjata inilah ia melumpuhkan lawan-lawannya di ajang junior.
Kendati Angie menyadari bahwa hanya dengan modal itu belum cukup untuk unjuk gigi di ajang senior. Untuk bisa berjaya, ia harus mengasah kemampuan servis dan kecepatannya beraksi di lapangan. “Saya harus menambah latihan otot bagian atas untuk memperbaiki speed dan power,” katanya. Kini setiap hari dia menggenjot latihan fisik selama dua jam. Selain itu, menurut pelatihnya, Deddy Tedjakusuma, petenis berbakat ini harus memperbanyak keikutsertaannya da1am tumamen. “Perlu waktu tiga tahun dari sekarang, dia bisa menjadi juara grand slam,” katanya.
Itu berarti, Angie harus menghabiskan masa remajanya hanya berlatih. Ketika remaja sebayanya disibukkan menghadapi ujian sekolah, Angelique berkonsentrasi menghadapi berbagai turnamen tenis. Ketika rekan-rekannya pergi ke mal untuk sekadar nongkrong atau berkumpul-kumpul, Angie harus pergi ke lapangan untuk berlatih.
Itulah hidup keseharian yang kini harus dilalui dara Bandung kelahiran 12 Desember 1984 itu. Masa remajanya mungkin tak seperti rekan-rekan pada umumnya yang bebas berbuat sekehendak hati. Angie, sebagai petenis yang mulai mencoba menekuni dunia profesional, memiliki jadwal yang ketat dan padat. Latihan fisik dan teknik pukulan pun pastinya telah banyak menyita waktunya.
“Pasti, adalah sedikit perasaan, wah teman-teman seusia saya bisa bebas main atau gimana. Tapi saya pikir, mereka pun kalau melihat saya mungkin punya perasaan yang sama, kok saya tidak bisa begitu,” tutur Angie. “Namanya juga manusia, kita tidak bisa meraih semuanya. Selalu ada yang harus dikorbankan.”
Meski ia menjadi “korban” atas kehilangan masa remajanya karena pilihannya sendiri, Angie selalu mencoba melihatnya dari sisi positif. “Memang saya melewatkan sebagian masa kecil dan masa remaja saya dengan bermain tennis. Tapi itu tidak menjadi soal. Saya enjoy saja kok. Lagian saya orangnya tidak terlalu suka main. Senangnya kumpul sama keluarga. Soalnya saya dekat banget sama kakak-kakak saya. Saya punya lima kakak cowok.”
Kendati harus tampil di berbagai turnamen tenis di mancanegara, Angie tetap ingin bisa menyelesaikan sekolahnya, meski pendidikan formal bukan satu-satunya pilihan untuk menimba ilmu. Sebagai salah satu alternatif, sistem modul ia pakai untuk mengikuti pelajaran di sekolahnya, SMU Taruna Bakti.
Dua tahun lalu dia mengaku masih bingung mau nerusin sekolah atau main tennis. “Tapi, ya setelah mikir-mikir, apalagi tahun lalu prestasi saya bagus, saya lalu putuskan untuk terjun ke tenis. Karena saya nggak mungkin bisa ambil dua-duanya. Tapi, paling nggak, saya ingin lulus SMA lah,” ungkap siswi yang kini duduk di bangku kelas dua.
Angie sudah mengenal dunia tenis sejak berusia 4,5 tahun. Dorongan orang tuannya, Rico dan Hanita, telah mengantar dirinya menjadi salah satu petenis yang diprediksikan bakal melejit tahun ini, seperti yang digambarkan dalam hasil jajak pendapat situs resmi WTA Tour.
Meski mengaku kejenuhan kerap menghinggapinya, namun Angie merasa sudah melangkah jauh. “Kadang-kadang saya memang merasa jenuh juga di tenis. Tapi sudah sampai di sini saya tidak akan mundur lagi. Mungkin nanti kalau sudah berkeluarga.”
Komitmen dan usaha keras memang menjadi modal utama para petenis top dunia.
Bagi Angie komitmen itu mulai ditapakinya. Pengorbanan masa remajanya — yang untuk sebagian orang adalah masa paling indah – menjadi bukti nyata. Kini, target petenis yang ditangani pelatih Deddy Tedjamukti itu adalah masuk 10 besar dunia. Mengenai obsesi untuk menembus 10 besar, dia bertekad akan berusaha dan yakin akan menggapainya. e-ti-dari Tempo dan berbagai sumber