Perjuangkan Kesatuan Gereja
Nus Reimas
[DIREKTORI] Kesatuan gereja sudah menjadi visi dari Pdt. DR. Nus Reimas dalam pelayanannya. Dengan doanya yang sederhana, “Tuhan pakailah aku sehabis-habisnya”, Ketua Umum Persekutuan Gereja dan Lembaga Injili Indonesia (PGLII) ini tampil sebagai tokoh aras nasional di berbagai interdenominasi gereja dan lintas agama yang dikenal luwes merangkul semua kalangan, berintegritas, dan rendah hati.
Tak pernah terlintas dalam pikiran seorang Nus Reimas, jika dirinya akan menjadi seorang hamba Tuhan yang dikenal banyak orang. Jika menilik kehidupannya, Nus hanyalah seorang anak laki-laki yang dibesarkan dari keluarga sederhana di desa terpencil bernama Rerean di Pulau Kei Besar, Maluku. Seperti anak laki-laki pada umumnya, Nus kecil kerap berbuat nakal bersama teman-temannya seperti memasang jerat ayam di kebun orang lalu mengambil ayam orang, mencabut bulu-bulunya, membakarnya di bawah pohon dan dimakan bersama dengan nikmat tanpa ada rasa berdosa.
Kendati nakal tapi Nus dikenal sebagai anak yang cerdas dan mandiri. Pasalnya, menginjak kelas 4 Sekolah Rakyat (SR), ia terpaksa berpisah dari orangtuanya dan tinggal dengan tante dan om-nya. Kebetulan sekolah itu letaknya di pulau Kei Kecil yang berseberangan dengan Rerean. Karena kepintaran dan semangat belajarnya yang tinggi, Nus loncat kelas dan langsung duduk di kelas enam sembari mempersiapkan diri mengikuti ujian akhir. Tak heran, karena prestasinya tersebut, ia menjadi teladan bagi teman-temannya.
Kehidupan Nus jauh dari kemewahan. Namun, ia tak pernah mengganggap itu sebagai suatu kekurangan. Bisa menikmati hidup dengan kasih sayang yang berlimpah, teladan untuk cinta akan Tuhan yang diajarkan kedua orangtuanya, sudah sangat membahagiakannya. Oleh karena itu, pendeta yang gemar guyon ini, telah aktif dalam kegiatan persekutuan sejak duduk di bangku SD.
Terbiasa dengan berbagai kegiatan baik yang bersifat rohani maupun ekstrakurikuler menumbuhkan kecintaan Nus pada dunia organisasi. Apalagi, jiwa kepemimpinannya yang sudah terlihat sejak kecil membuat Nus ditunjuk menjadi ketua sebuah Gerakan Siswa Kristen Indonesia (GSKI) ranting SMP Kristen Tual. Saat kelas 2 SMA, Nus terpilih sebagai sekretaris warga (sebutan untuk OSIS saat itu). Pernah suatu kali siswa siswi tempat Nus bersekolah melakukan long march dengan berjalan kaki sembari berteriak-teriak memprotes kebijakan pemerintah setempat. Demo tersebut terpaksa dihadang polisi dan tentara. Tiba-tiba ada seorang yang berbadan besar, gemuk, dan berwajah sangar dengan pakaian loreng lengkap muncul lalu menghardik mereka, “Asu! Kutembak kamu! Usut punya usut ternyata yang berteriak adalah Komandan Kodim di kota Tual. Dan saya pun baru tahu kalau asu itu artinya anjing,” kenang Nus sembari tertawa.
Setemat SMA, mantan Direktur Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) ini melanjutkan studinya ke perguruan tinggi di Fakultas Teknik Ambon (FTA), kini dikenal sebagai Universitas Pattimura. Alasannya ia mengambil jurusan tersebut agar mampu membuat kapal. Walaupun secara finansial dirasa sangat mustahil, namun Nus sangat percaya bahwa ia terdaftar sebagai mahasiswa kampus tersebut hanya karena kemurahan Tuhan semata.
Di tengah kesibukannya sebagai mahasiswa, Nus tetap menyempatkan diri untuk mengikuti berbagai pelayanan di gereja dengan menjadi pengurus angkatan muda ranting jemaat Pandan Kasturi Protestan Maluku (GPM) di Tantui, Ambon. Tahun 1973, tim dari Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI) datang ke kampus Pattimura. Tiba-tiba Nus dipanggil Pdt. Ais Pormes (Pendiri dan Direktur LPMI) lalu diutus mewakili GPM (Gereja Protestan Maluku) untuk mengikuti pendidikan calon anggota staf LPMI di Great Commision Training Center (GCTC) di Manila, Filipina.
Namun karena kendala dalam bahasa, Nus akhirnya gagal ke Filipina. Tahun 1974, Nus dipanggil ke Jakarta untuk mengikuti Pusat Latihan Amanat Agung (PLAA) semacam GCTC. Dalam proses latihan itu ditekankan tiga aspek yakni pengetahuan Alkitab, keterampilan pelayanan, dan sikap hati yang positif sebagai seorang hamba Tuhan. Cita-citanya untuk menjadi pembuat kapal pupus di tengah jalan. Sebab di tahun yang sama, tepatnya di bulan Desember, Nus resmi menjadi staf LPMI. Di awal pelayanannya di LPMI, ia sempat berpikir ulang mengenai masa depannya di LPMI. Betapa tidak? Semua staf di LPMI tidak ada yang digaji dimana lembaga tersebut memang tidak menyediakan gaji atau tunjangan apapun.
Hal itu memang sulit dipahami namun Nus sudah membangun sebuah prinsip dalam dirinya. “Kalau saya bekerja dari gaji, saya akan menghitung-hitung. Jika saya bekerja 24 jam dan teman saya bekerja 5 jam maka saya akan menghitung-hitung, saya harusnya dapat segini. Pikiran seperti itu bisa membuat teman lain sakit hati. Kalau tidak digaji, saya boleh bekerja 24 jam tidak mengklaim sebab itu adalah kesukaan dan kebanggaan,” katanya.
Pelayanan Nus terus berkembang termasuk mendirikan Yayasan Doulos, merintis pembangunan gereja GPIB Menara Iman dan melayani di berbagai gereja seperti GKI Kedoya, GPIB Immanuel, GPIB Jatipon dan lain-lain.
Tahun 1978, LPMI mengadakan acara bertajuk “Sudah Kutemukan”. Setelah mengurus perijinannya ke kepolisian dan pemerintah, ia menggerakkan para mahasiswa untuk memasang poster-poster “Sudah Kutemukan” ke semua terminal bis. Sebab pada saat itu, koran dan majalah masih sangat terbatas. Penyebaran poster tersebut membuat gempar Jakarta. Sampai-sampai Presiden Soeharto menanyakan soal tersebut.
Sebagai pendeta, Nus punya semangat melayani dalam pengabaran Injil yang sangat luarbiasa. Tidak ada ruang dan obyek yang tak tersentuh dengan pelayanannya.
Setelah seminggu, tagline “Sudah Kutemukan” diganti menjadi “Sudah Kutemukan Anda Pun Dapat Menemukannya, Hidup Yang Berarti Dalam Kristus”. Akibat aksinya tersebut, Nus dipanggil Laksusda Jaya (sekarang Kodam Jaya). Waktu itu siapa saja yang dipanggil Laksusda Jaya bisa dipastikan akan ditahan. Dien, istri Nus pun dihantui rasa kuatir dan takut jika Nus benar akan ditahan. “Saya pergi dulu. Kalau tidak balik, anggap saja lagi indekos di Laksusda Jaya,” ujar Nus tersenyum. Saat pemeriksaan berlangsung ternyata didapati bahwa kegiatan yang dilakukan Nus bukan kegiatan politik melainkan penginjilan. “Saya tidak berani melarang penginjilan. Bapak Presiden Soeharto pun tidak berani melarang penginjilan,” kata Nus menirukan kata-kata Panglima Kodam.
Sebagai hamba Tuhan yang telah mengerti akan kebenaran dan penuh cinta kasih, Nus diuji dalam tindakan konkrit. Tahun 1998 Ambon porak poranda oleh kerusuhan. Dalam kejadian itu, 43 kerabat Nus ikut menjadi korban. Saat mendapat berita melalui faksimili, nama om, tante dan para sepupunya tercantum sebagai korban. Mendengar para kerabatnya menjadi korban dari kerusuhan yang disinyalir soal agama itu, hati Nus terasa pedih. Ia diperhadapkan dengan situasi untuk mengasihi atau sebaliknya membalas dendam, memberontak atau melawan. Hatinya goncang hingga membawanya kepada sebuah perenungan dan akhirnya ia memutuskan untuk mengampuni dan mengasihi. Mungkin banyak orang yang melihat Nus tak ada beban karena begitu mudahnya mengampuni. “Bagi saya kekecewaan, kemarahan, atau kesulitan lima menit yang lalu, sudah berlalu. Kenapa saya harus dikendalikan karena peristiwa lima menit yang lalu? Itu namanya kebodohan,” tegasnya.
Keputusannya untuk mengampuni diacungi jempol oleh sang istri Dien Lopung dan kedua anaknya. Bagi Dien, melepas pengampunan yang dilakukan Nus bukan ingin menunjukkan kehebatannya sebagai hamba Tuhan. Melainkan, sikap tersebut diambil dari teladan Yesus yang memiliki karakter mengampuni. Maka sudah sepatutnya jika teladan tersebut juga diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Aplikasi kehidupan kristiani yang coba dipraktekkan Nus dan Dien bukan tanpa hambatan yang berarti. Pernikahan mereka juga kerap mengalami pasang surut. “Jika masalah datang, Nus selalu berpesan lihat apa yang Alkitab katakan. Kita harus selalu kembali pada Firman Tuhan,” kata Dien mengisahkan. Jika masalah belum selesai, mereka tak bisa tidur. Biasanya jika Dien ngambek, Nus malah meminta Dien untuk memimpin berdoa. Setelah menenangkan diri, Dien akan merendahkan diri di hadapan Tuhan, meminta ampun, berdoa, dan akhirnya dapat berdamai kembali dengan Nus.
Kesibukan Nus sebagai pelayan Tuhan bisa dibilang sangat padat. Pelayanannya tidak sebatas pada lingkup Jabodetabek akan tetapi ke daerah maupun mancanegara. Terkadang, jika pelayanannya memakan waktu berhari-hari maka sebagai istri, Dien akan diikutsertakan. Kalau pun tidak, Nus tetap mengontak anak dan istrinya untuk menanyakan kabar dan kondisi mereka. Kendati, hanya satu atau dua menit. Makanya saat ada waktu luang selalu digunakan Nus untuk berkumpul bersama keluarga. Entah jalan-jalan ke mal, ke luar kota, makan bersama atau ke tempat wisata baik di dalam maupun luar negeri.
Kepedulian dan teladan untuk selalu bergantung pada Tuhan dengan memulai hari dengan berlutut dan berdoa dimanapun berada menjadi contoh kongkrit dari Nus kepada Billy dan Angel. Keduanya juga mengaku belajar kerja keras dan pantang menyerah. “Tak ada kata ‘tidak bisa’ dalam kamus Papa, semua harus dicoba sampai maksimal,” ungkap Angel. Bagi Billy sendiri, papanya adalah seorang yang tegas sekaligus memiliki sisi humoris dan gampang bergaul dengan orang lain. Sementara Dien menambahkan, Nus adalah kepala rumah tangga yang sangat bertanggungjawab, pemimpin yang tegas, tapi juga humoris dan kadang-kadang melankolis, sekaligus sahabat yang sangat memperhatikan dan peduli.
Sebagai hamba Tuhan yang mudah bergaul dan memiliki dedikasi yang tinggi serta dikenal sebagai pemimpin gereja aras Nasional maupun di kalangan lintas agama dan luar negeri, Nus mendapat undangan kehormatan untuk datang menghadiri “National Prayer Breakfast” di Washinton DC, Amerika Serikat. Acara tersebut merupakan pertemuan tokoh-tokoh dan pemimpin negara dunia atas terpilihnya Barrack Obama sebagai orang nomor satu di Amerika. Acara yang dihadiri oleh presiden, wakil presiden, duta besar, tokoh agama dari 182 negara tersebut memberikan makna tersendiri bagi pria penyuka ikan ini. Pertama, melalui acara ini negara adidaya seperti AS mau menyampaikan kepada dunia bahwa tokoh-tokoh di pemerintahannya selalu mengandalkan kekuasaan Tuhan. Kedua, acara itu merupakan forum kesaksian bagi tokoh-tokoh dunia serta yang terakhir adalah forum interaksi atau komunikasi dari tokoh-tokoh dunia.
Baginya Obama adalah sosok pemimpin yang cerdas dan luarbiasa. Bahkan tampilnya Obama sebagai Presiden AS yang mendapat perhatian sangat besar dari masyarakat dunia kian membuktikan bahwa Obama membawa pengaruh besar di kalangan orang muda. “Obama adalah simbol orang muda dari kalangan minoritas, tapi ia cerdas dan punya integritas. Hal ini juga sebagai bukti bahwa Amerika telah matang dalam berdemokrasi atau berpolitik,” katanya semangat.
Potret pemimpin muda seperti Obama memang masih bisa dihitung dengan jari di negeri ini. Sebagai hamba Tuhan, salah satu ‘beban” Nus adalah memberikan pengarahan kepada anak muda agar bisa menjadi pemimpin yang punya integritas hidup yang tinggi dan takut akan Tuhan. Walaupun itu tidak mudah.
Sebagai pendeta, Nus punya semangat melayani dalam pengabaran Injil yang sangat luarbiasa. Tidak ada ruang dan obyek yang tak tersentuh dengan pelayanannya. Mulai dari kalangan mahasiswa, orang-orang di pedalaman, para profesional, sampai kaum yang terpinggirkan ikut menikmati sentuhan pengabaran Injilnya. Prinsip hidupnya yang ingin menyenangkan hati Tuhan dan ingin dipakai olehNya sehabis-habisnya, terus ia terapkan. Ia pun enggan untuk terjebak dalam perbedaan denominasi gereja.
Nus yang dibesarkan dalam lingkup GPM (Gereja Protestan Maluku) dan melayani di GPIB ini dipercaya menjadi Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII) untuk dua periode (2006-2011 dan 2011-2015). GPM dan GPIB adalah anggota PGI sedangkan LPMI masuk dalam Injili. Keduanya merupakan aliran besar Kristen di Indonesia yang saling berseberangan di tahun 1960-an.
Ekumene diidentikkan berurusan dengan kemanusiaan sedangkan Injili menyibukkan diri dengan urusan rohani. “Saya tidak mau masuk dalam perbedaan yang tidak mendasar,” kata Nus melanjutkan, “Sifat itu hanya bingkai. Fotonya ialah Kristus. Orang lihat fotonya, bukan bingkainya. Bila kita melakukan hal ini, sebenarnya aman saja. Menjadi sulit kalau kita tidak menghargai perbedaan. Tuhan menciptakan perbedaan. Adanya laki-laki dan perempuan, itu sudah perbedaan. Jadi perbedaan itu karya Tuhan bagi dunia ini dan kita harus menghormati perbedaan termasuk perbedaan pendapat,” ujarnya lagi.
Cara pandang Nus itu diaminkan oleh Mgr. Martinus D Situmorang selaku Uskup Padang dan Ketua KWI sekaligus sahabat dekat Nus, “Sebagai pemimpin gereja yang relatif baru, di tengah riuh rendahnya arus dan kecenderungan proliferasi denominasi Kristen, mempertahankan dan memelihara kesatuan kohesif dari PGLII, bukanlah hal yang sederhana. Dia bisa dicap mapan seperti gereja “klasik tradisional” oleh kelompok karismatis dan sekaligus bisa dipandang dengan was-was sebagai rawan terimbas modernitas dengan janji dan wajah yang indah dan kemungkarannya yang menyesatkan. Tapi, Nus adalah bagian dari kepemimpinan dan ketokohan umat beragama. Beliau memainkannya dengan anggun dan elegan, ceria dan tulus,” katanya.
Sedangkan Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo, Gembala Sidang di Gereja Bethel Indonesia berpandangan, “Sosok Pak Nus Reimas sebagai pribadi yang sangat tegas dan konsisten apabila berbicara mengenai kesatuan dan pemberdayaan gereja. Di dalam hatinya seolah ada satu dorongan yang kuat untuk selalu tidak jemu-jemu membicarakan hal tersebut, dimana saja, kapan saja, dan dalam keadaan apapun, apabila ada kesempatan, tentu kedua hal itu yang diungkapkan dalam hatinya. Beliau sangat ingin gereja-gereja di Indonesia penuh dengan otoritas dan kemuliaan Tuhan, bukan gereja yang diolok-olok dan menjadi perbincangan negatif di masyarakat.
Sementara menurut Dr. Ruyandi Hutasoit, mantan anak didik Nus di LPMI sekaligus Ketua Dewan Pembina Partai Damai Sejahtera (PDS), Pdt. DR. Nus Reimas adalah seorang motivator sekaligus guru dan mentor rohani yang mengajar dia melayani dengan bahan empat hukum rohani dan bimbingan lanjutan dasar iman Kristen yang sangat berguna dalam pelayanan saya sampai hari ini. Dari sisi kepemimpinan, beliau bisa membawa pemikiran di antara para pemimpin aras gereja dan diterima dengan baik, dan dengan ide-ide cemerlang dalam membentuk keesaan gereja. Bukan saja sebagai pemimpin nasional tapi beliau juga mampu meningkatkan diri.
Sedangkan Pdt. Dr. A.A. Yewangoe, Ketua Umum PGI mengatakan, “Secara pribadi saya kenal Pak Nus sebagai yang spontan dan suka membuat humor. Humor-humor seperti itu saya kira ikut menyegarkan berbagai pertemuan. Relasi antara PGLII dan PGI menjadi semakin mesra, justru karena peranan Pak Nus Reimas, yang bukan saja mengenal gereja-gereja yang berada di bawah PGLII, tetapi juga gereja-gereja anggota PGI.
Tentang Nus, mantan Kepala Staf Umum ABRI, Letjen TNI (Purn) HBL Mantiri punya pandangan sendiri, “Pdt. Dr. Nus Reimas merupakan hamba Tuhan yang visioner dan memiliki pemikiran yang strategis. Karya pelayanan beliau telah banyak mencetak misionaris untuk menjangkau banyak jiwa di berbagai daerah di Tanah Air. Pencetakan misionaris ini akan memberikan multiplier effect dalam penginjilan di Tanah Air. Sebagai seorang pendiri Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (LPMI), Pdt. Dr. Nus Reimas melihat mahasiswa merupakan calon pemimpin masa depan. Semakin banyak mahasiswa berpotensi yang ditempa dengan benar, maka semakin banyak calon pemimpin yang tersedia bagi pembangunan bangsa dan kemuliaan nama Tuhan.”
Era Politik Transaksional
Sebagai hamba Tuhan, Nus tak hanya dituntut untuk menguasai ilmu teologi melainkan juga harus peka dengan perkembangan jaman terlebih lagi keadaan bangsanya sendiri yang menurutnya sedang dalam era transaksional yang bermuara pada uang dan kekuasaan. “Ketika kita terjebak dalam politik transaksional, kita akan hancur. Yang ada ialah the wrong man in the right place,” ujarnya. Pernah suatu kali Nus melayani di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP, sekarang IIPDN). Nus melihat kesiapan menjadi birokrat misalnya saja camat, bupati atau posisi lain di pemerintah. Tetapi, karena undang-undang politik maka jabatan-jabatan strategis, seperti gubernur, bupati dan walikota dicalonkan oleh partai dan dipilih langsung oleh masyarakat. Kenyataannya ada yang baik, tetapi ada juga yang tidak, sebab terkadang telah dimanipulasi dengan politik uang.
Menurut Nus, itulah situasi sekarang. Dimana-mana nuasa transaksi sangat kuat. Dan pada titik tersebut, kita sudah sampai pada keadaan yang sulit untuk dibendung. Orang yang punya uang bisa jadi anggota DPR, bahkan preman pun bisa menjadi walikota, bupati atau gubernur. Kenyataannya begitu banyak anggota DPR, walikota, bupati atau gubernur yang kemudian berurusan dengan masalah hukum. Itu semua akibat dari masalah politik transaksional,” jelasnya.
Lebih jauh Nus menjelaskan, sudah seharusnya gereja mengkritisi dan memberikan pencerahan karena transaksional adalah masalah moral yang menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhan. Gereja bertanggung jawab untuk membina umat agar takut akan Tuhan, mengasihi Tuhan dan sesama. Umat Tuhan di negeri ini harus menjadi contoh di dalam pengabdiannya seperti apa yang dikatakan oleh Prof. Dr. Johanes Leimena,” Politik dan kekuasaan haruslah dilihat sebagai kesempatan untuk mengabdi dan melayani”. Menurut Nus, kalau saja semua pihak memiliki tekad dan komitmen yang sama maka kita dapat membangun bangsa ini menjadi suatu bangsa yang lebih bermoral dan bermartabat. Suatu bangsa di mana semua orang saling menghargai dan saling menjaga, suatu masyarakat yang bisa membedakan apa yang benar dan apa yang tidak benar. bety, red