Pulang Membangun Kampung
Usman Ja’far
[DIREKTORI] Kalangan dunia bisnis ritel menjulukinya sesepuh. Perjalanan hidupnya memang tidak bisa lagi dilepaskan dari retail business di Indonesia. Namun di puncak karirnya sebagai CEO sukses, ia bertekad pulang membangun kampung halaman sebagai Gubernur Kalimantan Barat.
Di dunia bisnis ritel ia meniti karier dari lapis paling bawah hingga duduk di puncak pimpinan perusahaan terkemuka, Grup Alatief. Dia dipercaya memimpin 12 perusahaan, milik Abdul Latief. Karena keberhasilannnya, dia pun dijuluki sebagai sesepuh bisnis eceran di Indonesia.
Perjalanan suami Maya Damayanti ini dalam menempuh karier adalah sebuah potret yang menarik dan layak ditiru. Keberhasilannya mengelola dan mengembangkan bisnis ritel di Jakarta juga merebak ke berbagai pelosok termasuk ke tanah leluhurnya, Kalimantan Barat.
Meski sudah lama meninggalkan desa kelahirannya, nama Usman Jaf’ar tampaknya tetap menyatu dengan masyarakat daerahnya. Sehingga tak heran bila dalam rapat paripurna, pada tanggal 12 Desember 2002, anggota DPRD Tk I Kalimantan Barat memilihnya menjadi Gubernur Kalbar periode 2003-2008. Ia didampingi wakilnya LH Kadir.
Ia lahir 10 September 1951 di Sekadau, Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), dari pasangan Djaf’ar – Zaiton. Tidak ada yang istimewa dalam keluarga yang hidup dari hasil pertanian itu. Sehari-harinya pas-pasan dan sangat sederhana.
Meski begitu, keluarga ini di desanya menjadi sebuah potret keluarga bersahaja. Hampir tidak pernah merengut, meski harus kerja keras mencari nafkah. Djafar, ayah Usman, di samping sebagai petani, juga menjual kayu yang diangkut sendiri melalui sungai ke Pontianak.
Sayang kemesraan antara Usman dengan ayahnya, Djafar, tidak berlangsung lama. Bahkan kasih sayang dari sang ayah boleh dikatakan belum dinikmatinya. Sebab, ketika Usman berusia lima tahun, ayahnya meninggal. Meski merupakan pukulan berat setelah ditinggal Sang Ayah, keluarga ini jauh dari frustasi.
Usman bersama ibu, empat saudaranya ditambah lagi dengan kakeknya, hidup dalam satu rumah dan rukun. Hari demi hari dilalui keluarga ini seperti keluarga lain yang tinggal di desa itu.
Usman meski masih anak-anak sudah diandalkan untuk ikut menopang hidup keluarga. Dia pun sering berjualan durian di pinggir jalan bersama teman-teman sebayanya. Waktunya, hampir tidak ada yang terbuang sia-sia. Jika musim panen selesai, dia pun mencari pekerjaan lain untuk menutupi ekonomi keluarga.
“Saya harus bekerja dan bekerja untuk membantu ibu dan kakek menghidupi keluarga”, ungkap Usman mengenang masa lalunya di tanah leluhurnya, Sekadau.
Pendidikan Mutlak
Zaiton, Bunda Usman, menyadari jika terus-menerus menyuruh atau membiarkan anaknya larut dalam pekerjaan, tidak baik. Artinya, kesempatan bagi putera tersayangnya untuk maju akan tertutup. Karena itu, meski tidak pernah mengecam pendidikan, Zaiton memutuskan untuk menyekolahkan Usman.
Betapa gembiranya Usman ketika ibu dan kakeknya menyuruhnya sekolah. Seperti gayung bersambut. Sebab, dalam sanubarinya pun tertanam keinginan yang dalam untuk sekolah. Tahun 1958, ketika berusia tujuh tahun, Usman masuk kelas satu SD Negeri I Sekadau.
Untuk ke sekolah, Usman dan teman-temannya harus menyeberangi Sungai Kapuas, sungai terpanjang di Indonesia. Satu-satunya alat untuk menyeberang perahu ukuran kecil yang harus didayung sendiri. Untuk menghindari percikan air, buku-buku dibungkus dengan plastik.
Waktu enam tahun di SD, dapat dilaluinya dengan baik tanpa hambatan. Ia yang dikenal sebagai pendiam, terbilang cukup pandai. Tahun 1964, ia meninggalkan bangku sekolah SD dan kemudian melanjut ke SMP di desa yang sama. Dorongan dari keluarga pun cukup kuat. Ia pun semakin bersemangat.
Namun pikirannya sering terusik karena biaya sekolah semakin tinggi. Sementara kemampuan keluarga sangat terbatas. Tapi baginya, tidak ada istilah menyerah. Sepulang sekolah, dia terus mengupayakan dana tambahan dengan menjual durian. “Saya tidak memilih-milih pekerjaan. Apa saja saya lakukan, yang penting biaya sekolah tertanggulangi”, ujar ayah dari Lisa Pasylia, Adesty Kamelia dan Rob by Ramasaputra ini.
Tahun 1967, ia pun merasa gembira karena lulus dari SMP. Tapi dibalik kegembiraan itu muncul pula tanda tanya dalam hatinya yakni mau melanjut kemana dan mampukah keluarga membiayai? Dia menyadari betul, keterbatasan kemampuan keuangan keluarga. Ketika ia menyampaikan keinginannya untuk terus melanjutkan sekolah, Ibunya Zaiton dan kakeknya langsung menyambut.
Keterbatasan keuangan tidak menjadi penghalang. Satu-satunya jalan terbaik, ia ikut pamannya Abdussjukur, seorang tokoh PNI (Partai Nasional Indonesia) yang ketika itu menjadi Ketua DPRD Kalimantan Barat di Pontianak. Tahun 1968, Ia pun melajut ke SMA di Pontianak dan tinggal serumah dengan pamannya.
Setelah sekolah enam bulan, pikirannyan kembali terusik. Tapi kali ini bukan karena kuatir akan biaya sekolah, melainkan Abdussjukur-pamannya, harus meninggalkan Pontianak karena terpilih menjadi anggota DPR/MPR di Jakarta. Tapi, kekuatirannya langsung terhenti, karena pamannya juga akan memboyongnya ke Jakarta.
Sedih dan gembira bercampur dalam benaknya. Sedih karena belum sempat mengenal Pontianak lebih jauh dan juga harus berpisah dengan teman-temannya yang baru mulai akrab. Tapi di balik itu tergambar juga sebuah kembiraan. Sebab, dia akan menginjak kota Jakarta, ibukota RI, yang sebelumnya tidak pernah terbayang dalam benaknya.
Karena tuntutan keadaan, anak dari dusun itu pun memulai hidup di alam baru yang jauh lebih modern yakni Kota Jakarta. Kaget dan heran meliputi jalan pikirannya. Baginya kota Pontianak saja sudah besar dan hebat. Tapi setelah melihat Jakarta yang kesibukannya luar biasa, lalu lintas ramai dan di malam hari yang diwarnai sinar gemerlapan lampu warna-warni, Pontianak tidak ada apa-apanya.
Kepribadiannya tidak tenggelam dalam gemerlapan kota Jakarta. Sambil menyaksikan kehebatan pembangunan di kota Jakarta, dia tetap mengutamakan kelanjutan sekolahnya. Dengan bantuan pamannya, ia kemudian terdafar di SMA 23 di Slipi, Jakarta Barat. Karena dasarnya, murid pintar, ia tidak terlalu sulit untuk mengikuti pelajaran. Dia pun bisa menyelesaikan bangku SMA tahun 1970.
Tiga tahun tinggal di Jakarta, ia pun sudah percaya diri. Tekadnya harus melanjut. Ke mana? Memang untuk melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA tidak semudah ketika lulus SD dan SMP. Pikirannya kembali bergumul.
Memang banyak pilihan, tapi yang menentukan juga ikut kemampuan keuangan. Harus disinkronkan dengan keungan. Di tengah pergumulannya, dia melihat iklan di TVRI tentang penerimaan mahasiswa baru Akademi Pimpinan Perusahaan (APP), juruan keuangan. Tanpa ragu, dia langsung mendaftar dan diterima.
Perasaan bangga melekat dalam dirinya karena menyandang sebutan mahasiswa. Pada hal, untuk menjadi mahasiwa, waktu itu harus diplonco. “Mahasiswa baru dipaksa senior untuk nyemplung ke kali yang kotor”, kenang Usman. Perpeloncoan pada zaman itu cukup berat, tapi tidak boleh dielak. Semua perintah senior harus dituruti.
Sebagaimana tekad yang tertanam dalam dirinya, urusan pendidikan selalu dinomorsatukan. Di kampus hampir tidak ada masalah. Uang kuliah lancar yang didukung oleh pamannya yang anggota dewan.
Setelah dua tahun menjadi mahasiswa, benturan kembali muncul. Pasalnya, masa jabatan pamannya Abdussjukur sebagai anggota DPR/MPR berakhir dan tidak terpilih lagi. Pak Sjukur harus kembali ke Pontianak. Lalu bagaimana dengan Usman? Kembali ke Pontianak sama artinya meninggalkan kampus.
Padahal, baginya pendidikan unsur yang sangat penting dalam menentukan masa depan. Karena itu, dia pun memutuskan untuk tetap tinggal di Jakarta. Ia berprinsip jika ada tantangan jangan mengelak dan harus dihadapi. Sekarang muncul tantangan itu dan ia pun siap. Bantuan dari pamannya dari Pontianak tetap menjadi andalan untuk membiayai kuliah.
Meski harus berjuang sendiri, kuliahnya praktis tidak terganggu. Dengan kesungguhan, ia dapat mengakhiri kullliah di APP tahun 1974. Di jurusannya, dia termasuk mahasiswa yang menonjol. Karena itulah, dia bersama beberapa temannya yang menonjol mendapat tawaran bekerja di sebuah perusahaan ritel yang baru didirikan oleh Abdul Latief yang juga alumni APP.
Tanggal 19 Januari 1974, ia mulai bekerja di PT IPC Sarinah Jaya. Nasibnya sangat mujur, selepas kuliah langsung bekerja. Dari perusahaan inilah ia memulai karier untuk mewujudkan impiannya. Dengan modal ijazah APP, ia berkonsentrasi menekuni pekerjannya.
Keseriusan dan tanggung jawab sebagai staf, ditunjukkannya. Prestasinya pun menggembirakan dan menanjak. Memasuki tahun ke tiga, dia dipercayai memimpin bagian keuangan. Tahun keempat dipindahkan ke unit pembelian. Tugas barunya ini jauh berbeda dari yang sebelumnya. Tapi itu tidak menjadi masalah baginya. “Kalau ada kemauan semua pekerjaan akan dapat diatasi”, ujar Usman suatu ketika.
Dia pun cukup berhasil dalam bagian pembelian ini. Relasi perusahaan ada di mana-mana, sehingga tidak pernah kesulitan dalam pengadaan barang-barang. Berkat pengalamannya, liku-liku bisnis kerajinan dipahaminya sangat ditel, dari hulu sampai ke hilir.
Berbekal pengalaman kerjanya, ia kemudian ditunjuk “boss-nya sebagai pemimpin proyek (Pimpro) pembangunan sebuah gedung pusat perbelanjaan di kawasan Blok M. Gedung mewah dan kren itu, kini bernama Pasaraya.
Pemilik perusahaan, Abdul Latief, kemudian mengangkatnya menjadi General Manager, sejak tahun 1982. Selama 10 tahun dia memegang posisi general manager PT Pasaraya Torsesajaya itu.
Selain pengalaman kerja yang lengkap, dia juga sering mengikuti berbagai jenis pelatihan di dalam dan luar negeri. Mengikuti Managerial Trainng and Finance Management di LPPM Jakarta, Management Departmen Training di Metro Departmen Store Singapura, Management Depertmen Training di Seiyu Jepang dan Busines Group Training di Mitsui Jepang. Selain itu, juga sering melakukan studi banding ke berbagai belahan dunia, terutama ke pusat-pusat mode. Ia pun semakin matang dan mapan dalam mengelola bisnis eceran.
Bekerja sambil belajar. Itulah motto hidupnya dan dilaksanakan dengan mengerahkan segala potensi yang dimilikinya. Hasilnyapun cukup menakjubkan. Semua pekerjaan dan jabatan yang diberikan kepadanya dapat dilaksanakan dengan baik dan memuaskan.
Tahun 1993, dia kemudian dipercaya sebagai Direktur Utama PT Pasaraya Tosersajaya, menggantikan Abdul Latief yang diangkat sebagai Menteri Tenaga Kerja. Pengangkatannya sebagai orang nomor satu di Pasaraya, tidak terlalu mengejutkan baik bagi lingkungan internal maupun eksternal.
Hampir semua pihak yang bergerak dalam dunia usaha ritel memberikan penilaian yang sama yakni: Usman Jaf’ar orang yang paling tepat untuk menduduki posisi Dirut. Dia cukup piawai menjadikan dirinya sebagai jembatan dalam memajukan bisnis eceran di tanah air.
Disambut Baik
Berbicara mengenai bisnis eceran di Indonesia, ia langsung tanggap. Hal ini bisa dimaklumi selain sudah digelugutinya selama bertahun-tahun, dia sangat faham seluk beluknya. Dia menilai perkembangan bisnis eceran (retail business) di Indonesia cukup pesat. Hampir di semua kota perusahaan yang bergerak dalam usaha eceran ini telah berdiri.
Tapi sistem manajemen yang diterapkan pemilik perusahaan tidak sama. Lazimnya, di gedung pusat belanja, ruang disewakan atau dijual kepada pedagang. Tapi PT Pasarya Nusakarya yang mengelola pusat perbelanjaan PT Pasaraya Blok M dan Manggarai tampil beda yakni tidak menjual atau menyewakan ruang. Pertimbangannya, pemilik gedung tidak hanya berfikir untuk kepentingan sendiri, tapi juga terpanggil untuk memikirkan kepentingan pedagang.
Filosopinya, pemilik gedung dan pedagang/pemasok barang dapat bergandengan tangan untuk sukses dan maju. Perusahaan tidak rugi dan pedagang pun harus untung. Itu artinya bersama-sama menuju kehidupan yang semakin baik. “Ini sistem yang kami terapkan”, ujar Usman.
Manajemen di Pasaraya berlaku sistem bagi hasil. Artinya, 20% dari hasil penjualan menjadi milik pengelola dan sisanya (80%) untuk pedagang. Pihak pengelola sangat menyadari pola bagi hasil akan memperlambat Break Event Point (BEP).
Sebab, semakin sedikit penjualan pedagang tentu semakin kecil yang diterima pengelola. Tapi pemikirannya tidak hanya untuk kepentingan pengelola, tapi perusahaan membangun budaya sinergi (kebersamaan) dengan mitra usahanya yakni pemasok atau pedagang.
Kalau tujuannya hanya ingin mendapatkan uang secara cepat, sistem yang paling tepat adalah menjual ruang atau menyewakan. Tapi jika ini diterapkan yang punya kesempatan untuk mendapatkan ruang hanyalah yang punya uang.
Sementara para pengusaha kecil yang jumlahnya jauh lebih banyak dan modalnya pas-pasan tidak akan mampu berdagang di tempat yang bagus. “Kami memberikan kesempatan kepada semua pedagang untuk berjualan di tempat ini”, ujar Usman.
Kalangan pemasok dan pedagang memuji ide yang diterapkan Pasaraya dalam mengelola bisnis eceran ini. Ide yang diterapkan Pasarya disambut baik oleh para pedagang. Dengan konsep bagi hasil, pemasok bebas mengisi konternya dengan barang yang mereka pilih. Pedagang cuma melaporkan harganya kepada pengelola. Karena pembayaran seluruhnya melalui Pasaraya.
Di bawah pimpinan Usman, bisnis eceran di grup Alatif maju pesat. Para pemasok juga maju. Maju bersama-sama.
Ketika ditanya pandangannya tentang bisnis eceran ini, ia sangat tidak sependapat bahwa kehadiran departmen store akan mematikan pasar tradisional. Itu tidak akan mungkin terjadi. Sebab segmen pasarnya berbeda. Departmen store membidik pasar menengah ke atas, sementara pasar tradisional untuk menengah ke bawah. Lebih tepat jika disebutkan secara bersama untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dari lapis bawah hingga atas.
Tanah Leluhur
Di Jakarta ternyata Usman tidak hanya memikirkan kemajuan perusahaan yang dipimpinnya. Secara diam-diam dia juga memikirkan tanah leluhurnya. Meski pada usia usia 17 tahun, dia sudah meninggalkan tanah kelahirannya, hubungan batin dan kedekatannya dengan kampung halamannya tidak pernah lekang.
Usman, salah seorang putra Pontianak di perantauan tidak rela pembangunan di kampung halamannya tertinggal. “Kalimantan Barat kaya sumber daya alam dan tak selayaknya tertinggal seperti sekarang ini”, ujar Anggota Dewan Pembina APRINDO (Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia ini.
Dalam pemikirannya, sewajarnyalah Kalbar sejajar dengan kemajuan di Sarawak, Sabah atau dengan Brunei Darussalam. Untuk mengatasinya dibutuhkan pemimpin berkualitas dan profesional.
Berbekal pengalamannya yang cukup sukses dalam mengelola bisnis di Jakarta, ia pun maju sebagai calon gubernur Kalbar dan menang mutlak. Terpilihnya Usman sebagai gubernur bukan sesuatu kejutan. Sebab, prestasinyalah yang mengantarkannya terpilih menjadi KDH Tk I Kalbar.
“Usman merupakan yang tepat dan layak menjadi orang nomor satu di daerah ini”, ujar beberapa tokoh daerah setempat. Dia ulet, memiliki pemikiran dan wawasan yang luas. Buktinya, PT Pasaraya Nusakarya menjadi perusahaan terkemuka di Indonesia dalam retail business. Perusahaan ini pun mendapat predikat the fisrt and the largest-yang pertama dan yang terbesar.
Tidak hanya itu, 12 perusahaan yang dipimpinnya juga berkembang. Ia pun dijuluki anak desa yang profesional. Di bawah pimpinannya, Kalbar akan lebih maju. Bekerja sambil belajar. Itulah motto hidupnya dan dijalankan penuh tanggung jawab. Kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya tidak pernah disia-siakan.
Berbekal pengalaman dan kesuksesannya mengelola bisnis nasional di Jakarta, ia bertekad mewujudkan impiannya yakni ingin ikut membangun tanah kelahirannya. “Kalbar tertinggal karena penggarapannya belum optimal dan butuh tangan trampil dan profesional”, ujar Usman sebelum terpilih. Dia mengakui para Kepala Daerah Provinsi Kalbar telah berbuat untuk membangun daerah itu. Namun, sektor bisnisnya kurang begitu terangkat karena penggarapannya belum maksimal. Untuk mengejar ketertinggalan, Kalbar butuh pimpinan yang naluri bisnisnya handal dan memiliki akses ke pusat (nasional) dan internasional.
Keberhasilannya mengelola bisnis di Jakarta akan menjadi modal utamanya dalam mempercepat proses pembangunan Kalbar. “Saya bersama seluruh elemen masyarakat akan berusaha meningkat pembangunan. Dengan demikian kesejahteran masyarakat dapat meningkat”, ujar Usman.
Menurutnya, bila potensi alam Kalbar dikelola secara bisnis dan profesional, pasti mampu meningkatkan kemajuan. Tentu, diperlukan kebersamaan. Saat ini terlalu banyak pihak yang tidak satu tujuan. Bahkan perbedaan tidak hanya dalam bentuk implementasi, tapi juga dalam visi.
Memang, perbedaan terutama di era reformasi ini sah-sah saja. Tapi jika sejak awal sampai akhir terus berbeda, maka tidak akan pernah ada sesuatu apa pun yang bisa dicapai. Jika lebih banyak yang sependapat dan satu tujuan, meski ada saja yang apriori, pasti bisa berjalan terus.
“Tantangan untuk membangun Kalbar sangat banyak dan tidak mudah. Tapi jika tercipta kebersamaan langkah dan pendapat, sesulit apa pun itu kendala akan dapat diatasi”, kata pria yang sudah mengantongi pengalaman banyak dalam mengelola bisnis ini. Dia juga sering berkunjung ke berbagai negara untuk menimba ilmu bisnis.
Ia mengaku dalam hal pembangunan, Kalbar mengalami kemajuan, tapi belum sebanding dengan potensi yang dimilikinya. Berpenduduk 4,1 juta jiwa, pendapatan domestik regional bruto (PDRB) tahun 1998 mencapai Rp 3,799 juta per kapita. Ada peningkatan jika dibandingkan tahun 1994 yang hanya Rp1,713 juta dan 1997 hanya Rp2,702 juta.
Namun peningkatan itu tidak berarti karena terjadi lonjakan harga (inflasi) yang sangat tinggi mencapai 50,7%. Akibatnya, angka kemiskinan tetap tinggi yakni 885.277 jiwa (tahun 1997). Kemudian meningkat lagi 26,53% tahun 2000 menjadi 1.030.298 jiwa.
Berdasarkan kenyataan, sektor pertanian masih menjadi tumpuan. Karena itu, di samping membangun sektor-sektor lain, sektor pertanian tetap diutamakan tentunya dengan cara modernisasi.
Dalam hal ini, daya guna dan hasil guna pemerintahan harus betul-betul ditingkatkan. Aparatur penyelenggara negara haruslah mengutumakan pelayanan kepada masyarakat yang diayominya. “Program pembangunan harus benar-benar difokuskan untuk kesejahteraan rakyat”, kata Usman yang sudah 28 tahun bekerja di Kelompok Alatief dan sudah siap untuk memulai pekerjaan baru yakni mensejahterakan rakyat Kalbar dengan cara menggalakkan pembangunan di semua lini.
Meningkatkan pembangunan di Kalbar terbuka lebar. Potensi alamnya tidak kalah jika dibandingkan dengan provinsi lain di tanah air. Kekuatannya terletak pada sektor kehutanan dan pertanian. Belum lagi potensi wisata budaya yang sangat kuat. Di Kalbar hidup budaya Dayak, Melayu dan Tionghoa.
Begitu juga wisata agro yang terletak di Sintang dan Putussibau yang memiliki sungai terpanjang. Hanya saja untuk mengelola potensi alam itu dibutuhkan sumber daya manusia berkualitas dan profesional. Itu artinya, pembangunan pendidikan harus mendapat prioritas utama. Baik pendidikan formal maupun nonformal, seperti pelatihan atau kursus.
Hadapi Era Baru
Usman mengakui dalam menghadapi perdagangan bebas (ASEAN Free Trade Area/AFTA) yang sudah diambang pintu, Kalbar tidak boleh tidak, harus mempersiapkan diri lebih intens. Untuk mewujudkan itu, tentu tidak hanya urusan Gubernur dan wakil gubernur. Tapi melibatkan peran seluruh elemen masyarakat.
Karena itu, perlu dibangun kebersamaan yakni Kalbar Bersatu. Artinya, untuk menempatkan Kalbar berdaya saing global, unsur pimpinan harus mampu merangkul dan melibatkan semua elemen masyarakat. “Tugas ini tidak ringan. Tapi jika dilaksanakan sebagai panggilan tugas, saya optimis bisa terwujud”, ujarnya.
Ia yakin membangun dengan mengutamakan semangat kebersamaan akan membuahkan hasil positif. Dia telah membuktikannya dalam bisnis retail. Harus dihindari langkah parsial.
Program Kalbar Bersatu adalah salah satu alternatif untuk memberdayakan potensi masyarakat dengan memegang “berdiri di atas kaki sendiri” sebagai fondasi baru dalam kehidupan bermasyarkat dan bernegara. Aparat pemerintah sebagai pengabdi dan pelayan masyarakat, juga harus menjadi kader-kader pembangunan.
Pemikiran-pemikirannya dalam mengelola bisnis dan memajukan Kalbar, tersaji secara lengkap di bukunya yang berjudul, “Perjalanan seorang anak desa yang profesional”. Selamat Pak Usman. tor