Siap Calon Presiden 2004
Nurdin Purnomo
[DIREKTORI] Ia sebagai warga negara Indonesia dari suku Tionghoa menyatakan siap memimpin bangsa dan negara ini. Menurutnya, sangat keliru jika masih ada sikap memusuhi suku Tionghoa di Indonesia. Suku Tionghoa yang sudah menjadi WNI berjumlah sekitar 22 juta jiwa. Menempati urutan ketiga setelah Jawa dan Sunda. Jadi, sangat janggal, jika terbesar ketiga masih dimusuhi. Deklarator dan Ketua Umum DPP Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) ini pun menyatakan siap bertarung secara jantan dan fair sebagai calon presiden pada Pemilu 2004.
Ia memang seorang anak bangsa yang tidak pernah takut untuk menyuarakan kebenaran dan menentang ketidakadilan. Sepanjang didukung fakta yang akurat, dia tampil di baris depan untuk meluruskan berbagai ketidakadilan dan aturan yang tidak benar. Resiko apa pun yang kemudian timbul pada dirinya, dia sudah siap. Sikap itu tertanam dalam diri Nurdin Purnomo, pria kelahiran Jakarta, 15 Agustus 1945, seorang warga negara Indonesia keturunan suku Tionghoa.
Dia tampak sederhana. Tapi di balik kesederhanaan itu, terselip kepedulian yang sangat peka dan tinggi. Artinya, jika dia melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya, langsung berteriak. Tentu bukan di jalanan, tapi dia menggunakan wawasan dan intelektualnya, misalnya, mengajukan protes kepada pembuat aturan itu. Ada kawan atau tidak, tidak terlalu dipikirkan.
Sebab, keinginannya untuk melakukan sesuatu tidak pernah tergantung kepada teman-teman. Kalau ada kawan tentu sangat bagus, tapi tanpa teman, dia juga tetap maju untuk menyampaikan keinginannya. Jika protes membuahkan hasil dan untuk kepentingan banyak orang, dia pun optimis akan datang sendiri pengikutnya. “Jika melakukan tindakan protes terhadap sesuatu aturan, harus didukung fakta, jangan asal bunyi”, kata Nurdin Purnomo kepada Tokoh Indonesia di kantornya di kawasan KH Hasyim Ashari, Jakarta Pusat.
Ketika pemerintah Indonesia tahun 1967, mengeluarkan peraturan untuk melarang lagu-lagu Tionghoa beredar di Indonesia, Nurdin Purnomo lah orang pertama yang keberatan dan tampil memprotesnya. Pada saat dia memulai protesnya, Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa banyak yang merasa ketakutan. Kalau usaha itu buntu, banyak yang berpikiran justru akan semakin menyusahkan orang Tionghoa tinggal di Indonesia. Tapi Nurdin bukan tipe manusia penakut. Dalam setiap aksinya, dia selalu berfikir obyektif dan tidak pernah terlintas dalam benaknya kegagalan.
Orang Tionghoa sudah menjadi bagian dari penduduk Indonesia, kok masih ada pembatasan terhadap kebebasannya”, kata Nurdin Purnomo. Perjuanganya pun berhasil dan teman-temannya yang tadinya merasa was-was langsung menjuluki Nurdin sebagai seorang “pahlawan” dan pembawa angin segar bagi warga negara Indonesia keturunan Tionghoa. Begitu juga ketika ada pembatasan jumlah turis dari Hongkong ke Indonesia. Nurdin pula yang menjadi pionir dan berhasil meniadakan pembatasan itu. Sebab Nurdin yang sangat sering bepergian ke manca negara, juga aktif menjual pariwisata Indonesia.
Dalam hidupnya, Nurdin selalu berpegang kepada: “Kita tidak usah takut demi memperjuangkan suatu kebenaran, karena justru kebenaran itu sendiri yang akan memperjuangkan kita”. Dan itu pula yang melatarbelakangi keberaniannya dalam sikap dan perbuatannya baik ketika memimpin perusahaan, partai atau terjun dalam kegiatan sosial. Karena itu, waktu, tenaga, pikiran dan harta bendanya banyak tersedot untuk kepentingan organisasi. Keuntungan bahkan aset perusahaan pun dijualnya untuk mendanai berbagai kegiatan yang dilakukannya mulai dari Parpol hingga sosial.
Bayangkan, ada 50 organisasi yang ditekuninya dan sebagian besar posisinya sebagai pimpinan. Organisasi itu selain di Indonesia juga tersebar di berbagai negara di dunia. Karena itu, kantornya pun berada di banyak negara. Itu artinya, kesibukannnya sangat luar biasa. Hari ini di Jakarta, besok sudah di Kalimantan atau Surabaya, lusa di Singapura atau Malaysia dan hari berikutnya di Amerika atau di Eropa. Begitu dia menjalani hidup ini. Kebetulan ketiga orang anaknya, sekolah di Australia. “Bekerja dan bekerja sudah bagian dari hidup saya. Bekerja pun bisa menjadi refresing bagi saya”, ujar Nurdin.
Kantornya pun hampir tidak pernah sepi. Selain menjadi pusat bisnis travel biro perjalanan, juga menjadi kantor pusat partai yang dipimpinnya. Ruang kerjanya yang berukuran luas, hampir tidak pernah tertutup. Sebab, tamunya cukup banyak dan bisa masuk tanpa prosedur yang berbelit. “Saya sangat terbuka kepada siapa saja. Sepanjang ada waktu, saya akan menerima siapa saja”, ujarnya.
Target Politik
Sambil mengelola bisnis Biro Travel, Nurdin Purnomo memprakarsai pendirian partai politik yakni Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) yang didelekrasikan 1 Juni 1998. Ketika itu, banyak tantangan yang dihadapi terutama dari teman-temannya keturunan suku Tionghoa. Alasannya, tidak akan jalan dan Nurdin pun diajak untuk mendirikan partai yang dikhususkan untuk warga keturunan. Tapi bukan Nurdin namanya kalau tidak teguh pada prinsip. Ajakan temannya ditolak dan dia mendirikan dan membesarkan PBI.
Pada Pemilu 1999 lalu, PBI menduduki rangking 10 besar dari 48 partai politik (Parpol) peserta pemilu. “Ini prestasi yang cukup hebat”, kata Nurdin. Saat ini ada sekitar 100 orang kader PBI yang duduk di DPR/MPR RI, DPRD Tk I dan II. PBI diterima masyarakat dan pengurus di daerah pun sudah terbentuk. Yang lebih menggembirakan lagi, seluruh kader dan simpastisan PBI, dari pusat hingga daerah, telah menyatukan sikap dengan satu target politik yakni mengantar Ketua Umum DPP PBI Nurdin Purnomo menjadi calon Presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2004 ini.
Kok berani orang Tionghoa tampil sebagai Capres? Why not! Saya adalah warga negara Indonesia dan siap memimpin bangsa dan negara ini. Memang, di masa lalu dan cenderung masih berlangsung hingga sekarang, pemerintah menciptakan jarak kepada warga negara Indonesia dari suku Tionghoa. Akhirnya, terbentuk opini masyarakat untuk memusuhi warga keturunan.
Dia tegaskan, jika masih tertanam rasa benci, memusuhi atau memojokkan suku Tionghoa di Indonesia, merupakan kekeliruan dan kesalahan besar. Memusuhi suku Tionghoa tidak ada untungnya dan hanya menimbulkan kerugian bagi bangsa dan negara ini. Suku Tionghoa yang sudah menjadi WNI sekitar 22 juta jiwa dan menempati urutan ke tiga setelah Jawa dan Sunda. Sangat janggal, jika terbesar ketiga masih dimusuhi? “Pemerintah dan masyarakat Indonesia harus menjadikan suku Tionghoa menjadi teman sejati untuk membangun bangsa ini”, ujar Nurdin.
Dia menambahkan negara RRT pun sangat potensial untuk mendukung Indonesia menuju negara maju. Karena itu, masyarakat Indonesia sebaiknya memberikan kesempatan bagi warga Tionghoa memimpin negara ini. “Saya tidak berjanji, tapi optimis keadaan Indonesia akan lebih baik, jika diberikan kesempatan untuk memimpin negara ini”, ujar Nurdin.
Mengenai komentar yang mengatakan Tionghoa membuat perekonomian Indonesia susah dan sulit, Nurdin langsung berang. Mana mungkin itu. Itu sesuatu kekeliruan yang ditiupkan orang-orang dengan tujuan menciptakan ketidakstabilan. Nurdin mengatakan mungkin saja, ada konglomerat Tionghoa yang kurang perhatian, tapi pasti lebih banyakTionghoa di Indonesia yang sangat concern terhadap bangsa ini. “Mereka berbuat dan berkerja untuk kemajuan bangsa ini”, ujarnya. Sama halnya dengan visi PBI yakni memajukan bangsa ini dari bidang politik.
PBI Berani Tampil Beda
Kiprah Partai Bhineka Tunggal Ika Indonesia (PBI) dalam kancah politik masih relatif baru dan kini, memasuki tahun ke lima. PBI dideklarasikan 1 Juni 1998 dan menjadi salah satu partai politik peserta Pemilu 1999 lalu. Meski pendatang baru, kehadiran PBI langsung buat kejutan dan diterima masyarakat. Betapa tidak, dari 48 partai politik peserta Pemilu 1999 lalu, PBI masuk dalam 10 besar.
Dari hasil Pemilu lalu, PBI telah menempatkan 80 orang kadernya duduk di DPRD II, 10 orang di DPRD I dan seorang wakil di lembaga DPR/MPR. Tidak hanya keluarga besar PBI dan simpatisannya yang tercengang atas prestasi PBI. Tapi Parpol peserta Pemilu yang lain terutama pendatang baru juga mengakui kehebatan partai yang pendiriannya diprakarsai oleh seorang Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Tionghoa bernama Nurdin Purnomo.
Nurdin menolak anggapan melejitnya PBI dalam kancah Parpol akibat keberhasilannya sebagai seorang bisnis man yang bergerak dalam wisata. Nama Nurdin dalam bisnis pariwisata sudah kesohor di dan ke mana-mana, di Indonesia dan luar negeri. Kantornya tersebar di berbagai negara. “Keberhasilan PBI merupakan kerja keras dari pengurus”, ujar Nurdin merendah. Sebagai orang yang sederhana dan konsisten, Nurdin akan merasa bahagia bila yang dilakukannya dapat dinikmati orang banyak dengan suka ria.
Dalam percakapan dengan Wartawan Tokoh Indonesia, ia mengatakatan proses perjalanan dan pendirian PBI menghadapi banyak tantangan. Tantangan tidak hanya dari kalangan WNI keturunan tapi juga dari WNI yang bukan keturunan. Suku Tionghoa menilai PBI tidak akan eksis karena dipimpin oleh WNI keturunan. Sementara WNI non keturunan akan enggan memasuki PBI karena bisa menimbulkan penafsiran membesarkan suku Tionghoa di Indonesia.
Bahkan, pada saat dideklarasikan, beberapa pengurus yang bukan keturunan Tionghoa, meski sudah masuk dalam susunan pengurus, enggan ditonjolkan. Waktu itu pengurus dari nonketurunan mengatakan tidak perlu terlihat sebagai pendiri PBI. Tapi tetap akan membantu dan membesarkannya”, ujar Nurdin mengenang masa pendirian PBI. Selain itu, warga keturunan pada masa itu banyak diselemuti rasa ketakutan untuk terjun ke panggung politik.
Tapi bagi Nurdin, sikap mendua dari teman-temannya itu justru memacu semangatnya untuk terus tampil mengibarkan bendera PBI ke seluruh pelosok nusantara. Berbagai kendala, dia hadapi termasuk untuk mendanai kegiatan partai. Nurdin sangat menyadari dalam melakukan sesuatu kegiatan apalagi yang sifatnya besar dan nasional pasti banyak rintangan. Itu semua sudah diperhitungkan sejak awal, jauh sebelum mendirikan PBI.
Karena itu, dia pun rela menjual sebagian harta kekayaannya, untuk kebutuhan partai. “Saya dan keluarga bukanlah tipe yang menjadikan harta kekayaan adalah segala-galanya. Butuh harta, yes. Tapi gila harta, no”, ujar Nurdin. Ketika dia harus mengurangi aset untuk kepentingan perjuangan baik melalui partai atau kegiatan sosial, istri dan anak-anaknya bisa memahami. “Ketiga orang anak saya sudah bekerja di Australia”, ujarnya.
Menyangkut nama, ia mengatakan diilhami dengan situasi dan kondisi Indonesia. Artinya, bangsa ini merupakan bangsa heterogen, pluralistik. Secara realitas, bangsa ini berbhineka, tapi sekaligus juga bertunggal ika. Kemudian dipadukan dalam satu nama dan lahirlah Bhinneka Tunggal Ika. “PBI diharapkan dapat menyatukan langkah untuk menjadikan Indonesia menuju masa depan yang lebih baik”, ujarnya.
Perjuangan
Harus diakui berhembusnya angin reformasi telah merubah struktur dan peta politik di tanah air. Seiring dengan perubahan sistem pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi, maka terbukalah kesempatan untuk mendirikan Partai Politik (Parpol). Jika di masa Orde Baru, Parpol hanya tiga, maka pada Pemilu 1999 sudah 48 Parpol dan pada Pemilu 2004 jumlahnya diperkirakan akan naik duapuluhan parpol
Mengenai jumlah Parpol, ia mengatakan tidak ada masalah. Apa tidak berpotensi menimbulkan benturan konflik politik? Lho, di masa lalu jumlah Parpol hanya dua (PDI dan PPP) di tambah Golkar. Tapi pertentangan sangat sengit. Baik menjelang dan pascakampanye selalu diwarnai keributan.
Di awal orde reformasi, jumlah Parpol peserta Pemilu 1999 sebanyak 48 dan keributan relatif kecil di banding masa orde baru. “Bagi PBI semakin banyak partai makin bagus sehingga banyak pilihan masyarakat”, katanya. Pertumbuhan Parpol ini suatu pertanda yang sangat menggembirakan bagi kehidupan berpolitik di Indonesia.
Dia mengatakan arus reformasi ini akan mengantar bangsa ini menuju alam demokrasi. Didorong keinginan untuk ikut memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, maka terbentuklah PBI sebagai sarana penampung dan penyalur aspirasi politik dari kader dan simpatisannya. PBI menjadi wadah guna mempererat persaudaraan dan kesatuan dalam kebhinekaan. PBI berdasarkan falsafah Pancasila, sebab lambang negara itu selain sebagai ideologi, juga merupakan falsafah hidup bangsa. Filosopinya menjalin kebersamaan dalam keanekaragaman. “PBI akan memperjuangkan hak-hak politik kaum minoritas”, ujar Nurdin Purnomo.
Tujuan PBI, Pertama: Membangun pemerintahan yang desentralistik, bersih dari KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Kedua: Menciptakan masyarakat adil, makmur dan beradab. Ketiga: Menegakkan hak-hak asasi manusia. Keempat: Mewujudkan masyarakat yang mempunyai persamaan dalam hal kewajiban tanpa membedakan suku, agama, ras dan golongan. Kelima: Mengembangkan kehidupan demokratis. Motto PBI: Unjuk kerja bukan unjuk rasa dan berani tampil beda.
Program jangka pendek: Mendesak pemerintah untuk melaksanakan reformasi total di bidang hukum, membatalkan dan mencabut Kepres, Inpres dan Surat Edaran/Undang-undang yang mengandung unsur SARA. Mengusulkan kepada pemerintah untuk meningkatkan upah minimum regiomal (UMR), meningkatkan batas pendapatan tidak kena pajak. Jangka menengah: Merancang program kembali ke desa sebagai upaya membangun perekonomian desa. Menyalurkan anak-anak putus sekolah untuk bekerja setelah memperoleh pendidikan ketrampilan.
Jangka panjang: Mengusulkan agar program wajib belajar ditingkatkan hingga SMA, serta dilakukannya program kesehatan gratis.
“Komitmen pengurus agar program ini tidak sekadar janji atau slogan, tapi akan menjadi kenyataan”, ujar Nurdin. Dalam melakukan perjuangan, PBI dilandasi jalan damai, tidak mengerahkan massa. Sebagai Parpol, PBI memiliki visi dan misi yakni tidak akan dipengaruhi atau mau terpengaruh oleh pihak-pihak lain. PBI akan maju dengan konsepnya sendiri dalam memperjuangkan aspirasi politik kader dan simpatisannya.
“PBI akan maju untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil, makmur dan beradap serta demokratis”, ungkap Nurdin. Dia pun optimis dalam Pemilu nanti, PBI akan naik kelas dari 10 besar menjadi 5 besar. Itu artinya, kader PBI akan semakin banyak duduk di legislatif baik di daerah maupun di pusat. Maka semakin terbukalah peluang bagi PBI menempatkan Ketua Umum DPP PBI sebagai calon Presiden (Capres) Indonesia tahun 2004 ini.
Kalau ada yang mengancam Anda jika tampil sebagai Capres? Wah, tidak masanya lagi menakut-nakuti. Komitmen saya akan menjadikan PBI sebagai salah satu sarana perjuangan untuk kepentingan orang banyak. Tampilnya PBI dalam kancah politik yang dimulai pada Pemilu 1999 sudah tepat sebagai awal pergerakan menciptakan iklim demokrasi. “Momentum itu akan kami pergunakan sebaik-baiknya dan mengajak masyarakat Indonesia untuk bersama-sama membangun bangsa ini”, ujar deklarator PBI itu.
Pendirian PBI bukan merupakan akhir perjuangan, justru menjadi awal kerja keras dan perjuangan yang amat panjang menciptakan masyarakat madani.
Menurut Nurdin persiapan PBI menghadapi Pemilu 2004 nanti lebih baik dari Pemilu 1999. “Kami sudah siap bertarung dalam Pemilu mendatang”, kata Nurdin. Dia pun sangat optimis pemilih PBI akan berkembang.
Ditanya tentang dukungan konglomerat WNI keturunan Tionghoa terhadap PBI, Nurdin mengatakan banyak yang masih menunda partisipasinya. Alasannya, sudah sempat duduk di partai ini dan partai itu. “Saya yakin, jika sudah memahami perjuangan PBI, mereka akan datang tanpa dipanggil atau disuruh,” ungkap Nurdin Purnomo
Nurdin mengakui pada Pemilu lalu masih banyak peraturan yang dilanggar oleh Parpol dan dibenarkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Karena itu, Nurdin menilai proses Pemilu lalu tidak layak disebut sebagai Pesta Demokrasi karena sarat dengan pelanggaran yang akhirnya melukai dan menyakiti para pengurus Parpol. Kalau bentuk pelanggaran masih mewarnai proses Pemilu 2004 ini, janganlah disebut Pesta Demokrasi. Barangkali lebih tepat sebutan kontens Parpol-parpol saja. hs