Panglima Angkatan Laut ke-4

R.E. Martadinata
 
0
2502
R.E. Martadinata
R.E. Martadinata | Tokoh.ID

[PAHLAWAN] Salah satu pendiri Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) ini sudah dipercaya menjadi Pejabat Kepala Staf ALRI pada usia 38 tahun. Selama bertugas, ia banyak berkecimpung di dunia pendidikan dengan mendirikan sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung, Tegal dan Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan, Magetan. Ia pernah menjadi Wakil Kepala Staf AL Daerah Aceh, Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya, Komandan KRI Hang Tuah, dan Dubes RI untuk Pakistan. Jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut dicopot karena sikapnya yang mengutuk keras pemberontakan G30S/PKI.

Raden Eddy Martadinata lahir di Bandung pada 29 Maret 1921 dari pasangan Raden Ruchijat Martadinata, seorang pegawai Departement van Oorlog (Departemen Perang) Hindia Belanda dan Nyi Raden Sukaeni. Pendidikan umum ditempuhnya sampai AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum). Sesudah itu, ia meneruskan pendidikan dengan masuk pendidikan tinggi Zeevaart Technische School Jakarta pada tahun 1942 tetapi tidak sampai tamat karena Pemerintah Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang pada Maret 1942.

Setelah itu, R.E. Martadinata bekerja sebagai penerjemah pada Kantor Besar Jawatan Kereta Api di Bandung. Pada awal tahun 1943, R.E. Martadinata memperoleh kesempatan melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) yang dibuka oleh pemerintah pendudukan Jepang untuk para pemuda pribumi untuk mengatasi kurangnya tenaga-tenaga pelaut pada masa itu. Karena R.E. Martadinata sudah pernah mengikuti pendidikan di Sekolah Teknik Pelayaran pada zaman Belanda, maka ia dimasukkan ke tingkat crash progam selama enam bulan.

R.E. Martadinata berhasil lulus dengan nilai terbaik dan dengan bekal kemampuan berbahasa Jepang, Martadinata diangkat menjadi Guru SPT Jakarta. Jabatan sebagai guru dipegang R.E. Martadinata sejak Agustus 1943 sampai September 1944. Guru-guru lain diantaranya M. Pardi dan Adam yang kelak akan menjadi tokoh-tokoh pembina Angkatan Laut Rl. Masih dalam lingkungan SPT, R.E. Martadinata juga diberi kepercayaan untuk menjadi nakhoda memimpin kapal latih Dai-28 Sakura Maru pada 1 November 1944.

Pada 23 Agustus 1943, R.E. Martadinata menikah dengan Sutiyarsih. Mereka dikaruniai tujuh orang anak, tiga laki-laki dan empat wanita yakni Suhaemi, Siti Hadijah, Yudiarti, Irzansyah, Mariam, Kuntandi Vittorio (lahir di Italia), dan Rasita Riyanti.

Sebagai pemuda yang cinta Tanah Air, R.E. Martadinata bersama dengan para pemuda lulusan SPT, para pelaut dari Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya, bergabung dan membentuk “Barisan Banteng Laut”. Barisan ini dipimpin R.E. Martadinata yang bermarkas di Penjaringan Jakarta. Sesudah kemerdekaan diproklamasikan, mereka melucuti senjata tentara Jepang, merebut kapal-kapal milik Jawatan Pelayaran Jawa Unko Kaisya, menguasai pelabuhan penting dan menduduki gedung-gedung dan kantor milik pendudukan Jepang.

Pada 10 September 1945, R.E. Martadinata bersama M. Pardi, Adam dan lain-lain, membentuk Badan Keamanan Rakyat Laut Pusat (cikal bakal TNI AL), dipimpin M. Pardi yang bermarkas di Jl. Budi Utomo Jakarta Pusat. R.E. Martadinata bersama dengan Adam menjadi anggota staf pimpinan didukung oleh Darjaatmaka, R. Surjadi dan Oentoro Koesmardjo. Beberapa waktu kemudian, Martadinata juga dipercaya menjadi wakil komandan BKR-Laut Jawa Barat.

Pemerintah kemudian mengumumkan pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) pada 5 Oktober 1945. BKR dilebur menjadi TKR dan BKR-laut pun berubah menjadi TKR-Laut. Pada akhir tahun 1945, markas TKR-Laut Pusat dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Nama TKR kemudian diubah lagi menjadi TRI (Tentara Republik Indonesia) dan TKR-Laut pun berganti nama menjadi TRI-Laut. Pada Februari 1946 berganti lagi menjadi ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). Markas TRI-Laut berganti nama menjadi Markas Besar Umum (MBU) ALRI.

Dalam struktur organisasi ALRI, Mayor R.E. Martadinata diangkat menjadi Kepala Staf Operasi V (Bagian Perencana). Setelah itu, R.E. Martadinata dipindahkan untuk memimpin pendidikan Latihan Opsir Kalibakung, Tegal pada Maret 1947. Pendidikan ini lebih bersifat pendidikan upgrading bagi perwira-perwira ALRI.

Setelah Agresi Militer I Belanda berakhir, R.E. Martadinata ditarik ke MBU ALRI di Yogyakarta lalu tidak lama kemudian ia diperintahkan untuk membuka Sekolah Basic Special Operatun (BSO) di Sarangan. Sebanyak 30 orang siswa (sebelumnya merupakan siswa Kalibakung) berhasil menyelesaikan pendidikan pada Oktober 1948.

Advertisement

Saat Agresi Militer II Belanda berlangsung, R.E. Martadinata bertugas di daerah Aceh. Sejak 1 Desember 1948, R.E. Martadinata mendampingi KSAL R. Soebijakto membentuk Angkatan Laut Daerah Aceh (ALDA) untuk mengorganisir armada penyelundup, Training Station Serang Jaya dan kebutuhan logistik. Sesudah bertugas selama kurang lebih sepuluh bulan di Aceh, bulan Oktober 1949, R.E. Martadinata kembali ke Jawa.

Sesuai dengan persetujuan KMB (Konferensi Meja Bundar), Belanda menyerahkan dua korvet kepada pemerintah RI dan R.E. Martadinata menjadi salah satu komandan kapal HMS Morotai yang kemudian diganti namanya menjadi KRI Hang Tuah. Saat memimpin kapal perang inilah, R.E. Martadinata pernah ikut menumpas pemberontakan Andi Aziz di Makassar.

Saat kembali dari Puncak menuju Jakarta, R.E. Martadinata mengambil alih kemudi pesawat. Tetapi naas, helikopter yang dikemudikannya menabrak lereng gunung di desa Waringgul, Riung Gunung, antara Cimacan dan Puncak Pass, Jawa Barat. Semua penumpang helikopter naas itu tewas.

Sesudah Pengakuan Kedaulatan Indonesia, tepatnya pada tahun 1950, R.E. Martadinata diangkat menjadi Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya. Jabatan ini tidak lama dipangkunya, sebab tiga bulan kemudian ia ditarik menjadi Staf Operasi Angkatan Laut di Jakarta. Penugasan ini hanya sebagai persiapan untuk memegang jabatan sebagai komandan kapal perang Tjerk Hiddes yang baru dibeli dari Belanda. Kapal ini kemudian diberi nama KRI Gajah Mada. Jabatan sebagai komandan KRI Gajah Mada mulai dipangku R.E. Martadinata bulan Februari 1951.

Pada tahun 1953, Martadinata mendapat kesempatan mengikuti pendidikan pada United States Navy Post Graduate School di Amerika Serikat. Sepulang dari negeri “Paman Sam”, dia diperbantukan pada Departemen Luar Negeri. R.E. Martadinata bersama beberapa perwira lain termasuk Yos Sudarso kemudian mendapat tugas khusus selama tiga tahun di Italia. Mereka bertugas mengawasi pembuatan kapal-kapal yang dipesan oleh ALRI dari negara tersebut. Sepulang dari sana, ia diangkat menjadi Hakim Perwira pada Pengadilan Tentara di Medan, Jakarta, dan Surabaya.

Akhir tahun 1958, Martadinata ditugaskan ke Yugoslavia untuk mengawasi pembuatan kapal-kapal perang yang dipesan ALRI dari negara tersebut. Saat kembali ke Tanah Air, ia menghadapi pergolakan yang sedang terjadi dalam tubuh ALRI. Sebagian anggota tidak puas terhadap kebijaksanaan pimpinan diantaranya Letnan Kolonel Yos Sudarso, Letnan Kolonel Ali Sadikin, dan Letnan Kolonel R. Suhadi. Latar belakang pergolakan itu adalah kebijaksanaan pimpinan Angkatan Laut yang kurang memberikan perhatian kepada para pelaut bekas pejuang kemerdekaan. Pergolakan itu memuncak pada tahun 1959 dan menjurus ke arah timbulnya bentrokan bersenjata.

Golongan yang tidak dapat menerima kebijaksanaan pimpinan, menuntut supaya Kepala Staf Angkatan Laut diganti. Melihat keadaan tersebut, pemerintah memberhentikan Laksamana Madya Soebijakto dan mengangkat Kolonel R.E. Martadinata (atas saran Soebijakto), yang dalam pertentangan itu bersikap netral, menjadi Pejabat Kepala Staf ALRI. Setelah menjadi Kepala Staf, terhitung 17 Mei 1959, R.E. Martadinata yang saat itu masih berusia 38 tahun berusaha sekuat tenaga mendamaikan kembali golongan-golongan yang tadinya berlawanan sehingga ALRI tetap utuh dan bersatu.

Konflik di dalam tubuh ALRI kembali terjadi pada tahun 1965. Konflik ini dikenal dengan nama Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR) yang menyatakan tidak puas dengan kepemimpinan R.E. Martadinata sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut. Gerakan ini kemudian dianggap sebagai pelanggaran militer sehingga kurang lebih 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut dimana termasuk diantaranya J.E. Habibie (Mantan Dubes RI di Belanda) dan Pongky Soepardjo (Mantan Dubes RI di Finlandia) dikeluarkan dari dinas Angkatan Laut. Keputusan ini tidak lepas dari saran Letnan Jenderal Ahmad Yani yang ketika itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Masih di tahun yang sama, terjadi pemberontakan G30S/PKI. R.E. Martadinata mengutuk keras pemberontakan tersebut dan menyatakan ALRI bekerjasama dengan Angkatan Darat untuk menumpas G30S/PKI. Sikap R.E. Martadinata yang mengutuk PKI ternyata tidak disenangi oleh Presiden Soekarno sehingga pada Februari 1966, ia diberhentikan dari jabatan Menteri/Panglima Angkatan Laut dan digantikan oleh Laksamana Muda Mulyadi. Sesudah pemerintah Orde Baru berdiri, R.E. Martadinata diangkat menjadi Duta Besar dan Berkuasa Penuh RI untuk Pakistan terhitung mulai September 1966. Tetapi jabatan ini tidak lama dipangkunya.

Pada saat peringatan HUT ABRI yang ke-21 pada 5 Oktober 1966, ia datang ke Jakarta untuk menerima kenaikan pangkat menjadi Laksamana di Istana Negara. Pada 6 Oktober 1966, R.E. Martadinata mengajak koleganya dari Pakistan, Kolonel Laut Syed Mazhar Ahmed dan istrinya Begum Salma serta isteri Deputy Kepala Staf Angkatan Laut Pakistan Magda Elizabeth Mari Rauf ke Puncak menggunakan helikopter jenis Alloute A IV 422 yang dipiloti Letnan Laut Charles Willy Kairupan. Saat kembali dari Puncak menuju Jakarta, R.E. Martadinata mengambil alih kemudi pesawat. Tetapi naas, helikopter yang dikemudikannya menabrak lereng gunung di desa Waringgul, Riung Gunung, antara Cimacan dan Puncak Pass, Jawa Barat. Semua penumpang helikopter naas itu tewas.

Jenazah Laksamana Raden Eddy Martadinata dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta dengan inspektur upacara Jenderal TNI Soeharto. Atas jasa-jasanya kepada negara, Laksamana Raden Eddy Martadinata dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No.220 Tahun 1966, tgl 7 Okt 1966. Untuk mengenang jasa-jasanya, dibuat sebuah monumen berupa pesawat helikopter yang berada di dekat Masjid Atta’awun, Puncak, Bogor. Namanya juga diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota di Indonesia. Bio TokohIndonesia.com | cid, red (berbagai sumber)

Data Singkat
R.E. Martadinata, Panglima Angkatan Laut ke-4, Pahlawan Nasional / Panglima Angkatan Laut ke-4 | Pahlawan | Pahlawan, pendiri, laksamana, angkatan laut, ALRI, konflik internal

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini