Pejuang Kedaulatan Kerajaan Maluku Kuno
Nuku Muhammad Amiruddin
[PAHLAWAN] Sejak awal, Nuku tidak menyukai kehadiran VOC di Tanah Air karena ingin menjadikan kerajaan di Maluku, Seram, dan Irian tidak berdaulat lagi. Beberapa kali bujuk rayu Belanda ditolaknya dan lebih memilih berperang hingga darah penghabisan.
Nuku Muhammad Amiruddin lahir pada tahun 1738 di Soa Siu, Tidore. Ayahnya, Sultan Jamaluddin ditangkap Belanda pada tahun 1779 dan ditawan di Jakarta. Sebagai penggantinya, Belanda mengangkat Kaicil Gayjira yang sebenarnya tidak berhak atas tahta Kerajaan Tidore. Pada 17 Juli 1780, VOC mengangkat putra Gayjira, Patra Alam, sebagai sultan di Tidore untuk menggantikan ayahnya.
Pergantian kepemimpinan di suatu kerajaan memang sering menimbulkan pro dan kontra di kalangan kerabat istana. Di bawah bayang-bayang kekuasaan Belanda, pro dan kontra itu dapat menjadi pertentangan tajam. Sejak saat itu Tidore menjadi vasal VOC. Pengangkatan-pengangkatan yang tidak sesuai dengan tradisi kerajaan itu juga mendapat tentangan dari Pangeran Nuku dan adiknya, Pangeran Kamaluddin. Karena sebenarnya mereka lebih berhak atas tahta Tidore. Namun karena keduanya cenderung menentang kehadiran Belanda maka mereka tidak dipilih menjadi sultan.
Protes keras itu akhirnya berkembang menjadi perlawanan Tidore terhadap VOC. Karena jiwanya terancam, Nuku meninggalkan Tidore, sedangkan Kamaluddin tidak. Setelah meninggalkan Tidore, Nuku mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Seram dan Irian Jaya. Ia membangun kekuatan berupa armada kora-kora untuk melawan Belanda. Seram Timur dijadikannya sebagai pusat kedudukannya.
Untuk menghadapi Nuku, Belanda mengerahkan pasukan yang cukup besar. Pada tahun 1787 pasukan Belanda menduduki Seram Timur. Nuku dan pasukannya meloloskan diri dan membangun pertahanan baru di Pulau Gorong. Pada waktu itu kekuatannya sudah berkurang, namun ia tetap bertekad untuk melanjutkan perlawanan.
Pangeran Nuku memang tidak menyukai kehadiran VOC karena menjadikan kerajaan di Maluku, Seram, dan Irian menjadi tidak berdaulat lagi. Kerajaan-kerajaan itu harus menerima subordinasi pemerintahan Belanda. Untuk menambah kekuatan, Nuku mengadakan hubungan dengan Inggris. Orang Inggris diizinkannya membuka kantor dagang di daerah-daerah yang dikuasainya. Dari pihak Inggris, ia memperoleh berbagai jenis senjata.
Dengan demikian, ia dapat meningkatkan kembali perlawanannya terhadap Belanda. Untuk menguasai Tidore, Nuku kemudian menjalin hubungan dengan suku Papua. Ia didukung oleh daerah yang dulu di bawah kekuasaan Patra Alam seperti Maba, Neba, dan Patani dimana mereka secara serentak mengangkat pangeran itu sebagai raja.
Pangeran Nuku juga berhasil merongrong kewibawaan Sultan Ternate yang didukung VOC dengan cara mengadu domba daerah-daerah yang ada di bawah pengaruh hukum Ternate. Kedudukannya semakin mantap ketika masyarakat Papua mengangkatnya sebagai sultan bergelar Sri Maha Tuan Sultan Amirmahmud Safiuddinsyah. Dengan basis kekuatan itu, ia mengadakan serangan terhadap Seram yang dikuasai oleh Sultan Ternate.
Pada tahun 1783, Patra Alam menjalankan strategi untuk meraih loyalitas raja-raja Irian, akan tetapi mengalami kegagalan. Para utusan dengan pasukan mereka berbalik dan memihak Nuku. Dengan diperkuat pasukan yang berbalik itu, Nuku mengadakan serangan terhadap Ternate dan Tidore. Rakyat Tidore menjadi kacau balau dan tidak ada perlawanan. Kenyataan tersebut menimbulkan kecurigaan di pihak Belanda. Patra Alam dituduh bersekongkol dengan Nuku. Belanda kemudian menangkap dan menghukum Patra Alam dengan amat kejam. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan sebutan “Revolusi Tidore” (1783).
Untuk mengembalikan ketertiban di Tidore, VOC menentukan bahwa semua hubungan dengan Papua, Weda, Maba, dan Patani diputuskan. Pada 18 Oktober 1784, Pangeran Kamaludin kemudian dipilih sebagai Sultan Tidore dan vasal VOC. Pada awal pemerintahannya, ada usaha mendekati golongan Papua, antara lain untuk membujuk mereka agar membatalkan serangannya terhadap Seram. Kepada Nuku ditawarkan suatu pengampunan bahkan adiknya, Kamaluddin berusaha bertemu langsung dengan Nuku.
Sementara itu Nuku secara aktif memperkuat dukungannya dengan mengadakan kontak terus menerus dengan raja-raja Tidore, Maba, Weda, Patani. Di samping itu, dijalin hubungan dengan pihak Inggris di Bengalen. Dia juga mencari bantuan dari Banjarmasin dan golongan Mangindanao. Pengaruh Nuku makin meluas sehingga dalam perundingan dengan VOC, ia menuntut agar diakui sebagai Sultan Seram. Sementara itu, Kepulauan Kai dan Aru masuk ke lingkungan pengaruhnya pula. Siasat Nuku ialah, dengan mengadakan perundingan itu ia dapat mengulur waktu untuk mengonsolidasikan kekuatan.
Perjuangan Nuku mengalami pasang surut. Dia terpaksa berpindah-pindah kedudukan, suatu strategi gerilya yang cukup menyulitkan lawannya. Kekuasaannya di pelbagai pulau silih berganti. Ekspedisi VOC bersama dengan Ternate dan Tidore tidak mampu menundukkan Nuku. Pada pertengahan tahun 1790 pengaruh Nuku sudah merosot sekali. Banyak penguasa seperti Misool, Waigamu, Kacil Bagus dan Kacil Kamasan, Salawatti, Maba, Weda, dan Patani bersumpah setia kepada VOC dan Sultan Ternate. Karena di Papua dan Seram tidak aman lagi, maka Nuku berpindah ke Goram, tempat ia membangun pertahanan yang kuat sehingga dia dapat bertahan lebih dari dua puluh tahun.
Memasuki tahun 1794, Nuku mengalami banyak keuntungan, antara lain dukungan dari Inggris dan rakyat Tidore yang mulai memihaknya. Pangeran Jamaludin yang kembali dari pembuangan di Sailan memihak kepadanya. Sebagian besar penguasa di Irian menghindari hubungan dengan Ternate dan Tidore dan lebih tertarik dengan gerakan Nuku. Pada bulan Februari 1795, di Ternate telah tersiar berita bahwa angkatan laut di bawah pimpinan Abdulgafur, putra Nuku, mendekati Tidore. Nuku dengan bantuan Irian dan rakyat Patani akan menaklukan tidak hanya Tidore tetapi juga Ternate.
Di Ternate timbul kegelisahan karena pergolakan di Manado dan Gorontalo sangat membahayakan kedudukan VOC. Dalam keadaan itu, VOC cenderung memilih mengadakan perundingan dengan Nuku. Jawabannya sangat tegas bahwa ia tidak mau berurusan sama sekali dengan Belanda.
Gubernur Belanda di Ternate memprakarsai perundingan antara Nuku dan Sultan Kamaluddin (adik Nuku) tentang pembagian kekuasaan. Nuku menolak, bahkan sebaliknya, ia semakin meningkatkan perlawanannya. Pada tahun 1796 Pulau Banda didudukinya. Kekuasaan Kamaludin pun tidak efektif lagi, rakyat tidak bersedia untuk dikerahkan melawan Nuku bahkan Yugugu (patih) Tidore bersekongkol dengan pihak Nuku.
Pada 12 April 1797, angkatan laut Nuku yang terdiri dari 79 kapal dan sebuah kapal Inggris muncul di Tidore. Hampir seluruh pembesar kerajaan menyerah. Hanya Sultan Kamaludin beserta pengawalnya menyelamatkan diri ke Ternate. Tidore diduduki Nuku. Nuku mendapat pengakuan resmi sebagai Sultan Tidore dengan gelar Nuku Muhammad Amiruddin Kaicil Paparangan.
Sesudah itu, ia berusaha membebaskan Ternate dari kekuasaan Belanda. Armadanya melakukan blokade laut untuk mencegah masuknya bantuan militer Belanda ke Ternate. Pada bulan Januari 1801 Ternate dapat direbutnya. Nuku memerintah sampai tanggal 14 November 1815. Ia meninggal dunia setelah berhasil membebaskan Tidore dari kekuasaan Belanda.
Perjuangan Pangeran Nuku melawan Belanda dapat dipandang sebagai gerakan melawan penjajahan dan kolonialisme Belanda. Strategi Nuku adalah berdiplomasi dengan Inggris agar memperoleh bantuan guna melawan VOC. Persahabatan itu tanpa disertai pengakuan akan kekuasaan Inggris, seperti dilakukan Sultan Ternate terhadap Belanda.
Tujuan perjuangan Nuku adalah menghidupkan kembali empat Kerajaan Maluku Kuno yang merdeka. Seturut tradisi, ada hubungan harmonis antara Maluku, Seram, dan Irian. Lagi pula Kerajaan Jailolo (Halmahera) mandiri sebagai negara. Jadi nativisme diangkat sebagai ideologi tradisional untuk melawan penjajahan Barat. Gerakan Nuku itu dapat dipandang sebagai suatu proto-nasionalisme.
Atas jasa-jasanya kepada negara, Nuku Muhammad Amiruddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No. 071/TK/Tahun 1995, tanggal 7 Agustus 1995. eti | muli, red