
[SELEBRITI] Langkahnya untuk terus menyalakan perubahan melalui gerakan baca-tulis ia wujudkan dalam Rumah Dunia. Lewat wadah tersebut, penulis puluhan karya berupa novel maupun skenario ini ingin generasi muda bisa membaca, menulis, mendongeng dan bermain teater secara bebas.
Bagi penggemar novel Balada Si Roy, nama Gola Gong tentu sudah tak asing lagi. Penulis bernama asli Heri Hendrayana ini mendulang sukses besar berkat novel yang ditulisnya sejak di bangku SMA itu. “Saya terinspirasi menulis ‘Roy’ dari Old Shaterhand, Tom Sawyer, Musashi, Papillon, dan Jim Bowie. Karakter-karakter ini saya ramu dan melahirkan tokoh ‘Roy’,” begitu Gola Gong mengisahkan sejarah penciptaan novel Balada Si Roy. Novel yang tenar di tahun 90-an itu telah dicetak lebih dari 100.000 kopi. Keberhasilannya tersebut sekaligus mengantarkan nama Gola Gong menjadi salah satu penulis kenamaan.
Beberapa novel karya Gola Gong bahkan telah diangkat ke layar kaca, seperti Balada Si Roy yang dibuat versi sinetronnya oleh PT Indika Entertainment, serta dua karyanya yang lain, yakni Mata Elang dan Aku Seorang Kapiten.
Pria kelahiran Purwakarta 15 Agustus 1963 ini tidak hanya piawai menulis novel, ia juga dikenal sebagai penulis skenario acara-acara televisi. Pada tahun 1995, ia memulai karirnya di Indosiar dengan terlibat dalam kuis Terserah Anda dan sinetron Remaja 5. Satu tahun berselang, Gola Gong hijrah ke RCTI. Di stasiun televisi swasta pertama ini, ia menggarap opera sabun berjudul Dua Sisi Mata Uang, Komedi Situasi Ikhla, Papa, komedi Superhero Sang Prabu, Mega Sinetron Tauke Tembakau, Drama misteri Maharani, Pe-De dot kom, dan program spesial Tanah Air.
Tentang masa kecilnya, pada umur 11 tahun Gola Gong (Heri) mengalami sebuah kecelakaan jatuh dari pohon yang menyebabkan tangan kirinya harus diamputasi. Itu terjadi saat ia dan teman-temannya sedang bermain. Saat itu mereka menyaksikan beberapa tentara yang tengah berlatih terjun payung. Karena kepolosan dan rasa penasarannya, ia kemudian menantang kawan-kawannya untuk adu keberanian seperti seorang penerjun payung dengan cara loncat dari pohon. Siapa yang berani meloncat paling tinggi, dialah yang berhak menjadi pemimpin.
Kecelakaan itu tidak membuatnya tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan. Beruntung Heri kecil punya orangtua yang terus memberinya semangat serta motivasi. Ayahnya, Harris Sumantapura, yang berprofesi sebagai guru olahraga selalu berpesan padanya, “Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang.” Sepotong kalimat itulah yang terus diingat Gola Gong. Sejak kejadian itu, Heri pun rajin membaca. Nasihat sederhana itu rupanya benar-benar diresapinya sehingga ia berhasil menjadi penulis ternama.
Mengenai penamaan dirinya Gola Gong, hal itu bermula ketika ia bertanya kepada ibunya agar memberikan nama pena baginya. Ibunya yang merupakan seorang guru di sekolah keterampilan putri, Serang, itu berkata bahwa semua kesuksesan itu bukan miliknya melainkan milik Allah. Kata-kata ibunya itu ia terjemahkan dengan ‘Gong’ yang artinya semua milik Allah. Sedangkan Gola tercipta ketika ia sedang suka-sukanya menonton bola.
Seperti banyak penulis lain yang mengawali karir di dunia tulis menulis dengan menjadi seorang wartawan, Gola Gong jua demikian. Tahun 1989, pria penggemar bulutangkis ini tercatat sebagai wartawan tabloid Warta Pramuka hingga tahun 1995. Kemudian pada tahun 1994 hingga 1995, ia bekerja di tabloid Karina. Ia juga sempat menjadi reporter freelance di beberapa media massa.
Profesi sebagai wartawan yang pernah ditekuninya selama kurang lebih enam tahun memberikan banyak sekali manfaat bagi karir Gola Gong sebagai penulis. Karena selama menjadi wartawan, ia berkesempatan bertemu dengan banyak orang dengan berbagai karakter. Pengalaman itulah yang memperkaya imajinasi seorang Gola Gong hingga membuatnya lebih produktif dalam menciptakan sebuah cerita.
Faktor lain yang turut andil dalam proses kreatif ayah empat anak ini adalah kebiasaannya menulis sejak kecil. Gola Gong kecil telah terbiasa menulis semua pengalamannya di buku harian. Cara ini cukup efektif baginya untuk belajar mengolah kata dengan kreatif.
Gola Gong sadar bahwa kemampuan menulisnya itu tak semata-mata bakat yang hadir secara alamiah. Untuk itu, ia terus mengasah kemampuannya dengan terus menerus belajar. Ia percaya, bahwa kemampuan menulis ia dapat dari belajar dan terus berlatih.
Kecintaan Gong pada dunia tulis menulis dan membaca membuatnya ingin berbuat sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi orang banyak khususnya generasi muda. Maka ia pun mendirikan Rumah Dunia. Ide awal Rumah Dunia bermula ketika ia dan beberapa rekannya, seperti Toto ST Radik dan Rys Revolta (alm) kuliah di Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung tahun 1982. “Saya dan kawan-kawan waktu itu bikin janji bahwa kalau ada yang lebih dulu berkemampuan, dialah yang harus mulai membikin perubahan itu,” tutur Gola Gong yang tidak menamatkan kuliahnya dari Jurusan Sastra Indonesia Unpad dan memilih mengasah keterampilan dalam menulis.
Seperti banyak penulis lain yang mengawali karir di dunia tulis menulis dengan menjadi seorang wartawan, Gola Gong jua demikian. Tahun 1989, pria penggemar bulutangkis ini tercatat sebagai wartawan tabloid Warta Pramuka hingga tahun 1995. Kemudian pada tahun 1994 hingga 1995, ia bekerja di tabloid Karina. Ia juga sempat menjadi reporter freelance di beberapa media massa.
Kendati menolak disebut yang paling punya kemampuan finansial di antara rekan-rekannya, Gola Gong merasa terdorong untuk memulai. Apalagi, ia mempunyai modal berupa perpustakaan milik keluarganya. Ayahnya mempunyai banyak koleksi buku, majalah dan bahan bacaan lainnya.
Ketika Gola Gong mulai membuka perpustakaan keluarga untuk masyarakat pada tahun 1990-an, pada saat bersamaan dia juga merintis penerbitan tabloid bulanan berbasis komunitas, yaitu Banten Pos (1993) dan Meridian (2000). Dua tabloid itu hanya bertahan enam bulan. “Saya diancam petugas dengan pistol di atas meja jika tidak menghentikan penerbitan tabloid,” ujar pria yang sempat bercita-cita menjadi pilot di masa kecilnya itu. Meskipun sempat menerima ancaman, namun semua itu tidak menghentikan langkahnya untuk terus menyalakan perubahan melalui gerakan baca-tulis.
Pada Maret 2002, perpustakaan yang sudah dibuka untuk umum sejak tahun 1990-an itu diberi nama Pustakaloka Rumah Dunia dengan singkatan PRD. Ia mengakui mendompleng akronim Partai Rakyat Demokratik (PRD). “Ternyata sangat dahsyat selling point (nilai jual)-nya walaupun gara-gara itu kami juga sempat dicap aktivis PRD betulan,” kata Gola Gong. Bersama istrinya, Asih Purwaningtyas Hasanah atau lebih akrab disapa Tyas Tatanka, dan dibantu beberapa relawan lainnya, ia kelola PRD dengan menawarkan berbagai kegiatan “wisata”.
Kemasan wisata pada setiap kegiatan PRD dimaksudkan agar kegiatan baca-tulis itu memikat anak-anak dan remaja. Ada wisata baca dan dongeng, wisata gambar, wisata tulis, juga wisata lakon. Hal itu dipilih agar kesan serius sebuah perpustakaan berganti dengan kesan ramah dan lebih kuat aroma bermainnya. Awalnya, perpustakaan itu hanya berupa koleksi buku yang ditumpuk pada satu rak sepatu di sebuah kebun terbuka.
Pada Desember 2003, PRD berganti nama menjadi Rumah Dunia. Kemudian, pada 14 Februari 2004, Rumah Dunia diresmikan oleh Hj Cucu Munandar, istri Gubernur Banten, Djoko Munandar.
Rumah Dunia merupakan pusat belajar yang sengaja ia bangun untuk mengajarkan cara berbagi cinta dan berbagi ilmu, terutama pada generasi muda. Menurutnya, pembentukan komunitas ini merupakan satu investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya.
Di rumah yang terletak di kompleks Hegar Alam 40 Ciloan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten itulah anak-anak berusia hingga 15 tahun diberi kesempatan membaca, menulis, mendongeng dan bermain teater secara bebas.
Kemajuan Rumah Dunia bisa dilihat dari jumlah koleksi bukunya yang lebih dari 3.000 buku. Selain itu, Rumah Dunia juga telah melahirkan penulis-penulis berbakat yang telah memenangkan penghargaan di ajang kompetisi penulisan. Bagi Gola Gong, prestasi ini memiliki nilai kebanggaan yang sangat mahal harganya.
Lewat gerakan Rumah Dunianya, Gola Gong ingin melakukan dekonstruksi sosial lewat makna sebuah kata. Salah satunya kata “Jawara” yang terdapat pada toko bukunya yang bernama Kedai Buku Jawara. Awalnya, kata jawara memiliki makna peyoratif, yaitu identik dengan kekerasan. Tapi, dengan nama toko itu, Gola Gong ingin mengubahnya dan jadi bermakna “gudang ilmu’
Demi keberlangsungan Rumah Dunia, selain dari sumbangan para donatur dan kawan-kawannya, ia juga rela menyisihkan 2,5% dari penghasilannya sebagai tim kreatif dan hasil penjualan hak cipta dua novelnya, yaitu Balada Si Roy dan Pada-Mu Aku Bersimpuh. Rumah ini juga tetap berdiri dari dukungan rekan-rekannya serta masyarakat di sekitar lingkungan. “Kunci semua ini adalah ikhlas dan semangat berbagi dengan sesama. Langkah itu kami mulai dari lingkungan masyarakat di sekitar rumah, bukan dari menyodorkan proposal minta dana,” katanya.
Gola Gong yang pada 1965 bersama dengan orangtuanya meninggalkan kampung halamannya Purwakarta menuju Serang, Banten, ini juga ingin mengubah citra Banten yang selama ini lekat dengan stigma jawara, serta hal-hal berbau mistis yang berkonotasi negatif seperti teluh, santet, dan pelet. Dengan gerakan Rumah Dunia ini, Gola Gong ingin merubah stereotip tersebut menjadi “orang Banten adalah orang yang cerdas dan berwawasan”.
Rumah Dunia telah menjadi rumah bagi anak-anak dan remaja yang gemar membaca sambil bermain. Dengan segenap prestasi yang berhasil diraihnya serta dedikasi yang telah diberikannya, rupanya ia masih menyimpan impian yang jika terwujud dapat menjadi kebahagiaan terbesar dalam hidupnya. Ia ingin di Banten ada gedung kesenian dan perpustakaan yang besar dan representatif. Gola Gong juga selalu mensyukuri apa yang sudah diperolehnya. Karena baginya, itu adalah cermin untuk terus memperbaiki diri, dan tentu selalu ingat bahwa semua akan kembali kepada-Nya. eti | muli, red