Lebih Memilih Dunia Politik
Wanda Hamidah
[SELEBRITI] Saat terkenal sebagai model dan penyiar berita di layar kaca, Wanda Hamidah malah memilih meninggalkan itu semua demi memasuki dunia politik. Setelah kurang lebih sepuluh tahun menjadi aktivis di Partai Amanat Nasional, artis Peduli Hukum dan HAM tahun 2008 ini kemudian menjadi anggota DPRD DKI Jakarta periode 2009-2014. Sebagai wakil rakyat, ia termasuk sosok yang berani dan peka terhadap penderitaan kaum marginal.
Dunia politik bukanlah sesuatu yang baru bagi perempuan berdarah Betawi ini. Sejak kecil Wanda telah diajarkan hidup mandiri oleh kedua orangtuanya. Apalagi, latar belakang orangtuanya sebagai aktivis HMI dan KAMMI pada masanya, membuat Wanda menjelma sebagai wanita yang kuat, berdikari bahkan menaruh minat pada isu-isu politik. Saking gemarnya terhadap politik, berbagai topik yang menyangkut politik tak pernah luput dari perhatiannya. “Sebelumnya sih selalu ingin jadi diplomat. Tidak terlalu jauh lah dari politik. Tapi semuanya berjalan dan mengalir ke arah politik praktis, dan seakan saya pun secara alamiah memang di sini (politik),” ujarnya sebagai dikutip dari Jakarta Globe.
Beranjak remaja, perempuan yang lahir di Jakarta, 21 September 1977 ini terjun sebagai model. Wajah arabiannya yang cantik terpampang di berbagai sampul majalah remaja dan aneka iklan sehingga membuatnya semakin dikenal masyarakat luas. Kendati telah berprofesi sebagai model terkenal namun kecintaannya terhadap dunia politik telah mendarah daging. Untuk menyalurkan rasa cintanya terhadap dunia tersebut, Wanda aktif dalam berbagai organisasi.
Kecintaannya pada organisasi terbawa hingga ibu tiga anak ini duduk di bangku kuliah. Pada tahun 1998, suhu politik Indonesia memanas dan pemerintah Orde Baru tengah di ujung tanduk. Wanda yang saat itu terdaftar sebagai mahasiswa Trisakti melihat secara langsung rekan sealmamaternya menjadi korban penembakan. Kejadian tersebut kemudian memicu gelombang kerusuhan yang memporak-porandakan Jakarta. Aksi pendudukan kompleks parlemen oleh mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi akhirnya mampu menghentikan perjalanan panjang rezim Soeharto. Menurutnya, saat itu, ia beserta para reformis lain ikut berjuang demi masyarakat berkeadilan dan berkemakmuran, hidup dalam kerangka Indonesia yang berkemanusiaan.
Setelah sepuluh tahun berkiprah sebagai aktivis di Partai Amanat Nasional (PAN), Wanda mencalonkan diri sebagai wakil rakyat untuk pertama kalinya pada Pemilu 2009. Ia memilih PAN karena termasuk salah satu partai politik yang sehati dengan visi misi mahasiswa pada waktu itu yang menginginkan perubahan dan perbaikan bangsa. “Tidak gampang saat itu masuk sebagai anggota partai meskipun saat itu saya sudah menjadi artis, tidak seperti sekarang. Dan saat itu saya hanya sebagai anggota dari PAN (Partai Amanat Nasional) yang dipimpin Bapak Amien Rais,” jelas Wanda.
Putri pasangan Muhammad Husein dan Nini Hanifah ini kemudian terpilih menjadi anggota DPRD DKI Jakarta masa bakti 2009 – 2014 di komisi E dan menjadi Ketua Fraksi Amanat Bangsa.
Di komisi E DPRD DKI Jakarta, Wanda berurusan dengan masalah kesejahteraan rakyat meliputi ketenagakerjaan dan transmigrasi, pendidikan (dasar, menengah, tinggi), Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Kepemudaan dan Olahraga, Agama, Kebudayaan, Sosial, Kesehatan dan Keluarga Berencana, Peranan Wanita, Museum dan Cagar Budaya. Bidang tugasnya ini sesuai dengan panggilan hatinya yang ingin bekerja untuk kepentingan rakyat.
Wakil Komnas Perlindungan Anak (2006 – 2010) ini mengungkapkan prioritas utamanya yang dibagi menjadi 3 kategori. Pertama, mempersiapkan program ‘Women & Youth Empowerment’, memberdayakan kaum mayoritas (perempuan dan kaum muda) yang selama ini aspirasinya justru dipendam. Kedua, tugas-tugas spesifik kedewanan seperti budgeting, pengawasan dan pembuatan regulasi atau Perda (tk. Propinsi) dikerjakan semaksimal mungkin, transparan tanpa vested interest (proyek maupun gratifikasi) dan menuntut transparansi serta memperjuangkan perda-perda yang berpihak pada kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan pemilik modal. Ketiga, kerja extra-parlemen, dibantu tim yang fokus di grass root yang selalu menggali aspirasi dari bawah dan juga aktif mengadvokasi langsung kendala-kendala riil yang dihadapi oleh warga Jakarta seperti pelayanan kesehatan yang tak memadai, pendidikan, dan masalah hukum.
Di sisi lain, Wanda mengakui ada sejumlah tantangan klasik yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah kultur pemerintahan dan wakil rakyatnya yang mengedepankan proyek untuk memperkaya diri dan melupakan fungsi-fungsi pengabdiannya. Kenyataan ini menurut Wanda membuat masyarakat cenderung skeptis terhadap aparat pemerintah. Sebenarnya kalau mau jujur, politisi di belahan dunia manapun itu selalu buruk kok citranya, di negara dengan kehidupan demokrasi yang sudah mapan seperti Amerika Serikat pun, sulit sekali menggapai lebih dari 50% warga dengan hak pilih untuk memilih dalam pemilu. Ini cermin ketidakpercayaan masyarakat. Saya memilih untuk tak ambil pusing dengan suara-suara minor yang memang sudah ‘putus asa’, saya fokuskan untuk bekerja dan mendengar aspirasi yang disampaikan serius bukan sekadar untuk menguji atau memaki. Kadang-kadang rasa kesal tentu ada, apalagi penghasilan yang tak seberapa bila dibandingkan saya bekerja sebagai notaris. Tapi ini tak sering kok. Saya sudah memperhitungkan segala risiko berada di jalur ini,” jawab artis yang main dalam film berjudul Pengejar Angin ini.
Di sisi lain, Wanda mengakui ada sejumlah tantangan klasik yang terus terjadi dari tahun ke tahun. Salah satunya adalah kultur pemerintahan dan wakil rakyatnya yang mengedepankan proyek untuk memperkaya diri dan melupakan fungsi-fungsi pengabdiannya.
Sebagai politisi yang peduli rakyat kecil, Wanda digadang-gadang untuk mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di DKI Jakarta. Yang pasti, kata Wanda, ia tidak akan maju bila tidak mendapat dukungan partai. “Saya bismillah saja. Justru Pak Hatta yang meminta,” kata mantan penyiar Metro TV Jakarta (2000 – 2002) ini.
Dukungan lain datang dari Wasekjen PAN Achmad Rubaei. Menurut Achmad, Wanda memiliki daya jual tinggi sebab Wanda sudah menjadi politisi dan duduk di DPRD. Karena sudah di DPRD, Wanda pun sudah mengetahui proses pengambilan keputusan. “Kalau hanya jadi anggota DPRD dia tidak bisa mewujudkan idealismenya untuk mensejahterakan rakyat DKI,” kata Achmad usai diskusi di Polemik Trijaya, Jakarta Pusat (19/11/2011).
Bicara soal Jakarta, Wanda berpendapat, banjir dan kemacetan masih menjadi persoalan utama yang belum teratasi. Jakarta juga perlu menyediakan akses pendidikan bagi seluruh warga (miskin, berkebutuhan khusus, pengidap autisme) dan akses terhadap pelayanan kesehatan yang terjangkau. Mengenai banjir, penanganannya tak bisa singkat. Pembangunan di atas ruang terbuka hijau dan pesisir, pengerukan, penimbunan oleh pengembang sangat signifikan dalam menambah titik area banjir di Jakarta. Oleh sebab itu, penyelesaiannya tentu dengan menghentikan pembangunan seperti itu dan perlu ada ketegasan untuk menggusur bukan hanya terhadap rakyat kecil saja tapi pertokoan dan perumahan mewah yang tidak jarang berdiri di atas resapan air sehingga menyebabkan banjir di sekitarnya.
Sedangkan mengenai kemacetan, Ketua Yayasan Azzahra ini mengungkapkan bahwa Jakarta bisa belajar dari Singapura dan Hong Kong yang memiliki sistem transit yang sangat berhasil dan penggunaan mobil yang sangat rendah. Mereka cenderung memilih untuk memprioritaskan MRT (Mass Rapid Transit) daripada kendaraan bermotor pribadi. Semuanya itu dapat tercapai dengan meningkatkan sarana bagi pejalan kaki di pusat kota seperti membangun trotoar dan jembatan penyeberangan, membatasi lahan parkir dan lebih mengintegrasikan kereta api dan bus, menaikkan biaya kepemilikan mobil dengan memberlakukan pajak yang tinggi serta mencabut subsidi bahan bakar tanpa kecuali khusus untuk DKI Jakarta, menaikkan biaya administrasi lainnya dan memahalkan biaya parkir.
Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan dan pendidikan harus dibuka selebar-lebarnya bagi semua kalangan. Termasuk tidak ada lagi rumah sakit yang menolak pasien karena tidak mampu secara ekonomi. Pendidikan gratis mesti diterapkan di sekolah-sekolah negeri dan harus terbuka bagi anak dengan kebutuhan khusus dari keluarga pra-sejahtera. Kesempatan mendapat pendidikan yang sesuai dan spesifik juga harus berlaku untuk anak yang cacat fisik, autis, dan kebutuhan khusus lainnya.
Menurut Wanda, semua itu tak mungkin bisa terlaksana tanpa menyentuh dan mencoba semaksimal mungkin memecahkan muara persoalan bangsa ini yakni “Kemiskinan Integritas”. Kejujuran adalah prinsip dasar integritas. Jakarta sebagai ibukota termasuk pengidap penyakit ketidakjujuran yang sudah akut. Oleh sebab itu, untuk mengatasinya, masyarakat harus berperan aktif dalam pengambilan-pengambilan keputusan mulai dari Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Komite Sekolah, menjadi sukarelawan gerakan gerakan sosial, serta terus mengawasi, mengkritisi juga mengapresiasi politisi-politisi yang tugasnya mewakili rakyat. Jakarta harus menjadi kota yang memanusiakan warganya, berbudaya luhur dan nyaman untuk semua,” kata artis yang menghabiskan waktu senggangya bersama suami dan anak-anak dengan berolahraga bersama, menonton pertunjukan musik dan teater, mengunjungi toko / pameran buku atau menyempatkan diri bersosialisasi dengan sahabat-sahabat lamanya. bety, red