‘Guru Demokrasi’ Petani Batang

Handoko Wibowo
 
0
343
Handoko Wibowo
Handoko Wibowo | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Pengacara dan aktivis demokrasi berlatar belakang etnis China, ini patut digelari ‘guru demokrasi’ petani Batang. Namun pria kelahiran Pekalongan 9 November 1962, ini lebih suka disebut guru gerakan petani di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Oleh kalangan aktivis demokrasi dia disebut aktor dominan dalam proses demokratisasi di Batang.

Namun oleh rezim yang berkuasa, dia mungkin disebut “provokator” karena ikut menggerakkan berbagai unjuk rasa petani. Sebab, sulit untuk tidak mengaitkan gerakan petani di Kabupaten Batang, Jawa Tengah, dengan pria lajang bernama Handoko Wibowo ini. Rumahnya di Dukuh Cepoko, Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Batang, adalah tempat persinggahan berbagai kalangan.

Beragam orang seperti petani, aktivis lembaga swadaya masyarakat, politikus, dan mahasiswa, datang ke rumahnya. Umumnya untuk urusan politik, tetapi kadang sekadar mendengar laporan Mbah Umar Said yang menunjukkan jahitan di selangkangannya sehabis operasi karena tidak bisa kencing seperti yang terjadi Selasa (24/1/2006).

Handoko adalah kontradiksi. Ia berlatar belakang etnis China dan seorang Kristiani di tengah mayoritas Muslim petani pantai utara Jawa itu. Rumahnya—warisan orangtua—berdiri di atas tanah delapan hektar, di tengah petani penggarap yang rata-rata tidak punya tanah.

Kontradiksi ini pula yang sempat dipertanyakan aktivis Partai Rakyat Demokratik ketika berkunjung ke rumahnya beberapa waktu lalu. Aktivis itu mempersoalkan kondisi borjuasi Handoko yang kontradiktif dengan kelompok petani yang dia perjuangkan. “Sulit menjelaskannya, tetapi itulah misteri kehidupan,” kata putra sulung pasangan Teguh Budi Wibowo (almarhum) dan Lena Indriana itu.

Keputusannya bertahan sejak tahun 1998 hingga sekarang mendampingi petani Batang merupakan perpotongan pengalaman masa lalu ayahnya, pergaulan masa kecilnya dengan anak petani, serta rasa belas kasihan terhadap nasib petani penggarap Batang.

Ayahnya—orang terkaya di Batang periode 1960-an—ditahan tiga bulan karena diindikasikan anggota Partai Komunis Indonesia oleh orang China sendiri hanya karena aktif di Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Ayahnya juga menjadi korban pemerasan pejabat, sehingga selalu ingin dekat penguasa dan jenderal. “Karena itu Ayah mendorong saya belajar hukum, supaya tidak dikurangajari,” tuturnya.

Eksperimen politik
Sekembalinya ke Bandar tahun 1987 seusai menamatkan kuliah hukum di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga, ia mendapati perusahaan cengkeh ibunya bangkrut dan menjadi korban pemerasan. Setelah ikut membantu membereskan utang, tahun 1991 Handoko mendapat izin pengacaranya. Kasus pertama yang dia tangani adalah kasus ibunya sendiri menghadapi gugatan berhubungan dengan bisnisnya.

Kasus keduanya adalah menjadi anggota tim hukum Arief Budiman yang dipecat UKSW pada 31 Oktober 1994. Dari situ ia berkenalan dan belajar dari sejumlah advokat senior yang juga anggota tim, seperti Adnan Buyung Nasution dan Nursyahbani Katjasungkana.

Advertisement

Kasus publik yang akhirnya membuatnya ikut gerakan petani Batang adalah saat menjadi pengacara Keluarga Korban Limbah Kali Banger Pekalongan. Di Pengadilan Negeri Pekalongan dua tahun lalu kasus ini menang, kecuali ganti rugi yang dianulir dari Rp 750 juta menjadi Rp 50 juta.

Sejak itu ia didatangi warga yang berkonflik tanah. “Kerja reformasi ini seperti kerja di sarang laba-laba. Makin kita berusaha keluar, makin ditarik,” ujarnya.

Pernah ada suatu fase, yaitu 17 Agustus 2001, ia sempat berpikir bekerja di sebuah lembaga swadaya masyarakat. Ia sempat berpamitan kepada teman petaninya. Namun, besoknya rumahnya didatangi petani yang memintanya tidak pergi. “Dengan berat hati tidak saya teruskan, tetapi tetap tinggal di sini,” katanya.

Mbah Mardjukan (77), petani yang pernah tinggal 15 tahun di Pulau Buru karena dituduh terlibat Barisan Tani Indonesia tahun 1965, terkesan oleh pidato Handoko yang dinilainya “progresif revolusioner”. “Ia berpidato agar petani segera sadar menuntut haknya atas tanah. Kata-kata ‘menuntut hak’ itu kan politis,” ujar Mbah Mardjukan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Batang Jakub Widodo menyebut Handoko sebagai orang ketiga di peta perpolitikan lokal Batang setelah Bambang Bintoro, Bupati Batang dari PDI-P, dan Agus Tjondro Prayitno, anggota DPR dari Fraksi PDI-P. “Handoko adalah kekuatan penyeimbang antara Bambang Bintoro dan Agus Tjondro,” ujar Jakub.

Meskipun demikian, Handoko sama sekali tidak tertarik masuk ke dunia politik. Berangan- angan pun tidak. “Ini bagian dari inkonsistensi gerakan kalau saya masuk politik,” ujarnya.

Kini bersama Forum Paguyuban Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NBP), Handoko “bereksperimen” mengubah gerakan mereka dari gerakan sosial menjadi gerakan politik. Mereka berupaya merebut jabatan politik di pemerintahan desa dan DPRD Batang dengan memperkuat basis dan representasi. Dengan demikian calon yang diperoleh benar-benar berakar.

Handoko mengaku sedang belajar bagaimana mengubah orang-orang ini menjadi orang yang demokratis. “Harapan saya, mereka menjadi petani yang bermartabat,” katanya. (Subur Tjahjono, Kompas 6 Februari 2006)

***

Dari Gerakan Sosial ke Politik

Rapat Selasa (24/1) siang di rumah pengacara Handoko Wibowo di Dukuh Cepoko, Desa Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, itu tampak hidup.

Ketika semua orang berebutan berbicara dalam rapat yang diikuti 20-an orang itu, Mbah Mardjukan (77) berdiri. “Mari kita belajar berdemokrasi, tetapi jangan liberalis. Sini ngomong sana ngomong!” ujar petani yang pernah 15 tahun di Pulau Buru sejak tahun 1965 karena dituduh terlibat Barisan Tani Indonesia itu.

Peserta rapat itu adalah para pengurus Forum Paguyuban Petani Nelayan Batang Pekalongan (FP2NBP) yang dipimpin Sugandi, Handoko Wibowo, dan mahasiswa pendamping petani. FP2NBP adalah organisasi payung bagi 20 organisasi petani dan nelayan di Batang dan Pekalongan yang sedang berkonflik tanah. Mereka sedang menyiapkan Rapat Kerja (Raker) FP2NBP yang rencananya digelar 25-26 Februari 2006.

Raker ini terutama bertujuan mencari masukan tentang pemilihan umum raya FP2NBP yang beranggotakan 20.000-an keluarga. Mereka akan mencari wakil-wakil yang akan berjuang dalam pemilihan kepala desa tahun 2007 dan pemilihan umum 2009, khususnya untuk DPRD Batang. Raker juga membahas penyikapan FP2NBP atas pelaksanaan pemilihan Bupati Batang 10 Desember 2006.

Dalam rapat dua jam itu mereka memperdebatkan perlunya FP2NBP mempunyai wakil di pemerintahan desa dan DPRD Batang karena dua lembaga ini penting untuk memperjuangkan hak atas tanah mereka yang sudah dilakukan sejak tahun 1998.

Jabatan kepala desa penting karena dia yang menandatangani persetujuan atas perpanjangan atau pemutusan hak guna usaha (HGU). DPRD penting karena pengaruh politiknya terhadap kebijakan Bupati Batang. “Bagaimana kalau ada tuduhan OT,” ujar Sugandi. OT adalah singkatan organisasi terlarang, seperti Partai Komunis Indonesia dan onderbouw-nya.

Mbah Dulkamid segera menyahut, “Semua warga punya hak dipilih dan memilih. Ketentuan di UU Pemilu sudah dicabut Mahkamah Konstitusi.”

Handoko Wibowo mengharapkan agar Raker FP2NBP itu benar-benar diikuti seluruh anggota organisasi dan semua orang berhak berbicara. Ojo koyo rapat partai, sing teko mung ketua, sekretaris, karo bendahara. Dadi keputusane mung otake wong-wong iku wae (Jangan seperti rapat partai, yang datang cuma ketua, sekretaris sama bendahara. Jadi keputusannya cuma otaknya orang-orang itu),” ujar Handoko. “Wis ojo ditiru (Sudah jangan ditiru),” ungkap Mbah Mardjukan.

Demokrasi tingkat lokal
Suasana demokratis yang cukup mengejutkan untuk tingkat desa ini berlanjut dalam sosialisasi hasil rapat malamnya di rumah Mbah Waryoso di Desa Sembojo, Kecamatan Bandar, 10 kilometer dari rumah Handoko. Walaupun hujan turun, rumah Waryoso tetap disesaki warga.

Ketika peserta sosialisasi enggan bertanya soal materi sosialisasi, kembali Mbah Mardjukan memberi motivasi. “Mbok belajar ngomong, lebih-lebih anggota,” katanya.

Sosialisasi hasil rapat itu juga dihadiri Ketua Komisi Pemilihan Umum Batang Jakub Widodo yang berjanji membantu pendidikan pemilih di lingkungan petani Batang itu. “Supaya pilkades itu tidak ujug-ujug dan tidak terjadi politik uang,” kata Jakub.

Jakub memberi contoh Bupati Batang yang gaji resminya Rp 6 juta-Rp 7 juta dan ditambah dana lain-lain, berarti penghasilannya Rp 50 juta per bulan. Artinya, dalam lima tahun Bupati Batang mendapat Rp 3 miliar.

Akan tetapi, untuk kampanye di Batang yang pemilihnya sekitar 500.000, paling tidak calon Bupati Batang harus mengeluarkan Rp 2,5 miliar untuk membuat kaus seharga Rp 10.000 bagi 250.000 orang saja. Belum lagi biaya untuk saksi-saksi di 1.000 tempat pemungutan suara. Biaya kampanyenya bisa lebih dari Rp 3 miliar. Masak jadi bupati malah tekor,” ujar dosen Universitas Pekalongan itu.

Salah satu yang diperdebatkan dalam sosialisasi itu adalah bagaimana kalau ada dua calon kepala desa dari FP2NBP, seperti ditanyakan Kasbullah. “Itu masalah kedudukan. Kalau banyak yang nyalon, malah terjadi perpecahan,” ujarnya. Disepakati masalah-masalah seperti ini dibicarakan lebih dalam di Raker FP2NBP mendatang.

Handoko yang mendampingi petani Batang sejak 1998 itu yakin dapat mengegolkan calon kepala desa untuk lima desa di Kecamatan Bandar. Beberapa calon sudah disiapkan, minimal berpendidikan sekolah menengah pertama, seperti Daryono untuk pilkades Sembojo, Bandar.

Daryono yang pernah menjadi calon dalam pilkades 1998 itu optimistis bisa menang karena 80 persen warga desa itu anggota Paguyuban Petani Sido Dadi (P2SD) yang bersengketa tanah dengan PT Segayung. “Kalau terpilih jadi kepala desa, saya tidak akan menandatangani perpanjangan HGU PT Segayung,” ujarnya.

Baru disadari
Perubahan cara perjuangan dari gerakan sosial menjadi gerakan politik ini memang baru disadari sekarang setelah perjuangan panjang sejak tahun 1998. “Kami baru sadar ternyata kami selama ini dibuat mainan saja,” ujar Handoko Wibowo.

Surono (33), warga Dukuh Pagilaran, yang dikader menjadi calon anggota DPRD Batang, merasa heran mengapa setiap upaya perjuangan Forum Masyarakat Gunung Kamulyan (FMGK) selalu dipingpong, baik oleh pemerintah daerah maupun DPRD Batang.

Padahal, rumah sederhananya yang berada di kompleks PT Perkebunan Teh Pagilaran itu menjelang kampanye tahun 2004 sering didatangi aktivis partai, seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, bahkan juga Partai Keadilan Sejahtera.

“Tetapi kalau sudah disodori kasus tanah ini mereka selalu menghindar,” ujar alumnus IKIP Yogyakarta itu. Kecamatan Bandar itu adalah basis PDI-P karena sejak dulu juga menjadi basis Partai Nasional Indonesia. Seorang warga Desa Kalisari, Rolihin, melukiskan, “Di sini basis PDI-P sudah sejak zaman Umar bin Khattab.”

Para petani Batang itu sebetulnya punya seorang kader di DPRD Batang, yaitu Ithour Fattah, yang bekas Ketua Kembang Tani, yang menjadi anggota Fraksi PDI-P. Namun, Handoko menyebutnya sebagai “produk gagal” karena tidak pernah berusaha memperjuangkan petani. Padahal, Kembang Tani berhasil memperoleh sertifikasi dari hasil perjuangannya tahun 2003.

Karena itu, tak ada jalan lain bagi para petani untuk memperjuangkan nasib mereka, kecuali masuk dalam proses politik. Namun, persoalannya tidak selesai. Setelah berhasil menyelenggarakan pemilu raya untuk calon DPRD tahun 2008, misalnya, akan dititipkan di partai mana calon-calon anggota DPRD dari FP2NBP itu?

Handoko Wibowo berharap paket UU bidang politik direvisi sehingga membuka peluang bagi calon independen dan pembentukan partai lokal. Kalau itu tidak dimungkinkan? “Kami akan mengudeta partai gurem. Atau dengan sangat terpaksa, saya yakin kami akan dilamar partai politik,” ujarnya.

Sebuah cita-cita yang mungkin tampak mustahil, tetapi sedang diupayakan terwujud. Proses demokratisasi di tingkat lokal dengan penguatan representasi tengah berjalan di Batang. (Subur Tjahjono, Kompas 3 Februari 2006) e-ti

Data Singkat
Handoko Wibowo, Pengacara / ‘Guru Demokrasi’ Petani Batang | Wiki-tokoh | Petani, hukum, tionghoa, PKI

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini