Memutus Mata Rantai Kemiskinan
Sutanto Sastraredja
[WIKI-TOKOH] Kemiskinan struktural mutlak diputuskan. Para petani harus bangkit untuk menggapai hidup yang lebih baik.
Suatu hari, sekitar tahun 1990-an, Sutanto Sastraredja berjalanjalan di lereng Gunung Lawu, Tawangmangu, Solo, Jawa Tengah. Di perjalanan itu, dia melihat kenyataan yang memiriskan. Banyak petani di sana yang hidup di garis kemiskinan.
Kondisi itu membuat dirinya prihatin. Dia pun mulai berpikir untuk dapat membantu mening katkan pendapatan para penduduk yang mayoritas bercocok tanam itu. Dengan berbagai metodologi yang didapatkan selama bergelut di dunia pendidikan, pria kelahiran 2 Maret 1971 ini mulai memberikan penyuluhan kepada beberapa petani. “Kemiskinan struktural perlu dipatahkan. Awalnya sangat berat, tetapi dengan tekad yang bulat, saya mulai merintisnya,sampai hari ini,” ujar Sutanto kepada Media Indonesia di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Bermodal sepeda motor, dia pun menelusuri kembali lereng Gunung Lawu. Alhasil, dia melihat sebuah perkebunan gula herbal (Stevia rebaudiana) yang luas. Sayangnya, para petani masih lemah dalam hal promosi ke luar daerah. “Banyak tanaman di sana. Namun, saya lebih fokus kepada tanaman stevia. Saya melihat petani-petani di sana sudah bekerja keras. Tapi, hasilnya tidak berpengaruh kepada pendapatan keluarga mereka,” cetus pengajar di Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret, Surakarta, itu.
Ia pun mulai berdiskusi dengan beberapa petani. Sutanto mulai mencoba melibatkan diri dalam pembudidayaan gula herbal. Mulai melakukan penyuluhan, sekaligus memberikan pemahaman kepada petani tentang manfaat tanaman gula herbal. Sebuah kenyataan ditemuinya. “Hasil stevia hanya dijual di pasar lokal. Nah saat itu, saya mulai berpikir kenapa tidak ditawarkan kepada konsumen luar negeri. Ini yang belum dilakukan para petani,” tandasnya.
Menurut Sutanto, tanaman stevia tidak tumbuh dengan sembarangan. Tanaman ini biasanya butuh kelembapan dan curah hujan yang tinggi.Fungsinya, agar dapat mendatangkan hasil yang berkualitas. Tanaman ini hanya tumbuh secara subur di tiga negara, yaitu Indonesia, Paraguay, dan Brasil.
“Biasanya berada di ketinggian 900 meter DPL (di atas permukaan laut). Tumbuhan ini sendiri sudah ada sejak lama
di lereng Gunung Lawu, tetapi sayangnya belum dimaksimalkan pengembangannya,” jelas ayah tiga anak itu, seraya mengatakan tumbuhan tersebut ada di kawasan itu karena dibawa oleh penjajah dahulu.
Akan tetapi, ketika sedang melakukan pendekatan dengan para petani, Sutanto harus meninggalkan mereka sementara
waktu. Di waktu yang sama, dia mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan strata 2 (S-2) dalam kajian Algorithma
and Arithmatics experimental A2X Université Bordeaux, Prancis (1998).
Namun, di kala menjalankan studinya, ia masih terus memikirkan proyek mengembangkan kesejahteraan para petani gula tersebut. “Saya mulai mengkaji bagaimana langkah selanjutnya untuk memberikan sumbangsih bagi masyarakat. Saya mulai mengumpulkan data primer tentang tanaman stevia untuk dipelajari secara spesifi k,” kisahnya. Pada 1998, Sutanto berhasil meraih gelar master di ‘Negeri Frankreich’ itu. Dia pun kembali ke Tanah Air. Di Prancis dia melihat kehidupan petani sana sangat maju dan sejahtera. “Beda dengan Indonesia, yang sebenarnya memilik lahan luas, tetapi penghasilan petani minim,” ungkapnya.
Sekembalinya ke Solo, dia pun kembali menelusuri lereng Gunung Lawu. Dia makin gesit dalam menggandeng para petani untuk
bisa menghasilkan produksi secara berlipat. Awalnya, dia menghimpun 20 petani untuk bekerja sama. Mereka mulai membudidayakan stevia dalam polybag. Umur tanam an ini bisa mencapai 4-6 tahun. Memiliki kegunaan dari batang hingga daun. “Jadi, saat mengecap batang hingga daunnya saja sudah terasa manis,”tuturnya. Hasil stevia mulai dipasarkan ke luar daerah itu. Mulai dari beberapa kabupaten di Jawa Tengah, hingga Jawa Timur. “Saya hanya memberikan informasi kepada para petani. Mereka sendiri yang menjual, dan hasil penjualan semuanya untuk mereka,” sambung Sutanto yang mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S-3 di Université Bordeaux dan berhasil meraih gelar doktor pada 2001 itu.
Pasar terus terbuka. Setelah pasar dalam negeri terlayani,ia pun berupaya menerobos pasar mancanegara. “Kini hasil
gula herbal ini sudah diekspor ke Malaysia, Singapura, dan Korea. Saya menggandeng beberapa supplier agar bisa
menjadi jembatan antara petani dan konsumen di luar,” ujarnya dengan nada bangga.
Pada 2007, selain tanaman stevia, suami Siwi Rahayu itu mulai mendampingi kelompok petani untuk membudidayakan
kunyit. Sempat hasilnya kurang maksimal karena pupuk yang minim. Melihat kondisi itu, Sutanto mulai bekerja sama dengan koperasi
setempat untuk menyediakan bibit unggulan, pupuk, dan obat antihama. “Saat pembudidayaan kunyit,saya melibatkan mahasiswa-mahasiwa saya untuk terlibat di dalamnya. Ini berguna untuk bisa saling mengisi,” tukasnya.
Budi daya mangga flores
Sutanto juga melebarkan visinya ke luar Pulau Jawa. Dia mulai melirik potensi mangga di Larantuka, Nusa Tenggara Timur, dan jeruk di Bali. “Aneh bila masyarakat Indonesia miskin. Saya melihat masyarakat Larantuka menjadikan mangga sebagai makanan kuda. Ini bisa dibudidayakan menjadi produk unggulan,” cetusnya.
Untuk menjalankan program di Larantuka, dia mengaku tengah menjalin kerja sama dengan Universitas La Rochelle, Prancis.
Ke terlibatan pihak asing berguna untuk membiayai program pemberdayaan petani.
Rencana program pengembangan mangga akan berjalan pada 2011. Pasalnya, beberapa proposal baru akan dijawab pihak La Rochelle, Februari mendatang. “Kalau tidak menggandeng pihak asing, kita akan rugi! Pihak asing akan mendapatkan manfaat dari hasil riset, sedangkan produk akan dikuasai seluruhnya oleh petani,” jelas Sutanto.
Berdasarkan studi statistik di Indonesia, sejumlah 60% orang miskin yang mayoritasnya petani masih berada di desa. Hasil ini menjadi patokan utama Sutanto untuk bisa membalikkan situasi secara kuantitatif.
Kini, selain membuka paradigma berpikir para petani,Sutanto juga telah mengabadikan dirinya selama puluhan tahun di Universitas Sebelas Maret. Baginya, pengabdian kepada masyarakat mutlak dilakukan. “Memang, memberikan satu pemahaman kepada petani tidaklah mudah. Butuh pendekatan budaya agar mereka mau melakukan apa yang disarankan,” pungkas penikmat soto itu. (M-5) e-ti
Sumber: Media Indonesia, Senin, 15 November 2010 | Penulis: Iwan Kurniawan