Spiritualitas di Dunia Migas

Salis S Aprilian
 
0
261
Salis S Aprilian
Salis S Aprilian | Tokoh.ID

[WIKI-TOKOH] Keseimbangan antara sisi spiritual dan usaha yang maksimal menjadi nilai bersama yang diterapkan di PT Pertamina EP.

Eksploitasi sumber daya alam adalah salah satu usaha yang masih menjadi tumpuan penggerak roda perekonomian bangsa ini. Di dalam bisnis itu, sumber daya manusia dan penguasaan teknologi menentukan.Namun, bagi Presiden Direktur PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (EP) Salis S Aprilian, masih ada satu unsur lagi yang tidak bisa ditinggalkan, yakni doa.

“Keyakinan terhadap hasil survei dan studi tidak bisa menjadi patokan eksplorasi dan produksi minyak dan gas bumi (migas) sepenuhnya berhasil. Kita, berhadapan dengan sesuatu belum pasti di bawah sana (perut bumi). Usaha maksimal harus disertai dengan meminta kepada Yang di Atas supaya diizinkan menemukan ciptaan-Nya untuk kita olah demi manfaat bagi kehidupan manusia. Contoh kecilnya, berdoa sebelum bekerja, itu penting,” ujarnya dalam bincang-bincang dengan Media Indonesia, di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Menurut Salis, keseimbangan antara sisi spiritual dan usaha yang maksimal serta proses belajar tanpa henti menjadi nilai bersama yang diterapkan di anak usaha PT Pertamina (Persero) itu. Para pekerja PT Pertamina EP terbiasa memanfaatkan bonus yang mereka terima dari hasil kenaikan produksi, misalnya, untuk umrah.Hal itu sebagai wujud timbal balik manusia dengan Sang Pencipta. Ia mengatakan bisnis migas terkait dengan sesuatu yang merupakan ciptaan Yang Maha Kuasa. Hasilnya harus dikembalikan kepada pencipta, kepada alam, dan memberi manfaat kepada masyarakat.

Unsur spiritualitas tersebut menjadi bagian dari prinsip mawas diri, salah satu dari nilai moral yang menjadi acuan pekerja di perusahaan penyumbang lebih dari 80% pendapatan Pertamina ini.”Dalam kehidupan sehari-hari, kita ingin membentuk pekerja yang peduli, harus jujur, tidak ada kepentingan lain selain untuk perusahaan. Harus kuat dalam melakukan pekerjaan, kuat dalam bernegosiasi dan berargumen. Namun harus diingat, dalam prosesnya kita juga harus mawas diri, ha-rus toleran terhadap sesama pekerja, mitra, kompetitor maupun terhadap masyarakat dan lingkungan,” paparnya.

Dengan mengembangkan budaya seperti itu, imbuhnya, kesuksesan akan selalu menjadi sesuatu yang disyukuri. Kegagalan pun tidak lantas membuat jatuh, tapi justru memacu untuk bekerja lebih keras lagi.Nilai-nilai itu pula yang membuat Salis yakin bisa menggerakkan gerbong Pertamina EP untuk menjadi produsen migas terbesar nasional pada 2011. Saat ini dengan produksi minyak mentah di kisaran 120 ribu barel per hari (bph), Pertamina EP berada di posisi nomor dua setelah Chevron yang memproduksi rata-rata 380 ribu bph.

Agar menjadi nomor satu, target produksi hingga 150 ribu bph adalah keharusan. Demikian halnya produksi gas bumi, Pertamina EP harus memproduksi 1.500 ju ta kaki kubik per hari (millions metric standard cubic feet per day I mmscfd), dari produksi saat ini di kisaran 1.050 mmscfd yang membuatnya masih menjadi nomor dua setelah Total yang memproduksi 2.524 mmscfd.

“Itu target yang realistis karena yang kita kejar adalah produsen terbesar gabungan antara minyak dan gas bumi. Kalau Chevron terbesar karena minyak, tapi mereka tidak punya gas. Total punya gas, tapi tidak punya minyak. Kami punya keduanya se-hingga kalau dijumlah dalam hitungan ribu barel setara minyak bumi per hari (barrel oil equivalent per day I BOEPD) kami bisa menjadi nomor satu pada 2011,” ujar pria 47 tahun yang hobi berolahraga ini.Saat ini kemampuan produksi Pertamina EP sekitar 300 ribu BOEPD. Mengejar target pencapaian produsen terbesar dengan rata-rata produksi migas 570 ribu BOEPD dari 10 area operasi yang 100% dimiliki perseroan, imbuh Salis, berarti bekerja keras.

Keberpihakan

Berkarier di Pertamina sejak 1989 membuat Salis paham benar bahwa bisnis migas tidak bisa lepas dari campur tangan negara sebagai pemilik wilayah kerja.Pengalaman bersama Pertamina saat masih menjadi pelaku sekaligus regulator industri migas di masa lalu membuatnya memiliki pandangan tersendiri terhadap kebijakan pemerintah di sektor ini. Ia menyoroti masih kurangnya keberpihakan pemerintah kepada Pertamina sebagai badan usaha milik negara (BUMN).

Advertisement

“Banyak pihak yang mendorong Undang-Undang Migas No 22/2001 harus direvisi. Namun, bagi saya kalau revisi hanya mengembalikan UU itu ke konsep lama (UU Nomor 44 Tahun 1960) dengan Pertamina menjadi pelaku sekaligus regulator. Ini malah tidak akan membuat Pertamina bisa bersaing menjadi perusahaan migas kelas dunia karena kita akan berkutat mengatur sekaligus menjalankan bisnis yang justru menuntut efisiensi. Tidak masalah Pertaminamenjadi kontraktor, yang perlu dibenahi, dari sisi keberpihakan saja,” tuturnya,

Sebagai badan usaha milik negara (BUMN), sedikit dukungan lebih dari pemerintah akan menjadi modal yang akan membuat perusahaan pelat merah tersebut melaju bergulat di bisnis migas nasional dan dunia.Menurut Salis, keberpihakan terhadap perusahaan milik negara merupakan hal yang sangat wajar dan banyak pemerintah di dunia melakukannya. Seperti halnya Petronas, BUMN migas negeri jiran yang meraih kesuksesan hingga di kancah global karena pemerintahnya mengawal setiap langkah operasi mereka di dalam dan luar negeri.

“Mereka bisa menjadi tuan rumah di negerinya sendiri sekaligus sukses beroperasi di negeri orang karena setiap upaya ekspansi ke luar negeri, pemerintahnya mengawal dengan melakukan pendekatan antarpemerintah,” papar Salis.Demikian halnya dengan kontrak blok migas yang akan berakhir, keberpihakan pemerintah untuk memberi kesempatan pertama kepada Pertamina untuk menjadi pengelola baru bukanlah sesuatu yang berlebihan.Ia juga membantah alasan kurangnya modal, lemahnya kemampuan sumberdaya manusia (SDM) hingga minimnya penguasaan teknologi yang sering mengemuka ketika Pertamina harus dikalahkan dalam berbagai lelang wilayah kerja migas.

“Itu stereotipe yang sering dilekatkan untuk melemahkan posisi Pertamina. Pertama tidak betul SDM kita kalah dengan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas lain. SDM kita punya kelebihan berupa local knowledge? tuturnya.Ia mencontohkan Blok Cepu yang dikelola secara bersama dengan ExxonMobil. Justru tenaga-tenaga kerja Pertamina yang mendorong produksi awal karena merekalah yang melakukan studi kelayakan.

Bukan jaminan

Salis juga berpendapat anggapan sektor migas sangat bergantung pada penguasaan teknologi tinggi, biaya besar, dan modal besar sudah tidak terlalu relevan lagi. Yang paling tepat hanyalah bisnis tersebut berisiko tinggi.Penguasaan teknologi tinggi tidak selalu menjadi jaminan kesuksesan eksplorasi dan eksploitasi migas. Salis menunjuk kegiatan pengeboran ExxonMobil di wilayah Sulawesi vang telah menghabiskan US$100 juta. Namun, kenyataannya hingga kini belum mendapatkan hasil.

Sebaliknya, sejumlah mitra lokal Pertamina yang terlibat dalam kontrak pendukung teknis mampu memproduksi minyak beberapa ratus bph. Padahal, mereka tergolong perusahaan kecil.Ia juga mengungkapkan pandangannya bahwa adanya aturan untuk menyelaraskan operasional industri ekstraktif dengan komitmen terhadap kelestarian lingkungan tidak bisa ditawar. Hal itu terkait dengan penerapan Undang-Undang (UU) No 32/2009 tentang Lingkungan Hidup yang mewajibkan kontraktor migas memenuhi standar limbah buangan.

“Memang butuh waktu untuk menyesuaikan semua operasional dan infrastruktur produksi migas dengan UU Lingkungan Hidup. Kalau serta-merta diterapkan, risiko penurunan produksi migas nasional hingga 40% memang ada. Kami sendiri terancam menghentikan produksi hingga 67 ribu bph. Namun, kami yakin pemerintah akan bersikap bijaksana dan industri migas dipacu untuk sesegera mungkin memenuhi ketentuan baku mutu limbah,” pungkasnya. (E-8) e-ti

Sumber: Media Indonesia, Senin 3 Mei 2010 | Jajang Sumantri

Data Singkat
Salis S Aprilian, Presiden Direktur PT Pertamina EP, 2009-sekarang / Spiritualitas di Dunia Migas | Wiki-tokoh | migas

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini