Al-Zaytun, Islam Milenium Ketiga

Al-Zaytun Islam Milenia

AS Panji Gumilang
 
1
4352

Pernahkah Anda mengimpikan seperti apa wajah Islam pada milenium ketiga (2001-3000)? Apakah wajah radikal dan teroris seperti yang diperankan sekelompok orang dengan mengatas­namakan jamaah pembela Islam makin meluas, sehingga islamfobia makin menghantui masyarakat nonmuslim? Atau wajah Islam yang rahmatan lil ‘alamin sudah akan semakin menyebar dan membumi ke seantero dunia?

Jawaban utamanya ada di tangan masyarakat muslim sendiri. Dan, ketika di tempat lain wajah Islam rahmatan lil ‘alamin itu masih berputar sebagai retorika di ruang diskusi dan khotbah di atas mimbar; Al-Zaytun telah menjawabnya dengan wujud persekutuan kemanusiaan yang nyata: Inilah liputan wajah Islam milenium ketiga, Al-Zaytun-lah awal wujud nyatanya.

@tokoh.id

Ma’had Al-Zaytun: Menyanyi Indonesia Raya 3 Stanza #mahadalzaytun #indonesiaraya #indonesiaraya3stanza #indonesiaraya🇲🇨 #pesantrenalzaytun #alzaytunviral #azzaytun

♬ original sound – Tokoh Indonesia – Tokoh Indonesia

Seperti apa gerangan wujud Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu? Jawaban (wujud) nyatanya ada di Al-Zaytun. Saksikan saja dalam persekutuan (hidup) keseharian di Kampus Al-Zaytun. Di lembaga pendidikan Islam bermoto Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi dan Perdamaian ini, Anda akan menikmati bahwa beginilah (sesungguhnya), Islam itu, rahmatan lil alamin, rahmat bagi semesta alam. Bukan hanya rahmat bagi orang atau negeri berpenduduk Islam atau mayoritas muslim, tapi rahmat bagi semua tanpa batas, rahmat bagi nonmuslim juga, bahkan rahmat bagi semesta alam.

Pernyataan di atas kami rangkum terutama dari liputan keceriaan dan antusias para tokoh dan warga lintas agama, lintas budaya, lintas suku, ras, golongan, bahkan lintas bangsa yang menghadiri Silaturahim Tahun Baru Hijriyah, 1 Muharrram 1439 Hijriyah, bertepatan 21 Septem-ber 2017 Masehi yang kegiatan utama­nya dipusatkan di Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin, Kampus Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Silaturahim bertema ‘Menjunjung Tinggi Kesatuan Persatuan Indonesia Raya’ itu dihadiri 157 tokoh lintas agama, budaya, ras dan suku, bangsa (Malaysia dan Singapura), ratusan warga nonmuslim serta 20 ribuan jamaah, santri dan wali santri dari pelbagai penjuru negeri.

Sebagaimana dilaporkan dalam sambutan Ketua Yayasan Pesantren Indonesia-Al-Zaytun, Imam Prawoto, SE, MBA, mereka datang bersilaturahim Tahun Baru Hijriah dengan menaiki berbagai jenis kenda­raan, dari roda dua hingga roda empat dan bus, yang terlihat dari data parkir, keseluruhannya berjumlah lebih dari 1.750 kendaraan. Bahkan mereka tidak sekadar datang, melain-kan juga bershodaqoh yang jumlahnya mencapai Rp.955.227.000 ditambah 2.700 Dollar Singapura dan 10.000 USD.

Berikut ini adalah laporan pandang­an mata wujud Islam rahmatan lil ‘alamin yang terpancar dalam acara Silaturahim Tahun Baru Islam di Al-Zaytun tersebut. Suatu wujud persekutuan kemanusiaan yang tak berbatas apapun, termasuk perbedaan agama, budaya, suku, ras dan golongan bahkan bangsa dan negara. Semua bersuka-cita, haru, bersatu dan penuh rasa persaudaraan. Di sini tidak dikenal sebutan mayoritas dan minoritas. Semua adalah mayoritas dalam persekutuaan kemanusiaan. (Sila kedua Pancasila, yang juga diajarkan semua agama dan budaya dalam keadaban manusia).

Sebenarnya suasana acara Silaturahim Tahun Baru Hijriah seperti ini saban tahun berlangsung di Al-Zaytun. Hal ini juga yang meyakinkan wartawan majalah ini mengangkat judul di atas. Hanya saja, kali ini dihadiri 157 tokoh dan sahabat lintas agama, suku, ras, bangsa dan golongan. Acara kali ini juga diwarnai penampilan barongsai, walaupun tidak sempat beraksi di pusat acara karena keterbatasan waktu. Tahun-tahun lalu pernah pula diisi musik gondang dan tortor Batak yang dipadukan dengan gamelan, angklung dan seni musik dari berba­gai daerah lainnya. Juga pernah diwarnai alunan suara dari kelompok paduan suara Nasrani (Kristen).

Bahkan, ketika para santri asal Afrika bersekolah di ma’had (kampus) ini, bebera­pa kali menampilkan seni tarian breakdance. Syaykh Al-Zaytun terjun langsung menanamkan (mengajarkan) kepada santrinya supaya memiliki kecerdasan dan kebebasan ekspresi berkesenian. Sehingga para santri Al-Zaytun meyakini seni sebagai bahasa komunikasi kolektif dan global. Seni menjadi salah satu kebutuhan pencerdasan dan pencerahan hidup.1)

Bayangkan, betapa jauhnya lompatan futuristik yang ditampilkan (diwujudkan) Al-Zaytun dibanding banyak lembaga (komunitas) pendidikan Islam lainnya (misalnya masih melarang gamelan dan sebagainya). Bandingkan pula dengan kondisi di Kerajaan Arab Saudi dimana masih banyak kalangan konservatif yang menganggap mendengarkan musik adalah dosa.2)

Advertisement

Bukan hanya penampilan seni musik dan tari yang digelar dengan kecerdasan (keadaban) kebebasan di dalam Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin ini. Dalam banyak kesempatan, ketika pendeta dan jemaat kristiani berkunjung masuk ke dalam masjid ini, juga diminta untuk berdoa demi ke-lancaran pembangunan masjid dan kokohnya persekutuan kemanusiaan di antara umat beragama. Pendeta dan jemaat kristiani berdoa di dalam masjid. Bayangkan, ketika di tempat lain yang non-muslim itu disebut kafir, di sini disebut orang-orang beriman bahkan diminta berdoa di dalam masjid. Beginilah Al-Zaytun mengawali implementasi (wajah) Islam milenium ketiga yang rah-matan lil ‘alamin itu.

Ini bukan retorika. Bukan! Karena memang begitulah Al-Zaytun mengimplementasikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin itu. Lihat saja gapura yang sudah terpancang di pintu gerbang masjid ini sejak awal pembangunannya (bukan dibuat belakangan). Di situ tertulis: Di sini orang-orang beriman membangun. Jangankan orang yang belum percaya Tuhan, bahkan orang yang tidak percaya Tuhan pun dihormati di sini, atas nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Syaykh Al-Zaytun mengajarkan bahwa kemanusiaan harus ditegakkan sebagai akidah (keyakinan pokok) dalam beragama, apa pun agamanya.

Bukan itu saja. Jemaat kristiani dari Bekasi pernah menyelenggarakan Kebaktian Perayaan Natal di Wisma Al-Islah, Kampus Al-Zaytun ini. Bahkan, untuk menghormatinya, Syaykh ikut hadir dan bernyanyi. Bagi Syaykh, orang masuk dan berdoa di dalam masjid, tidak harus menjadi Islam. Sebaliknya, orang masuk ke gereja dan bernyanyi, tidak harus menjadi Kristen.

Prosesi Silatrurahim Kemanusiaan
Sebelum mengawali acara Silaturahim Tahun Baru Hijriah 1439 tersebut dengan pembacaan ayat suci Al­­-Quran oleh dua orang santri rijal, sepasang pembawa acara menyampaikan ucapan selamat datang kepada seluruh hadirin, terutama para tokoh nasional dan tokoh lintas agama dan budaya. Satu persatu nama para tokoh dan sahabat itu disapa dengan penuh hormat, berjumlah 157 tokoh.

Kemudian, dilanjutkan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya tiga stanza. Duapuluhan ribu hadirin bangkit berdiri, dengan khidmat mengumandangkan lagu Indonesia Raya di Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin berkapasitas 150 ribu jamaah itu. Jamaah kali ini memenuhi lantai dasar dan sebagian lagi di lantai dua.

Di Kampus ini, lagu kebangsaan Indonesia Raya tiga stanza sudah dinyanyikan jauh sebelum Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mewacanakan akan mewajibkan setiap sekolah menyanyikan Indonesia Raya dengan lengkap (tiga stanza). Bahkan bukan hanya menya­nyikan tetapi diinternal-isasikan bagaimana memaknai dan menjiwainya sebagai pernyataan kesepakatan, janji dan ikrar setia untuk Indonesia Raya. Syaykh Al-Zaytun tak pernah jemu menjelaskan dan menanamkan makna anthem Indonesia Raya itu ke dalam jiwa sabubari santri, guru, semua eksponen dan aktiv-is bahkan juga wali santri dan para sahabat yang berkunjung ke pondok pesantren modern ini.

Suatu ketika, beberapa orang berpangkat disambut berkunjung ke kampus ini. Mengawali acara dinyanyikanlah lagu Indonesia Raya tiga stanza. Selepas acara sambutan, dalam acara ramah-tamah, mereka yang berpangkat itu bertanya karena mengira dua stanza berikutnya dari lagu In-donesia Raya yang dinyanyikan itu karangan Syaykh Al-Zaytun sendiri.

Syaykh pun agak heran lalu menjelaskan, tiga stanza itu asli karangan Wage Rudolf Supratman. “Ini adalah gambaran bagaimana bangsa ini melupakan kesepakatan, janji dan ikrar setianya sebagaimana termeteraikan dalam lirik lagu kebangsaan Indonesia Raya itu,” tutur Syaykh dalam percakapan selepas acara dan para tetamu sudah pulang.

Kembali ke suasana (prosesi) khidmat saat menyanyikan Indonesia Raya itu. Para tokoh lintas agama dan hadirin terlihat benar-benar terpusat menjiwai lirik lagu itu. Tidak terdengar suara berisik di tengah duapuluhan ribu hadirin. Khidmat, sungguh khidmat. Di antara para tamu (tokoh dan sahabat) yang ikut berdiri dan bernyanyi di atas panggung depan, tidak sedikit yang matanya terlihat berkaca-kaca. Apalagi kemudian dalam tausyiahnya Syaykh menjelaskan secara singkat makna lagu Indonesia Raya itu.

Hadirin benar-benar larut dalam persekutuan (kesatuan persatuan) yang cinta Tanah Air, rakyat, bangsa dan negara Indonesia Raya. Bukankah ini bahagian dari implementasi Islam yang rahmatan lil ‘alamin? Di dalam sebuah masjid para insan lintas agama, suku, ras dan golongan bersatu padu, bernyanyi, bersekutu, bersepakat dan berjanji setia demi kemajuan dan kemakmuran bersama, Indonesia Raya. Dalam tausyiahnya berikutnya, Syaykh Al-Zaytun pun menguraikan makna persatuan, tidak hanya terbatas Indonesia, melainkan begitu pula persatuan bagi bangsa lainnya.

Dalam suasana cinta Tanah Air tersebut, acara dilanjutkan dengan penyampaian kata-kata sambutan. Biasanya, para tokoh dan sahabat yang datang didaulat memberi sambutan sepatah kata. Tapi kali ini, tidak mencukupi waktu bila kepada 157 tokoh itu dipersilakan memberi sambutan. Akhirnya, panitia setelah berkonsultasi dengan Syaykh Panji Gumilang bersama beberapa sahabat, disepakati cukuplah satu orang mewakili semua tokoh dan sahabat serta wali santri. Untuk itu, ditunjuklah Fuad Bawazier, mantan Menteri Keuangan RI (1997-1998).

Fuad menyatakan kebanggaan atas kemajuan pondok pesantren ini. Menurutnya, Al- Zaytun adalah komplek pendidikan yang terbesar sekarang di Indonesia. Maka dia pun mendorong stafnya dan hadirin menyekolahkan anak di Al-Zaytun. (Selengkapnya baca: Al-Zaytun Terbesar).

Seusai Fuad Bawazier memberi sambutan, dilanjutkan dengan penyampaian orasi Tahun Baru Hijriah dari mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Dr. Moeldoko, yang saat ini menjadi Panglima Tani Indonesia dalam jabatannya sebagai Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI). Moeldoko datang bersama isterinya.

Mantan Pangdam Siliwangi itu menyampaikan orasi yang singkat padat. Dari orasinya, terkesan sekali dia sudah sangat mengenal (mengetahui) kiprah kampus peradaban ini. Setiap pernyataannya perihal Al-Zaytun tampak dilatari pengenalan dan pengetahuan yang sempurna. Bukan basa-basi, atau membacakan naskah yang sudah dipersiapkan oleh staf. Tapi meluncur murni dari hati dan pikirannya sendiri.

“Saya pastikan dengan 1000 persen, tidak ada yang berpikir radikal (di Al-Zaytun), karena memang di sini karakter anak-anak telah dibangun dengan sungguh-sungguh, dengan sebuah upaya yang kuat bukan sekadarnya,” kata Moeldoko.

Mantan Panglima TNI yang meraih gelar doktor dari Universitas Indonesia itu mengatakan saat di luaran sibuk berbicara tentang Pancasila, masih bersifat doktrin dan kata-kata, tetapi di Al-Zaytun Pancasila telah diinternalisasikan. Di luar orang-orang tidak disiplin, tetapi di Al-Zaytun, semuanya disiplin, sudah ditanamkan dengan sungguh-sungguh.

Moeldoko mengatakan, di luar hari ini, orang sibuk berbicara tentang kebangsaan, tetapi yang hebat lagi, di sini (Al-Zaytun) nilai-nilai universal telah ditanamkan pada kalian semuanya. “Sungguh luar biasa. Saya selaku Panglima merinding melihatnya,” kata Dr. Moeldoko.
“Untuk itu, ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian, saudara-saudara harus berbahagia dan berbangga hati, karena putra-putri ibu-ibu dan bapak-bapak sekalian masuk ke pesantren Al-Zaytun ini. Di sinilah pendidikan karakter bangsa telah ditanamkan dengan sungguh-sungguh,” tegas Moeldoko.

Moeldoko memang tidak secaca implisit mengatakan bahwa Al-Zaytun inilah wujud awal Islam milenium ketiga yang rahmatan lil ’alamin. Tetapi secara eksplisit pendengarnya dapat menangkap maknanya demikian. Apalagi, Moeldoko mengawali orasinya dengan paparan futuristik tantangan perubahan zaman yang demikian pesat yang harus disikapi dengan sedikitnya tiga hal yakni antisipasi, perubahan dan inovasi. (Selengkapnya baca: Pastikan Tak Ada yang Berpikir Radikal di Al-Zaytun).

Hanya tiga orang menjadi pembicara, selain laporan pembuka dari Ketua YPI-Al-Zaytun Imam Prawoto. Pembicara terakhir (ketiga) adalah Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang. Mengawali tausyiahnya, Syaykh Panji Gumilang menyanyikan lagu ‘Havenu syalom alekhem’ (Bahasa Ibrani). “Mari sejenak kita menyanyi untuk ucapan selamat pada sahabat-sahabat kita,” serunya. Dia pun menyanyi dan spontan diikuti hadirin (santri, guru dan eksponen Al-Zaytun).
Para tamu dan sahabat lintas agama terlihat antusias, tertegun dan terharu mendengar, kendati mungkin tidak banyak yang langsung mengerti arti lirik lagu itu, kecuali pastor dan pendeta. Namun, karena bagian akhir dari lirik lagu itu adalah Haleluya, Syalom, para hadirin pun dapat menangkap maknanya.

Setelah itu, Syaykh melanjutkan, coba sejenak kita merenung bagaimana Nabi Daud di dalam Kitab Zabur, duduk termenung sambil memetik kecapi, membayangkan persatuan dan kesatuan umat ketika itu. Dia pun menyanyikan lagunya tersebut dalam bahasa Ibrani: “Hinne mattov umanna’im, syevet akhim gam yakhad,” dstnya yang bermakna sungguh betapa baiknya dan betapa indahnya, jika kita hidup rukun bersama.

“Artinya apa? Alangkah indahnya kalau sejenak kita bisa duduk bersama menyatukan kemanusiaan kita. Tidak menyatukan pemahaman kita, tidak menyatukan persengketaan kita. Menyatukan kemanusiaan kita. Alangkah indahnya diambil oleh nilai dasar negara kita, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab,” jelas Syaykh Panji Gumilang. (Selengkapnya baca: Menyatukan Kemanusiaan Kita).

Seusai menyampaikan tausyiahnya, Syaykh mengajak seluruh tokoh lintas agama turun dari panggung depan menghampiri dan menghadap hadirin, sebagai symbol penyampaian sambutan dan doa bersama.

Setelah semua sahabat ‘menginjak bumi’ menghadap hadirin, Syaykh berucap: “Ini do’a. Do’a Muharom 1439 H.” Syaykh pun menjelaskan, bila ia mengatakan (pekik) pertama Indonesia, supaya disambut dengan pekik Merdeka! Pekik kedua, Indonesia, disambut, Bahagia! Pekik ketiga, Indonesia, disambut, Abadi! Pekik keempat, Indonesia, disambut, Bersatu!
Keempat doa itu pun diucapkan dengan pekik gemuruh dan standing applause dari hadirin. Sungguh haru dan luar biasa khidmat.

Kemudian acara dilanjutkan di halaman luar Masjid Rahmatan Lil ‘Alamin. Para tokoh dan sahabat lintas agama, suku, ras dan budaya duduk di kursi dinaungi tenda. Syaykh Panji Gumilang sejenak menjelaskan bahwa di halaman luar masjid itu akan dibangun Taman Puspa Kencana dan Danau Tirta Kencana, yang multifungsi. Selain sebagai bagian untuk memperindah pelataran masjid, juga berfungsi pemuliaan lingkungan dan penyimpanan air, danau pemeliharaan ikan, serta area rekreasi. Juga sebagai bagian dari Agropolitan Al-Zaytun.

Danau Tirta Kencana itu dibangun dengan panjang hampir 1 kilometer, lebar 100 meter dan kedalaman rata-rata 7-8 meter. Sehingga dapat dilayari dengan perahu dan kapal boat kecil. Di bagian depan dibangun Taman Puspa Kenaca, serta di sisi kanan-kiri ditanami berbagai jenis pepohonan. Di sebelah kanan dan kiri juga dibangun dua danau lebih pendek sebagai bagian dari Danau Tirta Kencana tersebut.

Untuk itu, Syaykh Panji Gumilang pun mengajak dan mempersilakan semua tokoh dan sahabat lintas agama, suku, ras dan budaya itu untuk memancang tiang pertama sebagai simbol resmi dimulainya pembangunan Taman Puspa Kencana dan Danau Tirta Kencana tersebut. Para tokoh itu terlihat sangat antusias, senang dan bahagia. Diawali oleh mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Moeldoko, disusul Fuad Bawazier, disusul semua tokoh yang hadir. Satu per satu tokoh dan sahabat lintas agama yang berjumlah 157 orang tersebut naik ke tempat yang telah disediakan memukul tiang pancang pertama itu.

Acara Silaturahim Tahun Baru Hijriah itu pun diakhiri dengan ramah tamah dan makan siang bersama di Wisma Al-Islah, Kampus Al-Zaytun. Begitulah laporan pandangan mata bagaimana gerangan wajah Islam milenium ketiga tersebut yang wujudnya telah diawali dan akan terus dilanjutkan (berkesinambungan) dari Kampus Al-Zaytun.

Reportase Ch. Robin Simanullang bersama tim Rukmana Rafli dan Rahmat Amin, diterbitkan dalam Rubrik Lentera Majalah Berita Indonesia Edisi 96.

Footenotes:
1. Drs.Ch. Robin Simanullang, Al-Zaytun Sumber Inspirasi; Inspirator Syaykh Al-Zaytun AS Panji Gumilang, Bagian Tujuh Kecerdasan Seni Al-Zaytun, Putaka Tokoh Indonesia, 2015, hlm.449-468.
2. BBC: Siaran Pertama Konser Penyanyi Perempuan di TV Arab Saudi Picu Polemik, http://www.bbc.com/indonesia/majalah-41484265

1 KOMENTAR

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini