Oleh Ch. Robin Simanullang SIB 11-10-1990: Menteri Negara Aparatur Negara Ir. Sarwono Kusumaatmadja membeberkan birokrasi pelayanan masyarakat yang berbelit-belit di instansi pemerintah, berkonotasi digunakan mencari uang. Dan itu dilakukan sembunyi-sembunyi serta digunakan untuk kepentingan pribadi oknum aparat.
Oleh Dr. Ir. Arif Budimanta, MSc | Makalah ini mendiskusikan mengenai Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila adalah sistem pengaturan hubungan antar negara dan warganegara yang ditujukan untuk memajukan kemanusian dan peradaban, memperkuat persatuan nasional melalui proses usaha bersama/gotong royong, dengan melakukan distribusi akses ekonomi yang adil bagi seluruh warganegara yang dilandasi oleh nilai-nilai etik pertanggungan jawaban kepada Tuhan yang Maha Esa.
Oleh Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH | Apakah pemerintah siap melindungi rakyat dari kebangkrutan rumah tangga? Yang jelas, tim Pak Beye belum berhasil menjalankan amanat Inpres No 1/2010 tentang BPJS. Sebaliknya, pemerintah cepat melindungi bank bermasalah dari kebangkrutan.
Oleh: Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang | Dalam Indonesia merdeka, dinyatakan kita memiliki negara yang "Berkedaulatan Rakyat" yang dipegang oleh suatu badan bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan UUD dan menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara. Oleh karenanya, kekuasaan negara yang tertinggi ada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia).
Oleh: Siti Musdah Mulia | Pluralisme adalah sebuah aliran filsafat yang mengakui adanya eksistensi perbedaan. Perbedaan bukanlah hal negatif yang perlu dinegasikan. Perbedaan adalah keindahan dan kekayaan sosial yang dapat dijadikan fondasi dan modal sosial dalam kehidupan bersama di masyarakat. Karena itu, semua upaya untuk penyeragaman dan menghilangkan perbedaan adalah bertentangan dengan realitas sosial dan sia-sia belaka.
PRESIDEN JOKOWI*: Demokrasi kita ini sudah terlalu kebablasan. Praktek demokrasi politik yang kita laksanakan telah membuka peluang terjadinya artikulasi politik yang ekstrim, seperti liberalisme, radikalisme, fundamentalisme, sektarianisme, dan terorisme, serta ajaran yang lain, yang bertentangan dengan ideologi kita Pancasila.
Pada edisi lalu, kolom ini bertajuk Bobot Kepemimpinan. Diawali dengan pertanyaan: Siapakah yang layak disebut tokoh Indonesia dan apa kriterianya? Tokoh Indonesia itu ialah semua pemimpin formal dan informal Indonesia tanpa pembatasan tingkatan, melainkan lebih kepada bobot kepemimpinannya. Sebab seorang kolonel bisa mengukir prestasi yang oleh seorang jenderal belum tentu bisa (pernah) melakukannya.
Oleh Prof. Dr. Daoed Joesoef | Tingkah laku politisi yang saling menuduh dan mencerca, sikap para birokrat yang acuh tak acuh, ulah para pebisnis yang serba asosial dan antilingkungan, serta kebijakan pemerintah yang tidak merakyat dan membingungkan menunjukkan betapa tanggung jawab moral memudar. Padahal, ia perlu tampil justru untuk memupus edan-edanan reformasi.
Salah satu kebijakan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kala (Kabinet Indonesia Bersatu) yang amat strategis dan langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak adalah perhatiannya yang serius membenahi perkeretaapian. Kebijakan itu diawali secara strategis dengan membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan. Hatta Rajasa yang dipercayakan menakhodai Dephub itu adalah menteri yang dengan cepat melihat urgensi pembentukan Ditjen Perkeretaapian itu serta memilih orang yang tepat pula memimpinnya.
(Refleksi Satu Abad Kebangkitan Nasional, oleh Jenderal Djoko Santoso Panglima TNI): Di tengah-tengah semangat kita mengusung reformasi nasional menuju masa depan bangsa yang lebih baik, kita pun dirisaukan dengan berbagai fenomena yang mengindikasikan menurunnya semangat nasionalisme bangsa kita.
Oleh Prof. DR. Romli Atmasasmita, SH, LLM: Langkah hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) mengundang kontroversi, terutama di kalangan BI dan perbankan pada umumnya. Kontroversi itu terjadi sejak penetapan Gubernur BI dan dua pejabat BI sebagai tersangka sampai pada resistensi pemanggilan Gubernur BI oleh KPK dengan dasar hukum Pasal 49 Undang-Undang (UU) No 34 tentang Perubahan atas UU No 23/1999 tentang UU Bank Indonesia.
Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita, SH, LLM: Sejak ditetapkannya Gubernur Bank Indonesia menjadi tersangka bersama dua orang pejabat BI, muncul berbagai pendapat pro dan kontra. Pendapat yang kontra khawatir bahwa penetapan tersebut berdampak negatif terhadap perekonomian Indonesia, khususnya citra BI sebagai lembaga keuangan nasional yang tepercaya. Pendapat yang pro mempersoalkan kekhawatiran di atas sebagai bentuk paranoia--BI sebagai lembaga independen seolah-olah imun dari langkah proyustisia.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Pemberantasan korupsi sejak era Reformasi telah melalui beberapa tahapan. Tahapan pertama pada 1998-2002, melaksanakan kebijakan hukum dalam pemberantasan korupsi untuk memenuhi janji reformasi, terutama terhadap mantan presiden Soeharto dan kroni-kroninya, dan dilanjutkan dengan pembangunan bidang hukum yang meliputi empat bidang, yaitu hukum di bidang ekonomi, keuangan, dan perbankan; hukum di bidang politik; hukum di bidang sosial; serta hukum di bidang hak asasi manusia.
Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita[1]: Perkembangan Asas Praduga Tak Bersalah. Asas hukum praduga tak bersalah, sejak abad ke 11 dikenal di dalam sistem hukum Common Law, khususnya di Inggeris, dalam Bill of Rights (1648). Asas hukum ini dilatarbelakangi oleh pemikiran individualistik –liberalistik yang berkembang sejak pertengahan abad ke 19 sampai saat ini.
Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Terbetik berita yang sangat mengejutkan akhir-akhir ini karena ada tiga peristiwa korupsi besar atau the big fish, yaitu kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, kasus putusan Mahkamah Agung dalam kasus Neloe, dan kasus Asuransi ABRI (Asabri). Kasus BLBI telah berlangsung sembilan tahun tapi masih selalu dipersoalkan sampai saat ini.
Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir sejak tahun 2004, pemerintah telah berhasil melakukan diplomasi dengan Singapura dan menghasilkan 3 (tiga) perjanjian bilateral yang juga telah menimbulkan kontroversi di berbagai kalangan masyarakat.
Oleh Prof. Dr. Romli Atmasasmita: Korupsi merupakan salah satu kejahatan yang terorganisasi dan bersifat lintas batas teritorial transnasional), disamping pencucian uang, perdagangan manusia, penyelundupan migrant dan penyelundupan senjata api. Demikian bunyi ketentuan dalam Konvensi Kejahatan Transnasional Terorganisasi.
Salah satu kebijakan pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kala (Kabinet Indonesia Bersatu) yang amat strategis dan langsung menyentuh kebutuhan rakyat banyak adalah perhatiannya yang serius membenahi perkeretaapian. Kebijakan itu diawali secara strategis dengan membentuk Direktorat Jenderal Perkeretaapian, Departemen Perhubungan. Hatta Rajasa yang dipercayakan menakhodai Dephub itu adalah menteri yang dengan cepat melihat urgensi pembentukan Ditjen Perkeretaapian itu serta memilih orang yang tepat pula memimpinnya.
Bagaimana bila seorang militer (jenderal) melanjutkan pengabdian sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat? Pertanyaan ini menjadi sangat relevan ketika pada era reformasi ini bergema seruan yang melarang militer berpolitik (politik praktis baik di partai, parlemen juga eksekutif). Sejak Pemilu 2004, institusi militer tidak lagi memiliki wakil (Fraksi TNI/Polri) di lembaga legislatif.
Pada edisi lalu, kolom ini bertajuk Bobot Kepemimpinan. Diawali dengan pertanyaan: Siapakah yang layak disebut tokoh Indonesia dan apa kriterianya? Tokoh Indonesia itu ialah semua pemimpin formal dan informal Indonesia tanpa pembatasan tingkatan, melainkan lebih kepada bobot kepemimpinannya. Sebab seorang kolonel bisa mengukir prestasi yang oleh seorang jenderal belum tentu bisa (pernah) melakukannya.
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius.