BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
32.5 C
Jakarta
Populer Hari Ini
Populer Minggu Ini
Populer (All Time)

Fenomena ‘Demensia’ dalam Praktik Penegakan Hukum

Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita

Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Opini Lainnya

Di balik janji penegakan hukum yang adil dan memanusiakan manusia, tersembunyi fenomena “demensia hukum” yang mengancam integritas dan moralitas para penegaknya. Bagaimana masyarakat dapat tetap berharap pada kehadiran “Ratu Adil” sementara nilai-nilai kemanusiaan dan Pancasila sering terabaikan dalam praktik peradilan?

Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita

Demensia adalah istilah dalam ilmu kedokteran yang menggambarkan kondisi penurunan cara berpikir dan daya ingat seseorang, biasanya terjadi pada lansia (usia 65 tahun ke atas). Namun, konsep ini juga relevan dengan hukum, mengingat hukum berkaitan erat dengan manusia, termasuk para penegaknya.

Demensia dalam penegakan hukum tidak hanya disebabkan oleh faktor fisiologis, tetapi juga oleh faktor lingkungan sosial, ekonomi, dan politik yang memengaruhi para penegak hukum. Demensia ini tampak dalam praktik ketika definisi dasar hukum terlupakan: hukum adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masyarakat untuk memelihara ketertiban, meliputi lembaga dan proses guna mewujudkan kaidah tersebut sebagai kenyataan dalam masyarakat (menurut almarhum Mochtar Kusumaatmadja).

Menurut almarhum Roeslan Saleh, hukum pidana merupakan pergulatan kemanusiaan. Sedangkan Satjipto Rahardjo, ahli hukum dari Universitas Diponegoro, menegaskan bahwa hukum ada untuk manusia, bukan sebaliknya. Pandangan ketiga ahli hukum/guru besar ternama Indonesia ini menggambarkan pentingnya peranan hukum sebagai pengatur dan penjaga agar proses pembangunan nasional berjalan tertib dan teratur.

Roeslan Saleh menekankan bahwa karakter hukum pidana tidak hanya menyidik, menuntut, dan menghukum, tetapi juga harus sejajar dengan Sila Perikemanusiaan yang Adil dan Beradab. Satjipto Rahardjo mengingatkan para ahli dan praktisi hukum bahwa hukum harus memperlakukan manusia secara layak, mengingat mereka memiliki hak asasi yang harus dihormati. Intinya, meski seseorang berstatus tersangka atau terdakwa, mereka tetap harus diperlakukan sebagai manusia dengan hak-hak yang melekat.

Namun, sentuhan nilai kemanusiaan dalam praktik sering kali tidak tampak, meskipun dalam KUHAP masih dibolehkan mempertimbangkan hal-hal yang meringankan dan memberatkan terdakwa. Sayangnya, pertimbangan ini sering hanya muncul di dalam sidang pengadilan pada tahap pembuktian dan penuntutan.

Sentuhan nilai perikemanusiaan yang adil dan beradab adalah peringatan bagi generasi hukum saat ini dan masa depan bahwa hukum bukan sekadar robot keadilan, kepastian, dan kemanfaatan saja dengan berdasarkan pada sistem norma dan sistem perilaku saja. Hukum harus merupakan perwujudan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat berdasarkan marwah Pancasila sebagai pedoman dan sumber hukum tertinggi di Indonesia.

Di balik setiap peraturan perundang-undangan, terdapat nilai moralitas dan kesusilaan. Hukum digunakan untuk memanusiakan pelaku kejahatan, bukan sekadar menjatuhkan hukuman, dengan harapan terjadi pertobatan pada pelaku kejahatan di satu sisi dan memberikan efek preventif bagi masyarakat di sisi lain.

Pandangan para ahli hukum/guru besar tersebut seakan mudah diucapkan tetapi sulit diwujudkan karena hukum selalu berkelindan dengan lingkungan sosial di mana ia hidup, terutama dengan kekuasaan (politik). Namun demikian, bangsa ini telah lama mengharapkan lahirnya “Ratu Adil”. Sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku sejak 1946 tampak memberikan harapan bahwa hakim adalah ratu adil yang ditunggu-tunggu.

Dalam sistem kekuasaan kehakiman berdasarkan UUD 1945, dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 (1)). Hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 (1)).

Untuk memenuhi tujuan tersebut, hakim dan hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum. Mereka juga wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (Pasal 5 ayat (2) dan (3)).

Tugas dan kewajiban hakim sangat berat dan mulia di hadapan Tuhan YME dan manusia, sehingga dalam praktik amat sulit menemukannya. Jika pun ada, mereka sering mengalami demensia hukum. Demensia hukum disebabkan oleh dilupakannya asas-asas hukum, kaidah hukum, kode etik, dan sikap integritas yang seharusnya dimiliki oleh aparatur hukum, serta reaksi masyarakat yang sering menganggap tersangka atau terdakwa tidak memiliki hak-hak hukum dan sampah masyarakat.

Sikap dan praanggapan ini telah mengakibatkan banyak korban ketidakadilan. Selain faktor usia dan fisik yang lemah, faktor lingkungan sosial juga menurunkan kualitas profesionalisme dan moralitas hakim serta aparatur penegak hukum lainnya.

Meski demikian, sekalipun penyidik dan atau penuntut berbuat kesalahan disengaja atau tidak disengaja, jika hakim dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya dengan teguh dan berpegang pada irah-irah “keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” serta semboyan “biar langit runtuh, keadilan harus ditegakkan”, maka “ratu adil” yang diharapkan akan terwujud. (red/TI)

Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Beli Buku Hita Batak A Cultural Strategy

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Beli Buku The Story of Simplicity Mayjen TNI Dr Suyanto

Terbaru

Gerakan Nasionalisme Batak

Gerakan nasionalisme Batak membara sebagai kristalisasi sema­ngat juang kebangsaan Si Singamangaraja. Di hati masyarakat Batak te­rus menya­la bak api...
26,568FansSuka
50,300PengikutMengikuti
645PengikutMengikuti
1,720PelangganBerlangganan
Majalah Tokoh Indonesia Edisi 48 PABU

Artikel Lainnya

Beli Buku Hita Batak A Cultural Strategy