Junghuhn, Ikon Kerabunan Cendekia Asing

Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (5)

0
2872
Danau Toba hanya ilusi optik, lukisan Junghuhn, 1840, sebuah kampung di Dolok Sikottam dengan selimut kabut menutupi dataran tinggi yang mirip danau (ilusi optik). Ikon kerabunan cendekia asing tentang Batak.
Lama Membaca: 3 menit

Orang Batak telah menapaki masa lalunya, selain menghadapi penindasan perang dan penjajahan, juga dengan dipenuhi distorsi informasi yang brutal selama ribuan tahun, terutama sejak abad ke-19. Informasi tanpa akurasi dan probabilitas sangat rendah bahkan ketidakmungkinan (improbability). Para pelancong, pedagang, musafir, cendekia, penjajah dan bahkan misionaris, umumnya secara masif mendistorsi informasi bahkan disinformasi dan misleading content, dengan narasi insinuatif yang membunuh karakter Batak, memalsukan sejarah dan nilai-nilai luhur budaya Batak.

Dalam konteks ini, sesungguhnya mereka sedang mengekspresikan karakter hewaninya untuk mendistorsi konsepsi manusiawi luhur Batak dan menarasikannya menjadi karakter hewani seperti diri mereka sendiri. Hal penting (ironis) lainnya, dalam konteks ini, para misionaris, belum berhasil menampilkan tujuan agama Kristen dalam menobatkan kebajikan yang dinasihatkannya dan belum membawa persaudaraan sejati manusia, apalagi pemuliaan kehidupan (kodrati dan karakter) yang membawa manusia Batak dalam orde hidup baru. Mereka berjasa besar mengusung modernisasi yang melahirkan lompatan besar kemegahan dunia dengan kabar baik yang terdistorsi, diwarnai pembunuhan karakter Batak dan pengagungan karakter Barat yang individualistis dan materialistis. Kabar Baik yang melenceng dari arah langkah pasifis Jalan, Kebenaran dan Hidup!

Apalagi, para ‘cendekia Barat’ menebar narasi tentang Batak, tanpa pernah menggali informasi dari sumber aslinya (primer) di Pusat Tanah Batak, tetapi hanya menerawang dari jauh dan dari pinggiran dengan sumber-sumber Dalle (Batak tersesat) dan orang-orang non-Batak yang tidak mengenal orang Batak: Sumber-sumber tersesat dan rabun. Mereka tidak pernah melihat langsung! Tidak ada yang begitu buta seperti mereka yang tidak mau dan tidak pernah melihat. Hal ini tercermin sangat ‘menggelikan’ dari ‘hasil penelitian ilmiah’ geologi Tanah Batak oleh Franz Wilhelm Junghuhn (1842, publikasi 1847) yang menyebut Danau Toba itu tidak ada, hanya ilusi optik.

Narasi penelitian ilmiah Junghuhn tersebut sangat ‘sempurna’ sebagai ikon kerabunan kemampuan pandang cendekia asing terhadap orang Batak. Inilah narasi kerabunan pandang Junghuhn yang cukup puitis: “Jika Anda kemudian melihat dari bukit dataran tinggi di pagi yang begitu segar, mis. B. dari Dolok Sikottam, sehingga Anda tidak dapat melihat apa pun dari ketinggian; – Anda melihat ke bawah pada selimut kabut tipis yang tersebar (menutupi) seluruh dataran tinggi dan yang kadang-kadang tampak mirip dengan permukaan danau. – Mungkin “Danau Tobah” di peta Raffles dibuat oleh ilusi optik (optische täuschung) seorang musafir yang melihat selimut kabut ini dari jarak yang sangat jauh.”[1]

Narasi rabun yang sangat sempurna (tersesat)! Ini adalah ikon bukti sejarah yang teramat kuat, betapa mereka buta dan berilusi tentang orang Batak: Ilusi optik (optische täuschung). Lalu, mereka selalu menarasikan Batak sesuai dengan ilusi mereka, dengan menjadikan insinuasi kanibalis paling biadab sejagad sebagai menu narasi dominan atau meta-naratif, sensasional yang selalu diulang-ulang setiap kali menulis tentang Batak, tidak peduli apakah relevan atau tidak dengan topik yang tengah dinarasikan. Mereka tidak peduli apakah informasi itu akurat atau punya nilai probabilitas, apakah mungkin atau mustahil.

Doede Nauta,  Jr. (1972) dalam The Meaning of Information, perihal keterkaitan antara informasi dan probabilitas: di mana dia menunjukkan bahwa informasi terkait erat dengan ketidak­mungkinan, kemustahilan (improbability). Juga, hubungan antara informasi dan (im)probabilitas tidak langsung seperti yang seharusnya. Faktanya, informasi terapan secara filosofis (yaitu dilihat dari sudut pandang epistemologi-ontologis) semacam terapan-terapan (ketidakmungkinan). Ini berarti ‘mengkuadratkan’ masalah interpretasi.[2] Narasi improbabilitas, narasi kemustahilan.

Mereka tidak peduli, yang penting ada informasi sensasional, mengejutkan dan mustahil; Yang kemungkinan, sesungguhnya, hal itu merupakan informasi yang terkait erat dengan ketidak­mungkinan (improbability). Sebagaimana disebut Doede Nauta, informasi adalah berita: apa yang sudah diketahui bukanlah informasi. Jadi, sesuatu adalah informasi sepanjang tidak diketahui, tidak terduga, mengejutkan, atau mustahil.[3]

Sesungguhnya, informasi memiliki tempat sentral dalam struktur dan proses konkret humaniora seperti: penyampaian kecerdasan dalam pers dan televisi, serta dalam pendidikan; tra­disi pola budaya; perkembangan organisasi sosial; mekanisme berpikir dan bermimpi, ingatan dan emosi, seni, dan kesadaran etis; dan realitas manusia sebagai orang dengan perhatian dan keyakinan tertinggi;[4] Namun (dengan adanya) pendistorsian informasi, misinformasi, bahkan disinformasi, telah menjadi senjata pembunuh lebih tajam dari pedang. Genosida karakter, pembunuhan karakter suatu bangsa!

Apalagi upaya pembelokan dan pemalsuan informasi dilakukan oleh kekuatan-kekuatan kekuasaan tamak bersama jaringan rahasia cendekiawan korup (Freemasonry korup) yang begitu jahat pada abad 18-19, bahkan hingga saat ini; Sebagaimana diungkap oleh Jüri Lina (2004) dalam Architects of Deception, The Concealed History of Freemasonry (Arsitek Penipuan, Sejarah Tersembunyi Freemasonry), dapat dipastikan bahwa para penguasa menyembunyikan fakta dengan bantuan ‘sejarawan’ yang korup; di mana kita harus menyadari bahwa pemalsuan sejarah ini adalah bagian dari konspirasi, karena menurut penulis Inggris George Orwell, “mereka yang mengendalikan sejarah kita juga mengendalikan masa depan kita, dan mereka yang mengendalikan masa kini kita juga mengendalikan masa lalu kita.“ Inilah sebabnya mengapa Freemason ingin menghancurkan segala sesuatu tradisi lama dan akal sehat.[5]

 

Advertisement

Sebelumnya || Bersambung

Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy

 

Footnotes:

 

[1] Junghuhn, Franz Wilhelm, 1847 (Band 2): Die Battaländer auf Sumatra, Berlin: G. Reimer, s.270.

[2] Nauta,  Doede, Jr., 1972: The Meaning of Information; The Hauge – Paris: Mouton & Co. N.V., p.17-18.

[3] Nauta,  Doede, Jr., 1972: p.19.

[4] Nauta,  Doede, Jr., 1972: p.20.

[5] Lina, Jüri, 2004: Architects of Deception,  The Concealed History of Freemasonry, Stockholm: Referent Publishing, p.12.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini