Mauliate Kepada Ratusan Misionaris di Tanah Batak
Rekonstruksi Kebenaran Sejarah Misionaris di Tanah Batak
Kebenaran Sejarah Misionaris di Tanah Batak
Oleh Ch. Robin Simanullang. Cuplikan Hita Batak, A Cultural Strategy; Buku Trilogy Omnibus Kebatakan
Sebagai wujud nyata terimakasih (Mauliate) kepada ratusan misionaris, maka Hita Batak perlu merekonstruksi, menulis ulang, sejarah misi di Tanah Batak secara ilmiah, jujur dan merdeka (historiografi), tentu dalam perspektif Batak yang cerdas berkualitas yang tidak terikat lagi dengan ‘tali sepatu dan celana Eropa’; Yang antara lain (sebaiknya) dilakukan secara kolaboratif-induktif dengan menulis sejarah Gereja masing-masing di setiap huta, bius dan luat, atau pagaran, ressort dan distrik, dengan meneliti setiap catatan, buku dan oral story sezamannya; Sehingga jejak setiap misionaris tersebut terlacak lebih mendekati sempurna dan tidak seorang pun di antaranya yang terlupakan dan terabaikan, dan di sisi lain terhindar dari pengultusan berlebihan (nyaris menuhankan) salah seorang di antaranya, yang kita yakini jika Nommensen masih hidup, dia kemungkinan tidak menghendaki pengultusan berlebihan tersebut.
Amsal klasik Batak mengatakan: “Suhar di bagasan roha, alai manghorhon tu na denggan”. Berlawanan dalam hati, tetapi berdampak pada kebaikan.
Esther Boorman Strong (1938) dalam The Church at the Heart of the World Christian Community (Gereja di Jantung Komunitas Kristen Dunia) menyebut, abad kesembilan belas menandai era aktivitas misionaris yang hebat, benar-benar menakjubkan dalam proporsinya. Gereja-gereja Protestan menyebar dari Barat. Pada tahun 1929, tahun puncak, terdapat lebih dari tiga puluh ribu misionaris asing dalam dinas aktif yang didukung oleh sumbangan tidak jauh dari enam puluh juta dolar setahun. Abad ke-19 telah menjadi babak terbesar dalam sejarah Gereja Kristen.[1]
Para misionaris Barat di seluruh dunia, tentu juga di Tanah Batak, adalah orang-orang terbaik Eropa dan Amerika (Barat, Occident). Dalam hal pendidikan dan moral, para misionaris jauh di atas rata-rata bangsanya. Sebelum diutus mereka menjalani pelatihan dan diseleksi dengan cermat. Mereka umumnya tidak egois mementingkan diri sendiri. Mereka rela meninggalkan negeri dan keluarganya dengan ‘gaji rendah’; Mereka memiliki altruisme yang sungguh menakjubkan, sehingga dianggap sebagai orang unik (aneh, istimewa).
Dr. Kenneth Scott Latourette (1884-1968), Profesor Misi dan Sejarah Oriental di Universitas Yale, dalam What Can I believe About Christian Missions? (Apa yang Dapat Saya Percayai Tentang Misi Kristen?) mengatakan, mereka yang diterima menjadi misionaris tidak hanya harus memiliki karakter moral yang baik dan kehidupan religius yang sungguh-sungguh, tetapi kebanyakan dari mereka harus telah lulus dari perguruan tinggi dan sekolah profesional dengan posisi akademis rata-rata atau lebih baik; dan mereka harus memiliki selera humor, catatan untuk bekerja dengan baik dengan orang lain, berpenilaian yang baik, tidak berprasangka ras, dan bebas dari keanehan dan fanatisme, serta mereka pasti telah melewati pemeriksaan fisik yang ketat.[2]
Namun, mereka adalah manusia biasa, dengan kelebihan dan kelemahannya. Memang, kata Kenneth Scott Latourette, bahwa misionaris telah membuat kesalahan tidak dapat disangkal. Tidak ada yang lebih cepat dan tepat untuk mengakuinya selain misionaris itu sendiri.[3] Selain itu, beberapa tindakannya mungkin timbul dari penilaian yang salah, dan kadang-kadang dia mungkin menyakiti ketika dia bermaksud baik, tetapi tidak seorang pun yang telah mengenal banyak misionaris, tidak peduli denominasi Gereja mana, dapat meragukan kepahlawanan mereka dan penyangkalan diri mereka.[4]
Terimakasih! Terlepas dari semua alasan dan jalan sejarah di mana kita tidak mau terseret lebih dalam ke lembah demoralisasi apalagi kebencian. Semua yang kita uraikan terdahulu adalah jalan sejarah yang tidak terjadi dalam semalam serta memiliki dimensi yang jauh lebih luas dari yang telah kita uraikan. Meneliti kebenaran sejarah bukan berarti kita bermaksud menghakimi masa lalu, terutama menghakimi para misionaris, sebab setiap zaman mempunyai jalan dan tantangan zamannya sendiri; Namun, tugas kita adalah mengevaluasi masa lalu untuk belajar demi tujuan masa depan yang lebih baik. Dalam bab ini, kita ingin lebih menegaskan bahwa Jalan Tuhan sangat jauh melampaui akal dan hati setiap orang. Itulah jalan-Nya yang semula tidak kita mengerti, tetapi kemudian kita mengerti bahwa itulah Jalan-Nya menolong dan menyelamatkan orang Batak. Sekaligus menegaskan keberadaan Hita Batak dalam realitas cinta kasih somba, manat dan elek, plus satia dalam persaudaraan universal dunia di bawah kendali dan kehendak Tuhan, sebagaimana ungkapan tradisi klasik leluhur Batak bahwa: Saluhut panggulmit ni ngolu, saguru tu lomo ni Debata do. (The whole pulse of life, is up to God’s will).
Maka dari dahulu kala, leluhur Batak sudah memiliki tradisi Sidok Mauliate (Ucapkan terimakasih, Say thank you). Mauliate, bermakna lebih luhur dari terimakasih dan thank you. Etimologi, berasal dari kata uli dan ate; Uli artinya indah, cantik, elok, bagus, baik, anugerah dan berkat; Mauli, sempurna (keindahan yang sempurna, kebaikan yang sempurna, anugerah dan berkat yang sempurna); Maulibulung, orangtua yang hidupnya sempurna, baik jasmani (duniawi) maupun rohani (rohani, spiritual) dalam Hagabeon, Hamoraon dohot Hasangapon (Keturunan, Kekayaan dan Kewibawaan); Mauliutus, keindahan, kebaikan dan berkat yang sempurna; Maruli, memperoleh suatu berkat; Parulian, Parsaulian, anugerah, berkat, rezeki, keberuntungan, hikmah; Sering diucapkan dalam doa (harapan) dan ucapan selamat: Donok (jonok) ma parsaulian (Selalu dekat dengan keberuntungan, rezeki, dsb); Maruliuli, semua orang mendapat berkat dan bersukacita. Ate, ucapan/ungkapan penegasan (pertanyaan), juga dipakai dalam jawaban penegasan yang berarti, Anda lihat, itulah kenyataan (otentik); Bagian (senyawa) dari kata Ateate (hati), dalam psikologi dan spiritualitas Batak, sebagai pusat berpikir, pusat penginderaan dan pusat perasaan, sinonim dengan kata Roha (hati, perasaan hati, batin) dan Pusupusu (ulu hati, jantung hati, batin, hati nurani, sanubari); Lambok ateate, lembut hati, lemah lembut; Marlambok pusupusu, baik dan lemah-lembut sekali; Sonang ateate, sonang roha, senang hati, teduh, bahagia.[5]
Mauliate, harfiah mauli-ate: Ungkapan hati yang nyata indah sempurna. Mauliate artinya ucapan ungkapan hati ((terimakasih) dari hati yang terdalam (ateate, roha, pusupusu), yang senang, teduh, baik dan indah sempurna (mauli) serta nyata (otentik, bukan basa-basi, ate), serta berharap, mendoakan dan mengucapkan selamat kiranya mendapat (selalu dekat) anugerah, berkat, rezeki, keberuntungan dan hikmah (parsaulian) yang baik dan indah sempurna, baik jasmani maupun sohani. Jadi, bukan sekadar balasan dari kebaikan yang diterima dan kemudian dikasih kembali (sisolisoli, balas membalas, terima dan kasih), tetapi lebih daripada itu menyatakan/menunjukkan bukti nyata (ate, itulah kenyataannya) dalam keindahan dan kesempurnaan sukacita serta berharap, berdoa dan mengucapkan selamat, semoga yang diberi ucapan Mauliate selalu mendapat keberuntungan, anugerah, rezeki dan hikmah yang indah sempurna, baik secara jasmani maupun rohani.
Itulah ungkapan terimakasih (thank you) Batak: Mauliate. Mauliate kepada kolonial Belanda yang menghadirkan modernisasi; Padri yang melakukan Islamisasi dan membawa sebagian orang Batak ke Habontaron[6] (Keputihan, Kesalehan menjadi rahmat bagi semesta alam); dan Misionaris yang melakukan Kristenisasi seiring Evangelisasi yang membawa sebagian besar orang Batak ke Hatiuron (Terang, Kecerahan, Kerohanian menjadi Garam dan Terang dunia).
Secara khusus dalam konteks Bab Sebelas ini, terimakasih kepada seluruh (ratusan) Misionaris dari semua denominasi, tak terkecuali kepada Misionaris RMG ( (Reinische Missions Gessellschaft) yang sebagian secara aktif menista dan membunuh karakter Batak serta menggelorakan Perang Suci (Holy War) dalam rangka ‘memudahkan’ Kolonisasi dan Kristenisasi untuk tujuan baik (Evangelisasi) sesuai dengan pemahamannya pada saat itu. Teristimewa — tanpa mengurangi rasa hormat dan terimakasih kepada para misionaris lainnya — kepada para misionaris yang mengabdikan hidupnya hingga akhir hayatnya di Tanah Batak, antara lain, Munson dan Lyman (1834), FW Staudte (1882-1884), Miss Hester Needham, Peter Hinrich Johannsen (1866-1898), Gustav Pilgram (1881-1912), Nommensen (1862-1918), Herling (1900-1912) dan lainnya.
Terimakasih untuk semua Misionaris, mulai dari Richard Burton dan Nathanael Ward (Baptis Inggris, 1824), yang pernah ‘melintas’ di Silindung; Martyr Siboan Boni Samuel Munson dan Henry Lyman (Kongsi Sending Boston, 1834), yang dikorbankan oleh kepentingan politik kolonial; Dr. H. van der Tuuk si ateis yang ditugaskan Lembaga Alkitab Belanda (Nederlandsch Bijbelgenootschap), 1849-1856 dan orang pertama menerjemahkan dan menulis sebagian Alkitab dalam aksara Batak yang ‘membuka jalan’ bagi RMG memulai pelayannya di Tanah Batak; Gerrit van Asselt (Zending Ermelo Belanda, 1857-1861) misionaris pertama membaptis orang Batak (Paskah 31 Maret 1861); W. F. Betz, J. Dammerboer dan J. Ph. D. Koster juga dari Belanda (1859) dan kemudian bergabung dengan RMG; Carl Wilhelm Heine bersama Johann Carl Klammer misionaris Rijnsche Zending (Reinische Missions Gesellschaft – RMG) pertama (7 Oktober 1861); Il. Nommensen yang tiba tahun 1862 di Tanah Batak (Barus belajar bahasa Batak) dan memulai misi di Parausorat (1863), kemudian membuka pos misi di Huta Dame, Silindung dan pindah ke Pearaja dan Sigumpar; yang kemudian dipercaya RMG mejadi Ephorus (pengawas, pelapor) RMG (Mission Batak) tahun 1882 menggantikan August Schreiber, Presiden Konferensi Misi Batak, Ephorus (1867), yang kelak menjadi Inspektur RMG; dan Johann Carl Klammer (1862); Peter Hinrich Johannsen (16 Februari 1866) membuka Zoar Pansurnapitu, gereja dan Sekolah Pandita hingga wafat Januari 1898, mengabdi 32 tahun dan isterinya Maria Sommer; Schwester Elfriede Harder (guru);
Christian Philipp Schütz (menjadi Ephorus Kedua khusus di Angkola), Weber dan Gotsch, Simoneit, H. Puse, Metzler (menjadi Wakil Ephorus mendampingi Nommensen), Chr. Leitpoldt, Kristiansen, JH Meerwaldt (isterinya Mirs C. Kersbergen meninggal di Tanah Batak) yang menerbitkan Immanuel (1890), Kodding, Mohri, Culemann, G. Jung; Miss Hester Needham, misionaris putri kaya atas biaya sendiri hingga akhir hayatnya (1889-1897); Nona Thora, Nona Lisette Niemann (guru di Laguboti), FW Staudte (1882-1884), W. Heienbrock (1884-1887) mendirikan sebuah band kuningan (musik trompet); L. Hanstein (membangun rumah untuk penderita kusta di Situmpa, Sipirok), Steinsieck (membuka Huta Salem), L Bodaan (Nederlandsch Zendeling-Genootschap) membuka suaka penderita kusta di Laoe Si Momo, Kabanjahe; Misionaris Herling Sisuan Bulu di Doloksanggul, serta Kosselt di Lintong ni huta. Misionaris R. Brinkschinldt, Quentmeter, Stingel, dan Weissenbruch.
Strötker, P. Bonn, W. Klijnstra, Simon; Schrey, V. Kessel dan Gustaf Pilgram membuka pos misi di Balige (1881) dan menggunakan Gondang dalam kebaktian Paskah 1885; Israel, Hanstein, Sopar, Herman, Strotker, Irle, G. Simon, Volkman, Klynstra, Pohlig, F. Schmidt, Mohri; A. Bruch, Johannes Warneck membuka pos misi Nainggolan, Samosir, kemudian memindahkan Seminari Pansurnapitu ke Sipoholon (1900), dan menjadi Ephorus Missi RMG Batak (1920-1930) dan Ephorus HKBP Pertama (1930-1932); Gericke dan Brakensiek (menggantikan Warneck di Nainggolan), Harder; Dokter Julius Schreiber (putra A. Schreiber), Suster Charlotte Spithmann, Suster Frieda Schreiber, Dokter Joh. Winkler, Dokter Eigenbord, Suster Helena Rienecker, dr. KH. Weissenbruch, Zr. Auguste Beisenherz; Jonathan T Nommensen (putra Nommensen); Ds. P. Landgrebe, Ephorus HKBP 1932-1936 dan Dr. E. Verwiebe, pendeta Pemuda (Parheheon NHKBP 1927) yang kemudian menjabat Ephorus 1936-1940.
Theis, Bielewfeld, dan Meisel (Simon dan Guillame, Meisel ke Simalungun, Sumatera Timur), Marcks dan Betz ke Uluan, Guillame (diperbantukan ke Tanah Karo); H.C. Kruyt dan Nicolas Pontoh, G. G. van Eelen dan istrinya dan JW. Neumann (NZG, Tanah Karo); Wiebe (Angkola), Lett ditugaskan mangarimba ke Pulau Mentawai dan Enggano, Sr Lina Zeitler di Engano. Secara khusus lembaga misi Reinische Missions Gessellschaft (The Rhenish Society: Lutheran and Reformed) yang didirikan di Barmen pada tahun 1828, yang telah memulai misinya di Tanah Batak tahun 1861. di mana dua di antara tiga misionarisnya yang setia dan terkemuka, yakni Hugo Hahn, di antaranya Herero, Afrika Barat Daya, dan Nommensen dan John Warneck, di antara orang Batak di Sumatera.[7]
Uskup Mgr. LTM. Brans, Chrysologus van Zevenbergen (P.H. Timmermans) membuka misi Katolik pertama di Tanah Batak, Sibolga (1929), Sybrandus van Rossum, Biggelaar, Van Dijk, Aurelius Kerkers, Elpidius van Duynhoven, Diego van der Biggelaar, Marianus van den Acker dan Mr. Beel; Misi Metodis: Benjamin West (1897), George F. Pykett (1904), William T. Ward (1912) di Medan Sumatera Timur; Lamsana Tobing (1921) disusul Newton T. Gottschall di Tanah Batak Asahan (1922); Dan sejumlah misionaris lainnya.
Dalam Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië (Almanak Pemerintah Hindia Belanda) tahun 1906, tercatat misionaris RMG yang bertugas Tanah Batak (Pantai Barat Sumatera dan Pantai Timur Sumatera), sebagai berikut:[8]
Eforus. I.L.Nommensen (Si Goempar); Padang Bawah. J.W.Dornsaft (Padang); Sipirok. F.C. Irle, (Sipirok); P.C. Schutz (Bunga bondar); Padang Lawas. A. Link (Sipiongot); Kepulauan Mentawei. A. Let.
Siboga. J. Schreij; Ch. Heerig, Batang Toroe ( Sintanosor ). Silindoeng. W. Metzler (Pea Radja); F. A. Mohri (Hoeta Barat), D. L. Hansteijn (Simarangkir); D. Beisenherz (Pansoer Na Pitoe); H. W. Volkmann, (Pangaloan); J. Warneck (Si Poholon); A. Harder (Si Poholon); K. Bielefeld (Si Poholon); H. Culeman (Si Poholon).
Toba. P. Landgrebe (Parmonongan ); R. Meisel (Pangariboean); Br. Minderraann ( Sipahoetar); E. Wagner (Boetar); V. Kessel (Lintong ni Hoeta); W. Herling (Dolok Sanggoel); W. Gericke (Parangi-nan); J. Christiansen (Parparean); G. Pilgram (Balige); F. Kaiser (Tampahan); P. Pohlig (Si Antar); 0. Marks (Si Antar); A. H. Lombeek (Si Antar); Th. Brinkschmidt (Si Torang); C. Jung (Parsambilan); H. Reitze (Djandji Matogoe); G. Ginsberg (Pangomboesan); F. Schmidt (Loembon na Bolon); L. Grab (Si Lamosik); G. Betz (Loemban Loboe); H. Brackensiek (Nainggolan); B. Püse (Palipi); K. W. Meis ( Djangga ); A. Dannert ( Moeara). Toba en Silindoeng. C. Bielefeld; H. Broekmate.
Nias. F. Kramer (Goenoeng Si Toeli); W. Schmidt (Lolowaoe); H. Logeman (Lahagoe); J. A. Fehr (Ombalata); O. Rudersdorf (Hoemene); J. Noll (Baoeio); C. R. Ufer ( Ombalata); K. Probst ( Dahana); E. A. Ch. Momeijer (Sogae Adoe); F. W. Hoffmann (Hinako); G. A. Pilgenröder (Toegala Ojo); L. Hip-penstiel (Lolowaoe); H. J. Rabeneck (Bioeti); E. Fries (Si Faoroasi); J. N. Bieger (Bawalia); P. von Er-len (Toegala Lahonni); B. W. D. Bassfeld (Lahagoe). Benkoelen. Engano. A. Lett; E. Th. Dannert.
Pantai Timur Sumatera. Simelongon. A. Theis (Pematang Bandar). Raja dan Panei (Simeloungun), Sianlar dan Tanah Djawa (Batu Bahra). G.K.Simon (Pematang Raja). Negeri-negeri Simelongoen di sebelah utara dan timur Danau Toba. H. Guillaume (Poerba Saribou).
Sementara misionaris Masyarakat Misionaris Belanda Nederlandsch Zendeling-Genootschap (NZG) di Tanah Karo Pantai Timur Sumatera:
Boeloe Hawar (Deli) M. Joustra, Nov. 1894; Si Bolangit (Deli) J. H. Neumann menyebut dirinya Schwalenstöcker, April 1900; dan E.J. van den Berg (Keputusan Pemerintah Hindia Belanda No. 11 tertanggal 9 Januari 1903 dan sudah dicetak 15 Desember 1902, dalam kondisi keamanan tertentu, Pemerintah tidak berkeberatan terhadap guru misionaris ini mengunjungi Batak Karo ndi bagian tanah Batak di luar wilayah administrasi langsung di utara Danau Toba.[9]
Berjumlah 69 misionaris (Tapanuli 43, Nias-Mentawai 20, Simalungun 3, dan Tanah Karo 3 misionaris. Tahun 1911, Gereja Misi Barmen Tanah Batak, dilayani sebanyak 55 orang misionaris kulit putih, 28 pendeta Batak, 688 guru, 28 evangelis dan 1500 penatua; Jemaat berjumlah 117.586 orang, yang akan dibaptis 12.055 orang, dan yang mengikuti katekisasi 12.773 orang.[10]
Buku Tahunan Misi Belanda, untuk Tahun 1919 (Nederlandsch Zendings-jaarboekje, voor Het Jaar 1919), misionaris Rijnsche Zending yang bertugas di Tanah Batak Raya adalah sebagai berikut:[11]
Sumatra (Tanah Batak). Selatan: Sibolga: J. Schrey; Simanosir: Kosong; Sipirok: T. Irle; Boengabondar: A. Ameler; Sipiongot: E. Pichler; Pangaloan: Fr. Strötker; Onankasang: L. Grab. Silindung: Simorangkir: E. Ellinghaus; Zr. H. Block; Zr. M. Ködding; Pearadja-Taroetoeng (Holl. Inl. School; Zendingshospitaal): W. Metzler, O. Marks. H. Ydens (hoofdonderw.); H. Wieske (hoofdonderw); Zr. A. Temming ; Zr. A. Garnerus: Dr. J. Winkler (Z.arts); Zr. A. Beuenlierz; (ziekenv.); Sipoholon: J. Möller; Zr. K. Dimbleby; Zr. E. Dutton ; id. Seminarie: B. Mindermann; E. Quentmeyer; K. Gabriël. — Stepa dan Pantai Barat: Pangariboean: R. Meisel; Sipahoetar: E. Becker; Boetar: K. Lotz; Paranginan: F. Kessel; Moeara: P. Steingraber; Lintongnihoeta: Fr. Hartwig; Tuka, kosong; Doloksanggoel: 0. Stingel; Bonandolok: JF. Müller; Pormonangan: Fr. Schmidt; Baroes: V. Raibach. Toba: Tampahan: W. Spiecker; Balige: H. Weissenbruch; Zr. A. Alfs; Lagoeboti; W. Steinsiek; Zr. L. Niemann; Zr. C. Zenker; Ambachtsschool: O. von Eigen; Sigoempar: J. Mommensen Jr; Naroemonda: O. Kappner; Seminarie: J. Meerwaldt Jr.; Sitorang; Fr. Brinkschmidt; Porsoboeran: kosong. Oeloean, Samosir, Sibaloengoen dan Pakpak: Pangomboesan, Kosong; Loembanloboe: W. Brückner; Djandjimatogoe: H. Reitze; Nainggolan: H. Brakensiek; Palipi: N. Fuohs; Pangoeroeran: H. Eigenbrodt; Ambarita: A. Bregenstroth; Poerbasariboe: H. Guillaume; Raya: A. Theis; Siantar: K. Müller; Sidinkalang: R. Brinkschmidt. Dokter: A. Lombeek; D. Beisenherz; P. Landgrebe; G. Ginsberg; Dr. J. Schreiber, arts; Ed. Wagner; W. Gericke; A. Link; K. Bielefeld; Fr. Kaiser; Th. Dannert; Joh. Bieger; J. Meerwaldt Sr.; Zr. B. Dresselhaus; K. Schreiber; R. Schulz.
Nias. Timur: Goenoeng Sitoli: A, Momeyer; Hili Maziaja: E. Schlipköter; Ombolata: E. Fries (Voorzitter); Seminarie; A. Pieper ; Hoemene: O. Rudersdorf; Sogae Adoe; H. Fischer; Nias Tengah: Lolowoea: L. Borutta ; Zr. M. Fischdick; Zr. M. Dungs; Lolomojo: H. Lagemann; Sifaoro’asi: JF. Skubima; Nias Barat: Toegala am Ojo: A. Pilgenröder; Lolowa’oe: H. Kienlein; Hinako-eil: W. Hoffmann ; Nias Selatan: Hili Simaetano; A. Lück; D. Möller; Sa’oea: E. Saxter; Padang (Sumatra) H. Finke. Met verlof: W. Schmidt; J. Noll; A. Fehr; D. Bassfeld; W. Rabeneck; K. Ufer; Zr. M. Borutta. Mentawei dan Enggano: Nemnemleleu (N. Pageh). F. Borger; O. Werkman; Taoabi (Enggano) Kosong.
Dalam Nederlandsch Zendings-Jaarboekje voor 1937-1939, (Buku Tahunan Misi Belanda 1937-1939) data terakhir, nama-nama pos utama dan Pekerja Misionaris Rijnsche Zending yang bekerja di Tanah Batak, Nias dan Mentawai pada 1 Januari 1938 sebanyak 94 misionaris (evangelis, diakonis dan paramedis): 71 di Tanah Batak, 20 di Nias dan 3 di Mentawai, yakni:
Distrik Angkola: Sipirok, Boengabondar A. Rutkowsky; Padangsidimpuan Ds G. Menzel; Distrik Silindung: Sibolga H. Hebeler dan Mej. L. Schmitt; Pangaloan Joh. Steinhard; Simorangkir G. Rebuschat; Pearaja-Tarutung: Wilh. Müller (Kasir Umum), Dr E. Verwiebe (Ephorus), W. Graumann, A. van der Bijl, G. de Jong, Fr. Kappner, J. Booy, U. Stelwagen, J. Minkhorst, J. Koole, G. J. Jansenen Mej. Fr. Lau, dan Dr P. Johannsen, Joh. G. Aalbers, Ferd. Guther (medis), diacoon; Zrs M. Albrecht, M. Heuschmann, H. Mertin dan M. Orlopp; Sipoholon: A. Link, H. de Kleine; Pangaribuan: K. Schreiber; Sipahutar;Kosong.
Distrik Humbang: Butar H. Berghauser, Zr I. Graber (medis); Lintong ni Hoeta: Th. Beel; Doloksanggul: E. Quentmeier, E. Schildmann dan Cl. Nielsen; Barus: Wilh. Kaiser; Distrik Toba: Balige Ed. Müller, Mis. Fr. Seibel14) dan Mis. N. Spellenberg; Miss. H. Reinartz), Dr W. Wagner, Dr W. Dannert, H. Klaiss (medis), diacoon; Zrs M. Schachter, E. Mayer dan M. M. van den Bos; Laguboti: Kosong dan dilayani J. Nommensen di Sigumpar; Mis. A. E. Harder dan Mis. H. Siegler, G. Horn dan R. Nonnenberg (medis), R. Rittich, diacoon; Zrs A. Mikat dan M. Langenbruch (perawat); Sigumpar: J. Nommensen; Narumonda: H. Kaal; Sitorang: H. Weissenbruch; Janjimatogu: E. Klappert; Pangururan: J. Bos dan Zr H. Fokkema (medis); Nainggolan: D. Rijkhoek, serta Zrs J. Rijkhoek dan S. Siderius (medis); Ambarita: Ds J. Karelse dan Zr G. W. G. Jenken (medis);
Distrik Simalungun dan Dairi: Pematang-siantar: L. Bregenstroth, Mis. E. Viering, R. Puik dan Miss. J. Meinefeld; Saribudolok: H. Volmer; Sidikalang: Wilh. Link; Salak: O. Meyer; Medan: Zr Alw. Hamacher (perawat)
Nias: Gunungsitoli: A. Betz dan Fr. Dörmann, Miss. H. Blindow dan Miss. E. Röhm; Medis: Dr M. G. Th. Thomsen Zrs E. Lützenbürger, I. Ohly dan L. Lindemann; Hili-maziaja: D. A. Möller dan H. Irle; Ombolata: Alb. Lück; Sogaë-adoe: W. Müller; Lolowoea: H. Illing; Laweloe: Alfr. Schneider dan Fr. Kreek; Sifaoroasi: E. Hudel dan Zr K. Jung (perawat); Hili-simaetano: W. Michel dan Zr M. Kissing (perawat); Mentawai dan Enggano: Sikakap: R. Schmit; Sioban (Pora): H. Wagner; Enggano: kosong; di mana : A. Link ke Sipoholon.[12]
Sementara, nama dan pos utama misionaris Nederlandsch Zendeling-Genootschap yang bertugas di Tanah Karo (Deli) tertanggal 1 Januari 1938 berjumlah 10 orang yakni:
Kabanjahé: H. Vuurmans dan J. H. Neumann, J. van Muylwijk; Medis: L.J. Kleyn, dan Lim Toan Hin, dan Zr J. M. J. Meyer (perawat); Lau si Momo: L. Jansen Schoonhoven, dan L. Jansen Schoonhoven (medis); Sibolangit (Langkat): W. A. Smit dan Zr A. van der Ben (perawat).[13]
Jadi jumlah keseluruhan misionaris RMG dan NZG yang bertugas di Tanah Batak Raya per 1 Januari 1938 adalah 104 orang. Baik RMG maupun NZG pastilah mengeluarkan biaya yang sangat besar untuk membiayai seluruh misionaris yang bertugas di Tanah Batak Raya tersebut. Mereka tidak hanya menugaskan dan membiayai satu orang misionaris, tetapi 104 misionaris pada saat tertentu.
Maka, sebagai wujud nyata terimakasih kepada RMG, NZG, Katolik, Methodist, Komite Jawa dan seluruh lembaga misi lainnya serta seluruh misionaris, maka Hita Batak perlu merekonstruksi, menulis ulang, sejarah misi seluruh misionaris tanpa kecuali, di Tanah Batak secara ilmiah, jujur dan merdeka (historiografi), tentu dalam perspektif Batak yang cerdas berkualitas yang tidak terikat lagi dengan ‘tali sepatu dan celana Eropa’; Yang antara lain (sebaiknya) dilakukan secara kolaboratif-induktif dengan menulis sejarah Gereja masing-masing di setiap huta, bius dan luat, atau pagaran, ressort dan distrik, dengan meneliti setiap catatan, buku dan oral story sezamannya; Sehingga jejak setiap misionaris tersebut terlacak lebih mendekati sempurna dan tidak seorang pun di antaranya yang terlupakan dan terabaikan, dan di sisi lain terhindar dari pengultusan berlebihan kepada salah seorang di antaranya, yang kita yakini jika Nommensen masih hidup, dia kemungkinan tidak menghendaki pengultusan berlebihan tersebut. Di antaranya, belum tentu Nommensen bersedia kita panggil Ompu i (sebagai panggilan Raja Imam Batak titisan Illahi). Sebab semasih hidup, Nommensen tidak dipanggil Ompu i. Juga ketika menerima gelar Doktor Honoris Causa Teologi dari Universitas Bonn (1904), dia memandangnya sebagai ujian iblis: “Rupanya iblis mau mencobai saya dengan menimbulkan kesombongan dalam hati saya, pada masa tua saya ini”,[14] kata Nommensen yang saat itu telah berusia 70 tahun.
Cuplikan Buku Hita Batak A Cultural Strategy Jilid 3, Bab 11.7: Mauliate Misionaris dan Kolonial. Informasi lebih lanjut: https://tokoh.id/buku-hita-batak/
Footnotes:
[1] Strong, Esther Boorman, 1938: The Church at the Heart of the World Christian Community; problems facing Christians from around the world, as they meet at Hangchow, China, September 24 to October 14, 1938; New York: International Missionary Council, p.1.
[2] Latourette, Kenneth Scott,(n.d.): What Can I believe About Christian Missions?; New York: Student Volunteer Movement, p.19.
[3] Latourette, Kenneth Scott,(n.d.): p.31-32.
[4] Latourette, Kenneth Scott,(n.d.): p.18.
[5] Bandingkan: Warneck, Johannes, 1906: Tobabataksch-deutsches, s.17+158.+229.
[6] Parlindungan, Mangaraja Onggang, 1964 (cet.2007): h. 13 dan 17-18
[7] Pfeiffer, Edward, 1908: Historical Survey, p.74.
[8] Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1906, Twedee Gdeelte, bl.388-389.
[9] Regerings-almanak voor Nederlandsch-Indië, 1906, bl.384.
[10] Nommensen, J.T., 1921: h.203.
[11] Gunning, Janwillem (Secretaris van Den Z. S. R.), 1919: bl.4.
[12] Nederlandsch Zendings-jaarboekje Voor 1937-1939; bl.60-62
[13] Nederlandsch Zendings-jaarboekje Voor 1937-1939; bl.28.
[14] Nommensen, J.T., 1921: h.192.