Pendapat Ahli tentang Strategi Kebudayaan
Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy (3)

Prof. Dr. Cornelis Anthonie van Peursen (1976) menyebut strategi kebudayaan adalah upaya manusia untuk belajar dan merancang kebudayaannya. Menurutnya, kebudayaan sebetulnya bukan suatu kata benda melainkan suatu kata kerja. Kebudayaan adalah karya kita sendiri, tanggung jawab kita sendiri. Demikian kebudayaan dilakukan secara ‘fungsional’, yaitu sebagai suatu relasi terhadap rencana hidup. Kebudayaan itu lalu tampak sebagai suatu proses belajar raksasa yang sedang dijalankan oleh manusia. Ini berarti bahwa perkembangan kebudayaan tidak terlaksana di luar diri kita sendiri, tetapi manusia sendirilah yang harus menemukan suatu strategi kebudayaan.[1]
Strategi Kebudayaan berakar dari pertanyaan dalam diri manusia yang diperjuangkan oleh semua kalangan. Pertanyaan itu, misalnya, bagaimana manusia dapat memberikan jawaban tepat mengenai pertanyaan-pertanyaan besar yang menyangkut tujuan hidupnya, makna kehidupan, norma-norma yang mengatur kontak antarmanusia dan perkembangan masyarakat secara tepat dan lain-lain. Pertanyaan mengenai hakikat kebudayaan sebetulnya sama dengan pertanyaan mengenai hakikat manusia.[2]
Alfred Kroeber dan Clyde Kluckhohn mencatat sebagian besar definisi budaya; dari 164 makna yang mereka daftarkan, Philippe Descola (2013) dalam Beyond Nature and Culture memilih hanya dua: Yang pertama, yang mereka sebut “humanis”, memandang budaya sebagai ciri khas kondisi manusia. Formulasi kanoniknya, oleh Edward B. Tylor pada tahun 1871, secara tradisional dianggap sebagai, boleh dikatakan, akta kelahiran bidang antropologi modern: “Budaya atau Peradaban, dalam pengertian etnografisnya yang luas, adalah keseluruhan kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.” Di sini, budaya tidak dibedakan dari peradaban, dalam pengertian bakat untuk penciptaan kolektif yang diatur oleh pencarian progresif untuk kesempurnaan. Kemudian, yang kedua, pada pergantian abad kedua puluh, dalam karya etnografi Franz Boas, muncul gagasan bahwa setiap orang merupakan konfigurasi yang unik dan koheren dari fitur material dan intelektual yang didukung oleh tradisi, tradisi yang khas dari cara hidup tertentu, berakar pada kategori tertentu dari suatu bahasa dan bertanggung jawab atas kekhususan perilaku individu dan kolektif para anggotanya. Dalam definisi kedua ini, budaya mengambil bentuk jamak, sebagai banyak realisasi khusus; itu tidak lagi tunggal, menandakan atribut par excellence kemanusiaan.[3]
CA van Peursen menyebut kebudayaan adalah sebagai manifestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan semacam sekolah di mana manusia dapat belajar, manusia tidak hanya bertanya tetapi juga bagiamana harus menyikapi segala sesuatu yang ada dan terjadi di alam. Manusialah yang membuat sesuatu dengan tradisi itu, ia menerima, menolaknya atau mengubahnya. Itulah sebabnya mengapa kebudayaan merupakan cerita (narasi) tentang perubahan-perubahan: riwayat manusia yang selalu memberinya wujud baru kepada pola-pola kebudayaan yang sudah ada; Kebudayaan itu ibarat sebuah cerita yang belum tamat yang masih harus disambung. Maka diperlukan sebuah gambar kebudayaan yang sekaligus juga merupakan peta sehingga kita dapat menggambarkan perkembangan zaman dari dahulu, kini dan hari depan.[4]
Jadi, singkat kata, strategi kebudayaan itu adalah karya raksasa dalam poses belajar raksasa dalam sebuah cerita, kisah, narasi kontemplatif, inovatif, transformatif dan futuristik kebudayaan dan peradaban sebagai atribut par excellence kemanusiaan yang selalu diperbaharui (berkembang) dari zaman ke zaman berikutnya; Dan buku ini adalah sebuah frame narasi (literasi) strategi kebudayaan Batak.
Jeff Chang, Liz Manne & Erin Potts dalam A Conversation about Cultural Strategy (2018) menyebut: “Strategi kebudayaan adalah bidang praktik yang memusatkan seniman, pendongeng, pembuat media, dan pemberi pengaruh budaya sebagai agen perubahan sosial. Strategi budaya berbicara tentang visi terluas dan harapan tertinggi kita. Dalam ranah keadilan sosial, ini berarti menempa dan memelihara masyarakat yang adil, inklusif, dan adil. Dalam jangka panjang,[5] strategi budaya membuka celah, menata ulang dan menulis ulang narasi yang dipegang dengan keras, mengubah ruang dan norma bersama yang membentuk budaya.”[6]
Menurut Chang, Manne & Potts, setiap organisasi dan praktisi strategi kebudayaan memiliki teorinya sendiri; Teori yang disederhanakan untuk bidang strategi budaya adalah: Cerita dan narasi mengubah cara orang memandang diri mereka sendiri dan peran mereka di dunia. Ketika diaktifkan dan dibawa bersama oleh ide-ide baru dan ruang cerita dan narasi yang umum, orang memiliki kekuatan untuk bersatu mengubah norma, kebijakan, dan sistem budaya melalui pilihan hidup mereka.[7]
Perihal apa itu budaya; dalam The Culture Group disebut bahwa budaya memiliki dua definisi: (1) Keyakinan, nilai dan adat istiadat yang berlaku dalam suatu kelompok; cara hidup kelompok; (2) Seperangkat praktik (termasuk semua bentuk mendongeng dan pembuatan seni) yang berisi, menyebarkan, atau mengungkapkan gagasan, nilai, kebiasaan, dan perilaku antara individu dan kelompok. Jadi budaya adalah jumlah total dari kepercayaan, nilai, adat istiadat dan cara hidup sekelompok orang yang berlaku serta praktik yang mewariskan budaya. Budaya, seperti narasi yang mendefinisikan dan didefinisikan oleh mereka, dapat menghasilkan dan memperkuat ketidakadilan dan ketidaksetaraan, atau sebaiknya mereka dapat menciptakan kemungkinan yang lebih besar untuk inklusi, kesetaraan dan keadilan yang lebih besar untuk semua.[8]
Sebagaimana disebut CA van Peursen, kebudayaan itu ibarat sebuah cerita yang belum tamat yang masih harus disambung untuk menggambarkan perkembangan zaman dari dahulu, kini dan hari depan; Juga mengalami perubahan naratif, sebagaimana disebut dalam Toward New Gravity Today (Menuju Gravitasi Baru Hari Ini, 2017): Perubahan naratif itu adalah tentang pergeseran paradigma dan wacana dari waktu ke waktu; Juga seperti dinasihatkan ahli strategi Ryan Senser, Bridgit Antoinette Evans dan Andrew Slack tentang strategi narasi jangka panjang “yang dirancang dari waktu ke waktu untuk menciptakan perubahan besar dalam narasi, nilai, keyakinan, dan perilaku orang; Atau seperti yang dikatakan Senser,“Narasi adalah strategi menuju tujuan; alat untuk menata ulang cara orang merasa, berpikir, dan menanggapi dunia.“[9]
Perubahan naratif itu selalu muncul dan abadi, mulai dari zaman mitologi hingga saat ini dan masa depan. Jee Kim, Liz Hynes & Nima Shirazi (2017) menyebut manusia, sebagai makhluk sosial pencari pola, mengumpulkan kumpulan cerita yang saling menguatkan, pada gilirannya membangun akal sehat bersama dan membangun stereotipe tentang orang dan tempat, komunitas dan budaya, ideologi dan institusi. “Narasi inti ini, yang menjadi dasar pemahaman kita tentang dunia dan kemampuan kita untuk menavigasi melaluinya, memelihara perasaan memiliki dan terpinggirkan; yaitu, mereka secara tidak sadar menggambarkan siapa yang ada dalam kelompok Anda (Kita) dan siapa yang bukan — siapa kita dan siapa mereka; Narasi sering menentukan siapa yang pantas mendapatkan solidaritas atau cemoohan, kasih sayang atau penghinaan, ketakutan atau kesetiaan kita.”[10]
Penulis Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Pendahuluan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy
Footnotes:
[1] Peursen, C.A. van, Prof, Dr., 1976: Strategi Kebudayaan, (Terjemahan: Cultuur in Stroomversnelling – Strategie van De Cultuur oleh Dick Hartoko), Jakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, h.233.
[2] Peursen, C.A. van, Prof, Dr., 1976: h.9.
[3] Descola, Philippe, 2013. Beyond Nature and Culture. Translated by Janet Lloyd. Chicago and London: The University of Chicago Press, p. 72-73.
[4] Peursen, C.A. van, Prof, Dr., 1976: h.11-13..
[5] Selain itu, dalam konteks kekinian, jangka pendek, ia berperan dalam kampanye – membantu membentuk opini, keyakinan, dan perilaku yang mengarah pada kemenangan pemilu, legislatif, dan kebijakan.
[6] Chang, Jeff; Manne, Liz; Potts, Erin, 2018: A Conversation about Cultural Strategy; Medium.com: https://medium.com/a-more-perfect-story/a-conversation-about-cultural-strategy-9e2a28802160.
[7] Chang, Jeff; Manne, Liz; Potts, Erin, 2018: ibid.
[8] Chang, Jeff; Manne, Liz; Potts, Erin, 2018: ibid.
[9] Kim, Jee; Hynes, Liz; Shirazi, Nima, (Foreword), 2017: Toward New Gravity, Charting a Course for the Narrative Initiative, p.8.
[10] Kim, Jee; Hynes, Liz; Shirazi, Nima, (Foreword), 2017: p.1.