Pendekatan Antagonistis Misionaris Protestan Fundamentalis

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (5)

0
13
Misionaris Protestan fundamentalis mengambil pendekatan antagonistis; Menganggap kepercayaan suku-suku bangsa sebagai musuh Injil. Ilustrasi TokohIndonesia.com - Meta AI.
Lama Membaca: 3 menit

Jauhkan Si Singamangaraja dari Injil (5)

 

Misionaris Protestan fundamentalis mengambil pendekatan “perpindahan radikal” atau “konflik” dan/atau antagonistis; Menganggap kepercayaan suku-suku bangsa sebagai musuh Injil. Misionaris fundamental  penganut pendekatan antagonistis ini memandang hanya sedikit bahkan tidak ada yang patut dipuji dalam religi dan kebudayaan Batak dan secara militan berusaha untuk menghancurkannya dan menggantikannya dengan agama Kristen. Pendekatan ini sering mengusir penyembah berhala dan/atau penganut agama suku dari Injil, setidaknya berakibat pergulatan konstan.[1]

Ya, itulah yang dihadapi Si Singamangaraja XI dan XII sebagai Raja Imam dan personifikasi kepercayaan, adat dan budaya Batak, yang selalu dinista dan ditolak untuk bertemu dan berdialog oleh Nommensen dan beberapa misionaris lainnya. Suatu pendekatan yang mengusir dan menjauhkan Si Singamangaraja (Raja Imam dan personifikasi kepercayaan, adat dan kebudayaan Batak) dari Kabar Baik Injil. Atau dalam kata lainnya: Misionaris telah melakukan pendekatan yang mengusir, menjauhkan dan menolak Si Singamangaraja menjadi pengikut Kristus (Kristen).

Tentu akan menjadi lain ceritanya, jika Nommensen bersedia menyambut uluran tangan dan/atau permintaan Si Singamangaraja XI dan XII; bersedia menemuinya dan berdialog memberitakan Kabar Baik kepada Raja Imam Batak tersebut yang pada dasarnya telah memiliki kepercayaan Tritunggal Primitif (Dr. Philip Lumban Tobing), atau yang kita istilahkan telah memiliki kepercayaan Monoteisme Tritunggal Terhambat dan/atau Pra-Trinitas. Hal mana para misionaris alpa memandangnya sebagai preparations and predispositions (persiapan dan kecenderungan) agama wahyu monoteisme, khususnya monoteisme trinitas.

Semestinya, sebagaimana dikemukakan Thomas Ebenezer Slater (1882) dalam The Philosophy of Missions: A Present-Day Plea (Filosofi Misi: Permohonan Masa Kini), ada pemahaman bahwa paganisme menunggu, oleh hukum yang sifatnya sendiri, untuk pemenuhannya dalam agama Kristen. Menurutnya, dalam pemeliharaan Tuhan, agama-agama dunia kuno telah dibentuk sebagai “persiapan dan kecenderungan,” untuk kebenaran mutlak yang kemudian harus diungkapkan.  Hal itu dikemukakannya dari sebuah studi yang mendalam, yang menyatakan, “tentang sejarah agama umat manusia akan menganggap agama-agama kuno ini bukan sebagai saingan kebenaran agama Kristen.” Karena itu, mereka harus dibawa ke kaki Kristus, untuk memberikan penghormatan yang setia kepada-Nya. Bintang yang menuntun orang bijak Timur ke Bethlehem, harus membimbing lagi dari kesalahan dan takhayul orang Timur yang bijak, yang menunggu terbitnya Matahari Kebenaran. Hinduisme, Budha, Konfusianisme, Paganisme, semua ini harus dipenuhi; mereka menanyakan sesuatu yang lebih, dan mencari sesuatu yang lebih tinggi. Ada keresahan dalam setiap sistem agama selain Kristus. Selain Dia, mereka adalah sistem yang terpisah-pisah dan cepat berlalu, dan ini adalah kelemahan dan kesedihan mereka; kapasitas mereka untuk bersatu dengan-Nya adalah kekuatan dan pembenaran mereka.[2]

Selanjutnya, Thomas Ebenezer Slater mengatakan di seluruh sistem kuno ini ada banyak bukti bahwa dalam diri manusia menuntut wahyu, tetapi tidak pada manusia yang memberikan wahyu. Sebagai sistem religius, mereka (pagan)  tidak melakukan pembebasan. Mereka tetap tidak terpenuhi. Kerinduan mereka yang belum terwujud, masalah yang belum terselesaikan menindas pikiran dengan kesedihan yang terdalam. Di dalam Injil saja, kebingungan agama dan naluri spiritual dapat dipuaskan sepenuhnya.[3]

Si Singamangaraja tidak hanya menunggu, tetapi datang mengunjungi, meminta bertemu, akan menemui, tetapi ditolak atau paling tidak, tidak direspon dengan pantas, dijauhi. Jika hasil temuan studi Thomas Ebenezer Slater, tersebut dipahami, maka penolakan atau sikap menjauhkan Si Singamangaraja dari Injil tersebut, sepatutnya tidak akan dilakukan oleh misionaris. Dengan demikian, proses pertobatan dan pengudusan kebudayaan Batak yang telah berkepercayaan kepada Debata Mulajadi Nabolon tentu akan berjalan lebih mendasar (substansial), apabila Raja Imam mereka sudah lebih dahulu menerima kebenaran Berita Baik (Injil) dan menerima babtisan sebagai Kristen. Sebab Si Singamangaraja adalah Raja Imam panutan orang Batak dan personifikasi orang Batak pada zamannya. Kendati Raja Si Singamangaraja XII sudah ‘tergerus’ keimamannya, terutama karena poligami (menyimpang dari kemaliman Dinasti SSM), dan terlibat perang karena ‘terpaksa’ untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsanya, namun masih disegani sebagai Raja Imam Batak.

Bersamsung || Sebelumnya

Penulis: Ch. Robin Simanullang, Cuplikan Buku Hita Batak, A Cultural Strategy, Jilid 3 Bab 11. Hlm. 1942-1943.

 

Advertisement

Footnotes:

[1] Abram J. Klassen, ed., 1967, p.232.

[2] Slater, Thomas Ebenezer, 1882: The Philosophy of Missions: A Present-Day Plea; London: James Clarke & Co., p.125-126.

[3] Slater, Thomas Ebenezer, 1882, p.126.

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments