Yang Lolos dan Yang Kandas

 
0
34
Majalah Berita Indonesia Edisi 16
Majalah Berita Indonesia Edisi 16

VISI BERITA (Demam Sepakbola, 6 Juli 2006) – Laga akbar Piala Dunia Jerman 2006 menyebarkan demam sepakbola ke seantero dunia. Sungguh fantastis. Sekitar 36 miliar pemirsa di 200 negara bisa menikmati 64 pertandingan yang disuguhkan dalam pesta akbar sebulan penuh yang diperkirakan meraup fulus Rp 318 triliun (setara 34 miliar dolar AS). Uang yang mengalir ke kocek FIFA dan tuan rumah Jerman berasal dari pembelian hak siaran televisi di 200 negara, para sponsor iklan, penjualan karcis, dan belanja jutaan turis asing dari tanggal 9 Juni sampai 10 Juli.

Baca Online: Majalah Berita Indonesia Edisi 16 | Basic HTML

Karenanya, laga Turnamen Piala Dunia (TPD) telah beralih dari ajang olahraga menjadi ajang bisnis yang tak tertandingi oleh cabang-cabang olahraga lainnya, seperti tenis lapangan dan basket. Tak pelak lagi, ke-36 tim nasional berjuang mati-matian agar bisa lolos ke babak puncak dengan harapan meraih prestise, kebanggaan, dan (sudah tentu) bonus yang menggiurkan dari FIFA, pemilik turnamen akbar tersebut. Selebihnya, penampilan tim-tim nasional di TPD membangkitkan semangat nasionalisme, melupakan konflik-konflik internal, dan memperkokoh persatuan nasional. Dan laga TPD juga membangkitkan semangat setiakawan global.

Agak berbeda dengan laga-laga TPD sebelumnya, perebutan Piala Dunia 2006 di Jerman diorganisir oleh FIFA dengan sangat teliti dan penuh disiplin. Tak seorang pun pemain atau kesebelasan diberi toleransi bermain kasar. Para wasit yang memimpin pertandingan tak akan segan-segan mengeluarkan kartu kuning, bahkan kartu merah, bagi setiap pelanggaran. Karena itu laga sepakbola di TPD Jerman menjadi sangat bermutu. Dengan demikian miliaran pemirsa di seluruh dunia mendapatkan suguhan permainan dan hiburan gratis yang sangat berharga.

Dalam hal ini, para pemirsa di Indonesia harus berterima kasih kepada stasiun SCTV yang membeli hak tunggal siaran TPD dengan harga cukup mahal, Rp 100 miliar, untuk sebulan penuh. Tentu SCTV sudah menghitungnya dengan kalkulasi bisnis yang teliti dan menguntungkan. Bayangkan, puluhan jutaan pemirsa Indonesia harus terpaku di depan satu layar kaca (SCTV) sebulan penuh lantaran tidak punya pilihan lain. Hasilnya, rating pemirsa SCTV naik berlipat-lipat, sehingga mengalirkan iklan dari sponsor utama Extra Joss dan Jarum Super serta puluhan pemasang iklan pada setiap detik pertandingan.

Mudah-mudahan dengan menonton siaran langsung, semua pihak yang terlibat di dalam pembinaan dan pengembangan sepakbola nasional bisa memetik pelajaran. Juga tim-tim dan para pemain nasional semestinya memetik pelajaran berharga dari TPD Jerman agar mereka tidak menjadikan lapangan hijau sebagai ajang kekerasan dan perkelahian. Sepak bola merupakan permainan dan hiburan. Karena itu harus menonjolkan sportivitas, keterampilan, dan seni bermain. Bukan kekerasan, kekuatan fisik, dan perkelahian. Apalagi menjadikan wasit sebagai bulan-bulanan, seperti yang diperlihatkan para pemain dan klub nasional.

Harapan jutaan pecinta sepakbola tanah air, semoga TPD Jerman memberi inspirasi kepada PSSI untuk membenah secara total dan radikal persepakbolaan nasional. Sebab, Indonesia pernah mencatat rekor dan prestasi di ajang sepak bola olimpiade Australia tahun 1950-an. Nama-nama, seperti Saelan dan Ramang, melegenda puluhan tahun dan menjadi idola setiap pencinta bola Indonesia. Demikian pula generasi Sucipto, Risdianto, Abdul Kadir, Roni Paslah, dan Roni Patinasarani. Mereka pemain-pemain nasional yang cukup disegani di tingkat Asia. Di era 1980-an, tim Korea Selatan sejajar dengan tim PSSI. Tetapi apa yang terjadi sekarang? Tim Indonesia semakin tertinggal, ibarat katak memandang tim Korsel yang sudah berada di batas langit.

Analogi ini tidak dimaksudkan untuk mengkerdilkan semangat sepakbola di Indonesia. PSSI sudah harus memulai kerja keras untuk menciptakan bintang-bintang harapan di masa datang, entah melalui turnamen di setiap daerah secara bertingkat atau sekolah-sekolah sepak bola seperti dulu. Pernah suatu periode dunia sepakbola Indonesia diruntuhkan oleh isu suap dan bandar judi. Dan kompetisi-kompetisi liga saat ini lebih diwarnai oleh nafsu meraup uang sehingga dampaknya menciptakan kekerasan dan pemaksaan kehendak di lapangan. Kenyataan yang terjadi, masuknya para pemain asing ke klub-klub liga dan perserikatan tidak memajukan sepakbola nasional, malah mematikan tumbuhnya bibit-bibit baru berbakat dalam negeri. Kita lebih senang memanen cepat di ladang orang daripada menanam, memupuk, dan membesarkan bibit-bibit berbakat di ladang sendiri.

Sah saja kita sekarang bermimpi bahwa suatu saat, barangkali tahun 2020, tim Indonesia masuk ke putaran final TPD. Namun mimpi hanya tinggal mimpi bilamana tim-tim sepakbola, PSSI, KONI, Menteri Pemuda dan Olahraga, dan pemerintah daerah, tidak memberi perhatian serius serta motivasi konkrit bagi pembenahan dan pembibitan bintang-bintang sepakbola. Momentumnya, TPD Jerman 2006.

Bangkitlah sepakbola nasional. Karena hanya itu jalan yang mudah, efisien, dan efektif untuk menegakkan kembali semangat, martabat, kebanggaan, kesetiakawanan, dan persatuan nasional. Percayalah, ini bukan slogan kosong, karena sudah dibuktikan oleh tim-tim nasional yang berlaga di TPD Jerman 2006. (red/BeritaIndonesia)

Advertisement

Daftar Isi Majalah Berita Indonesia Edisi 16

Dari Redaksi

Surat Komentar

Highlight/Karikatur Berita

Berita Terdepan

Visi Berita

Berita Utama

Berita Nasional

Berita Tokoh

Lentera

Berita Wawancara

Berita Politik

Berita Ekonomi

Berita Mancanegara

Berita Newsmaker

Berita Daerah

Berita Hukum

Berita Hankam

Berita Khusus

Berita Iptek

Berita Media

Berita Pariwara

Berita Kesehatan

Berita Humaniora

Berita Perempuan

Berita Lingkungan

Berita Budaya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini