Opini Lainnya
Penegakan hukum yang melemah di era Joko Widodo menjadi sorotan, ditandai dengan banyaknya kasus yang menunjukkan keterlibatan kekuasaan, seperti peristiwa di Mahkamah Konstitusi dan kasus di Pulau Rempang. Fenomena ini memperkuat peringatan Lord Acton bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut,” serta menggambarkan bagaimana hukum sering kali menjadi alat bagi yang berkuasa melawan yang tidak berdaya. Di tengah situasi ini, RUU Perampasan Aset muncul sebagai harapan baru. RUU ini diharapkan dapat mengatasi tantangan korupsi yang semakin merajalela, memperbaiki integritas hukum, dan mengembalikan kepercayaan publik.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Dalam pemberitaan pers dan media sosial, calon presiden Ganjar Pranowo menyatakan bahwa penegakan hukum di era Joko Widodo (Jokowi) mengalami penurunan, terutama terkait dengan peristiwa yang terjadi di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Pernyataan ini disetujui oleh mantan wakil presiden Jusuf Kalla (JK).
Pernyataan tersebut memiliki dasar kebenaran karena selama masa akhir jabatan Jokowi sebagai presiden, terdapat banyak peristiwa yang menunjukkan keterlibatan tangan kekuasaan, seperti kasus di Pulau Rempang. Selain itu, korupsi semakin subur dan merajalela, membenarkan pandangan Lord Acton bahwa “kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut cenderung korup secara absolut. (power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely)”
Pernyataan Lord Acton harus dipahami bahwa korupsi tidak akan terjadi tanpa kekuasaan di baliknya; di mana ada kekuasaan, di situ korupsi mulai terjadi. Intinya, kita harus berhati-hati dan waspada terhadap kekuasaan, termasuk terhadap “pemiliknya.” Keinginan Jokowi menjelang masa jabatan presiden keduanya, yang disampaikan dalam bentuk pertanyaan “Apakah masa jabatan presiden bisa lebih dari dua periode,” mencerminkan sinyal awal dari peringatan Lord Acton tersebut. Hal ini menjadi lebih nyata dengan upayanya mengusung Gibran sebagai calon wakil presiden Prabowo melalui sidang Mahkamah Konstitusi mengenai uji materi batas usia capres/cawapres yang tercantum dalam Pasal 169 huruf q UU No 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Sidang yang dipimpin Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran, memeriksa dan memutus uji materi tersebut. Berdasarkan UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, hubungan keluarga atau kekerabatan dalam jabatan publik atau yang sedang berjalan termasuk perbuatan nepotisme yang dilarang dan diancam pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
Dari peristiwa ini, jelas terlihat kebenaran pernyataan Lord Acton dan jargon tentang “the law is a tool of the powerful against the powerless”. Istilah yang dikenal di masyarakat, “hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah”, juga mencerminkan kondisi ini.
Merujuk pada peristiwa tersebut di atas, dapat disimpulkan sekali lagi kebenaran atas pernyataan Lord Acton dan juga jargon bahwa hukum adalah alat bagi yang berkuasa untuk melawan yang tidak berdaya (the law is a tool of the powerful against the powerless). Istilah yang dikenal di masyarakat, “hukum tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah,” memiliki makna yang kurang lebih sama dengan kedua pernyataan tersebut.
Apakah dengan demikian akan semakin sulit kita meraih cita-cita dan harapan Indonesia Emas melalui penegakan hukum? Menjawab pertanyaan ini, kenangan semasa kuliah hukum kembali teringat saat para guru besar hukum selalu bersemangat menekankan idealisme hukum dan tujuan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Sekalipun mereka (mungkin) mengetahui bahwa realitas hukum tidaklah demikian. Jargon yang membanggakan para mahasiswa dan ahli hukum bahwa hukum harus ditegakkan sekalipun langit runtuh, ditegaskan dalam irah-irah putusan sidang pengadilan di Indonesia yang berbunyi “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Namun, realita hukum sering kali terbalik 180 derajat, kepala di bawah dan kaki di atas.
Meski demikian, tidak ada alasan untuk menyesal menjadi orang Indonesia. Secara sarkastik, Butet Kartaredjasa menerjemahkan hal ini sebagai, “Jangan Kapok Menjadi Indonesia” (Kompas, 3 November 2023). Jika seorang budayawan – yang saya anggap mewakili budayawan Indonesia – telah menyatakan demikian, maka dapat dipastikan bahwa peristiwa korupsi dan kerakusan terhadap kekuasaan telah menjadi gejala atau symptom “budaya Indonesia”.
Dari sisi pembentukan peraturan perundang-undangan untuk mencegah dan memberantas korupsi sejak era reformasi 1998, pemerintah telah berupaya sungguh-sungguh. Namun, aparatur hukum lalai mengawasi pelaksanaan undang-undang anti korupsi, sehingga korupsi semakin merajalela. Dalam bahasa hukum pidana, ini disebut delik omisi.
Pemerintah telah melontarkan kebutuhan mendesak untuk segera mengundangkan RUU Perampasan Aset setelah tertunda pembahasannya sejak 2004. RUU ini telah disiapkan oleh pemerintah dalam hal ini Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).
RUU Perampasan Aset Tindak Pidana menggunakan dua pendekatan: perampasan aset melalui jalur penuntutan pidana (in personam forfeiture) dan jalur tuntutan perdata (in rem forfeiture). Kedua pendekatan ini memungkinkan perampasan (atas perintah hakim) harta kekayaan yang diperoleh secara tidak sah. Perbedaannya terletak pada prosedur permohonan perampasan dan target yang hendak dicapai.
Pendekatan in personam bertujuan untuk menghukum pemilik harta kekayaan yang perolehannya terbukti tidak sah serta merampas harta kekayaannya. Sementara itu, pendekatan in rem berfokus hanya pada perampasan harta kekayaan yang terbukti tidak sah dari seseorang tanpa perlu memenjarakan pemiliknya.
Konsekuensi logis dari pola perampasan aset tersebut adalah perlunya suatu badan pengelola aset-aset hasil tindak pidana. Dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, prosedur perampasan aset bertumpu pada Kejaksaan Agung, khususnya pada Jamdatun sebagai pengendali penuntutan pidana dan tuntutan perdata, atau tugas ini dibebankan kepada Jampidsus.
Dengan berlakunya UU Perampasan Aset Tindak Pidana, terjadi perubahan mendasar dalam golongan subjek hukum tindak pidana. Subjek hukum tindak pidana kini meliputi tindak pidana umum (legi generali), tindak pidana khusus (lex specialis), dan tindak pidana administratif (lex specialis administrative systematisch). Selain itu, subjek hukum pidana dibedakan menjadi subjek hukum perorangan, korporasi, dan harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana.
Dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, harta kekayaan yang dapat dirampas melalui dua pendekatan tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, harta kekayaan yang berasal dari tindak pidana dan tidak dapat dibuktikan keabsahannya. Kedua, harta kekayaan yang pemiliknya tidak diketahui, seperti yang ditemukan di gudang Bea Cukai tanpa ada yang mengakuinya.
Dengan diundangkannya UU Perampasan Aset Tindak Pidana, diharapkan strategi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berjalan lebih efisien dan efektif, seiring dengan penguatan UU Pencucian Uang. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK