Opini Lainnya
Pasca reformasi, Indonesia berada di persimpangan jalan hukum. Sistem hukum yang diwarisi dari era kolonial Belanda, penuh tambal-sulam dan tidak siap menghadapi kompleksitas modernisasi dan globalisasi, kini diuji oleh intervensi kekuasaan, praktik korup dan pengaruh uang yang mengikis keadilan dan kepastian hukum. Demi memulihkan kepercayaan publik, mendesak dilakukan revolusi hukum yang menjamin kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, dipimpin oleh figur-figur negarawan yang berintegritas tinggi dan siap mengubah wajah hukum Indonesia menuju masa depan yang lebih adil dan bermartabat.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Perkembangan hukum di Indonesia, terutama setelah era reformasi, telah membawa perubahan signifikan. Modernisasi teknologi yang mempengaruhi lalu lintas perhubungan dan perdagangan meningkatkan kompleksitas masalah hukum. Sistem hukum warisan Kolonial Belanda, meski telah mengalami beberapa perubahan dan penambahan, masih bersifat tambal-sulam dan kurang komprehensif dalam mengantisipasi efek samping negatif yang muncul dan diperkirakan akan terjadi.
Sejak era reformasi, terdapat proses internalisasi sistem hukum asing ke dalam sistem hukum yang berlaku di beberapa bidang hukum tertentu. Perubahan besar terjadi dalam bidang hukum perdagangan internasional dan regional, hukum kontrak, serta hukum penanaman modal asing.
Selain bidang hukum tersebut, bidang hukum pidana pun mengalami hal yang sama misalnya, penyidik yang tidak memberitahukan hak-hak tersangka saat penangkapan dan penahanan, serta larangan bagi tersangka untuk menyampaikan pendapat yang dapat memberatkannya di persidangan.
Selain hal-hal tersebut, pengadilan wajib memberikan kesempatan dan waktu yang cukup kepada terdakwa atau kuasa hukum atas namanya untuk menyampaikan pembelaan di dalam sidang pengadilan. Dalam praktik sidang pengadilan perkara pidana ternyata telah didominasi majelis hakim dan terhambat oleh keterbatasan waktu sidang sehingga tujuan hukum pidana untuk menemukan kebenaran materiel suatu perkara tidak pernah tercapai.
Selain itu, pengadilan wajib memberikan kesempatan dan waktu yang cukup kepada terdakwa atau kuasa hukumnya untuk menyampaikan pledoi/nota pembelaan di persidangan. Namun, praktik sidang pidana sering kali didominasi oleh majelis hakim dan terhambat oleh keterbatasan waktu, sehingga tujuan hukum pidana untuk menemukan kebenaran materiel tidak tercapai. Akibatnya, pledoi atau nota pembelaan dari terdakwa atau kuasa hukumnya kurang dipertimbangkan oleh majelis hakim. Praktik hukum yang demikian menimbulkan keraguan di kalangan pencari keadilan mengenai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan dari suatu proses peradilan.
Keragu-raguan ini semakin menguat ketika campur tangan kekuasaan dan uang turut menentukan hasil suatu perkara pidana. Pertanyaan mendasar yang muncul adalah, di mana letak kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum yang seharusnya memberikan tempat yang layak bagi kehidupan manusia?
Masyarakat, terutama para ahli hukum dan advokat, merasa prihatin melihat praktik curang dalam proses peradilan yang seharusnya mencapai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan. Kesimpangsiuran hukum yang merupakan derivatif dari praktik hukum curang adalah asas legalitas yang telah diwujudkan dalam teori kesalahan untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas suatu perbuatan pidana.
Teori kesalahan menentukan asas “tiada pidana tanpa kesalahan” (geen straf zonder schuld), yang bermakna bahwa tanpa adanya kesalahan, seseorang tidak dapat dihukum sesuai ketentuan undang-undang pidana. Thomas Aquinas menambahkan asas kepatutan (billijkeheid), sementara Bentham mengusulkan paham kemanfaatan bagi masyarakat terbanyak (utilitarianisme).
Asas kesalahan klasik kini berkembang membentuk hukum pidana baru yaitu asas “tiada pidana tanpa kesalahan, tiada kesalahan tanpa kemanfaatan” (geen straf zonder schuld, geen schuld zonder nut). Kelengkapan asas ini diharapkan dapat mencapai kebenaran materiel secara objektif dan tidak berpihak.
Contoh kasus Misnah yang mencuri lima buah kakao menggambarkan bagaimana kemiskinan seharusnya dipertimbangkan oleh majelis hakim. Meskipun Misnah harus dihukum, kemiskinannya patut menjadi pertimbangan sehingga majelis hakim seharusnya menjatuhi hukuman percobaan. Berdasarkan asas “tiada kesalahan tanpa kemanfaatan”, Misnah seharusnya dituntut bebas oleh penuntut umum dengan peringatan dari majelis.
Mengenai contoh ini, tidaklah keliru jika almarhum Roeslan Saleh, ahli hukum pidana terkemuka, mengatakan bahwa hukum pidana adalah pergulatan kemanusiaan (yang adil dan beradab, sic penulis). Namun, praktik hukum saat ini tampaknya terpinggirkan oleh kerasnya persaingan tidak sehat dalam kehidupan ekonomi. Intervensi kekuasaan dan uang kini muncul terang-terangan, memperburuk citra hukum kita.
Fungsi dan peranan hukum sejak awal kelahirannya adalah membatasi kekuasaan. Namun, kini hukum dijadikan alat (tools) untuk menghalalkan kezaliman kekuasaan. Hal ini sesuai dengan pandangan Machiavelli pada abad ke-15-16 bahwa kekuatan (power) dan kekerasan (force) mengalahkan yang lemah (powerless), sehingga muncul sinisme masyarakat bahwa “hukum tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas”.
Hukum kini dan ke depan membutuhkan figur yang memahami karakter hukum dan mampu melakukan terobosan hukum (legal breakthrough), bukan pelanggaran hukum (legal-breaking). Figur ini harus mampu menggerakkan revolusi dalam pembentukan hukum yang baik untuk rakyat dan penegakan hukum yang objektif, profesional, beretika, serta tidak tergoyahkan oleh kekuasaan atau uang.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan pejabat pemerintah dari pusat hingga daerah, mulai dari presiden hingga kepala desa, yang mampu memberikan teladan dan memiliki karakter negarawan yang terbentuk dari hati nurani demi kehormatan dan kemajuan bangsa dengan wilayah satu juta km2, meliputi 17.000 pulau, dan berpenduduk 270 juta jiwa. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK