
[OPINI] – Oleh Ch. Robin Simanullang SIB 01-06-1980: Sungguh banyak orang yang mengatakan bahwa, ‘jadi wartawan itu enak’. Pendapat ini suatu yang berlebihan, atau bahkan salah. Karena apa? Karena wartawan itu tidaklah seenak yang dikhayalkan banyak orang.
Seorang wartawan adalah kuda beban surat kabar. Laporkan aku dan pekerjaanku dengan benar,” ujar Shakerspeare memberi gambaran ‘kuda beban’ bagi wartawan. Di sisi lain, James Gordon Bennet, pendiri surat kabar The New York Herald mengatakan, seorang wartawan adalah separoh diplomat dan separoh detektif.
Mungkin pendapat James Gordon Bennet ini ditafsirkan banyak orang dari satu segi saja. Seperti, ‘wartawan adalah separoh diplomat’ di mana wartawan itu sering dan mudah berjumpa dengan presiden, menteri, gubernur, panglima, bupati dan lain sebagainya; sering ke luar negeri baik bersama rombongan presiden, menlu dan menteri lain serta pejabat tinggi lainnya, mendapat fasilitas selengkapnya.
Ya, memang ada benarnya kalau ditinjau dari segi itu: Jadi wartawan itu enak! Tetapi dalam hal ini perlu disadari bahwa dengan hal seperti itu, bahwa seorang wartawan itu harus bekerja keras melihat, mendengar, bertanya dan menulisnya. Dalam saat demikian itu, wartawan harus bekerja dengan gesit, lincah dan cermat. Di mana mereka selalu dikejar-kejar waktu, yang biasa disebut dalam dunia pers ‘deadline’ (batas waktu pelaporan dan penulisan berita tersebut untuk dapat diterbitkan), di mana berita (peristiwa) yang diliput tersebut tidak terlambat diterbitkan di surat kabar (media) tempatnya bekerja. Dan dalam waktu yang sedemikian sempit dan mendesak itu, wartawan harus menyusun (menulis) berita yang harus dicermati pula sesuai dengan kode etik jurnalistik dan perundang-undangan yang berlaku, serta susunan beritanya harus menarik dan mudah dimengerti pembacanya.
Ditulis di Pematang Siantar Jumat 30 Mei 1980 dan diterbitkan di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan, Minggu 1 Juni 1980.
Hal ini tentu adalah suatu pekerjaan yang sulit dan berat. Akibat keterburu-buruan yang dikejar waktu itu tidak jarang wartawan harus menghadap di muka pengadilan, dituntut ganti rugi dan lain-lain, di samping mendapat kritik, baik yang bersifat positif maupun negatif dari masyarakat. Ini adalah merupakan pil-pil pahit yang harus ditelan oleh para wartawan. Jadi, profesi wartawan itu tidaklah seenak yang dikhayalkan oleh banyak orang.
Di samping itu, ‘wartawan adalah separoh diplomat’ sebagaimana dikemukakan Gordon Bennet di atas, adalah juga berarti bahwa wartawan itu harus mampu bergaul dengan baik dengan berbagai manusia yang berlainan sifat, watak dan posisi sosialnya. Hal ini juga bukan pekerjaan yang mudah.
Selanjutnya, wartawan disebut ‘separoh detektif’ juga bukan pekerjaan mudah, karena terkadang harus mempertaruhkan keselamatan jiwanya untuk memperoleh sumber berita. Dalam hal ini para wartawan dituntut harus pandai mencium di mana ada sumber berita atau bahan berita. Bagaimana cara memeroleh bahan berita itu, bagaimana menginvestigasinya, bagaimana cara mengajukan pertanyaan kepada nara sumber, dan sebagainya.
Perkataan Shakespeare lebih tajam lagi sebagaimana disebut di atas. Di mana wartawan itu disebut sebagai kuda beban surat kabar, hal mana wartawan itu harus selalu siap sedia 24 jam mengejar atau mencari bahan berita.
“Laporkan aku dan pekerjaanku dengan benar,” kata Shakespeare, menggambarkan bagaimana beratnya pekerjaan seorang wartawan. Di mana wartawan dalam menyiarkan suatu berita atau tulisan harus benar-benar berdasarkan fakta (news must a factual). Di mana fakta itu merupakan ‘conditio sine qua non’ bagi berita, tanpa memisah kaitannya dengan ‘interest’ dan ‘reader’, serta apakah ‘fact’ itu memiliki ‘news value’ dan apakah ‘fit to print’.
Jelas hal ini merupakan pekerjaan berat yang memerlukan kecerdasan, ketangkasan, kecermatan, kecepatan, kerajinan, kesabaran, pengetahuan luas, kecepatan berpikir yang jernih dan tepat untuk menuliskannya menjadi suatu ‘berita yang baik’ (fact, news value, fit to print).
Suatu hal yang sangat disesalkan jika ada wartawan dengan suara membentak mengatakan: “Saya wartawan, tahu?” Ini adalah ucapan kurang pantas, sok jagoan, sok hebat! Di mana wartawan tersebut menganggap dirinya ‘lebih tinggi’ dari manusia (profesi) lain. Seolah mendewakan dirinya sendiri. Ironis sekali. Karena wartawan itu, di samping harus memegang teguh Kode Etik Jurnalistik sebagai moral profesi, ia harus juga mematuhi etika moral atau tata krama kehidupan dalam masyarakat. Hal ini berarti seorang wartawan harus sanggup dan mau melaksanakan dua kode etik sekaligus.
Barangkali masih banyak wartawan yang belum menyadari hal ini. Bahkan mungkin masih banyak wartawan (tidak hanya yang berada di daerah) yang belum tahu apa isi Kode Etik Jurnalistik, dan mungkin juga masih ada wartawan yang belum pernah melihat (membaca) Kode Etik Jurnalistik itu, seperti pernah dikemukakan oleh MD Wakkary (Wapemred Harian SIB, Medan) saat penulis melakukan wawancara dalam penulisan sebuah penelitian tentang pelaksanaan Kode Etik Jurnalistik (12-3-1979). Hal serupa pernah juga dikemukakan oleh seorang tokoh wartawan, Sumanang, SH di depan mahasiswa Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran.
Seorang wartawan yang tidak tahu bahkan mungkin tidak pernah membaca Kode Etik Jurnalistik dimaksud, sudah barang tentu akan banyak berbuat hal-hal yang salah dan bertentangan dengan kode etik tersebut. Mengenai adanya istilah ‘wartawan amplop’, tentu saja hal ini tidak akan terjadi jika para wartawan itu melaksanakan Kode Etik Jurnalistik-nya.
Namun, sangat disadari bahwa masalah ‘wartawan amplop’ tersebut adalah mempunyai hubungan erat dengan masalah penghasilan wartawan yang sampai saat ini masih merupakan masalah pelik. Hal mana pada umumnya dapat dikatakan bahwa penghasilan wartawan itu masih belum bisa menutupi kebutuhan dasarnya dan keluarganya sehari-hari, apalagi untuk menjamin hari tuanya kelak. Pendapat ini adalah merupakan suatu asumsi. Karena belum pernah dilakukan suatu penelitian khusus berapa sebenarnya pendapatan wartawan itu secara rata-rata dan berapa ‘idealnya’. Diperkirakan, variasinya cukup besar, tergantung kepada kemampuan perusahaan di mana wartawan itu bekerja.
Dalam hubungan ini, Subaijo IN Cs, dalam ‘Lintasan Sejarah PWI’ yang diterbitkan PWI Pusat & Deppen RI, Jkt, 1977, hal.47 mengatakan: “Tidaklah mengherankan, jika masalah wartawan amplop pun menjadi masalah sangat rumit karenanya. Apalagi mengingat bahwa dalam masyarakat kita sudah dapat dikatakan membudayalah kebiasaan main amplop dan salam tempel.”
Jadi hal ini berarti, kebiasaan ‘main amplop’ dan ‘salam tempel’ dalam kehidupan masyarakat turut mempersulit mengatasi adanya ‘wartawan amplop’, di samping masih rendahnya penghasilan rata-rata wartawan yang masih belum sanggup memenuhi kebutuhannya sehari-hari dan menjamin hari tuanya kelak.
Ditulis di Pematang Siantar Jumat 30 Mei 1980 dan diterbitkan di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB), Medan, Minggu 1 Juni 1980. Penulis: Ch. Robin Simanullang | Arsip TokohIndonesia.com |
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA