
[OPINI] – Oleh: Siti Musdah Mulia | Pluralisme adalah sebuah aliran filsafat yang mengakui adanya eksistensi perbedaan. Perbedaan bukanlah hal negatif yang perlu dinegasikan. Perbedaan adalah keindahan dan kekayaan sosial yang dapat dijadikan fondasi dan modal sosial dalam kehidupan bersama di masyarakat. Karena itu, semua upaya untuk penyeragaman dan menghilangkan perbedaan adalah bertentangan dengan realitas sosial dan sia-sia belaka.
Walaupun dalam pluralisme diakui adanya perbedaan, akan tetapi perbedaan itu bukanlah dimaksudkan untuk meremehkan atau mendiskriminasikan orang atau kelompok yang lain, siapa pun dia atau apa pun dia. Justru dengan memahami pluralisme, khususnya pluralisme agama, seseorang dituntut bersikap toleran, mau menerima orang lain apa adanya, dan bersedia berkomunikasi dan bekerjasama demi merajut damai dengan orang berbeda. Sayangnya dalam realitas sosial istilah pluralisme agama banyak disalahpahami, seperti terbaca dalam Fatwa MUI Tahun 2005 tentang keharaman pluralisme, liberalisme, dan sekularisme.
Setidaknya ada lima cara yang benar untuk memahami pluralisme agama.
Pertama, pluralisme bukan sekedar pluralitas. Pluralisme agama bukan sekedar mengakui adanya agama-agama yang berbeda atau pluralitas (keberagaman) agama. Pluralisme adalah “the energetic engagement with diversity, atau katakanlah, sebuah pergumulan intensif terhadap fakta keberagaman atau pluralitas. Di sini pluralisme bisa dibaca sebagai tafsir atas pluralitas atau evaluasi atas diversitas budaya dan agama. Jadi, pluralisme adalah sikap kita menerima pluralitas yang begitu kasat mata di masyarakat, termasuk pluralitas agama.
Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi, melainkan proses pencarian pemahaman secara aktif menembus batas-batas perbedaan. Pluralisme membutuhkan pengetahuan (knowing) dan pemahaman (understanding).
Ketiga, pluralisme tidak identik dengan relativisme, melainkan the encounter of commitment. Dalam paradigma baru pluralisme bukan berarti seseorang harus menanggalkan identitas keagamaan dan komitmennya terhadap agama tertentu, melainkan inti dari pluralisme adalah perjumpaan komitmen untuk membangun hubungan sinergis satu dengan yang lain.
Keempat, pluralisme tidak identik dengan sinkretisme, sebab pluralisme mengandalkan pentingnya mutual respect dan dibangun di atas basis saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing, maka sinkretisme adalah sebuah kreasi agama baru dengan mencampuradukkan aneka elemen dari berbagai tradisi agama yang berbeda.
Keempat, pluralisme tidak identik dengan sinkretisme, sebab pluralisme mengandalkan pentingnya mutual respect dan dibangun di atas basis saling menghormati dan menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing, maka sinkretisme adalah sebuah kreasi agama baru dengan mencampuradukkan aneka elemen dari berbagai tradisi agama yang berbeda.
Kelima, pluralisme tidak identik dengan hidup bersama antar berbagai kelompok agama yang berbeda tanpa dialog. Karakteristik pluralisme dibangun diatas basis dialog agama. Bahasa pluralisme adalah bahasa dialog dan perjumpaan. Dialog agama, baik dialog antar atau intra-agama menjadi “ruh” dan basis utama pluralisme. Tanpa dialog pluralitas agama, budaya dan etnisitas hanya akan bertemu temporal dan bersifat formalitas.
Kesimpulannya, pluralisme mengajarkan tentang keniscayaan pluralitas. Pluralitas adalah sunatullah, suka atau tidak, pluralitas atau keberagaman akan selalu ada dalam kehidupan kita. Dalam pluralisme terkandung unsur toleran; kesediaan berbagi dengan yang lain; solidaritas sosial, menghargai orang lain apa adanya; dan kesediaan untuk menerima orang lain dalam kehidupan bersama; serta keinginan kuat membangun damai dan harmoni dalam masyarakat. Hanya dengan mengakui pluralisme, masa depan yang lebih baik bagi bangsa Indonesia yang sangat heterogen dapat terwujud secara pasti.
Wallahu a’lam bi as-shawab. Opini TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA
terima kasih atas pencerahannya, Ibu
mohon ijin, naskah ibu kami sunting untuk inspirasi / bahan pencerahan bagi teman2 kami
kawula muda Gereja Madiun
terima kasih.
hari soeseno