BIOGRAFI TERBARU

Continue to the category
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img
24.4 C
Jakarta
Populer Hari Ini
Populer Minggu Ini
Populer (All Time)

Pemberantasan KKN: Antara Harapan dan Kenyataan

Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita

Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Opini Lainnya

Meskipun pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) telah menjadi tonggak penting dalam Reformasi 1998, pelaksanaannya masih jauh dari harapan, dengan pelanggaran yang terus terjadi di berbagai lapisan birokrasi dan sektor bisnis. UU Nomor 28 Tahun 1999 yang mengatur secara tegas tentang KKN sering kali diabaikan, terutama dalam proses pengadaan barang/jasa pemerintah. Dalam konteks ini, peran strategis ASN dan lembaga seperti PPATK sangat krusial untuk menekan laju korupsi dan pencucian uang yang mencapai triliunan rupiah. Hal ini penting untuk membangun pemerintahan yang bersih, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menarik investasi baik nasional maupun asing.

Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita

Agenda Pemberantasan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) menjadi tonggak penting dalam era Reformasi tahun 1998. Istilah KKN telah dikenal luas oleh masyarakat, termasuk di kalangan bawah. Namun, penerapan aturan ini sering diabaikan oleh pihak tertentu, baik dalam birokrasi, aparat penegak hukum, maupun pelaku bisnis atau korporasi. Bahkan, masyarakat serta ahli hukum – baik akademisi maupun praktisi – belum sepenuhnya memahami masalah KKN yang diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. UU ini melarang keras KKN dan menetapkan ancaman pidana bagi pelakunya, termasuk perbuatan kolusi dan nepotisme.

Menurut Pasal 1 angka 4 UU tersebut, kolusi adalah permufakatan atau kerjasama ilegal antar-penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan negara. Nepotisme, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, adalah setiap perbuatan penyelenggara negara yang melawan hukum demi menguntungkan keluarga atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Sementara itu, korupsi berdasarkan Pasal 1 angka 3 adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Kolusi dan nepotisme sering terjadi, terutama dalam proses lelang barang/jasa pemerintah, meskipun PerPres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengatur prosedur pengadaannya dengan rinci. Tetap saja terjadi kebocoran, di mana pejabat pembuat komitmen (PPK) sering ditetapkan sebagai tersangka, seperti dalam kasus korupsi proyek pengadaan BTS Kemeninfo di mana Menteri sebagai Pengguna Anggaran (PA) juga ditetapkan sebagai tersangka.

Menurut data, kasus tindak pidana korupsi yang paling banyak ditangani kejaksaan terjadi dalam pengadaan barang/jasa pemerintah. UU Nomor 28 Tahun 1999 mengancam pelaku kolusi dan nepotisme dengan pidana penjara minimal 2 tahun dan maksimal 12 tahun, serta denda antara Rp 200 juta hingga Rp 1 miliar. Namun, masih banyak akademisi dan aparat hukum yang belum mengetahui atau memahami UU KKN ini. UU tersebut didesain sebagai undang-undang payung (umbrella act) untuk seluruh peraturan perundang-undangan pemberantasan suap dan korupsi khusus di kalangan aparatur penyelenggara negara dalam arti luas, mulai dari presiden hingga kepala desa. Sebagai undang-undang payung, UU ini berfungsi sebagai parameter penilaian kepatuhan aparatur penyelenggara negara dalam menjauhi suap dan korupsi. Jika setidaknya 50% aparatur negara mematuhi ketentuan larangan kolusi dan nepotisme, pemberantasan korupsi diharapkan dapat mengurangi tingkat suap dan korupsi hingga 50%, yang berarti kinerja aparatur hukum dan ASN menjadi lebih efisien dan efektif.

Mengapa ASN dan aparatur penyelenggara negara menjadi target pemberantasan suap dan korupsi? Hal ini karena mereka memegang peran strategis dan memiliki kekuasaan dalam mengelola pemerintahan, yang menentukan baik buruknya sistem pemerintahan. Jika penyelenggaraan pemerintahan bebas dari KKN, maka keuntungan material dan imaterial akan diperoleh. Kesejahteraan masyarakat dan investasi perusahaan nasional serta asing akan meningkat, dan masyarakat akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Sementara UU Ciptaker merupakan “roket pendorong” untuk mempercepat pencapaian keadilan sosial dan keamanan serta ketertiban sosial.

Peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini berada pada angka 34, masih jauh di bawah rata-rata IPK negara-negara lain, terutama di antara negara anggota ASEAN. Kejaksaan dan KPK kini tengah berupaya meningkatkan kinerja pemberantasan korupsi. Pada periode 2020 hingga 2023, kinerja Kejaksaan menunjukkan pemulihan kerugian keuangan negara tahun 2022 mencapai lebih dari Rp 8,7 triliun, USD 11,7 juta, dan SGD 2,4 juta. Kontribusi ke Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp 2,1 triliun. Sementara itu, KPK memulihkan kerugian negara sebesar Rp 1,3 triliun pada tahun 2022. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa pandangan skeptis masyarakat khususnya LSM terhadap kejaksaan dan KPK tidak sepenuhnya proporsional, dan ada harapan kinerja kedua lembaga ini akan semakin membaik di masa depan.

Menurut penulis, meskipun upaya pemberantasan korupsi telah diakui secara internasional melalui Konvensi PBB Anti Korupsi 2023 dan diratifikasi oleh Indonesia dengan UU Nomor 7 Tahun 2006, korupsi masih tumbuh, berkembang, dan meningkat. Hal ini termasuk upaya organisasi kejahatan untuk melakukan pencucian uang hasil korupsi di negara lain melalui penempatan (placement), penyamaran (layering), dan pencampuran aset hasil korupsi dengan harta kekayaan yang sah dari setiap orang yang terlibat.

Pencucian uang haram di Indonesia, yang mencapai 349 triliun rupiah seperti diungkapkan oleh Menkopolhukam, Kemenkeu, dan PPATK, menunjukkan bahwa sistem keuangan dan perbankan di Indonesia telah “dikuasai” oleh kartel organisasi kejahatan internasional. Angka pencucian uang yang fantastis ini bahkan melebihi APBN tahun 2023. Jika dugaan penulis benar, ini merupakan alarm bagi ketahanan nasional NKRI dan perlu segera diambil langkah-langkah konkret dan operasional yang memberikan manfaat maksimal untuk “menguasai kembali” sistem perekonomian, keuangan, dan perbankan dari kejahatan terorganisasi dalam bidang tersebut.

Salah satu lembaga hukum terdepan dalam menghadapi gurita pencucian uang adalah PPATK, yang merupakan pilar utama dalam mengungkap aliran uang atau dana yang masuk dan keluar Indonesia serta mengidentifikasi pemilik dan penempatannya. Dalam konteks ini, PPATK perlu diberikan wewenang penyelidikan pro-justitia, seperti yang dimiliki oleh lembaga serupa, FinCEN, di Australia. Saat ini, PPATK hanya berfungsi sebagai lembaga pemasok data harta kekayaan seseorang tanpa kewenangan untuk memanggil, memeriksa dana, menggeledah, serta melakukan penyadapan. Selain itu, PPATK juga perlu diberikan peran dan status hukum sebagai ahli dalam sidang perkara korupsi dan kasus terkait pencucian uang. (red/TI)

Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK

Beli Buku Hita Batak A Cultural Strategy

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Beli Buku The Story of Simplicity Mayjen TNI Dr Suyanto

Terbaru

Ninik Rahayu

Dr. Ninik Rahayu, S.H., M.S., adalah akademisi, aktivis, dan pakar hukum yang dikenal atas perjuangannya dalam hak perempuan, keadilan...
26,568FansSuka
50,400PengikutMengikuti
645PengikutMengikuti
1,720PelangganBerlangganan
Majalah Tokoh Indonesia Edisi 48 PABU

Artikel Lainnya

Beli Buku Hita Batak A Cultural Strategy