Opini Lainnya
Di era globalisasi, hukum di Indonesia berupaya memberikan kepastian dan keadilan yang merata bagi semua pihak, termasuk warga negara dan orang asing. Tantangan utama meliputi ketidakpastian hak atas tanah, lemahnya kepatuhan masyarakat terhadap hukum, dan kebutuhan untuk harmonisasi dengan hukum internasional. Harmonisasi dan transplantasi hukum menjadi kunci untuk menavigasi perubahan global dan mempertahankan semangat kebersamaan khas Indonesia yang berlandaskan filosofi Pancasila. Hal ini bertujuan untuk menciptakan sistem hukum yang adaptif dan inklusif, demi mencapai masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera.
Pemikiran Hukum Romli Atmasasmita
Perkembangan hukum di Indonesia, terutama sejak era reformasi, mengalami pasang surut yang masih jauh dari tujuan mencapai keadilan yang diharapkan, baik dari tahap pertama hingga tahap peradilan Kasasi di Mahkamah Agung (MA). Selain itu, perkembangan hukum semakin cepat seiring dengan globalisasi, di mana kesiapan setiap negara untuk berinteraksi dengan negara lain dalam berbagai aspek kehidupan semakin meningkat. Perlindungan hak setiap warga negara dan orang asing semakin memerlukan perhatian serius.
Masalah serius yang dirasakan masyarakat dan pemangku kepentingan orang asing di Indonesia adalah kepastian hukum dan jaminan perlindungan hak serta kepentingan warga negara dan orang asing yang belum maksimal terlindungi. Di era globalisasi ini, setiap negara, suka atau tidak, harus melakukan penyesuaian atau harmonisasi dengan ketentuan hukum internasional, baik dalam bidang ekonomi, khususnya perdagangan internasional, maupun dalam bidang pencegahan dan penegakan hukum.
Harmonisasi hukum menjadi penting untuk mencegah dualisme hukum dalam implementasi. Salah satu masalah serius yang tampaknya bersifat permanen adalah ketidakpastian hukum yang sangat merugikan pencari keadilan, baik warga negara maupun orang asing.
Contoh konkret adalah sengketa tanah, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Penerapan hak milik, hak pakai, hak guna usaha, dan hak guna bangunan sering kali membuat pemilik sah atau pengguna hak atas tanah mengalami depresi karena hak atas tanah yang dimiliki ternyata mengandung cacat hukum sejak proses perolehannya. Penyebab masalah hak atas tanah ini termasuk dibiarkannya kelompok yang menamakan diri sebagai calo tanah atau, dalam perkembangannya kini, menjadi suatu “mafia tanah.”
Fungsi hukum yang awalnya mengatur hak dan kewajiban setiap pemangku kepentingan kini berubah menjalankan fungsi represif yang diharapkan dapat memaksa kepatuhan pemangku kepentingan terhadap perlindungan hak atas tanah dan setiap orang yang terlibat di dalamnya. Selain kedua fungsi hukum tersebut, masalah kekinian yang muncul adalah kepatuhan masyarakat terhadap hukum yang semakin melemah.
Dalam keadaan putus harapan terhadap kekuatan hukum yang mampu menjerakan pelanggar hukum, muncul fungsi hukum ketiga yaitu bagaimana hukum dapat menyelesaikan masalah tanpa masalah dan menciptakan perdamaian antara pihak-pihak yang terlibat dalam masalah hukum, dikenal sebagai fungsi restoratif atau restorative justice. Fungsi hukum ini tampaknya selaras dengan filosofi bangsa Indonesia, Pancasila, yang berintikan musyawarah dan mufakat dalam semangat kebersamaan (kolektivitas).
Semangat kebersamaan ini sering dipertentangkan dengan semangat ke-akuan atau individualisme yang menjadi filosofi masyarakat Barat. Namun, yang menjadi sebuah pertanyaan besar dalam masyarakat Indonesia, bagaimana semangat kebersamaan dapat terus dipelihara di tengah kenyataan kehidupan yang semakin individualistis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu kita dalami bersama teori harmonisasi dan transplantasi hukum yang cocok di era globalisasi.
Pola pendekatan masa kolonial lebih fokus pada mempertahankan kekuasaan pemerintah kolonial dengan menekan kekuatan sosial kaum pribumi. Namun, di era globalisasi pasca Perang Dingin, dengan pendekatan era demokratisasi dan HAM, kekuatan sosial diajak bersama-sama membangun sistem hukum nasional yang sesuai dengan nilai budaya Indonesia, bersumber pada falsafah Pancasila, serta adaptif terhadap perkembangan demokrasi modern yang bersumber pada filosofi individualisme.
Transplantasi hukum adalah pendekatan yang menggunakan metode perbandingan yang bersifat akomodatif terhadap perubahan global. Pendekatan ini diharapkan dapat membangun kesadaran hukum masyarakat sebagai bagian integral dari komunitas global. Alan Watson, dalam bukunya Legal Transplants (1993, edisi kedua), meragukan bahwa perbandingan hukum merupakan metode analisis yang tepat untuk mendapatkan gambaran menyeluruh dari satu objek yang sama di antara dua atau lebih sistem hukum. Dalam konteks transplantasi hukum, perlu juga mempertimbangkan nilai-nilai politik, moral, sosial, dan ekonomi yang ada dalam kedua sistem sosial yang berbeda. Selain dalam aspek teknis, Watson meragukan bahwa masalah hukum dalam kedua sistem tersebut adalah masalah yang sama.
Merujuk pada pendapat Watson, jelas bahwa metode perbandingan hukum tidak akan memberikan hasil yang akurat dan objektif jika tidak mempertimbangkan nilai-nilai tersebut. Namun demikian, implementasi transplantasi hukum dalam era globalisasi saat ini dengan metode perbandingan hukum tetap diperlukan. Tujuannya adalah menempatkan fungsi dan peran hukum yang terarah dan fokus, menjadikan hukum sebagai tempat yang layak untuk didiami oleh umat manusia. Fungsi dan peran hukum yang tepat, apabila hukum ditempatkan di depan, akan memberikan arahan politik bagi negara untuk mencapai cita-cita Indonesia merdeka, yaitu masyarakat yang damai, adil, dan sejahtera. (red/TI)
Penulis: Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana dan Arsitek KPK