
[WAWANCARA] – Pada era otonomi daerah saat ini, beri kesempatan daerah untuk berkembang dan berkreasi. Kalau daerah makmur, negara kita makmur. Kalau daerah kuat, NKRI kita kokoh. Kalau pusat makmur, belum tentu daerah makmur. Kalau pusat kuat, belum tentu daerah kuat. Demikian visi Prof Dr H Syaukani HR, SE, MM, sebagai seorang putra bangsa yang berpikir tentang kepentingan bangsa secara keseluruhan.
Bupati Kutai Kartanegara (1999-2004 dan 2005-2010) yang menjabat Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Kalimantan Timur mengemukakan hal itu dalam percakapan dengan Tim Wartawan Tokoh Indonesia (TWTI) di Hotel Singgasana, Tenggarong, Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, Kamis 13 April 2006. Percakapan berlang-sung di restoran hotel berbintang tiga itu. Sejumlah tamu yang sedang sarapan pagi juga sengaja ditemuinya di restoran hotel itu.
Di antaranya 16 mubaligh muda Finalis Dai TPI yang sengaja didatangkan untuk memberikan tausiyahnya pada Peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1427 Hijriah di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar). Acara itu berlangsung semarak, Rabu (12/04) malam. Ribuan warga tumpah ruah memadati lapangan parkir gedung Puteri Karang Melenu, Tenggarong Seberang. Acara itu juga dihadiri para pejabat Muspida Kukar, kepala dinas/instansi, tokoh agama serta Ketua Badan Kehormatan DPR RI Slamet Effendy Yusuf.
Tim Wartawan Tokoh Indonesia berada di Kukar selama lima hari (11-14 April 2006), berkeliling mengunjungi dan mengamati sejumlah tempat, mulai pagi hingga malam hari. Bak wisatawan yang menikmati keagungan dan kemegahan Kukar. Tentu saja, juga berbicara dengan sejumlah penduduk, wartawan koran lokal, kerabat Keraton, pejabat Pemda dan Ketua DPR Bachtiar Effendy.
Pertemuan dengan Bupati H Syaukani HR, tidak pernah diagendakan secara khusus. Hanya saja, kunjungan Tim Wartawan Tokoh Indonesia (TWTI), ini memang merupakan kelanjutan dari pertemuan sebelumnya di Wisma Kutai Kartanegara, Jalan Cimahi, Menteng, Jakarta Pusat. Saat itu, Syaukani, memilih irit berbicara baik tentang profil dirinya sendiri maupun profil keberhasilan pembangunan Kutai Kartanegara. “Alangkah lebih baik Anda mengun-jungi daerah kami, daripada hanya berbicara dengan saya,” katanya.
Ketika TWTI tiba di Kukar, Bupati H Syaukani HR, tengah berada di Jakarta untuk kemudian ke Bangka Belitung, menghadiri sebuah acara, dimana dia dianugerahi penghargaan. Setelah tiga hari mengunjungi berbagai objek di Kukar, TWTI menyampaikan kepada ajudan keinginan bertemu bupati. Kamis pagi (13/4), bupati datang ke restoran hotel milik Pemda Kukar itu, menemui para tetamunya. Satu persatu tamu itu dilayani, termasuk melayani percakapan dengan TWTI.
Percakapan dengan TWTI berlangsung akrab, seperti layaknya sahabat yang sudah lama saling kenal. Dia seperti sangat yakin bahwa TWTI telah mengenalnya setelah sekian hari mengunjungi berbagai tempat di Kukar. Percakapan yang sangat terbuka, disaksikan beberapa tamu yang duduk di meja sebelah.
Demikian petikan percakapan dengan Prof Dr H Syaukani HR, SE, MM, itu:
MTI: Bisa Anda mulai dari masa kecil, bagaimana pengasuhan orangtua?
SHR: Masa kecil saya penuh tantangan. Karena umur tiga tahun saya ditinggalkan ayah. Saya hidup dengan ibu dan nenek. Jadi saya terbiasa mandiri. Untungnya kakak saya tiga orang perempuan, mereka bisa mengayomi. Keadaan itu membuat kami selalu berpikir mandiri. Jadi menghadapi tantangan itu merupakan hal yang biasa.
Keadaan susah itu saya alami. Karena itu ketika sekarang ini saya mendapat kepercayaan dari rakyat, saya memperhatikan orang susah. Dan yang paling penting bagi saya dalam kehidupan ini, bagaimana menciptakan hubungan baik dengan yang lain. Kemudian kalau diaplikasikan di organisasi bagaimana mempunyai hubungan yang baik dengan semua orang.
Kita tidak bisa hidup sendirian, harus selalu tergantung kepada pihak lain, dan pihak lain juga tergantung kepada kita. Jadi kita belajar dari itu, mungkin dari hal-hal kecil bisa diperluas menjadi scope yang lebih besar. Ini saya kira yang selalu mendasari saya bahwa kita hidup ini harus berguna bagi orang lain.
Dalam hidup ini, saya mempunyai tiga prinsip. Pertama, hidup seperti lilin, harus berani berkorban demi kepentingan yang lebih besar, menghilangkan kegelapan sekalipun badan meleleh. Kedua, hidup seperti batu karang. Harus tahan banting oleh berbagai benturan gelombang tantangan. Ketiga, prinsip hidup seperti lebah. Prinsip kekompakan, kebersamaan dan persatuan yang menjadi kekuatan, seperti lebah.
MTI: Kembali lagi ke masa kecil Anda, menjalani pendidikan di bawah asuhan seorang ibu?
SHR: Saya menjalani masa pendidikan dengan prihatin. Di situ saya memandang pendidikan sangat penting untuk masa depan. Karena itu saya menulis buku “Pendidikan Paspor Masa Depan.” Karena saya sering menulis buku.
Saya mengawali karir sebagai pendidik, karena saya cinta dengan pendidikan. Saya sebagai guru dan tahun 1974 saya sudah sebagai kepala SMEA. Begitu lulus di Unmul, sarjana muda saja, sarjana tengah, Bsc. Setelah bekerja saya melanjutkan ke Jember.
MTI: Sampai sekarang masih menggeluti pendidikan?
SHR: Tahun 1985 saya mendiri-kan Universitas Kutai Kartanegara. Saya sebagai pendirinya bersama Bupati Kutai waktu itu. Tapi saya punya inisiatif. Saya mendirikan itu, dengan menggabungkan beberapa perguruan tinggi swasta yang ada waktu itu.
Karena saya lihat, motivasi perguruan-perguruan tinggi yang dulu itu untuk mencari keuntungan seperti di perusahaan. Saya nggak mau masyarakat saya dijadikan korban, diperas oleh pendidik. Lalu saya dirikan Universitas Kutai Kartanegara, saya jadi pembantu rektor, bupatinya rektor. Sehingga saya mempunyai jabatan akademis mulai dari lektor, lektor kepala dan rektor dan dianugerahi gelar profesor.
Setelah dipercaya jadi Ketua Apkasi di Jakarta, hampir lima puluh persen waktu saya di Jakarta, lalu saya manfaatin juga sekolah program S3 di Institut Pertanian Bogor (IPB). Sekolah kan nggak kenal usia, sampai akhir hayat. Long life education, artinya pendidikan itu berlangsung seumur hidup. Saya mau memberi contoh, bupati pun bisa sekolah, sudah tua pun sekolah, apalagi yang masih muda. Mereka yang bekerja harus berpendidikan. Saya mau memberi contoh ke masyarakat saya, bahwa saya ini betul-betul sekolah, step by step.
MTI: Perihal perjalanan karir Anda, dari mulai guru SMEA sampai jadi bupati, bagaimana prosesnya?
SHR: Jadi setelah saya lulus belajar dari Jember, saya dapat S1, saya bekerja di Pemda Kabupaten Kutai. Kemudian menduduki beberapa jabatan, di antaranya sebagai kepala dinas pendapatan. Di samping itu, saya ikut terjun beror-ganisasi, saya ketua Angkatan Muda Pembaru Indonesia, underbouw-nya, sayapnya Golkar. Kemudian KNPI, gelanggang remaja, PPM, saya anak pejuang juga. Jadi ikuti semua organisasi yang ada.
Kemudian membawa saya menjadi sekretaris DPD Golkar dua kali di Kutai ini, sampai sekarang dipercaya jadi ketua DPD Partai Golkar Kaltim. Kemudian saya terjun sekaligus di dunia politik. Tahun 1997 saya jadi ketua DPRD, saya dua periode jadi ketua DPRD. Tapi dua periode itu jangka waktunya hanya dua tahun. Tahun 1997, Golkar meraih suara 73 persen, sehingga saya diangkat jadi ketua DPRD.
Lalu reformasi tahun 1998, kemudian Pemilu dipercepat tahun 1999, Golkar kalah, PDIP menang tapi saya tetap diangkat jadi ketua DPRD untuk periode kedua, tapi hanya 4 bulan, kemudian ada pemilihan bupati. Bupati masih dipilih oleh anggota DPR. Dan walaupun PDIP pemenang Pemilu, bukan Golkar, tapi mereka semua mantan kader-kader dan kawan saya, jadi mereka tahu apa saya pantas dipilih atau tidak. Saingan saya bupati yang lama dan Sekda yang lama, pemegang kekuasaan. Dan saya menang, jadilah bupati.
Sebelumnya, tahun 1992, saya sudah pernah diusulkan jadi bupati. Ini cerita yang agak menarik juga bagi saya. Tahun 1992 Golkar menang, saya ketua Golkar, saya diusulkan oleh seluruh elemen masyarakat untuk jadi bupati, termasuk 3 fraksi dari 4 fraksi DPRD yang mengusulkan saya. Tiga fraksi itu, fraksi Golkar, fraksi ABRI, fraksi PPP. Yang satu PDI, dia tidak mendukung saya karena terkonspirasi dengan gubernur.
Dulu masih berkuasa yang namanya tiga jalur, jalur A, jalur B dan jalur G. Saya termasuk salah satu korban sistem dulu. Kenapa? Karena walaupun saya ketua Golkar, itu hanya kendaraan, tapi kalau sudah tingkat atas berkehendak lain, tidak bakalan, karena demokrasi dulu, demokrasi semu. Berbagai elemen masyarakat menaikkan nama saya, tapi mereka (penguasa sistem itu) mencoret nama saya, tidak diikutkan sebagai calon bupati.
Pemilihan bupati dilakukan dalam Sidang Paripurna DPRD Kutai. Tapi waktu itu, 19 orang anggota DPRD Kutai nggak mau hadir. Sidang tidak memenuhi qorum, tapi tetap dilaksanakan, menang Pak Sulaiman. Tapi rakyat Kutai protes karena nggak memenuhi qorum. Suatu tindakan protes yang berani dan langka pada kala itu. Protes waktu itu sampai ke menteri, kenapa dimenangkan. Walaupun pemilihan, tapi tidak memenuhi qorum. Akhirnya dibatalkan.
Tapi waktu itu saya masih berpikir panjang. Pada demokrasi semu itu, saya masih bisa berpikir kalau saya maju saya masuk jurang sama-sama, mungkin saya dihabisin. Lalu saya mundur dua langkah, saya pasang kuda-kuda. Karena saya masih muda juga waktu tahun 1992. Saya bilang okelah siapa yang dimaui oleh gubernur kita dukung saja. Ini 19 orang yang lari saya jamin akan mengikuti sidang, saya jamin akan memberi suara memenuhi keinginan atasan. Dan itu saya tepati, semuanya nurut apa yang saya katakan. Akhirnya jadilah bupati yang namanya HM Sulaiman. Saya bawahannya, waktu itu saya masih kepala Dispenda. Kemudian karena selalu bersebelahan sama bupati, saya pindah ke legislatif. Saya lari ke politik.
MTI: Lalu bagaimana kejadi-an Anda diganti tiba-tiba pada masa jabatan periode pertama?
SHR: Saya sebenarnya habis 1 November 2004, itu lima tahun. Lalu dari 1 November menjelang Pilkada, karena PP-nya belum dibentuk waktu itu, tahun 2004, Mendagri mengeluarkan surat keputusan yang ditandatangani Dirjen memperpan-jang masa jabatan saya. Lalu, setelah kabinet berganti, Mendagri berganti, tiba-tiba saya diberhenti-kan tanpa lebih dulu memberitahu dan tanpa alasan yang jelas.
Bagi saya sebenarnya nggak masalah diganti atau dipotong, nggak ada masalah sama sekali. Cuma etika menggantinya tanpa memberitahu saya, tanpa memberitahu DPRD, tiba-tiba saja dan dilaksanakan mendadak, tanpa menghargai kita. Hari kamis terbit SK, hari Jumat baru dikirim ke DPRD, hari Senin digantikan. Saya ada di Jakarta, nggak diberitahu. Hari Sabtu ada di surat kabar kalau saya diberhentikan. Jadi waktunya singkat.
MTI: Terjadi demo dan keguncangan di daerah ini, sampai Pilkada dilakukan dan kemenangan Anda sangat mutlak, kalau nggak salah sekitar 60 persen lebih, bagai-mana hasil ini bisa dicapai?
SHR: Saya bersyukur karena saya Pilkada pertama dan situasinya kondusif. Yang hadir juga banyak memilih, dari 300an ribu suara, saya mungkin 160 ribu lebih. Jadi cukup signifikan, walaupun pada waktu itu black campaign luar biasa.
Saya pikir oleh pihak atas, saya sudah tidak dikehendaki lagi.
Saya kan diperiksa macam-macam karena sudah tidak berkuasa lagi. Yang berkuasa itu gubernur dengan pejabat bupatinya. Saya diperiksa macam-macam, disangka saya ini koruptor. Tapi Allah Maha Tahu kan. Ya silahkan, saya bilang, saya nggak takut diperiksa. Kalau ada yang bengkok, silahkan tunjukkan saya yang bengkoknya. Kalau ada yang bopeng, silahkan tunjukkan saya. Saya welcome. Diperiksa mulai dari Irjen, BPK, BPKP, macam-macam memeriksa. Tapi Alhamdulillah, saya bebas dari sangkaan korupsi yang mereka gembar-gemborkan.
Saya tidak bilang saya mutlak benar. Tapi kalau pun ada kesalahan mungkin kesalahan administrasif saja, atau kebijakan atau apa. Tapi kala itu saya dinyatakan koruptor. Saya merasa belum pantas disebut itu, karena saya nggak pernah merugikan negara. Malah negara harusnya memberi bintang kepada saya karena saya banyak menyelamatkan uang negara daripada macam-macam. Karena sejelek-jeleknya saya, saya bisa membangun daerah kami ini.
MTI: Sebagai bupati, Anda punya konsep Gerbang Dayaku yang tahap pertama sudah selesai dan bisa mengubah demikian baik daerah ini?
SHR: Gerbang Dayaku itu, Gerak-an Pengembangan Pemberdayaan Kutai Kartanegara. Itu konsep kami yang selalu berbasis pada pember-dayaan. Artinya semua stakeholder harus berperan, berfungsi dan mem-berikan kontribusi yang maksimal.
Gerbang Dayaku tahap kedua, bedanya sekarang ini kami tekankan bagaimana menciptakan pemerintahan yang baik dan bersih dan penegakan supremasi hukum. Kenapa? Karena belajar dari pengalaman yang pertama bahwa kalau tidak dilaksanakan oleh pejabat yang amanah, tidak dilaksanakan oleh pejabat yang profesional dengan baik, Gerbang Dayaku itu mungkin akan lebih banyak dirasakan oleh pejabat daripada masyarakat.
Karena itu yang kedua ini masyarakat harus lebih banyak merasakan daripada pejabat, yang menikmati lebih besar harus masyarakat, supaya mempercepat proses kemajuan dan kesejahteraan. Jadi para pejabat harus bersih dari KKN, kesimpulannya.
Tahap kedua ini ada tiga sektor yang menjadi prioritas (unggulan) Gerbang Dayaku, yakni (1) Pening-katan sumber daya manusia, (2) Pengembangan agrikultur dalam artian luas, dan (3) Pengembangan industri pariwisata dengan menjadi-kan Kukar sebagai tujuan wisata.
Tiga sektor ini yang nanti akan merupakan bentuk persiapan kami dalam menghadapi masa depan Kukar. Seandainya sumber daya alam yang sekarang kami andalkan, minyak bumi, gas alam, itu habis atau berkurang, jadi bisa ditransformasi ke dalam tiga sektor. Karena itu infrastruktur yang menunjang tiga sektor kami penuhi. Jadi itu bentuk komitmen kami untuk menjaga sustainable development dan tanggungjawab kepada anak cucu ke depan.
MTI: Proses lahirnya konsep Gerbang Dayaku ini murni dari Anda?
SHR: Murni dari saya.
MTI: Bagaimana sampai pemikiran demikian komprehensif dan aplikatif itu bisa lahir?
SHR: Hidayah Tuhan. Pengalam-an. Harus bisa dibuktikan, bukan sekedar NATO, No Action Talk Only, tapi kami implementasikan. Itulah kami mensyukuri yang namanya otonomi daerah. Kalau dulu kita jadi penonton, sekarang kita bisa ber-buat. Kalau dulu istilahnya memba-ngun daerah dikendalikan orang, diatur orang, istilahnya oleh pihak ketiga kita harus diseragamkan semua Indonesia, tapi sekarang di era otonomi yang namanya daerah membangun.
Daerah yang punya kreasi, daerah yang punya inisiatif, daerah yang mengetahui sikonnya sendiri. Sehingga dia membangun daerahnya berdasarkan prakarsanya sendiri. Itulah otonomi daerah.
Kalau dulu kami jadi penonton karena semua hasil kami diangkut ke Jakarta. Tapi saat ini di era otonomi daerah ada yang namanya tetesan-tetesan melalui perimbang-an keuangan pusat daerah. Tanpa perimbangan pusat daerah, pemerintahan kita sungguh tidak berkeadilan. Masa daerah kita diobok-obok, hancur total daerah kita tapi yang menikmatinya di Jakarta. Hutan kita habis dipindah jadi hutan beton ke Jakarta. Sementara daerah kami masih becek kalau hujan, atap masyarakat masih bocor kalau hujan. Masak kami tidak bisa mendorong masyarakat untuk sejahtera.
MTI: Dengan adanya otonomi daerah, ada pembagian perimbangan keuangan, tapi tanpa konsep yang baik, tidak mungkin melahirkan gerakan pembangunan yang demikian baik?
SHR: Itulah komitmen kami, itulah semangat kami, itulah tang-gung jawab kami. Karena amanah kan harus dipertanggunjawabkan dalam bentuk yang terarah, terpadu, dan betul-betul aplikatif, bisa diterapkan. Kalau tidak bisa diterapkan, muluk-muluk namanya.
MTI: Konsep GD ini membutuhkan sumber daya manusia sebagai aplikatornya?
SHR: Sumber daya manusia dan sumber daya uang. Seperti misalnya saya membangun Pulau Kumala. Dulu pulau itu kan delta saja, tempat kera saja di sana. Sejuta setengah kubik pasir saya masukkan ke sana, baru bisa dibangun. Dulu saya disebut orang gila, mau membangun pulau itu. Saya disebut mau menenggelamkan pulau, kare-na memasukkan pasir, dikira pasir itu akan menenggelamkan pulau itu.
Singapura itu, saya bilang, tanahnya kurang, kok mendatangkan pasir dari Indonesia, nguruk daerahnya, bisa dijadikan pencakar langit. Masak kita di sini tidak bisa membangun seperti itu. Malah saya dituding perusak lingkungan. Lingkungan apa? Sekarang kan lima ribu pohon saya tanam di pulau itu. Sekarang kan sudah mulai hijau, fakta kan, termanfaatkan, paling tidak unik. Nggak ada daerah lain yang di tengah sungai ada pulau yang bisa dimanfaatkan karena di depan kota. Strategis untuk hiburan keluarga.
Kalau saya tidak membangun hiburan menarik di Tenggarong, saya khawatir orang-orang Tengga-rong rame-rame ke Samarinda, karena ada jembatan saya bangun. Jembatan yang saya bangun ini mempercepat, dari satu jam menjadi setengah jam ke Samarinda. Saya bangun lagi jalan yang bagus ke sana. Itu supaya arus Samarinda, arus Balikpapan ke Tenggarong, bukan sebaliknya. Karena itu di Tenggarong harus tercipta obyek-obyek menarik. Saya bangun hotel, obyek-obyek, supaya orang mau tinggal di sini. Dulu nggak ada orang yang mau tinggal di Tenggarong.
Ke depan, Pulau Kumala akan saya benahi betul-betul, jembatan gantung akan saya bangun, jalan lingkungan pulau akan saya benahi lagi. Kemudian ada beberapa obyek yang akan saya bangun lagi di sana, wahana-wahana, water park akan saya bangun. Itu untuk hiburan keluarga, family entertainment.
Kemudian saya akan membangun lagi bandar udara sebagai pintu gerbang. Juga akan membangun lapangan golf internasional. Saya mendatangkan Thompson dari Australia, sebagai desainer sekaligus pelaksananya karena saya mau membangun tidak mau kepalang, internasional. Ada 10 hektar yang saya siapkan, sudah ada lahannya. Sudah ditinjau, bagus sekali. Lengkap dengan club house, hotel, air bersih, dan sebagainya. Sebagai salah satu tujaun wisata kan harus begitu.
Di tengah percakapan itu, tiba-tiba listrik padam.
Aneh di Kaltim ini, tempat keluarnya minyak, gas, batu bara, energi semua keluar, tapi PLN padam. Daerah lain yang nggak punya energi, tidak pernah mati. Jakarta nggak pernah mati. Dikorban daerah penghasil minyaknya. Karena itu saya berpikir power plan mesti bagus, saya invest power plan, ada 100 mega. Kemudian air bersih kita bangun juga, kemudian telekomunikasi. Sampai kami menerapkan nanti yang namanya e-government, pakai komputer sistem pemerintahan kita dan menjurus nanti ke sistem pendidikan e-learning, e-education.
MTI: Dalam rencana Anda akan tercapai tahun berapa?
SHR: Sampai 2010. Tahun 2010 Kutai Bersinar, artinya bersinar dari jauh sudah kelihatan. Setelah itu Kutai Emas. Kalau orang luar negeri kenal Indonesia dengan Bali, seakan-akan di Bali saja Indonesia. Saya nggak usah sampai Indonesia, kalau orang luar ditanya kenal Kalimantan, oh Kutai Kartanegara, nah itu saja. Karena itu saya ingin membuat image, Kutai ini harus dikenal untuk mempersiapkan diri menjadi salah satu daerah tujuan wisata. Kenapa tujuan wisata? Karena industri ini multiplayer effect-nya dirasakan langsung masyarakat.
Teori TTI, Tourism Trade Investment. Apabila suatu daerah dikembangkan pariwisata maka perdagangan akan berkembang. Apabila perdagangan berkembang tentu akan banyak investor masuk ke sana. Kalau invest masuk berarti pertumbuhan ekonomi akan meningkat, menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan masyara-kat, mengurangi pengangguran.
Itulah. Tujuan saya hanya satu, ingin melihat standard of living masyarakat saya meningkat, di kota maupun di desa. Nggak lebih, nggak kurang itu saja. Semua usaha kita padukan, baik yang namanya peningkatan sumber daya manusia, kemudian pertanian dalam arti luas, kemudian tourism, itu tujuannya pengentasan kemiskinan.
Peningkatan SDM melalui pendidikan terus digalakkan sebagai langkah pengentasan kemiskinan jangka panjang. Pengentasan kemiskinan jangka panjang karena pendidikan ini mungkin 15 sampai 25 tahun baru kita lihat hasilnya.
Kenapa terjadi kemiskinan struktural dan kultural di Indonesia, dan di Kutai? Karena tadi, pendidik-an rendah, kesehatan rendah, produktivitas menjadi rendah. Kalau produktivitas rendah, pendapatan masyarakat menjadi rendah, dia tidak bisa memenuhi kebutuhan. Itulah kemiskinan struktural.
Karena kultur orang sini malas-malas mungkin, karena struktural antara kota dan desa, antara sektor industri dan sektor yang lain, itu yang menyebabkan kemiskinan. Sekarang mata rantainya harus dipotong. Pendidikan harus ditingkatkan, kesehatan harus baik, sehingga produktivitas meningkat, pendapatan masyarakat meningkat, lalu dia bisa memenuhi kebutuhan, baik primer maupun sekunder.
MTI: Langkah-langkah Anda untuk meningkatkan pendidikan?
SHR: Ada tiga task force yang kita laksanakan. Tiga task force ini yang saya bentuk, saya pidatokan awal tahun waktu menyambut tahun baru. Pertama adalah penguatan dan pengawasan penegakan supre-masi hukum, artinya menciptakan good and clean government dan law enforcement kita tegakkan.
Kedua, peningkatan sumber daya manusia, pendidikan dan kesehatan. Jadi tegas sebagai think tank, sebagai pemikir, ada terobosan yang lebih bukan sekedar makhluk biasa tapi ada crash programnya.
Ketiga, pengembangan potensi daerah berbasis pada peningkatan pendapatan masyarakat. Jadi kami ingin mengembangkan potensi daerah, seperti memanfaatkan lahan untuk kelapa sawit, jarak, pertam-bangan, tapi harus meningkatkan pendapatan masyarakat. Investor masuk harus melibatkan masyara-kat, ada inti, ada plasma, dan lain sebagainya. Sehingga peningkatan pendapatan masyarakat signifikan, dengan jaminan induknya.
Penegakan supremasi hukum dan pengembangan potensi daerah ini, merupakan langkah jangka pendek dan jangka menengah untuk mengentaskan kemiskinan, karena banyak program terobosan. Semen-tara pendidikan dan kesehatan merupakan langkah pengentasan kemiskinan jangka panjang.
Kalau semua sudah berkualitas masyarakat kita nggak ada miskin nanti. Nggak ada orang pendidikan tinggi yang miskin, pasti dia berpikir bagaimana mengatasi masalah.
Karena itu wajib belajar 12 tahun di Kutai sudah kami canangkan. Kalau di daerah lain baru 9 tahun, kami wajib belajar 12 tahun. Tidak ada alasan orangtua untuk tidak meyekolahkan anaknya, malah ada sanksi hukum nanti. Ada juga program Zona Bebas Pekerja Anak (ZBPA), subsidi pendidikan, insentif guru dan perbaikan sarana pendidikan. Untuk pendidikan dan peningkatan SDM ini, mulai tahun 2006 ditetapkan anggaran 20 persen.
MTI: Kabupaten Kukar terdiri dari 18 kecamatan, mungkin masih ada kecamatan-kecamatan yang terbelakang dan terisolir sehingga perlu percepatan pembangunan?
SHR: Untuk menerobos keterbe-lakangan dan keterisolasian, kita telah dan akan terus membangun infrastrukturnya. Di Tenggarong kita bangun jembatan seperti Golden Gate di San Fransisco. Satu lagi jembatan Martadipura, seperti Sidney bridge, Sidney harbour, telah selesai dibangun. Jembatan itu di daerah pedalaman dapat ditempuh melalui sungai Mahakam selama dua jam naik speedboat dari Tenggarong. Sudah selesai dibangun cuma jalan penghubungnya yang masih akan dilanjutkan, sekitar 40-50 kilo meter.
Jembatannya untuk menembus, membuka lima kecamatan yang terisolasi. Kalau sekarang mau ke sana itu 2 hari 2 malam tapi dengan adanya jembatan yang kami bangun pulang pergi satu hari bisa ditem-puh. Jadi ini membuka peluang ekonomi yang luar biasa. Dan ini sudah dilakukan.
MTI: Semua itu muaranya meningkatkan pendapatan masyarakat. Bagaimana target perkapitanya tahun 2010?
SHR: Saya kalau teori kurang hapal. Karena banyak teori tapi tidak bisa dilaksanakan, biasanya. Saya kan maunya yang praktis, yang bisa dilaksanakan. Sebenarnya hitungan perkapita itu tidak penting, tidak realistis. Karena mengukur perkapita kan pendapatan bruto, gross national product dibagi jumlah penduduk. Tapi masalahnya penye-baran pendapatan ini tidak merata. Sektor industri terpusat di kota-kota, sementara masyarakat banyak yang di sektor agraris. Saya pikir tidak realistis. Pendapatan perkapi-ta kita besar, benar tapi penebaran dan pemerataannya perlu.
Tapi kami kan tidak mungkin membangun rumah bagi setiap orang, nggak mungkin mengisi tiap rumah dengan kulkas, tv dan sebagainya. Itu harus mereka sendiri yang membangunnya. Karena itu kita cerahkan, kalau mau kesejahteraan naik, rakyat harus mensejahterakan dirinya sendiri. Kita hanya memberi pancing, memberi peluang, membangun infrastruktur pendukung.
MTI: Kemudian masalah hubungan (transportasi) ada rencana membangun bandara dan kereta cepat dari Balikpapan ke Tenggarong?
SHR: Saya tidak bikin kereta cepat dari Balikpapan ke Tengga-rong, hanya bandara. Kemudian kereta api mungkin perlu tapi dari Samarinda ke Bandara supaya Samarinda mudah ke sana. Kalau bang Yos ada monorel, monorel kami pendek, hanya beberapa belas kilo saja.
MTI: Setelah sekian tahun menjabat Ketua Golkar di Kutai, sekarang menjadi ketua Golkar Provinsi Kaltim?
SHR: Itukan kepercayaan saja. Tidak ada orang lain yang mau, ya saya. Apa boleh buat. Karena tujuan saya hanya ingin bagaimana berbuat yang terbaik. Kalau dari partai, ini salah satu sarana untuk mencapai tujuan. Kan banyak sarana. Itu betul-betul bermanfaat kalau kita ingin menggolkan program-program kita. Memang harus menguasai yang namanya legislatif, dan dilaksanakan secara konsisten oleh eksekutif. Semua partai sama saja.
MTI: Jadi bagaimana proses-nya sampai terpilih menjadi ketua?
SHR: Ya itu tadi, itu mungkin pada orang lain. Saya dipilih apa boleh buat.
MTI: Tampaknya sudah banyak elemen masyarakat yang mendaulat Anda untuk jadi Gubernur Kaltim pada Pilkada 2008
SHR: Memang banyak. Bukan hanya di sini, di Jakarta juga setiap saya seminar ada suara yang mendukung. Tapi saya selalu mengatakan saya manusia biasa, manusia mana yang tidak mau meningkat harkat derajatnya, pasti, termasuk saya. Tapi saya juga harus introspeksi diri
Kalau dulu saya mau jadi guber-nur mungkin bukan Pak Suwarna ini (Gubernur Kaltim saat ini) yang terpilih. Karena saya ditantangin semua fraksi DPRD Kaltim untuk bersedia menjadi gubernur. Waktu itu belum pemilihan langsung, tapi pemilihan oleh anggota DPRD. Dulu saya menolak karena belum waktu-nya, karena saya masih memegang amanah lima tahun, kontrak dengan rakyat Kutai. Sebagai Bupati Kutai, saya belum bisa berbuat banyak. Baru dua tahun setengah saya waktu itu. Saya masih sedang semangatnya membangun Kutai Kartanegara di mana saya lahir.
Soal jabatan itu, Insya Allah di mana saja sama saja pengabdian-nya, yang penting saya bilang silahkan cari yang berpengalaman saja. Saya dukung dulu Pak Suwarna supaya tetap melanjutkan yang pernah dilaksanakan.
Kemudian untuk yang akan datang, saya juga baru memegang amanah yang kedua sebagai Bupati Kukar (2005-2010), baru satu tahun. Masih ada waktu tiga tahun, sampai 2008 masa jabatan gubernur berakhir. Selama tiga tahun, sampai 2008 nanti, saya ingin berbuat yang banyak untuk Kutai. Kalau hasilnya diakui oleh masyarakat, dirasakan masyarakat, dengan kata lain saya sukses memimpin, baru saya mau maju. Kalau saya dinilai nggak becus, nggak mampu, memimpin diri saja nggak mampu, apalagi provinsi. Tahu dirilah. Harus ada penilaian masyarakat, saya baru mau, dan masyarakat yang menilai saya. Kalau nggak, saya nggak mau. Kan jabatan di mana saja sama.
MTI: Kembali ke sektor pariwisata, selain infrastruktur yang tadi Anda sudah jelaskan, mungkin ada juga dukungan faktor budaya. Bagaimana Anda memelihara atau melestarikan kebudayaan karena di sini kerajaan yang tertua?
SHR: Saya yang mendirikan kembali kerajaan Kutai Kartanegara. Saya mendirikan itu bukan untuk feodalnya tapi untuk budayanya sebagai salah satu aset pariwisata. Dulu kan tidur puluhan tahun, hampir 30-40 tahun tidur. Saya datangkan sampai menemui Presiden Abdurrahman Wahid dulu, sampai lima menteri mengesahkan prasasti berdirinya kerajaan ini. Saya hidupkan kembali.
Di Solo dan Jogja kok bisa, masak sih nggak bisa, kita masih ada situsnya, masih ada kerabatnya, budayanya, seninya dan adat istiadatnya. Tapi saya memandang bukan untuk feodalnya melainkan untuk kelestarian adat-istiadat budayanya, sebagai salah satu daya tarik pariwisata. Jadi bagi kerabat kerajaan ini silahkan saja, tapi nggak boleh melewati batas-batas yang sudah saya berikan. Seperti di Jogja, daerah istimewa. Dulu di sini juga daerah isitmewa tapi sudah dibekukan. Kalau daerah istimewa berarti bupatinya sultan. Dulu pernah di sini bupati pertamanya sultan, tapi kemudian sudah terintegrasi.
Selain itu, saya pernah menda-tangkan festival keraton se Nusanta-ra. Sebanyak 34 kerajaan se Indone-sia ngumpul di Kutai. Waktu mereka kirab, luar biasa, Indonesia ini kaya budayanya. Lima ribu lebih datang dengan pasukan-pasukan kerajaan itu. Dengan budayanya, macam-macam. Menunjukkan kesaktiannya. Budaya Indonesia ini luar biasa.
MTI: Di daerah ini juga ada pesta budaya Erau?
SHR: Erau itu pesta budaya, biasanya memperingati kelahiran sultan. Tapi sekarang ini kita lihat saja, mereka harus mandiri, jangan tergantung kepada pemerintah. Saya mendorong pihak swasta mungkin ada yang mau jadi sponsor. Jangan terus menggunakan dana Pemda.
Saya ingin mereka mandiri, karena kalau mereka bisa mengelola secara baik, seperti di Solo, mereka tidak tergantung pada pemerintah. Nanti manja terus. Saya mau mereka mandiri, saya sengaja, memberi pihak swasta menangkap peluang ini, supaya pariwisata ini jalan. Kalau pemerintah terus, pemerintah habis duitnya. Lebih baik kan bangun sekolah-sekolah.
MTI: Salah satu filosofi atau prinsip hidup Anda itu adalah filosofi lebah, kebersamaan menjadi kekuatan. Bagaimana penggalangan kepada masyarakat yang terdiri dari beberapa etnis, golongan dan agama. Bagaimana Anda menggalang kerukunannya?
SHR: Di sini memang pernah ada benturan antara etnis. Karena itu saya terus menganjurkan harus saling menghormati. Saya sendiri tidak pernah membedakan, apakah dia penduduk asli, apa dia penda-tang, asal mau berusaha di sini, berdomisili di sini, beranak-pinak di sini, mencari nafkah di sini, dia saya anggap saudara Kutai. Nggak ada beda. Itu sebabnya rukun semua. Jadi semua bisa enjoy di sini.
Tanya pejabat saya, ada yang dari Aceh, ada yang dari Toraja, ada yang dari Madura, ada yang dari Dayak, macam-macam sukunya.
MTI: Pada era otonomi daerah ini banyak daerah menyikapi bahwa semua stafnya harus putera asli daerah?
SHR: Itu otonomi pengertian sempit. Otonomi itu harus diartikan luas, seperti misalnya pengertian putera bangsa. Putera bangsa itu siapa pun dia, dari mana pun dia, suku apa pun dia, agama apa pun dia, kalau dia berbakti, berkorban, berjuang untuk negara dia adalah putera bangsa.
Begitu pula putera daerah. Dari mana pun dia, suku apa pun dia, agama apa pun dia, kalau dia berbakti, berjuang, berkorban untuk daerah, dia putera daerah. Jangan diartikan sempit, harus suku tertentu, harus lahir di sini, tidak. Jadi harus diubah image. Nggak ada sukuisme di sini. Cermin Pancasila di sini, cermin Indonesia di sini. Di Jakarta saya lihat kalau menterinya Suku A, hampir semua bawahan dari Suku A. Itu tidak boleh.
MTI: Tapi di beberapa daerah pemahaman sempit tentang otonomi daerah memang terjadi?
SHR: Itu banyak terjadi, sukuisme, orang Jawa, orang Sumatera, orang Sulawesi. Kalimantan saja yang tidak. Tanya saja, kalau di Jaw ada tidak orang Kutai, tidak ada kan. Tapi di Kutai ini banyak orang Jawa yang jadi pengelana. Di Sumatera sana ada nggak orang lain. Kalau di sini Pancasila.
MTI: Dalam hal otonomi daerah, proses otonomi daerah antara pusat dengan daerah masih tarik menarik. Sepertinya Pusat belum rela melepas sebagian kekuasaannya. Bagaimana Anda merasakan dan menyikapinya?
SHR: Saya mengharapkan, hanya mengharapkan, tidak mau komentar. Saya mengharapkan supaya lebih baik. Masih banyak hal-hal yang perlu disempurnakan dan pusat jangan berpikir untuk resentralisasi. Karena yang menentukan itu political will dari pemimpin kebijakan di sana. Political will-nya jangan di resentralisasi, itu saja. Jadi otonomi sudah lahir, kalau sudah lahir masak mau dimasukkan lagi dalam perut. Bayi dan ibunya bisa mati.
MTI: Sebagai seorang putra bangsa yang berpikir tentang kepentingan bangsa secara keseluruhan, apa visi Anda?
SHR: Visi saya begini. Pada era otonomi daerah ini, beri kesempatan daerah untuk berkembang, berkreasi. Kalau daerah makmur, negara kita makmur. Kalau daerah kuat, NKRI kita kokoh. Kalau pusat makmur, belum tentu daerah makmur. Kalau pusat kuat, belum tentu daerah kuat.
Yang namanya rakyat itu di daerah, dan nggak mungkin 1.504 pulau dikendalikan hanya dari Jakarta. Negara-negara maju dan makmur, coba lihat sistem pemerintahannya, pasti fine well. Pasti otonominya betul. Amerika, siapa bilang Amerika tidak makmur, siapa bilang Amerika terpecah belah, siapa bilang Amerika bukan negara kesatuan. Itu kesatuan koq, United State of America. United itu kesatuan kan, negara bersatu.
Kita ini negara kesatuan tapi masak tidak boleh otonomi. Beri kepercayaan kepada daerah untuk berkembang. Kalau di Amerika itu betul-betul otonom, bisa mengatur rumah tangganya sendiri. Bukan daerah yang menengadah ke pusat, sentral itu, tapi daerah yang memberi pusat. Anterin jatah pusat.
Tapi otonomi di sini tidak, terbalik. Hasil dari daerah, tapi daerah menunggu tetesan dari pusat, mana bagian kami. Bedanya tangan telentang dengan tangan telungkup, otonomi Indonesia ini. Kita otonomi tapi masih minta dengan pusat, jatah kita sendiri. Masih tergantung pusat, sedangkan yang namanya otonomi harus mandiri, tapi di sini kita dibuat tergantung.
Jangan dicurigai daerah mau disintegrasi, tidak ada. Kita cinta koq dengan NKRI. Karena kita bukan mengejar kekuasan tapi kemakmur-an.m-ti/crs-mlp-ms-dw
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)