Lupa, Maut Sudah di Ambang Pintu

 
0
103
Lupa, Maut Sudah di Ambang Pintu
e-ti | tokohidonesia.com

[WAWANCARA] – Jakarta 10-10-2010: Mau memindahkan ibukota dari Jakarta bukan pemikiran jelek. Tapi saya takut setelah pindah, lalu fokus kepada pindah ibukotanya. Lupa, maut yang sudah di ambang pintu, kemacetan total 2014. Itu kan sebentar lagi, bahkan mungkin tahun 2012 sudah terjadi kalau tidak ada tindakan yang signifikan.

Mantan Gubernur DKI Jakarta Letjen TNI AD (Purn) Sutiyoso, yang kini menjabat Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (DPN-PKPI) mengingatkan hal itu dalam percakapan dengan Wartawan Berita Indonesia, di kantornya Jalan KH Mas Mansur No 96/98 Jakarta Pusat, 8 Oktober 2010.

Dia mengingatkan, yang namanya mengelola pemerintahan harus ada skala prioritas, bahasa Jawanya ambeg prama arta. Sutiyoso dengan nada tanya mengatakan, kenapa dulu Presiden Soekarno tidak jadi memindahkan ibukota ke Palangkaraya? Karena dia merasa ada kepentingan yang lebih mendesak. Demikian pula Pak Harto, juga tidak jadi pindah ke Jonggol? Sama. Nah sekarang kita pertanyakan saja sudah saatnya belum?

“Kalau sudah saatnya, ya sudah, go ahead,” ujarnya. Namun, menurutnya, carilah opsi yang realistis. Cari tempat yang dekat Jakarta, Jonggol, terjangkau, sehingga ada kebalikan sirkulasi kendaraan. Tidak usah semua pindah. Kalau pusat pemerintahan di sana, tersebar ada bank dan sekolah di sana, maka akan imbang muternya, masuk dan keluar. Tidak seperti saat ini, kalau pagi semua menuju ke Monas, Jakarta, sehingga semua tol macet tapi sebelahnya, kosong. Sebaliknya, saat sore harinya.

Maka, Sutiyoso tetap berkeyakinan konsep megapolitan yang digagasnya sebagai alternatif terbaik. Dengan Megapolitan Jabodetabekjur, menurut Sutiyoso, tidak ada daerah yang dirugikan. Semua tetangga Jakarta tidak mungkin dirugikan, dia akan kecipratan madu bukan racun. Sekarang ini racun terus yang dia terima. “Jadi kalau ada yang menolak megapolitan, jadinya aneh karena penggabungan megapolitan itu penggabungan tata ruang bukan administrasi. Dia tetap walikota, tetap DPRD, Tangerang tetap di bawah Banten. Bekasi, Depok, Bogor tetap di bawah Jabar, apa yang perlu berubah? Tata ruang yang kita kelola secara terintegrasi,” kata Sutiyoso.

Berikut ini, petikan wawancara dengan Letjen TNI AD (Purn) Sutiyoso dengan Wartawan Berita Indonesia Ch. Robin Simanullang dan Marjuka Situmorang.

Anda 10 tahun menjadi Gubernur DKI Jakarta (1997-2007) telah melakukan upaya mengatasi kemacetan dan mengatasi banjir yang menjadi masalah sangat krusial di Jakarta. Diprediksi tahun 2014 akan terjadi kemacetan total. Sehingga untuk mencegahnya, pada tahun 2003, Anda sudah membuat suatu program pola transportasi makro di Jakarta. Tapi setelah Anda melepas jabatan gubernur, tidak ada lagi upaya yang serius melanjutkannya. Boleh kita ulang sedikit bagaimana gagasan itu Anda keluarkan dan apakah yang sudah Anda lakukan?

Lima tahun pertama saya jadi gubernur (1997-2002), saya disibukkan atau fokus bagaimana melakukan recovery untuk Jakarta yang hancur-hancuran akibat peristiwa Kerusuhan Mei. Peristiwa Mei itu menghancurkan semua yang kita miliki di Jakarta, baik kerusakan fisik maupun non-fisik. Terutama psikologis masyarakat, merosotnya pertumbuhan ekonomi bahkan minus. Kemudian pada saat saya terpilih untuk yang kedua kalinya (2002-2007), saya mulai fokus bagaimana cara mengatasi kemacetan di Jakarta. Saya juga berusaha mencari konsep-konsep yang mungkin ada sebelumnya, ada tidak? Ternyata memang tidak ada.

Maka saya kumpulkan pakar-pakar transportasi, termasuk dewan transportasi kota, agar saya tahu A sampai Z. Sebab untuk memulai mengatasi masalah transportasi ini, kita harus tahu akar permasalahannya apa. Tim itu melakukan survey dan kajian. Lalu tahun 2003, hasil survey tim yang terdiri dari pakar dipaparkan dan sungguh sangat mengejutkan. Pada tahun 2003 saja jumlah kendaraan sudah ada 5 juta (3 juta kendaraan roda 4, dan 2 juta roda 2). Lalu pertumbuhan kendaraan bermotor juga sangat mengejutkan, persentasenya di atas 11%, sementara pertumbuhan jalan hanya 0,03, bahkan sekarang ini hanya 0,01. Ketimpangan ini sudah barang tentu akan menimbulkan kemacetan yang terus bertambah.

Pada saat itu juga perbandingan kendaraan pribadi dan kendaraan umum itu 2% dibanding 98%. Jadi 2% pun kondisinya buruk. Selain itu, berapa kendaraan tetangga dari Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, tiap hari, pada tahun 2003 itu sudah ada 600 ribu kendaraan, datang pagi pulang sore. Itulah antara lain memberi kontribusi kemacetan, karena mereka hanya rumahnya saja di sana, sementara bekerja di Jakarta. Lalu apa lagi yang kita survey? Setiap mobil pribadi itu rata-ratanya hanya dinaiki oleh dua orang.

Dari data itu tadi maka saya bertanya pada tim ini: Apa yang terjadi kalau saya membiarkan saja terus? Tim ini mengatakan secara meyakinkan, secara tegas, akan terjadi stagnasi, kemacetan total. Tahun berapa? Tahun 2014. Ini kajian ilmiah mereka. Stagnasi itu gambarannya seperti apa? Keluar garasi dari Taman Suropati sana sudah langsung mogok di depan rumah karena sudah penuh mobil. Saya membayangkan stagnasi itu sebuah malapetaka, terjadi tahun 2014, padahal jabatan saya sudah berakhir tahun 2007. Berarti 7 tahun berikutnya. Kalau saya cari selamat saja, “Ah sudahlah nggak usah repot-repot dari dulu juga dibiarkan saja. Yang akan digebukin orang kan gubernur tahun 2014.” Andai kata saya berpikir seperti itu, tetapi saya kan pemimpin, tidak boleh berpikir seperti itu. Malapetaka itu akan terjadi, maka saya harus berpikir bagaimana supaya tidak terjadi.

Advertisement

Oleh sebab itu, saya bekerja dengan tim ini untuk bagaimana menyelesaikan masalah. Lalu saya melakukan studi banding ke berbagai negara termasuk ke Amerika Latin. Dasar-dasar yang saya temukan termasuk perbedaan kota-kota besar di dunia lain terutama di ibukota negara adalah kitalah satu-satunya ibukota yang tidak mempunyai transportasi umum yang basisnya massal dan representatif. Angkutan umum yang representatif itu adalah angkutan yang aman, nyaman, cepat, terjangkau tiketnya. Lalu dari hasil studi banding itu, saya simpulkan bahwa Bogota, ibukota Colombia, dulu sama seperti Jakarta tapi mereka berhasil keluar dari kemelut kemacetan. Setelah ketemu walikota Bogota itu, saya berpikir kenapa kok nggak berguru sama mereka?

Makanya saya minta, walikota Bogota ini mengirim expert-nya ke Jakarta. Bergabunglah dia dengan tim yang kita bentuk, tim inilah saya perintahkan agar membangun jaringan transportasi makro ibukota yang basisnya adalah kendaraan angkutan massal. Moda yang akan digunakan apa? Saya bilang, Anda sendiri yang lebih tahu, asal jaringan ini integrated, saling mengakses. Termasuk mengakses tetangga kita. Itulah petunjuk saya.

Mengakses tetangga kita menjadi penting karena ada 600 ribu kendaraan dari tetangga yang masuk Jakarta waktu itu, sekarang ini sudah 700 ribuan. Salah satu pertanyaan saya kepada tim ini adalah kenapa tetangga kita itu pada nekat bawa mobil, padahal mereka kena macet, kehilangan waktu, kehilangan bensin banyak, bayar tol. Jawabannya adalah karena tidak ada alternatif, kalau nggak pake mobil sendiri mau pake apa? Nah, alternatif itulah yang saya rancang, supaya kalau tetangga kita akses dengan transportasi makro itu harapan saya itu tentu mereka akan meninggalkan mobilnya masing-masing di rumah.

Jadi pola pikir kita adalah membangun transportasi massal yang integrated. Setelah itu terjadi, kemudian kita mengurangi penggunaan kendaraan pribadi dengan aturan pemerintah daerah. Banyak yang bisa kita adopsi tentang pengurangan penggunaan kendaraan pribadi. Misalnya 3 in 1, efektif atau tidak, kalau tidak ya harus diganti. Di Bogota itu, genap ganjil. Pada hari Senin, Selasa, mobil-mobil yang nomor buntutnya genap bisa jalan, sebaliknya begitu berturut-turut. Ada juga dengan ERP (Electronic Road Pricing). Nanti kita adopsi mana yang lebih cocok untuk kita tapi jelas penyelesaiannya harus tergelar jaringan transportasi itu.

Lalu bekerjalah tim ini membangun sebuah jaringan yang disebut PTM (Pola Transportasi Makro). Lalu diekspos di depan saya, yang dihadiri oleh seluruh staf. Saya bilang sebelum rapat itu, bahwa rapat ini sore nanti harus membuahkan sebuah keputusan.

Karena itu, saya minta semua yang ikut hadir bertanya kepada tim ini sampai kepada kesimpulan bahwa jaringan ini menyelesaikan masalah. Itu sudah terjadi, saya juga ikut bertanya sampai saya sendiri juga ikut yakin bahwa pola transportasi makro atau jaringan yang terintegrasi dengan basic kendaraan angkut massal ini menyelesaikan masalah. Maka keluarlah peraturan daerah tentang PTM ini. Blue print sudah ada.

Rencana itu saya yakin sudah tidak ada masalah, dimana PTM itu intinya adalah mengintegrasikan empat sistem transportasi umum (missal), yakni bus priority (antara lain busway), Light Rail Transit (LRT), Mass Rapid Transit (MRT) dan Angkutan Sungai, Danau dan Penyeberangan (ASDP). Didasar tanah namanya subway (MRT), lalu di atas tanah namanya Busway 15 koridor, di atas busway 3 meter ada monorail yang terdiri dari green line menghubungkan sentra ekonomi, perdagangan dan perkantoran dan blue line yang menghubungkan Tangerang-Bekasi. Jadi monorail ini Timur dan Barat itu untuk akses tetangga kita supaya mereka tidak bawa mobilnya lagi, tapi naik monorail.

Dan juga busway di antara 15 koridor ada yang masuk ke Tangerang dan Bekasi. Lalu bagaimana MRT? MRT itu membelah Jakarta ke arah Utara-Selatan dimulai dari Kota Tua, Fatahillah, lalu menyusur jalan Gajah Mada dan Hayam Wuruk di atas sungai, mulai tenggelam di tanah itu di Harmoni, menyusul Thamrin, Sudirman, nongol lagi di depan Ratu Plaza. Lalu naik di atas jalan atau elevated, Sisingamangaraja, lalu Fatmawati. Stasiun besarnya di Lebak Bulus. Dan nantinya kereta ini akan kita lanjutkan sampai Depok dan Bogor. Sekali lagi supaya tetangga kita itu meninggalkan mobilnya menggunakan fasilitas itu. Lalu moda yang ke-4 adalah waterway, memanfaatkan kanal barat, utamanya kanal timur. Kanal timur itu sebenarnya sudah kita rancang untuk transportasi air. Sebuah rencana yang saya akui masih bermasalah sampai hari ini, nggak jadi-jadi.

Karena itu, saya juga bertanya kepada tim dari keempat jaringan ini, ada MRT, monorail, waterway, busway, mana yang bisa saya mulai dulu? Dengan tegas tim ini bilang busway. Karena busway itu yang paling murah. Artinya, bisa dilakukan oleh pemerintah daerah sendiri tanpa investor. Sementara subway, waterway dan monorail, kita perlu investor. Saya mulailah busway ini dengan koridor 1, itu koridor yang paling sibuk di antara 15 koridor. Jadi Koridor 1 yang saya resmikan pada tanggal 15 Januari 2004 itu sebagai starting point.
Itu adalah cikal bakal dari sebuah rencana yang makro tadi, supaya terwujud maka harus dimulai. Nah, pada 3 tahun sisa masa jabatan saya, 2004 saya berusaha ngebut secara paralel, juga dibangun monorail. Monorail itu sendiri adalah sebuah inisiatif dari swasta dengan hal ini adalah Adikarya (BUMN). Dia menggandeng investor dari Dubai.

Seperti anda ketahui, saya telah menyelesaikan 7 koridor beroperasi. Lalu 3 infrastruktur juga saya buat, yakni 8, 9, 10. Saya tidak tahu dan Anda saja mungkin yang bertanya, ada kendala apa saya tidak tahu. Yang jalan selama 3 tahun ini hanya delapan koridor, koridor 9, 10 malah dirampokin orang, diambilin, semua sudah rusak berat.

Nah dalam perjalanan pembangunan transportasi ini, ternyata ada masalah dengan investor monorail, yaitu tidak bisa masuk Indonesia. Ya tentu harapan saya ada penggantinya, investor yang baru. Apa yang sudah dilakukan Adikarya, kan bisa kita hitung. Kalau pencanangan itu mau dilanjutkan, ‘kan tinggal kita hitung, berapa investasi yang sudah dia kucurkan. Nanti oleh investor baru diganti atau dia tanam saham di situ. Kan kira-kira seperti itu. Jadi anda saya yakinkan, di dalam mengatasi transportasi kota ini, poin pertama segera menjadikan transportasi massal itu terwujud, ini harus dikejar.

Ya pindah ibukota sih boleh saja, tapi nggak serta-merta terus macet akan selesai tanpa menggelar jaringan transportasi itu.

Karena kita tidak mungkin membuat jalan terus di sebuah kota besar yang sudah sempit, tanahnya sudah mahal, sudah banyak bangunan permanen. Jadi pokok kuncinya di situ, selesaikan jaringan itu sesegera mungkin karena kita mengejar pertumbuhan kendaraan itu tadi. Kalau sudah terwujud, kemudian dikeluarkan Perda tentang pembatasan penggunaannya (traffic restraints). Orang boleh saja borong mobil setiap hari, tapi penggunaannya yang ditata dengan aturan-aturan yang sesuai.

Lalu bagaimana upaya mengatasi masalah banjir?

Masalah krusial berikutnya adalah banjir. Pertama mari kita lihat Jakarta dari kacamata geografis. Jakarta ini 650 km2 luasnya. Ada 13 sungai dari arah selatan yang mengalir masuk Jakarta. Kedua, ada 40% poermukaan tanah Jakarta yang berada di bawah permukaan air laut dan tempatnya tidak menyatu, tapi terpencar-pencar. Sehingga dengan kondisi kultur tanah seperti itu maka rawan banjir bahkan hanya dengan hujan lokal, yang kaya mangkok itu semua itu pasti banjir. Solusinya gimana? Dengan sistem penyedotan. Jadi kita sedot dengan pompa, lalu airnya kita buang ke sungai yang terdekat untuk dibuang ke laut.

Ancaman banjir yang kedua, yakni banjir rob, air pasang dari arah utara tentunya. Mengatasinya bagaimana? Kita merencanakan reklamasi. Reklamasi itu ada dua tujuan. Pertama, menghadang air pasang itu tadi, reklamasi sambil ditinggikan. Sistem reklamasi kita supaya tidak menambah panjang alur sungai maka pulau per pulau. Ada kanal, pulau, ada kanal lagi. Dan sambil ditinggikan maka kalau ada air pasang mental lagi itu, konsepnya, intinya seperti itu. Itu adalah yang paling mungkin, sambil mengatasi lahan, supaya lahan kita itu bertambah karena kebutuhan lahan itu sangat diperlukan mengingat orang bertambah terus dari urbanisasi. Namun seperti anda tahu, urbanisasi itu selalu penuh pro kontra, tapi sampai sekarang nggak terwujud.

Memang namanya reklamasi tentu saja ada nilai-nilai negatifnya di samping positif, tapi sebenarnya reklamasi itu bukan barang tabu. Tetangga kita saja yang paling dekat, Singapura, sudah lama melakukannya. Sebentar lagi mungkin nyambung dengan pulau Indonesia. Lalu, Tokyo juga reklamasi, Bangkok juga seperti itu, jadi bukan barang aneh bukan barang tabu. Kalau kita takut dampak-dampak yang timbul akan merusak ekosistem, ya harus sungguh-sunguh amdalnya dan bagaimana kita meminimize sisi-sisi negatif ini. Tapi sebuah keputusan harus diambil, nggak diambangkan saja terus seperti ini.

Ancaman ketiga, banjir Jakarta yang paling berat adalah dari 13 sungai yang bermuara ke Jakarta. Mari kita tengok zaman Belanda. Kita flash back dulu ke zaman Belanda, dimana kota yang bernama Sunda Kelapa ini dulu hanya pusat perdagangan saja pada saat Belanda menduduki Jakarta. Daerah Selatan dari asalnya sungai ini datang, katakanlah itu Puncak dan Cianjur, itu diawasi secara ketat karena itu adalah daerah resapan air dan curah hujan tinggi. Karena itulah Puncak sampai Cianjur sana hanya hutan kopi, jati, pinus lalu kebun teh. Jadi resapan air dari kawasan itu maksimal. Curah hujan yang tinggi disedot semua.

Setelah itu, sekarang ini dimana Sunda Kelapa tadi berkembang sedemikian rupa lalu oleh Bung Karno dijadikan ibukota negara, lalu berkembang menjadi kota wisata, pusat ekonomi, kota pendidikan, pusat budaya, lalu berkembang pula rumah-rumah yang di Puncak sana, vila-vila, jadi sudah puluhan ribu vila di sana. Apa yang terjadi kemudian? Rusaklah ekosistem kita.

Resapan air itu sudah tidak berfungsi lagi. Pada saat curah hujan tinggi, air itu tidak bisa diserap tanah lagi. Maka air masuk ke-13 sungai itu. Karena itu, meluap-luap dia datang ke Jakarta. Masih beruntung kita karena air ini sampai di Ciawi, memanjang ke Tangerang, Bekasi, Sentul, itu flat, datar, jadi air itu kaya direm. Karena itulah masuk Jakarta itu pelang-pelan naiknya. Kita nggak pernah ada bandang bandang kayak yang di Papua itu.

Jadi kesimpulannya apa? Apa pun yang dilakukan oleh Jakarta terutama untuk mengatasi 13 sungai itu, ya tetap saja tergenang apabila di daerah hulu selatan itu tidak dilakukan langkah apapun. Apa langkah itu? Kata Bupati Bogor adalah, ya dirobohkan lagi vila-vila itu, supaya fungsi penyerapan air kembali. Itu omongan dari saya jadi gubernur sampai pensiun pun belum pernah terealisasi. Karena itu memang tidak masuk akal. Secara yuridis, itu benar, tapi apa realistis? Kalau vila itu mau dibongkar berapa duit yang harus dia keluarkan untuk merobohkan ribuan vila itu? Akhirnya kan hanya wacana-wacana. Begitu nanti hujan deras, banjir. Kita teriak mau menghancurkan vila, misalnya, setelah usai, kemarau, sudah lupa lagi. Begitu setiap tahun saya mendengar kalimat itu selama 10 tahun. Mendengar kalimat itu sampai hapal aku.

Nah, marilah kita sekarang, tujuannya sama untuk mengurangi banjir ini akibat 13 sungai itu tetapi dengan cara lain. Cara yang saya tawarkan adalah membangun 8 sampai 11 waduk-waduk besar di daerah selatan, Ciawi, lalu memanjang sampai Sentul, Gunanya apa? Agar air dari 13 sungai itu kita tampung di waduk-waduk tadi.

Jadi fungsi waduk atau situ besar (raksasa) itu adalah menampung air pada saat musim hujan, tabunganlah, dan air ini akan berfungsi juga untuk irigasi pertanian. Situ besar ini juga bisa untuk rekreasi dan sport. Nah situ-situ ini juga, bisa sebagai tabungan air untuk bahan baku air bersih di DKI Jakarta dan tetangga kita, Tangerang dan Bekasi. Jadi akhirnya multifungsi. Dan kalau ini dibikin, pasti menyelesaikan masalah karena air masuk waduk, kemudian yang keluar dari situ itu sudah tinggal kecil dan diatur oleh pintu air. Sudah masuk Jakarta pun, masih diterima oleh kanal barat dan timur, ini kan mesti beres dong.

Tapi kenapa nggak pernah direalisasi. Karena tidak cukup koordinasi dengan tetangga kita. Bupati Bogor, “Pak bupati! tolong bikin situ besar di sana supaya tidak ada banjir”. “Sumuhun pak gubernur!” Kan begitu kira-kira jawabannya. Ngapain kita bikin situ, orang di situ yang banjir. Memang bikin situ gratisan? Duitnya dari mana? Begitu kira-kira jawabannya.

Nah, karena itulah harus ada megapolitan, lembaga yang lebih atas, mengkoordinasi Jakarta dan kota-kota yang ada di sekelilingnya. Mengapa juga nggak pernah direalisir? Padahal dengan megapolitan, masalah banjir bisa kita atasi, lalu lintas, sampah, bisa kita atasi. Kan begitu? Tiga ini yang paling krusial. Termasuk juga urbanisasi. Apalagi kalau dikaitkan dengan pindahnya pusat pemerintahan, kaya Mahatir bikin Putrajaya, kan gitu, kita juga bisa misalnya geser ke Jonggol. Ini tidak mubazir yang di sini, lancar semua angkutan ada, tolnya ada, kereta api ada.

Saya menghormati orang-orang yang berpikiran idealis, yang berpikiran pokoknya bikin kota baru di Palangkaraya. Ya, kayaknya aja bagus. Tapi pertanyaanya, punya duit nggak bangun kota baru? Bayangin nggak bikin ibukota? Berapa duitnya untuk membangun Istana Negara, perumahan, menteri-menteri dengan segala pegawainya, semua departemen pindah ke sana, PNS-nya bagaimana, rumahnya juga. Infrastruktur, jalan, jaringan kereta api, mungkin ada perlu juga stadion, yang pasti adalah sekolahan, lalu membangun lagi rumah sakit. Nah, barapa duitnya kira-kira?

Apakah layak pada saat rakyat masih seperti ini lalu kita membangun ibukota negara. Ini bukan salah, ini idealis, tapi tidak realistis jadinya. Kita yang realistis saja, biarlah itu dilakukan oleh anak cucu kita nanti. Yang mudah terjangkau itu memindahkan pusat pemerintahan kita di dekat sini, Jonggol misalnya. Jadi dengan megapolitan maka terbukalah kawasan Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, sampai Cianjur.

Lalu kita tata kawasan ini. Karena infrastrukturnya kita bangun dengan bagus, lalu developer nggak lagi melirik Jakarta. Ngapain, sudah sempit mahal lagi, enakan membangun gedung bank misalnya di daerah Bogor, bikin hotel atau mall di Bekasi, nggak ada masalah. Perumahan di Sentul, universitas di daerah Depok. Jadi dari megapolitan itu tetangga kita jadi hidup, ekonominya tumbuh, infrastrukturnya lebih bagus. Jakarta sudah seperti berhenti pembangunan, nggak disedot banyak airnya lagi, tanahnya nggak dijarah lagi.

Ketika megapolitan Anda lontarkan dengan konsep sedemikian rupa apa reaksi pemerintah pusat waktu itu?

Ya, pemerintah itu kan ribut semua pada saat banjir besar itu tadi saja.

Kembali ke masalah wacana pemindahan ibukota?

Mau memindahkan ibukota bukan pemikiran jelek. Tapi saya takut setelah pindah, lalu fokus kepada pindah ibukotanya ini. Lupa maut yang sudah diambang pintu, kemacetan total 2014. Itu kan sebentar lagi, bahkan mungkin tahun 2012 sudah terjadi kalau tidak ada tindakan yang signifikan.

Jadi karena itulah yang namanya memanage pemerintahan itu kan ada skala prioritas, bahasa Jawanya itu ambeg prama arta, itu namaya prioritas. Kenapa dulu Soekarno nggak jadi mindahkan ke Palangkaraya? Karena dia merasa ada kepentingan yang lebih mendesak. Pak Harto juga kok nggak jadi pindah ke Jonggol? Sama. Nah sekarang kita pertanyakan saja sudah saatnya belum?

Saatnya belum, ya sudah, go ahead, nggak ada masalah. Dan menurut saya gagasan itu diteruskan tapi carilah yang realistis. Nggak usah semua pindah, dekat-dekat sini, terjangkau, sehingga ada kebalikan sirkulasi kendaraan. Kalau pagi semua kan menuju ke Monas karena itu semua tol macet tapi lihat sebelahnya, kosong. Kalau pusat pemerintahan di sana, tersebar ada bank di sana, sekolah di sana, maka akan imbang muternya, masuk dan keluar.

Artinya apa? Dengan megapolitan nggak mungkin tetangga kita dirugikan, dia akan kecipratan madu bukan racun. Sekarang ini racun terus yang dia terima, Jadi kalau ada yang menolak jadinya aneh karena penggabungan megapolitan itu penggabungan tata ruang bukan administrasi. Dia tetap walikota, tetap DPRD, Tangerang tetap di bawah Banten. Bekasi, Depok, Bogor tetap di bawah Jabar, apa yang perlu berubah? Tata ruang yang kita manage secara terintegrasi.

Itu memerlukan gubernur setingkat menteri?

Ya, kalau gubernur menjadi komandan megapolitan. Bisa aja semua tetap megapolitan ditunjuk komandannya sendiri. Karena lembaga ini di atas pemerintahan, tangannya pemerintah pusat, dia harus didanai oleh pemerintah pusat, pasti jadi. Monorail nggak sampai 5 triliyun jadi, subway, MRT pasti dibiayai Jepang karena sudah kita tandatangani. Tinggal dilaksanakan. Busway paling tinggal berapa trilyun untuk 15 koridor. Selesai masalah. Setelah itu baru dipikir bagaimana memindahkan ibukota.

Kalau kami melihat hal itu sangat tergantung pemimpinnya? Kalau nggak ada pikirannya ke sana walaupun begitu bagus konsepnya, tetap tidak jalan?

Ya, memang semua pikiran apapun selalu ada risikonya. Ada positif dan negatifnya tapi kan kita mengambil mana yang paling banyak positifnya dan paling sedikit negatifnya. Setelah kita ambil keputusan pun kita berusaha sambil jalan meminimize negatifnya tapi 0% kan nggak mungkin.

Sejalan dengan konsep Anda, Syaykh Al-Zaytun Panji Gumilang, punya gagasan membangun kanal berbentuk huruf U melingkari Jakarta, berpusat di Cibinong sampai ke pantai Banten dan Karawang. Mirip megapolitan, dimana gubernurnya mempunyai kewenangan memimpin rapat menteri. Bagaimana pandangan Anda?

Ya, sekali lagi pandangan itu kan ada yang realistis dan idealis. Sekarang berapa kita butuh biaya untuk membangun ini. Mari kita lihat, ini ‘kan panjangnya 240 km. Kita ini sekarang membangun banjir kanal timur itu 23,7, katakan kita genapkan 24 kilo, anggaranya 5 trilyun. Berarti 240 kan 50 trilyun. Tinggal kita punya duit atau tidak, kan gitu?

Kalau dia (Syaykh Al-Zaytun) menyarankan jual saja obligasi sama rakyat?

Perlu pengkajian lebih dalam. Ini ‘kan pada prinsipnya sama, kita nggak mau membuang hal yang sudah jadi, mubazir. Kita ‘kan sudah ada kanal barat, kanal timur.

Menurut Anda, masalah pemindahan ibukota perlu keputusan pasti?

Ya, wacana itu merupakan pemikiran idealis. Sementara, kita kan harus segera ada keputusan politik yang berisi, kapan mau dipindahkan, dimana, caranya bagaimana? Kita bangun sekaligus dari tanah kosong untuk bikin ibukota kaya di Canberra, atau berangsur-angsur? Di mana dan kapan? Ini kan perlu, kalau di luar Jawa pasti costnya akan lebih banyak, dihitung saja. Harus segera supaya tidak terus menjadi bola liar wacana pemindahan ibukota. Terus pada berduyun-duyunlah spekulan memborong tanah di mana-mana. Begitu diputuskan, misalnya, di salah satu kota X, Pemda kota X itu harus dikasih tahu tidak ada jual beli tanah lagi. Kalau nggak, bisa jatuh ke tangah spekulan tanah semua. Nanti costnya akan tinggi sekali pemerintah membangun kota itu. e-ti/crs

***TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Tokoh Terkait: Sutiyoso, | Kategori: Wawancara | Tags: Gubernur, Jakarta, DKI, mantan

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini