
[WAWANCARA] – WAWANCARA | Indonesia kini mengembangkan demokrasi konsensus. Sebuah demokrasi yang universal tetapi didukung oleh budaya bangsa. Sekarang sudah dalam tahap konsolidasi, diperbaiki sampil berjalan. Bukan transisi lagi. Sejalan dengan itu, Indonesia kini juga tengah memasuki proses penegakan supremasi hukum. Maka, makelar kasus itu suatu hal yang sangat buruk.
Hal itu disarikan dari pernyataan Gubernur Lemhannas Prof. Dr. Muladi, SH, dalam wawancara khusus dengan TokohIndonesia.com dan Majalah Berita Indonesia, di ruang kerjanya, Kantor Lemhannas Jl. Medan Merdeka Selatan No.10 Jakarta Pusat, Selasa 23 Maret 2010.
Mantan Menteri Kehakiman (Hukum dan HAM) dan Menteri Sekretaris Negara itu menyebut empat pilar penegakan supremasi hukum. Satu, aparat negara harus tunduk pada hukum yang berlaku, memberi contoh. Kedua, keberadaan suatu sistem peradilan atau kekuasaan kehakiman yang merdeka. Ketiga, jalan masuk untuk memperoleh keadilan harus terbuka luas bagi rakyat yang menjadi korban atau menjadi tersangka. Keempat, hukum itu harus ditegakkan secara adil, ekual, sama rata dan pasti.
Menurutnya, kakelar kasus itu salah satu hal yang sangat buruk. Dalam rangka menegakkan hukum yang berkeadilan, mantan Rektor Universitas Diponegoro itu menegaskan, tidak perlu ada markus, pengacara yang perlu ada. Tapi pengacara juga banyak yang terlibat markus,” keluh guru besar hukum Undip itu.
Jadi, menurutnya, pengacara itu harus profesional. “Selama masih ada makelar-makelar, berarti masih belum profesional. Broker atau makelar itu suatu yang negatif. Berarti tidak profesional dan diskriminatif. Sehingga yang tidak pakai broker dikalahkan, yang pakai broker, itu menang. Itu kan orang mengejar kemenangan, bukan mengejar keadilan,” tegasnya.
Selengkapnya, berikut petikan wawancara Wartawan TokohIndonesia.com dan Majalah Berita Indonesia Ch. Robin Simanullang, Sahbudin Hamzah dan Marjuka Situmorang dengan Gubernur Lemhannas Prof. Dr. Muladi, SH:
Kemudian Pak Harto mengembangkan demokrasi terpimpin karena alasan ekonomi. Jadi alasannya berbeda dengan Bung Karno. Kalau Bung Karno politik, Suharto ekonomi. Kita tidak bisa menyalahkan kenapa mereka semi diktator. Karena zaman memang seperti itu, zaman yang masih morat-marit.
Bagaimana pandangan Anda mengenai perkembangan politik atau kemajuan bangsa dari sisi ketahanan nasional dengan kondisi kebangsaan kita yang sekarang setelah lebih sepuluh tahun masa reformasi. Nah, kira-kira apa pandangan Anda atas perkembangan bangsa kita ke depan setelah melihat perkembangan lebih sepuluh tahun ini?
Kita sekarang mengembangkan ide-ide demokrasi di sini (Lemhannas). Jadi urusan Lemhannas itu harus menjadi drive the process of democratization, penggerak proses demokratisasi. Kita pernah mengalami demokrasi liberal, tahun 1955, multi partai. Kemudian Bung Karno mulai mengembangkan demokrasi terpimpin dengan alasan untuk membangun karakter bangsa, Nation and Character Building.
Kemudian Pak Harto mengembangkan demokrasi terpimpin karena alasan ekonomi. Jadi alasannya berbeda dengan Bung Karno. Kalau Bung Karno politik, Suharto ekonomi. Kita tidak bisa menyalahkan kenapa mereka semi diktator. Karena zaman memang seperti itu, zaman yang masih morat-marit. Zaman Pak Harto, saya anggota kabinet juga.
Kemudian, Pak Habibie mulai tahun 1998, kita mengembangkan proses demokrasi. Sekarang kita kembangkan proses demokratisasi yang luar biasa. Jadi proses demokratisasi yang kita kembangkan itu adalah yang disebut demokrasi konsensus. Demokrasi yang universal tetapi didukung oleh budaya bangsa, yang sekarang dalam tahap konsolidasi. Jadi bukan transisi lagi. Kalau transisi, kita membenarkan, menyimpangkan. Sekarang tahap konsolidasi, diperbaiki tetapi sambil berjalan.
Dalam hal ini, ada yang paling penting, yaitu pentingnya penghormatan pada konstitusi. Di konstitusi itu, ada ideologi, jiwa nasional. Ideologi dan sistem checks and balances itu ditata dengan lebih baik. Itu yang pertama.
Yang kedua adalah semangat untuk membangun good governance. Pemerintahan yang akuntabel, transparan dan responsif. Seperti memberantas korupsi dalam rangkaian reformasi birokrasi.
Yang ketiga adalah supremasi hukum. Sejauh ini masih belum memuaskan. Tapi kita sudah berada dalam jalur yang benar. Di situ ada unsur kekuasaan kehakiman yang merdeka. Artinya, pengadilan itu harus dibebaskan dari pengaruh apa pun juga. Itu dalam proses terus. Lalu, otonomi daerah. Otonomi daerah itu tidak bisa mundur, harus maju terus dengan perbaikan-perbaikan. Karena jiwa masyarakat yang pluralistik ini, tidak bisa lagi pemerintah yang terpusat seperti zaman Suharto. Tapi harus dibagi kewenangannya. Sekarang sudah ada daerah yang maju. Maju dengan perbaikan-perbaikan kelemahan. Ada otonomi khusus. Seperti Aceh dan Papua, lebih khusus lagi.
Kemudian, kebebasan mass media yang luar biasa. Yang kita benahi, otomatis kita minta ada rasa tanggung jawab. Ini tidak bisa mundur, kebebasan media baik cetak, online maupun elektronik harus jalan terus sebagai alat kontrol sosial.
Kemudian, pembangunan hukum yang demokratis. Sekarang membangun hukum itu melalui DPR, itu harus, katakanlah, aspiratif. Aspiratif itu, termasuk mendengarkan aspirasi pemerintah, pakar dan aspirasi internasional. Itu sekarang yang terjadi.
Kemudian yang selanjutnya adalah pembangunan masyarakat madani. Ada self civil society yang perkembangan amat pesat. Jadi kalau kita bicara masyarakat demokrasi itu, pilarnya ada tiga. Yakni, aktor negara, aktor swasta, dan civil society. Tiga pilar itu ada dalam kehidupan berdemokrasi.
Kemudian protection of human rights, perlindungan hak asasi manusia, berkembang. Masuk di konstitusi, di salah satu bab.
Kemudian kontrol sipil terhadap militer. Sekarang militer pun dikontrol oleh DPR. Pemisahan TNI – Polri. Dan TNI pun tidak bebas lagi seperti dulu, negara sudah mencabut. Dan juga perkembangan-perkembangan lain.
Tapi yang saya sebut tadi sebagai akar dasar dari demokrasi. Jadi basic roots of democracy. Nah, di sini kita kembangkan itu. Kita kembangkan, bahwa roots of democracy itu harus menjadi penggerak demokrasi. Termasuk melakukan konsolidasi.
Anda melihat perkembangan demokrasi di Indonesia, apa sudah berada pada on the right track?
Sudah.
Kemudian mengenai penegakan hukum secara independen yang tidak di bawah kooptasi politik dan kekuasaan. Bagaimana pendapat Anda?
Jadi penegakan supremasi hukum itu intinya ada empat. Satu, aparat negara harus tunduk pada hukum yang berlaku, memberi contoh. Kedua, keberadaan suatu sistem peradilan atau kekuasaan kehakiman yang merdeka. Hanya kepada Tuhan dia bertanggung jawab. Dan profesionalisme. Tidak boleh didikte oleh siapa pun juga. Tidak ada politisasi. Dan ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi penting posisinya.
Ketiga, jalan masuk untuk memperoleh keadilan harus terbuka luas bagi rakyat yang menjadi korban atau menjadi tersangka, atau katakanlah yang bermasalah. Dia tidak boleh dihambat dan harus selalu didampingi pengacara untuk mencari keadilan yang benar.
Keempat adalah hukum itu harus ditegakkan secara adil, ekual, sama rata dan pasti. Empat pilar itu untuk penegakan supremasi hukum. Itu dalam proses.
Dan di sini, kalau kita bicara demokrasi, strukturnya sudah bagus. Substansi undang-undangnya sudah bagus. Tapi, kulturnya, budaya demokrasi ini tergantung dari kualitas SDM. Ini dalam proses. Mendidik supaya SDM itu memahami betul yang namanya proses demokratisasi di Indonesia. Mungkin butuh satu generasi atau butuh sepuluh tahun. Tapi proses kita itu benar. Maka saya katakan konsolidasi demokrasi. Pemantapan demokrasi. Itu akan terjadi. Kelakuan yang kekanak-kanakan, kelakuan yang aneh-aneh itu harus diubah. Tapi, Amerika saja menjadi sampai seperti sekarang hampir dua ratus tahun.
Sementara, Singapura itu diktator, Malaysia juga diktator. Kita sangat demokratis. Negara demokrasi ketiga terbesar di dunia adalah Indonesia, setelah Amerika dan India. Itu luar biasa.
Mengenai kriteria negara hukum. Seperti Anda sebutkan, kita masih dalam proses. Kalau dihitung tingkat implementasinya dari idealnya itu tadi?
Nah, disinilah pentingnya kontrol dari masyarakat melalui LSM, masyarakat madani. Jadi sekarang ini, orang tidak bisa berbuat seenaknya sendiri. Semua dikontrol. Ada checks and balances dalam masyarakat, terutama dari masyarakat madani. Jadi masyarakat madani ini kita bangun, kita bina, kita tumbuhkan seperti Indonesia Corruption Watch (ICW), Walhi dan sebagainya. Itu penting sekali. Sehingga orang tidak berani main-main lagi. Ada kontrol masyarakat langsung melalui organisasi-organisasi yang profesional.
Terus, kebebasan informasi publik, itu ada undang-undangnya. Tidak bisa seenaknya sendiri.
Semua budjet dikeluarkan oleh DPR. DPR-nya memang memerlukan partai politik. Sekarang kan boleh dikatakan fungsinya besar sekali. Mau jadi bupati, walikota, mau jadi gubernur, mau jadi presiden, memerlukan partai. Tapi fungsi partai politik bukan hanya memilih kepemimpinan, tapi juga sebagai perekat persatuan dan pendidikan politik.
Nah, itu yang belum disentuh oleh partai politik. Pendidikan politik dan juga perekat persatuan, penyerap aspirasi rakyat. Akibat tidak puas pada partai politik, sekarang aktor-aktor demokrasi yang lain muncul. LSM-LSM, perguruan tinggi, itu menjadi penyeimbang dari partai politik. Apalagi terlibat korupsi orang-orang DPR-nya. Sekarang peranan perguruan tingi dan lembaga swadaya masyarakat besar sekali dan sangat bebas.
Kembali mengenai penegakan hukum. Bagaimana Anda melihat perihal aparat penegak hukum, terutama jaksa dan polisi, juga KPK?
Kalau KPK kan dibentuk dalam kondisi yang ad hock. Kalau polisi dan kejaksaan itu ada di konstitusi. KPK itu Undang-Undang. Suatu saat bisa dibubarkan nanti. Jadi kebutuhan yang sesaat, karena rakyat tidak percaya pada polisi dan jaksa. Ini sementara. Nanti kalau dua lembaga ini sudah besar, sudah bagus, ya tidak tertutup kemungkinan KPK distop. Tapi terus juga nggak apa-apa. Tapi dasarnya undang-undang.
Jadi yang penting itu semangatnya kan? Semangatnya itu harus ada keterpaduan antarmereka. Tidak bersaing, tapi saling mengisi. Kalau kita bicara sistem hukum itu, di struktur, adanya kelembagaan yang terlibat. Kedua, substansi undang-undang yang mendasari sistem. Dan budaya hukum.
Independensi dari lembaga kehakiman. Perlukah kejaksaan juga menjadi lembaga yang independen?
Independensi itu aturan internasional. Kekuasaan kehakiman yang merdeka itu standar internasional. Seluruh dunia itu. PBB yang menentukan. Dan itu salah satu indikator apakah suatu negara itu demokratis atau tidak. Kemudian diperluas, bukan hanya kekusaan kehakiman yang merdeka, tetapi independensi sistem peradilan pidana. Termasuk polisi, jaksa dan sebagainya. Tapi sulit sekali, karena jaksa dan polisi kan di bawah presiden. Tapi mestinya bersikap profesional juga. Walau tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh politik karena dia eksekutif.
Yang harus dimajukan di Indonesia itu bukan hanya proses peradilan. Tapi yang namanya ADR, Alternative Dispute Resolution atau penyelesaian perkara di luar pengadilan. Arbirtrasi itu juga harus maju. Pengadilan itu kan pada akhirnya menciptakan konflik baru. Yang menang senang, yang kalah sedih. Tapi kalau ADR, mediasi, rekonsiliasi, kemudian yang namanya arbirtrasi itu win-win solution. Berunding, mediasi diawasi oleh suatu arbiter. Tidak ada yang kalah, tidak ada yang menang, tapi bersama-sama. Jadi dua-duanya harus berkembang bersama. Kecuali pidana. Kalau pidana kan nggak bisa.
Sekarang sudah sejauh mana perkembangan arbirtrasi itu?
Sudah, sekarang maju sekalian. Arbirtrasi kan internasional.
Di dalam negeri?
Di dalam negeri ada Badan Arbirtrasi Nasional. Dan itu ada undang-undangnya. Didasarkan pada undang-undang setelah reformasi. Undang-undang arbirtrasi dan alternatif penyelesaian sengketa. UU No.8 tahun 1998. Maju bersama-sama. Yang tidak suka ke pengadilan, panjang, mahal, perdata bisa lima sampai tujuh tahun. Tapi kalau ADR bisa langsung. Jadi kalau perkara perdata, itu lebih baik melalui ADR ini. Kalau pidana, bisa tapi perkara yang kecil-kecil. Disebut restoratif justice, pengadilan restoratif. Itu di negara hukum dua-duanya itu harus maju bersama-sama.
Tadi Ada kemukakan keberadaan KPK bersifat ad hock, dan polisi dan kejaksaan sebenarnya harus diperkuat. Kalau pengamatan Anda, sekarang perkembangan kemajuan kepolisian dan kejaksaan itu bagaimana?
Kalau kita melihat, kalau korupsi ya, korupsi kita itu masih sangat memalukan. Kita baru saja menerima julukan koruptor terbesar di Asia Pasifik. Nomor satu Indonesia. Dari internasional, dari nilai 10, kita baru 2,8. Jadi selama ini belum di atas 5. Jadi kita masih butuh KPK.
Kalau kita melihat, kalau korupsi ya, korupsi kita itu masih sangat memalukan. Kita baru saja menerima julukan koruptor terbesar di Asia Pasifik. Nomor satu Indonesia. Dari internasional, dari nilai 10, kita baru 2,8. Jadi selama ini belum di atas 5. Jadi kita masih butuh KPK. Kalau Malaysia dan Singapura sudah nilai 5 atau 6. Di Malaysia pun masih dibutuhkan. Jadi, jika nilainya masih di bawah 6, saya kira KPK masih dibutuhkan.
Sekarang korupsi dianggap lebih merajalela karena menyebar di seluruh daerah. Kemudian, eksekutif, legislatif, judikatif kena semua.
Kalau kejaksaan dan kepolisian?
Semuanya. Tidak hanya tergantung mereka kan? Tergatung masyarakat juga, tukang suapnya. Pengusaha-pengusaha itu gimana? Korupsi itu produk dari masyarakat.
Bagaimana Anda melihat penanganan makelar kasus?
Iya. Itu salah satu hal yang sangat buruk. Dalam rangka menegakkan hukum yang berkeadilan, tidak perlu ada markus. Pengacara yang perlu ada. Tapi pengacara juga banyak yang terlibat markus. Jadi pengacara itu harus profesional. Selama masih ada makelar-makelar gitu, berarti masih belum. Broker itu suatu yang negatif. Berarti tidak profesional dan diskriminatif. Yang tidak pakai broker dia dikalahkan, yang pakai broker, itu menang. Itu kan orang mengejar kemenangan, bukan mengejar keadilan.
Kembali ke masalah demokrasi, dimana kita sudah masuk tahap konsolidasi. Partai politik sebagai sebuah pilar yang sangat penting di dalamnya. Dalam pengamatan Anda, sejauh mana perkembangan partai politik dalam mengkonsolidasikan diri, yang memungkinkan untuk melangkah ke kedewasaan politik?
Sekarang kan instrospeksi. Partai politik itu 2014 nanti terjadi regenerasi total. Seperti generasi saya, sudah, jadi penasehat sajalah. Seperti PDI-P mengumandangkan, 70% pengurus, generasi muda. Golkar juga demikian. S1, S2, S3 Golkar sudah 67%. Kita harapkan anak-anak muda ini tidak larut dalam konsep pragmatislah ya. Sekarang, politik itu transaksional. Kamu dapat apa, saya dapat apa. Tidak berpikir sesuatu yang lebih besar. Jadi budaya transaksional dan pragmatis itu diubah menjadi budaya transformasional.
Undang-undang partai politik menyatakan, partai politik itu harus yang disebut sebagai programatis, menghormati HAM dan budaya politik yang bisa dihormati. Dan yang penting lagi, dia menjadi perekat persatuan, penyerap aspirasi rakyat, pendidikan politik, dan rekrutmen kepemimpinan. Semuanya harus ditangani oleh partai politik.
Masalah pertahanan. Bagaimana pertahanan dan ketahanan nasional dilihat dari rongrongan negara lain atau kekuatan asing?
Iya. Jadi singkatnya begini. Pada waktu sebelum perang dingin selesai tahun 90-an, masih ada Pakta Warsawa dan NATO. Rusia masih ada Uni Soviet-nya. Itu yang terjadi adalah bahaya antar-negara. Ada bahaya nuklir, negara satu mengancam negara lain. Diharapkan satu perdamaian jangka panjang karena tidak ada yang mendahului setelah perang dunia kedua.
Kemudian Soviet runtuh. Chjna juga mengalami reformasi. Diharapkan akan terjadi perdamaian di dunia. Akan tetapi muncul bahaya baru. Bukan bahaya tradisional seperti itu atau asimetrik. Muncul bahaya nontradisional yang membahayakan keamanan manusia dalam bentuk yang disebut sebagai bencana alam. Bencana alam bukan karena kehendak Tuhan, tapi karena manusia. Karena merusak lingkungan hidup. Karena global warming, CO2, karena masalah penyakit menular. Itu yang pertama. Itu yang dibahayakan bukan negara, tapi manusia. Sangat berbahaya.
Yang kedua adalah yang disebut bahaya globalisasi. Yang tidak imbang, negara berkembang yang tidak kuat SDM-nya menjadi pasar saja, sehingga terjadi ketidakadilan global, jumlah kemiskinan bertambah.
Yang ketiga, yang paling berat yaitu bahaya sosial politik yaitu bahaya radikalisme dan terorisme. Itu yang diancam bukan negara, tapi kelompok manusia. Meletakkan bom dimana-mana tanpa seleksi. Dan bahkan sekarang, terjadi percampuran antara bahaya tradisional dan nontradisional, yaitu terorisme tapi targetnya kepala negara.
Jadi itu yang sekarang bahaya. Kalau militer itu tugasnya mempertahankan dari luar. Bahaya dari luar itu, batas teritorial, kemerdekaan politik, kemudian kedaulatan. Polisi, dalam negeri, pengayoman, penegakan hukum. Tapi ada yang namanya operasi militer selain perang, seperti terorisme. Itu, polisi harus tangani dua-duanya. Karena itu sifatnya transnasional.
Dan globalisasi itu bukan antarnegara. Radikalisme itu bukan antarnegara. Al Qaeda, kemudian Thailand Selatan, Moro dan Indonesia. Jadi bahaya itu memang bisa dipisahkan. Dari luar, tentara. Ke dalam, polisi, keamanan. Di luar pertahanan, itulah keamanan. Tapi di tengah-tengah itu ada yang namanya operasi militer selain perang. Ya bencana alam, dan juga masalah terorisme, masalah kejahatan transnasional yang sudah terorganisasi, traficking dan narkotika.
Kembai ke masalah nasional. Pada awal reformasi, kita khawatir Indonesia itu pecah. Dan sekarang kita sudah masuk dalam konsolidasi demokrasi. Tapi potensi negara ini terpecah belah masih memungkinkan nggak. Keadaannya seperti apa?
Nah, justru itu pertanyaan Lemhannas. Negara Indonesia itu dibangun bukan karena ikatan primordial, bukan karena suku, agama, ras, golongan, bahasa, atau karena dinasti. Tapi dibangun karena sobat muda, kemudian gerakan kemerdekaan. Sobat muda itu, suku agama ras supaya kumpul dan berniat mendirikan negara kesatuan ini. Jadi sifat Indonesia itu sangat rentan. Maka waktu itu Bung Karno menekankan adanya Pancasila, semangat konstitusi di dalam pembukaan, bhineka tunggal ika. Selama kita masih setia pada empat itu, Indonesia tidak akan pecah.
Waktu reformasi, diramal oleh Barat, tidak ada negara miskin akan demokrasi. Tetapi ternyata tetap. Jadi yang diajar di Lehannas ini adalah di samping teori kepemimpinan, juga kesetiaan pada masalah empat tadi. Empat jati diri bangsa.
Legislatif ini sekarang kan dari produk partai politik, dari segi SDM-nya seharusnya alumni Lemhannaslah ya, tapi ……?
Iya. Ini ada penataran DPRD seluruh Indonesia sudah 22 angkatan. Walikota bupati juga ada sekarang di sini (Lemhannas). Walikota, bupati dan tokoh-tokoh nasional. Sekarang ada tiga kursus di sini. Walikota/bupati, kursus reguler, dan anggota DPRD seIndonesia. Sudah 22 angkatan. Kita berusaha, tapi tidak cukup waktunya. Otomatis mereka yang sudah lulus ini, di daerah menyebarkan ide itu.
Bagaimana soal Pancasila sekarang ini. Sepertinya sudah hampir dilupakan?
Justru itu yang harus kita kembangkan. Taufik Kiemas baru ada statement, MPR akan mengumandangkan Pancasila, UUD45, Negara Kesatuan. Itu kata-kata dua hari yang lalu. Itu bagus. Setiap pejabat harus sadar bahwa itu merupakan batas-batas pembenaran perbuatan. Wawancara TokohIndonesia.com | rbh
© ENSIKONESIA – ENSIKLOPEDI TOKOH INDONESIA