
[WAWANCARA] Wawancara Jokowi (1) – Joko Widodo (Jokowi) berhasil membangun Kota Solo menjadi pusatnya training PKL dan Pasar Tradisional se-Asia Pasifik. Dari berbagai negara telah datang berguru ke Solo bagaimana cara menangani pedagang kaki lima (PKL) dan membenahi pasar tradisional. Dari dalam negeri, setiap hari ada empat sampai enam bis yang datang dari berbagai daerah untuk belajar mengenai PKL dan pasar tradisional.
Keberhasilannya membangun Kota Solo, juga diyakininya akan lebih berhasil lagi bila diterapkan di DKI Jakarta. Berikut petikan Wawancara Wartawan TokoIndonesia.com Ch. Robin Simanullang, Muchlas Santoso dan Bantu Hotsan dengan Walikota Solo yang kini diusung PDIP dan Partai Gerindra menjadi Calon Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Ir. Basuki Tjahaja Purnama (Ahok):
TI: Solo masa depan Solo masa lalu bisa dijelaskan?
JW: Jadi kekuatan Solo ada di masa lalu, historisnya Solo. Apa itu? Misalnya keraton meskipun belum kita garap karena problem di internal, Kraton Mangkunegaran. Wawang, ketoprak, itu masa lalu Solo yang orang lain tidak punya. Itu yang mau kita bangun. Jadi misalnya kita buat musik di Solo kenapa nggak musik rok, jass, apa musik pop. Kenapa yang kita bangun musik etnik? Solo internasional ethnic music, kita mengundang dari 12 negara. Kenapa nggak musik yang lain? Kebetulan saya senangnya, music rock, tapi yang kita kembangkan musik etnik.
Sebetulnya filosofi leadership yang paling tinggi itu adalah tepo seliro, wong ke wong. Artinya kita jangan berbicara seperti ini, kamu siapa, kamu siapa. Tidak, kita tidak pernah bicara seperti itu. Yang makan bersama di ruangan ini (rumah dinas Walikota Solo) PKL semua. Kita nggak pernah membedakan dan itu leadership tertinggi yang saya tahu itu adalah tepo seliro. Artinya kamu jangan memusuhi orang kalau nggak mau dimusuhi. Kamu jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit.
Karena kita ingin bangun masa lalu Solo yang muncul tapi dengan sistem yang modern juga. Misalnya, Solo international performing art, ngitarin tradisi kenapa tidak tari-tari yang modern, kenapa tidak? Saya ingin masa lalu Solo yang muncul, jadi warisan lokal yang ingin kita tonjolkan dan tentu saja dengan sistem manajemen modern dan itu jadi kekuatan kita. Dulu karnaval-karnaval waktu saya masuk ada enam, sekarang kita sudah mempunyai tigapuluh empat, dan tahun depan kita memiliki tigapuluh delapan. Jadi kita ingin membuat Kota Solo sebagai Kota Karnaval dan Kota Seni pertunjukan. Setiap tahun temanya berbeda dengan produk baru yang muncul. Nggak kayak dulu sama terus.
Kenapa batik? Karena itu juga masa lalu Solo. Kenapa kita nggak model fashion yang modern. Kenapa yang etnik musik? Kalau dulu ‘kan, misalnya gamelan yang diberi panggung satu meja, siapa yang mau lihat. Tapi kalau panggungnya empatpuluh kali duaratus dengan manajemen lighting (pencahayaan) yang baik dan pangung seperti itu, 15 ribu orang setiap malam pasti datang menonton. Ini hanya kemasan saja, sebuah tradisi yang dikemas dengan sebuah managemen modern seperti performing art. Kalau tarian hanya dikemas dalam panggung yang kecil, siapa yang mau lihat. Tapi kalau direktur festival, misalnya, dari Eropa, Singapura, Asia semua datang melihat. Dan ini saya kira sudah beberapa kali digelar dan dibawa ke Den-Haag, Ciang Hai, dan Singapura. Dan dibiayai dari sana. Kita bisa ikut promosi dan pemainnya juga di bayarin. Proses seperti itu yang tidak dilakukan oleh daerah yang lain. Daerah lain bayar pasti melalui APBD, kita tidak. Karena yang kita bangun produknya.
TI: Sasaran terakir dari semua itu, apa kira-kira yang ada dalam pikiran Anda?
JW: Solo itu Kota Karnaval dan Kota Seni Pertunjukan, goalnya ke situ saja. Kalau nanti di dalam satu tahun ada 365 hari karnaval dan pertujukan di Solo. Waktu ke Singapura kita membawa 150 penari ke sana.
TI: Kalau dari sisi kepemimpinan Solo masa depan itu adalah Solo masa lalu. Itu berarti Anda sangat berpegang kepada kearifan lokal. Apa kekuatan kearifan lokal dalam pandangan Anda?
JW: Di situ memang ada nilai-nilai yang memang budaya kita sendiri, budaya lokal. Bukan nilai-nilai import yang kita ambil dari budaya asing. Tapi memang budaya kita sendiri. Sehingga menurut saya, nilai-nilai itu akan memudahkan kita berinteraksi dengan masyarakat, sangat memudahkan sekali.
TI: Apa tantangan yang dihadapi waktu memindahkan PKL?
JW: Banyak. Mereka nggak mau dipindah, masang spanduk dan membawa bambu runcing sampai titik darah penghabisan, tapi nggak apa-apa. Diundang saja ke sini dan diajak makan. Saya ajak ngomong, “Jangan membawa bambu runcinglah Pak, mendingan kita makan aja.” Besok lagi, kita ajak makan sampai 54 kali, yang pertama.
TI: Berarti itu kesabaran?
JW: Bukan kesabaran, biasa saja. Hanya kita menemani PKL, itu saja. Ini cara-cara intervensi sosial yang tidak dilakukan, padahal itu murah. Coba lihat kayak Tragedi Priok, habis 11 miliar dan nggak menyelesaikan masalah.
TI: Tapi kan tidak semua aspirasi yang ditampung bisa dilaksanakan?
JW: Iya, tidak semua. Tapi ditampung saja sudah menyelesaikan 80% persoalan. Nggak dilaksanakan, sudah 80 persen terlaksana. Karena apa? Masukan-masukan sudah ditampung, ini masalah komunikasi. Kemudian setiap Jumat kita bersepeda ke kampung yang ada persoalan, itu menyelesaikan masalah. Ada sampah di kampung-kampung, nanti Jumat ke sana bareng-bareng kepala dinas, selesaikan.
TI: Sebetulnya wong kewong itu kategorinya seperti apa?
JW: Sebetulnya filosofi leadership yang paling tinggi itu adalah tepo seliro, wong ke wong. Artinya kita jangan berbicara seperti ini, kamu siapa, kamu siapa. Tidak, kita tidak pernah bicara seperti itu. Filosofi Jawa tertinggi leadership menurut saya tepo seliro, yaitu wong kewong. Yang makan bersama di ruangan ini (rumah dinas Walikota Solo) PKL semua. Kita nggak pernah membedakan dan itu leadership tertinggi yang saya tahu itu adalah tepo seliro. Artinya kamu jangan memusuhi orang kalau nggak mau dimusuhi. Kamu jangan mencubit kalau tidak ingin dicubit.
TI: Kami juga banyak melihat bahwa banyak yang belajar ke Solo untuk menangani PKL?
JW: Sekarang Solo menjadi pusatnya training PKL dan Pasar Tradisional se-Asia Pasifik. Thailand pernah belajar di sini selama dua minggu. Vietnam pernah ke sini, dua minggu juga. Kamboja juga pernah ke sini, juga sama. Mungkin sebentar lagi, Tatmandu, Pakistan.
TI: Dari dalam negeri?
JW: Tiap hari ada empat sampai enam bis setiap hari. Bapak lihat itu di walikota itu, kayak tempat bisnis saja. Nggak tahu mereka di daerahnya (apa) diterapkan,(atau) itu hanya piknik.
TI: Kalau yang kami tangkap dari langkah-langkah pembangunan selama ini, pembangunan banyak dititikberatkan pada bidang parawisata?
JW: Nggak. Konsentrasi APBD kita yang banyak adalah untuk yang tidak mampu, apapun, hampir 80 persen ada di situ. Alokasi untuk kesehatan dulu 1,4 M sekarang 23 M. Kemudian untuk pendidikan ini, dulu 3,4 M, sekarang kita harus keluar dana 22 M untuk pendidikan. Kemudian untuk pasar, selama 30 tahun tidak ada pasar yang dibangun. Sekarang 5 tahun kita telah membangun 15 pasar. Siapa yang ada di situ. Yang kecil-kecil, ada yang PKL yang di pasar dan sebagainya. Ada 23 lokasi PKL shelter pasar juga sudah kita bangun, 23 lokasi.
Kemudian pembangunan rumah tidak layak huni yang orang tidak banyak lihat karena itu dikampung-kampung semuanya. Sampai detik ini sudah ada 4.200 rumah yang dibangun. Kenapa waktu di Pilkada pertama, saya hanya dapat 37 persen ‘kan minim sekali. Karena orang ngak mengerti saya dan orang-orang hanya memilih saya, karena coba-coba saja.
Tapi pada Pilkada kedua, tanpa kampanye, mendapat 91 persen. Karena membangun prodaknya benar dianggap benar oleh masyarakat dan mungkin bisa dirasakan. “Saya tidak bisa menilai loh. Mungkin dirasakan amat sangat oleh masyarakat.” Dalam survey yang kita lakukan, kenapa memilih saya 91 persen, karena kesehatan di jamin. Kedua, pendidikan, ketiga penataan kota. Itu survey, bukan saya yang mengatakan. Jadi saya mikirnya yang simpel-simpel saja, nggak mikir sampai proyeknya gede-gede.
TI: Metodenya gimana cara membangunnya?
JW: Gotong-royong kita hanya subsidi, satu keluarga itu, dua juta. Yang lain gotong –royong, semuanya. Kalau kita pakai duit semuanya, kemungkinan kita nggak kuat. Jadi kita membelikan material-material saja, yang lain gotong-royong.
Kita beli bis seperti ini (sambil menunjuk gambar). Ini adalah bis tingkat wisata pertama di Indonesia. Kan kebangatan kalau Negara sekaya ini, nggak ada yang mampu membeli bisa tingkat. Ini dapat MURI, karena ini bis tingkat wisata pertama di Indonesia. “Kan kebangatan Negara kita. Kalau di London, Singapura, dimana-mana ada bis tingkat wisata. Di Indonesia kok ngak ada.” Sudah beli saja satu, ternyata jadi bis wisata bertingkat pertama di Indonesia.
Kemudian sebetulnya kita punya rel kereta tapi masalah ijin saja ini. Harusnya sudah bisa jalani dari Sukoharjo ke sini, nggak usah sampai Wonogiri dulu. Ini masalah tiket saja sama ada prosedur perkereta apian yang belum beres ini. Di Indonesia ini, yang kadang-kadang saya tidak kuat itu, bisa saya kerjain satu minggu harus nunggu satu tahun. Ini adalah spur-spur yang tidak dipakai kita hidupi. Ini juga masalalunya Solo.
TI: Tapi ada satu hal yang menarik dari kiprah Anda sebagai Walikota Solo, kok bisa birokrasinya mengikuti?
JW: Belum. Enampuluh persenlah, belum seratus persen. Sudah di cek ke TII (Transparency International Indonesia), nilainya masih enam. Meskipun sudah juara se-Indonesia, ada empat puluh yang belum beres.
TI: APBD Kota Solo sekarang berapa?
JW: APBD Solo, 1, 3 triliun. Kecil bangat sama dengan daerah yang lain lah kira-kira. Tapi kita membangunnya tidak pakai APBD. Wong, perputaran uang di Solo, itu 15, 2 triliun sedangkan APBD kita hanya 1 triliun, hanya 6 persen. Nggak pengaruh sama sekali, dinamika kota.
TI: Jadi hanya motivasi saja dari pemerintah?
JW: Iya, hanya memberikan motivasi. Menginovasi budget agar memotivasi masyarakat. Tapi duitnya yang banyak tetap ada di masyarakat. Sembilan puluh lima persen duitnya masyarakat. Itu yang kadang-kadang, kalau tidak mengerti manajemen pergerakan ekonomi, kita bisa tahu. Wawancara TokohIndonesia.com | rbh