Ibu Teater Koma
Ratna Riantiarno
[ENSIKLOPEDI] Bersama suaminya, Ratna Riantiarno mempopulerkan seni teater lewat Teater Koma yang mereka dirikan di tahun 70-an. Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1996-2003) ini juga melakoni peran sebagai aktris film layar lebar dan mengelola berbagai festival seni-pertunjukan baik itu teater, tari, maupun musik, berskala nasional dan internasional.
Perempuan kelahiran Manado, 23 April 1952 dengan nama Ratna Madjid ini telah menunjukkan kecintaannya pada dunia seni sejak duduk di bangku SD. Pilihan pertamanya saat mulai berkecimpung di bidang kesenian jatuh pada tari Bali. Guru tari pertamanya bernama I Wayan Supartha. Tari Chandra Mettu menjadi tari Bali yang pertama dikuasainya.
Setelah dirasa cukup mahir, Ratna mulai tampil di berbagai acara guna memperkenalkan kesenian Indonesia. Juara I Tari Bali se-DKI Jakarta ini kemudian mendirikan kelompok tari Saraswati bersama beberapa kawannya dari Direktorat Kesenian. Pada 1970, ketika Taman Ismail Marzuki (TIM) diresmikan, ia berkesempatan menjadi salah satu penari dalam acara tersebut. Pengalaman yang paling mengesankan baginya sebagai penari adalah saat ia mendapat kehormatan untuk tampil di depan PM India, Indhira Gandhi, yang sedang melawat ke Jakarta. Ratna bahkan didapuk menjadi penari utama yang menghibur Richard Nixon saat tokoh dari Amerika Serikat itu bertandang ke Jakarta. Pada kesempatan lain, lewat tarian pula, ia ikut dalam rombongan misi kesenian Indonesia ke berbagai negara seperti Amerika, Perancis, Jepang, Hongkong dan Singapura.
Perkenalannya pada dunia seni peran khususnya teater dimulai secara tak sengaja saat ia menyaksikan penampilan Teater Kecil pimpinan Arifin C. Noer. Ratna yang ketika itu mulai beranjak remaja begitu terpukau melihat keunikan seni teater terutama totalitas para pemainnya saat memainkan berbagai karakter. Dari situlah Ratna mulai tertarik untuk ikut serta belajar seni teater. Orangtuanya sendiri sebenarnya kurang menyetujui pilihan anak ke-4 dari 9 bersaudara itu. Kendati demikian, Ratna gigih mempertahankan keinginannya karena sudah terlanjur jatuh cinta pada teater. Sadar tidak mendapat dukungan, Ratna kemudian berusaha hidup mandiri dengan bekerja sebagai sales otomotif di Toyota Astra. Semua itu ia lakukan agar dapat terus menekuni hobi berkeseniannya tanpa membebani orangtua.
Pada tahun 1969, ia bergabung dengan sanggar Teater Kecil. Di sanggar tersebut, Ratna terus mengasah kemampuannya dengan terlibat dalam sejumlah pementasan yakni Kapai Kapai, Mega-Mega, Madekur Tarkeni, Kocak-Kacik, serta Sumur Tanpa Dasar. Judul yang terakhir disebutkan bahkan ditampilkan dalam ajang KIAS (Kesenian Indonesia di Amerika Serikat) pada tahun 1992.
Sejak mendirikan Teater Koma, Ratna telah memainkan berbagai lakon karya penulis drama dan sutradara N. Riantiarno, yang kemudian menjadi suaminya pada 1978, antara lain Rumah Kertas, Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Kala, Republik Bagong, Presiden Burung-Burung, Republik Togog dan Maaf.Maaf.Maaf. Ia juga pernah memainkan peran penting dari karya para penulis drama kelas dunia, seperti Orang Kaya Baru dan Tartuffe/Moliere, Perang Troya Tidak Akan Meletus/Jean Girodoux, Teroris/Jean Paul Sartre, Brown Yang Agung/Euegene O’Neill, Exit The King dan Makbeth/Eugene Ionesco, The Threepenny Opera dan The Good Person of Szechwan/Bertolt Brecht, The Crucible/Arthur Miller, Romeo Juliet/William Shakespeare dan Women in Parliament/Aristophanes.
Panggung teater bukan hanya wadah bagi Ratna menyalurkan bakat seninya, namun juga mempertemukan Ratna dengan jodohnya, Norbertus “Nano” Riantiarno yang saat itu merupakan anggota kelompok teater Teguh Karya.
Ratna sempat bermukim di Amerika Serikat menjadi penari Bali pada sebuah restoran Indonesia di New York pada tahun 1975. Saat itulah ia diperhadapkan dengan dua pilihan apakah seni tari atau seni peran. Dengan dukungan sang suami, Ratna kemudian mantap mengabdikan hidupnya di dunia seni peran.
Memasuki tahun 70-an, industri perfilman nasional mulai berkembang. Mereka yang awalnya berkecimpung di teater mulai melirik dunia film. Jagad teater Tanah Air pun mulai lesu. Ratna dan Nano tak hanya duduk berpangku tangan melihat panggung teater sepi ditinggalkan satu per satu senimannya. Pada 1 Maret 1977, keduanya kemudian memberanikan diri mendirikan Teater Koma. Kata “koma” mengandung harapan filosofis yakni tak akan pernah berhenti. Bukan hanya sekadar nama, Ratna selaku pendiri juga bertekad menjaga eksistensi Teater Koma dengan berusaha menggelar pertunjukan setidaknya dua kali dalam setahun. Sebuah keinginan yang sederhana namun terbilang sulit diwujudkan mengingat animo masyarakat Indonesia pada seni teater yang masih rendah.
Sejak mendirikan Teater Koma, Ratna telah memainkan berbagai lakon karya penulis drama dan sutradara N. Riantiarno, yang kemudian menjadi suaminya pada 1978, antara lain Rumah Kertas, Bom Waktu, Opera Kecoa, Opera Primadona, Sampek Engtay, Konglomerat Burisrawa, Suksesi, Kala, Republik Bagong, Presiden Burung-Burung, Republik Togog dan Maaf.Maaf.Maaf. Ia juga pernah memainkan peran penting dari karya para penulis drama kelas dunia, seperti Orang Kaya Baru dan Tartuffe/Moliere, Perang Troya Tidak Akan Meletus/Jean Girodoux, Teroris/Jean Paul Sartre, Brown Yang Agung/Euegene O’Neill, Exit The King dan Makbeth/Eugene Ionesco, The Threepenny Opera dan The Good Person of Szechwan/Bertolt Brecht, The Crucible/Arthur Miller, Romeo Juliet/William Shakespeare dan Women in Parliament/Aristophanes. Di dalam kelompok Teater Koma, Ratna berperan sebagai manajer grup sekaligus ‘ibu’ yang penuh perhatian kepada para anggota.
Di mata Ratna, teater bukan hanya tempat berkreasi namun juga dapat menghidupi orang-orang yang berkecimpung di dalamnya. Bahkan seni teater pun tak hanya diminati untuk ditonton melainkan juga menjadi salah satu pelajaran di sekolah-sekolah. Sayangnya, minat orang Indonesia untuk menonton teater masih jauh tertinggal dibanding negara-negara lain. Sekadar membandingkan, tiket pertunjukan teater di Jakarta hanya berkisar ratusan ribu sementara di luar negeri harganya bisa mencapai jutaan. Mahalnya tiket tak menyurutkan antusiasme masyarakat di luar negeri, mereka bahkan tak segan menabung hanya untuk membeli tiket teater.
Karena sepi peminat, penonton Indonesia menjadi kurang menghargai seni teater. Akibatnya para pekerja teater pun tak bisa mengandalkan hidupnya hanya dengan berteater saja. Namun, hal itu tak menjadi halangan buat Ratna. Ia tetap tekun merintis dan membangun kecintaan masyarakat Indonesia terutama para generasi muda pada teater.
Meski teater kurang mendapat tempat di Tanah Air, Ratna tetap mendapat dukungan dari negara asing. Seperti pada 1997, ia mendapat kesempatan berkeliling Jepang atas undangan Japan Foundation. Tiga tahun setelah itu, ia memperoleh grant dari Pemerintah Amerika Serikat untuk kunjungan budaya selama sebulan dalam program bertajuk The Role of Theatre in US Society.
Ratna juga mencoba berbagai terobosan agar bisa membesarkan Teater Koma, dari penawaran tiket door to door sampai pengelolaan manajemen yang penuh disiplin. Selain itu, segala hal yang berhubungan dengan pertunjukan teaternya juga dibenahi. Harapannya, agar orang-orang yang menonton Teater Koma seperti melihat kado dengan kemasan yang menarik. Hubungan antara seni, penonton dan pihak sponsor, juga mulai ia jalin. Hingga pada akhirnya, Ratna memetik buah kerja kerasnya saat Teater Koma mulai mendapat pengakuan sebagai grup teater yang amat populer di Indonesia.
Jika pementasan pertama Teater Koma Rumah Kertas karya N. Riantiarno hanya berlangsung tiga hari, maka Opera Julini yang digelar di Graha Bhakti TIM pada 1986 mampu memecahkan rekor sebagai pertunjukan teater terlama dalam sejarah teater modern di Indonesia, yakni 23 hari dan mampu menyedot 16.500 penonton.
Pencapaiannya itu membuat Ratna mendapat kepercayaan untuk mengelola berbagai festival seni-pertunjukan baik itu teater, tari, maupun musik, berskala nasional dan internasional. Ia ikut mengelola Pertemuan Sastrawan Nusantara di Padang, Festival Teater Indonesia di Solo dan Yogyakarta, dan Musyawarah Dewan-Dewan Kesenian se-Indonesia di Medan dan Makassar.
Penyelenggaraan Art Summit Indonesia (Festival Seni Pertunjukan Kontemporer Internasional) yang digelar sejak awal tahun 1998 juga tak lepas dari tangan dinginnya. Kontribusi Ratna juga terlihat dalam berbagai kolaborasi seni pentas, antara lain PRISM, yang mementaskan hasil kolaborasinya di Tokyo, Bangkok, Kuala Lumpur, Singapura, Manila dan Jakarta. Ratna juga menjadi salah satu pengelola Kolaborasi Forum Sutradara Muda Asia, yang hasil eksplorasinya dipentaskan di Tokyo dan kota-kota lain di Asia.
Di tahun 2002, perannya kian dirasa penting setelah diangkat menjadi Ketua Dewan Seni. Ratna kemudian membuat sebuah organisasi yang didukung oleh Ford Foundation bernama Apresiasi Seni Pertunjukan. Organisasi tersebut mempunyai tujuan idealis yaitu memperkenalkan seni ke generasi muda. Tujuan yang tak terlampau muluk namun penuh rintangan karena kerap menghadapi berbagai penolakan. Namun semangat Ratna tak rontok begitu saja, kesabaran dan keseriusannya pun mulai menampakkan hasil. Generasi muda yang awalnya merasa tak peduli dengan kesenian secara perlahan mulai menunjukkan minatnya.
Respon yang kian positif itu tentunya membuahkan kebahagiaan di hati Ratna. Menurut ibu tiga anak ini, para generasi muda juga dapat belajar berorganisasi lewat teater. Itu dimulai dari hal-hal kecil soal teknis panggung, penyuguhan acara, hingga pertunjukan dimulai dan mendapat apresiasi penonton. Apresiasi seni, itulah kiranya yang diusahakan oleh mantan asisten kehumasan Majalah Pertiwi itu. Ia berusaha agar semakin banyak orang, tidak hanya menjadi penikmat tetapi juga menjadi pelakon seni.
Sebenarnya, teater bukan satu-satunya tempat bagi Ratna untuk menyalurkan bakat aktingnya. Sejak tahun 70-an, ia juga ikut terjun sebagai pemain film namun tidak sepenuhnya meninggalkan dunia teater. Debutnya sebagai aktris film layar lebar dimulai di tahun 1977 lewat film Jakarta-Jakarta yang kemudian dilanjutkan Akibat Buah Terlarang, Jangan Ambil Nyawaku, Petualang-Petualang, Jakarta 66, Opera Jakarta, Petualangan Sherina, Brownies, hingga film bergenre horror Suster N. Di era 90-an, saat perfilman Tanah Air mati suri, seperti kebanyakan aktris lainnya, Ratna pun mulai membintangi sinetron, antara lain Pondok Pak Jon, Janji Mentari, Layang-Layang, Serpihan Mutiara Retak, dan Ali Topan Anak Jalanan. muli, red