Sutradara Horor Kontemporer
Rizal Mantovani
[SELEBRITI] Selain dikenal sebagai sutradara video klip yang paling dicari, pria yang masuk dalam industri film sejak 1992 ini adalah sutradara yang banyak memproduksi film horor. Dimulai dengan film horor berjudul Jelangkung yang berhasil masuk dalam jajaran box office pada 2001. Kemudian disusul dengan ‘Kuntilanak Trilogi’ dimana ia berhasil meraih penghargaan sebagai sutradara terbaik dalam Bali International Film Festival untuk film Kuntilanak 3.
Rizal Mantovani lahir di Jakarta pada 12 Agustus 1967 dari pasangan Mohamad Saleh dan Widji Andarini. Rizal kerap bermukim di luar negeri, mulai dari Yugoslavia, Iran, Colombo, hingga Srilangka karena profesi sang ayah yang bekerja sebagai diplomat. Saat tinggal di Srilangka sekitar tahun 1983, Rizal yang kala itu masih tercatat sebagai siswa kelas 2 SMA Overseas Children’s School Colombo mulai berkenalan dengan video musik.
Saat itu temannya, Eddy Setiawan, memiliki kamera home video merk Sony keluaran terbaru. Karena sama-sama mengidolakan Duran-Duran, muncul keinginan membuat video musik. Kebetulan salah satu video musik Duran-Duran berlokasi di Srilanka, jadi lokasinya sama. Ada dua lagu Duran-Duran yang mereka garap yaitu Lonely in Your Nightmare dan Hungry Like The Wolf. Aksi mereka yang cuma berjalan-jalan direkam dalam pita kaset Betamax. Setelah selesai, mereka mengeditnya secara manual dari VHS ke VHS.
Setelah lulus SMA, Rizal yang dari kecil hobi menggambar ini diboyong kembali ke Tanah Air dan meneruskan pendidikannya di Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Trisakti, Jakarta. Alasan bungsu dari lima bersaudara itu memilih jurusan arsitektur karena saat itu ia berpikir bagaimana caranya memperoleh uang dengan menggambar. Memasuki semester dua, ayahnya yang berperan sebagai tulang punggung keluarga meninggal dunia. Mau tak mau, Rizal harus memutar otak untuk membiayai kuliahnya.
Ia kemudian mengerjakan poster-poster komikal di toko komik DEHA di kawasan Pondok Indah. Pada tahun 1991, Edward Buntario, art director di Creative Concepts, sebuah perusahaan periklanan di Jakarta, tertarik dengan poster-poster buatannya. Edward kemudian mengenalkan Rizal kepada Richard Buntario yang akhirnya mengajak Rizal bergabung. Rizal bertugas membuat story board untuk keperluan iklan di Creative Concepts. Sejak saat itu, Rizal mengaku benar-benar jatuh cinta dengan dunia advertising.
Setahun kemudian, Rizal bergabung dengan Broadcast Design Indonesia (BDI) yang didirikan oleh Richard. Selain membuat iklan, BDI juga membuat acara televisi. Rizal akhirnya menjadi asisten Richard dan dilibatkan dalam penggarapan Bursa Komedi untuk RCTI. Ketika itu Rizal dikenal sebagai pribadi yang cerewet dan banyak bertanya dan belajar tentang peralatan dan sebagainya.
Berbekal pengalamannya menggarap acara TV, Rizal kemudian mencoba menggarap video musik. Sumber inspirasinya pun bermacam-macam, selain dari lingkungan sekitar, juga dari pengalaman sendiri, film, buku dan majalah. Untuk satu video klip dibutuhkan waktu sekitar tiga minggu dengan biaya variatif.
Menurut Rizal, video musik di masa itu (tahun 1990-an) amat membosankan dan kurang berwarna. Tawaran pertama datang untuk membuat video musik dangdut Suka-Sukaku yang dinyanyikan Helvy Mariyand. Setelah itu, Rizal mulai kebanjiran tawaran. Indrawati Widjaja, selaku direktur produksi Musica Studio kemudian menawarkan pembuatan video musik rapper Iwa K berjudul Kuingin Kembali. Ketika ditayangkan, video musik ini dianggap sebuah terobosan baru dalam industri musik Indonesia.
Sejak itu, BDI menerima banyak permintaan untuk membuat video musik yang dikerjakan Richard bersama Rizal sebagai asisten. Kerja sama itu berbuah manis. Keduanya meraih gelar sutradara terbaik dalam ajang Video Musik Indonesia 1995 pada acara perdananya melalui video musik Cuma Khayalan milik Oppie Andaresta. Duo ini semakin berkibar ketika meraih MTV Asia Viewers Choice Award dalam ajang MTV Music Awards pada 1995 berkat video musik Sambutlah yang dibawakan Denada. Akan tetapi, sebetulnya tanpa alasan yang jelas, Rizal sendiri mengaku tidak suka dengan penghargaan seperti itu.
Pada tahun 1996, Rizal hengkang dari BDI dan mendirikan Avant Garde Productions bersama rekan-rekannya. Selain tetap menggarap video musik, ia juga menciptakan sekaligus menyutradarai serial komedi situasi berjudul Satu Atap dan Gen-X, keduanya tayang di AnTV.
Tahun 1998, ia mulai merambah film layar lebar. Ia bekerja sama dengan Mira Lesmana, Nan T Achnas, dan Riri Riza, Rizal menggarap film Kuldesak. Film yang dibintangi Sophia Latjuba dan almarhum Ryan Hidayat itu mampu mengobati kerinduan publik terhadap film Indonesia, yang makin sepi karena aturan pembuatan yang ketat dan biaya produksi yang mahal. Film ini juga dinominasikan untuk mendapat Silver Screen Award kategori Best Asian Feature Film pada Singapore International Film Festival tahun 1999.
Saking fenomenalnya, Jelangkung bahkan masuk Variety, sebuah majalah bisnis film terbesar di Amerika. Film tersebut juga menjadi tiket Rizal untuk merambah Hollywood. Bersama Jose Purnomo, sepanjang Februari-Maret 2002, ia menawarkan konsep modernisasi horor tradisional ke beberapa produser Hollywood. Usaha mereka berhasil. Michael Bay, sutradara dan produser film Armageddon dan Pearl Harbour, menawarkan dua proyek, yaitu menggarap ulang Jelangkung menjadi The Uninvited (Yang Tak Diundang) untuk konsumsi penonton negeri Paman Sam serta pembuatan film The Well (Sumur).
Kesempatan membuat film kembali datang di tahun 2001. Di bawah bendera Rexinema, Rizal berkolaborasi dengan sutradara Jose Purnomo untuk menggarap film Jelangkung. Film bertema horor ini dikembangkan dari artikel yang pernah ditulis Rizal untuk majalah Neo. Skenario ditulisnya bersama Jose dan scriptwriter Adi Nugroho. Pembuatan film dilakukan dengan menggunakan Betacam, kamera yang biasa dipakai untuk membuat video musik.
Pertengahan Mei 2001, film selesai dibuat dan muncul keinginan untuk menayangkannya di bioskop dengan pertimbangan, film ini punya nilai sinematik yang beda dari sinetron, baik dari pendekatan visualnya maupun cara bertuturnya. Meski awalnya tak menanggapi, Studio 21 di Pondok Indah Mall akhirnya memutar film berdurasi 102 menit ini. Di luar dugaan, Jelangkung meledak di pasaran bahkan sempat bertahan lima bulan di bioskop-bioskop Jakarta. Jelangkung, menjadi film nasional pertama yang menembus pertunjukan midnight sampai 13 kali putar di Pondok Indah Mall serta film nasional pertama yang diputar di empat layar sekaligus di beberapa bioskop karena jumlah penonton yang membludak. Film yang dibintangi Marcella Zalianty dan Winky Wiryawan itu sukses menyedot satu juta penonton.
Saking fenomenalnya, Jelangkung bahkan masuk Variety, sebuah majalah bisnis film terbesar di Amerika. Film tersebut juga menjadi tiket Rizal untuk merambah Hollywood. Bersama Jose Purnomo, sepanjang Februari-Maret 2002, ia menawarkan konsep modernisasi horor tradisional ke beberapa produser Hollywood. Usaha mereka berhasil. Michael Bay, sutradara dan produser film Armageddon dan Pearl Harbour, menawarkan dua proyek, yaitu menggarap ulang Jelangkung menjadi The Uninvited (Yang Tak Diundang) untuk konsumsi penonton negeri Paman Sam serta pembuatan film The Well (Sumur).
Dua tahun setelah kesuksesan Jelangkung, pada tahun 2003, Rizal akhirnya memisahkan diri dari Avant Garde setelah sekian lama berpartner. Tak lama kemudian, Rizal mendirikan perusahaannya sendiri yang diberi label Dreamscape. Hal ini dilakukannya agar memperoleh kebebasan dalam mengembangkan ide-idenya.
Dengan kreativitasnya, Rizal kembali meramaikan industri perfilman Indonesia lewat film besutannya berjudul Jatuh Cinta Lagi di tahun 2006. Masih di tahun yang sama, Rizal kembali menggarap film horor berjudul Kuntilanak. Seperti halnya film Jelangkung, film yang dibintangi aktris pendatang baru Jullie Estelle ini mendulang sukses di pasaran. Atas dasar itu, Rizal kemudian membuat sekuelnya, Kuntilanak 2 (2007) dan Kuntilanak 3 (2008). Setelah itu ia mencoba menggarap genre drama lewat film Ada Kamu Aku Ada.
Pada tahun 2009, Rizal kembali ke ‘habitat’nya dengan merilis film horor terbarunya, Mati Suri. Sedikit berbeda dengan film-film sebelumnya, dalam film yang dibintangi mantan Puteri Indonesia Nadine Chandrawinata ini, Rizal membuat ending yang menggantung.
Di tahun yang sama, Rizal menggarap film thriller berjudul Air Terjun Pengantin. Dalam film yang dibintangi aktris cantik Tamara Bleszynski ini, ia mencoba menghadirkan ketegangan film ‘Halloween’ yang menampilkan sosok mirip karakter bertopeng, Michael Myers, pria penyebar teror yang mengalami gangguan jiwa.
Tiga tahun berselang, Rizal kembali memuaskan dahaga para penggemar film horor dengan meluncurkan film Jenglot Pantai Selatan. Film ini bisa diistilahkan sebagai tonggak metamorfosis Rizal dengan film-film sebelumnya. Disebut metamorfosis karena dalam menampilkan sosok jenglot di film ini, Rizal mengaku terinspirasi dengan film-film seperti Piranha, Jaws, Anaconda dan film-film tentang binatang buas yang menurutnya bagus dan mengerikan.
“Sebelumnya kita selalu buat hantu, pocong dan kuntilanak. Untuk itu saya ingin bermetamorfosis dalam membuat sebuah film yang hantu-hantuan ke sesuatu wujud baru yakni semi hantu dan binatang,” papar sang sutradara yang menghabiskan 2 minggu untuk syuting dan 2 bulan untuk proses editingnya.
Rizal mengubah arah pandangnya mengenai film-film monster binatang karena disesuaikan dengan apa yang ada di Indonesia. “Kalau kita bikin piranha kan orang gak banyak yang dekat, itu kan ikan asal Amazon. Jadi kita bikin jenglot yang memang dekat sama kita, sebuah monster setengah horror,” lanjut Rizal seperti dikutip dari situs kapanlagi.com. Yang menarik, selama pembuatan film ini, Rizal mengaku banyak menemui kejadian aneh. Dari 9 film horor yang dibesutnya, baru kali ini ia mengalami kejadian-kejadian seperti kesurupan.
Belakangan, Rizal memang akan memfokuskan dirinya pada film horor dan sejenisnya. “Sebelumnya nggak suka nonton film horor karena waktu kecil suka ditakut-takutin. Tapi setelah bikin film sendiri, ternyata bikin film horor itu seru dan asyik,” kata pengagum David Fincher ini. Selain seru dan asyik, ia juga merasa tertantang saat menggarap film bergenre horor sebab ia harus bisa bermain dalam atmosfir dan psikologi penontonnya. Alumni SD Yapenka yang suka baca komik ini mengaku senang jika melihat penonton ketakutan, artinya filmnya berhasil.
Meski belakangan ini banyak kalangan yang menyangkutpautkan membanjirnya film horor dengan merosotnya jumlah penonton yang sudah mulai jenuh, Rizal mengaku kurang sependapat. “Menurut saya di seluruh dunia itu pasti ada produksi film horor setiap bulan. Banyak sekali faktor yang menyebabkan penonton turun, tapi saya nggak bisa memastikan kenapanya. Sebagai seniman saya hanya bisa melakukan yang terbaik,” ujar sutradara yang masih hidup melajang itu. eti | muli, red