Technopreneur di Balik Xirka

Sylvia W Sumarlin
 
0
980
Sylvia W Sumarlin
Sylvia W Sumarlin | Tokoh.ID

[DIREKTORI] Setelah sukses membesarkan sebuah perusahaan penyedia jasa Internet, Ketua Komisi Tetap Bidang Teknologi Informasi Kamar Dagang Industri (Kadin) ini merintis usaha pembuatan chipset dan perangkat Broadband Wireless Access (BWA) dengan nama dagang Xirka yang disebut-sebut sebagai pionir chipset BWA di Indonesia bahkan di Asia Tenggara.

Bila kita bicara Xirka, sejumlah nama akan mengemuka. Salah satunya adalah Sylvia W Sumarlin, Direktur Utama PT Dama Persada yang pernah menjadi Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) periode 2006-2009. Bersama suaminya, Rudi Hari, ia merintis bisnis chipset WiMax di Indonesia. Mereka menggandeng tim peneliti Indonesia di antaranya Trio Adiono dan Eko Fajar Nurprasetyo. Trio Adiono berasal dari ITB memiliki pengalaman bekerja di Chip Design House di Fukuoka, Jepang. Sedangkan Eko Fajar Nurprasetyo, penerima BJ Habibie Technology Award 2010 yang sejak tahun 2001 sudah malang melintang berkarir di SONY LSI Jepang hingga tahun 2006.

Lewat kolaborasi mereka itu, pada 2008, lahirlah Xirka chipset yang menjadi kebanggaan Indonesia. Pasalnya, Xirka yang merupakan plesetan dari kata circle atau lingkaran ini mendapatkan pengakuan dari WIMAX Forum dan posisi PT Dama Persada sebagai principal member of WIMAX Forum menjadikannya produsen chipset ke delapan di dunia. Principal member adalah perusahaan-perusahaan atau vendor yang berkecimpung di bidang manufacturing WIMAX ataupun menjadi distributor WIMAX. Selain itu, Xirka juga meraih juara dalam Asia Pacific Information Communication Technology Award (APICTA) 2008 karena kemampuannya untuk menggabungkan antara inovasi teknologi dengan business plan serta potensi pasar di pasaran.

Sekadar informasi, WIMAX (Worldwide Interoperability for Microwave Access) merupakan teknologi akses nirkabel pita lebar (broadband wireless access/BWA) yang memiliki kecepatan akses yang tinggi (sampai 70 MBps) dengan jangkauan yang lebih luas dibandingkan teknologi Wi-Fi hingga mencapai 40 km. WiMAX merupakan evolusi dari teknologi BWA sebelumnya dengan fitur-fitur yang lebih menarik.

Dalam perjalanannya, Xirka ternyata tidak hanya berkutat di teknologi WiMax, tetapi juga mengembangkan desain chipset perangkat elektronik lainnya. Kendati begitu, fokus bisnisnya tetap sebagai penyedia chipset WiMax, baik berbasis standar teknologi 16d maupun 16e. Bahkan, Xirka sudah mengekspor produknya ke Jepang dan Malaysia.

Pada akhir 2010, Xirka mendapatkan tender proyek dari Mimos untuk produk Mimos Wiwi Outdoor Access Point-Going Global yang menggunakan standar 16e di Malaysia. Perangkat yang dikeluarkan Mimos ini dipakai untuk pelayanan publik, seperti pertanian, pendidikan dan transportasi. Mimos sendiri merupakan badan riset di bawah Kementerian Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi Malaysia. Sebelum bermitra dengan Mimos, Xirka juga berhasil menggandeng Huawei. Raksasa industri teknologi informasi dari Cina itu berkomitmen membenamkan dana 70 juta dolar AS untuk mengembangkan perangkat bersama Xirka.

***

Sebelum terjun mengembangkan bisnis chipset WiMax di Indonesia, Sylvia Sumarlin berkecimpung di bidang internet service protocol (ISP). Peraih dua gelar master (dual master), Hubungan Internasional dan Ekonomi, Syracuse University, Amerika Serikat, ini juga merupakan salah satu sosok yang berjasa memperjuangkan teknologi internet agar semakin terjangkau masyarakat luas.

Ia memulainya dengan melaksanakan pelatihan internet bagi guru-guru SD, SMP, SMA sejak tahun 1996. Kegiatan itu diselenggarakan di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Selain itu, ibu dua anak ini juga melakukan pemberdayaan masyarakat daerah terpencil dalam mengakses internet murah sejak tahun 2001 dan memberikan pelatihan teknologi dan informasi kepada remaja usia SMP-SMA.

Sangat menarik untuk mengetahui bagaimana wanita kelahiran Jakarta 19 November 1963 ini terjun ke dunia teknologi informasi (IT) padahal latar belakang pendidikannya adalah ilmu ekonomi.

Advertisement

Mengenai hal itu, Regional Director WIMAX FORUM Indonesia ini mengaku, profesi yang ditekuninya tidak ada hubungannya dengan kuliah yang dia ambil. Tapi kalaupun dia masuk dunia IT, itu juga menurutnya bukanlah kebetulan.

Sebab sejak kanak-kanak, saat mengikuti orangtuanya yang kuliah di Pittsburg, Pensylvania, ia sudah mengenal dunia IT. Khusus teknologi internet, dia mengaku sudah menyenanginya sejak kuliah di Negeri Paman Sam itu. Kebetulan, pacarnya yang kini menjadi suaminya, Rudy Hari, juga maniak Internet. Ketika itu, internet memperlancar komunikasi di antara keduanya sekaligus membantu studi mereka.

Berawal dari kesamaan hobi dengan suami, ditambah dengan adanya pengalaman pernah bekerja di Hewlett Packard (HP) pada 1984, akhirnya pada tahun 1995, Sylvia dan suaminya memulai bisnis di bidang internet dengan mendirikan PT Dyviacom Intrabumi yang biasa disingkat dengan D-Net, perusahaan yang menjadi cikal bakal PT. Core Mediatech. Kemudian pada tahun 1999, Sylvia dan suaminya mendirikan PT Dama Persada, perusahaan riset dan pengembangan IT dimana ia menjadi direktur utama hingga sekarang.

Saat itu, D-Net berkembang pesat dan pelanggannya terus bertambah, sedikitnya ada seribuan pelanggan korporat dan 25.000-an pelanggan perorangan. Pada tahun 2000, di antara perusahaan sejenis, D-Net menjadi perusahaan penyedia layanan internet pertama yang mencatatkan diri di Bursa Efek Indonesia.

Keahlian Sylvia di dunia IT membuat dia diminta untuk membantu para wakil rakyat di Komisi I menggodok RUU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Belakangan, beberapa petinggi Partai Golkar mengajaknya bergabung. Namun, putri kedua mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin ini tidak segera menyambut ajakan tersebut.

Dalam perjalanan mengelola perusahaan itu, Sylvia mencatatkan sejarah di kalangan pengusaha jasa penyedia internet, dimana dia berhasil menggagalkan rencana pemerintah mengenakan pajak penghasilan 20 persen kepada pengusaha internet di luar pajak pertambahan nilai (PPn).

Saat itu, pemerintah hendak mengenakan pajak penghasilan 20 persen di luar PPn melalui Pajak Penghasilan 26 yang akan diberlakukan mulai 2006 dan berlaku surut dari tahun 1996. Sehingga, jika tadinya ketentuan itu berlaku, pengusaha diwajibkan membayar pajak plus denda selama 10 tahun (1996-2006) yang jumlahnya diperkirakan bisa mencapai ratusan juta rupiah. Tapi dengan dibatalkannya kebijakan itu, beban yang akan ditanggung pengguna internet itu akhirnya bisa terhindarkan.

Berkat pengalaman dan perjuangannya itu, perempuan bernama lengkap Sylvia Efi Widyantari Sumarlin ini kemudian dinobatkan teman-teman seprofesinya menjadi Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), yakni sebuah organisasi para pengusaha yang bergerak di bidang jasa internet untuk periode 2006-2009. Sylvia menjadi ketua umum organisasi yang didirikan tahun 1996 itu setelah dua tahun sebelumnya menjabat sebagai bendahara umum.

Ada beberapa pengalaman menarik saat Sylvia menjabat sebagai Ketua Umum APJII. Tsunami digital yang terjadi di Asia Tenggara menyusul gempa bumi di Taiwan, Selasa 26 Desember 2006, membuat koneksi internet di Indonesia putus total. Saat itulah, perempuan yang merupakan satu-satunya Ketua Umum APJII berlatar belakang ilmu ekonomi ini merasakan guncangan besar yang menuntut reaksi cepat untuk memulihkan layanan.

Setelah mendapat berita dari kantornya dan APJII bahwa internet lumpuh pada Rabu (27/12/2006) pagi, dia lalu memetakan mana saja yang rusak, mana yang masih bisa berfungsi, dan membahas langkah-langkah mengatasi gangguan. Ia sempat mendesak Direktorat Jenderal Postel untuk mengizinkan pemanfaatan bandwidth satelit asing. Sylvia terus memantau perkembangan hari demi hari. Untunglah, jaringan mulai bergerak pulih hingga 80 persen sejak Sabtu (30/12/06).

Dalam upaya menanggulangi penyediaan bandwidth tersebut, di samping melobi berbagai pihak, Sylvia juga harus melayani telepon dan wawancara media. Kejadian itulah yang kemudian banyak memperkenalkan dia dan asosiasi yang dipimpinnya kepada publik. Selain mengatasi hal-hal seperti itu, Sylvia juga telah menyelesaikan pekerjaan menyangkut pengelolaan nama domain Indonesia dan membangun Indonesia Internet Exchange (IIX) di Gedung Cyber.

Keahlian Sylvia di dunia IT membuat dia diminta untuk membantu para wakil rakyat di Komisi I menggodok RUU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Belakangan, beberapa petinggi Partai Golkar mengajaknya bergabung. Namun, putri kedua mantan Menteri Keuangan JB Sumarlin ini tidak segera menyambut ajakan tersebut. Akhirnya, dia menyadari, pengetahuan luas dan pengalaman prima pada akhirnya haruslah bermanfaat bagi bangsa. Maka ketika Partai Golkar mengusungnya menjadi calon legislatif (caleg) DPR-RI nomor urut 3 Dapil Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Kepulauan Seribu, Sylvia tidak menampik.

Saat itu menurutnya, maju sebagai anggota DPR bukanlah untuk meningkatkan status sosial, apalagi untuk mengejar gaji anggota DPR. Ia ingin membuat kebijakan yang lebih ramah IT seandainya tidak gagal duduk di parlemen.

Baginya, teknologi informasi (IT) adalah kunci untuk memajukan dunia pendidikan Indonesia. Penguasaan terhadap IT adalah gerbang memasuki masa depan yang lebih baik dan juga modal bangsa untuk bersaing di era globalisasi.

Namun, sebagai orang yang sudah lama berkecimpung di dunia IT, dia merasa kebijakan yang dibuat Pemerintah Indonesia belum terlalu mendukung kemajuan tersebut. Pemerintah, kata Sylvia, kurang memiliki keberanian berinovasi untuk memajukan IT. Kebijakan yang dibuat pun terkadang masih memberatkan perkembangan IT.

Mengenai kemampuan anak Indonesia sendiri dalam menerima dan memahami teknologi, misalnya, menurut Sylvia sudah bisa diandalkan. “Saya pernah dua kali menjadi juri internasional untuk kompetisi perangkat lunak. Ternyata, orang Indonesia itu hebat. Mereka sering menjadi juara. Tapi sayang, penemuan mereka tidak ditindaklanjuti dengan pengembangan yang bisa dinikmati masyarakat. Dua tahun lalu, salah satu peserta Indonesia juara dua. Buat saya, mereka hebat bisa membuat suatu aplikasi di bentara yang begitu canggih. Harapan saya pemerintah mengembangkan dan menggunakan aplikasinya. Ternyata tidak. Malah negara Timur Tengah yang menggunakannya untuk dikembangkan di sana,” ujarnya suatu ketika pada tahun 2008.

Selain dikenal sebagai pengusaha di dunia IT, Sylvia juga dikenal sebagai sosok yang senantiasa berusaha melestarikan budaya Jawa seperti tari Jawa dan ketoprak. Beberapa tahun lalu misalnya, Menkominfo M Nuh pernah mengajaknya bermain ketoprak. Bersama Paguyuban Puspo Budoyo pimpinan Luluk Sumiarso (Dirjen Migas ESDM), Sylvia sudah dua kali ikut pementasan. Dalam pentas ketoprak, Sylvia mengaku pernah memerankan Banowati, isteri Kresna, dan Sembodro, isteri Arjuna dalam Epik Mahabarata.

Sedangkan untuk membudayakan bahasa ‘ibu’-nya, ia mengajar anak-anaknya agar bisa berbahasa Jawa. “Bahasa Jawa tetap saya ajarkan karena Ibu masih menggunakan bahasa Jawa kental,” kata Sylvia suatu kali.

Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, Sylvia juga masih menganut budaya ke-Timuran. Wanita yang suka membaca buku tentang filosofi hidup ini menunjukkannya melalui perilakunya kepada anak-anak, suami, maupun pada orang tuanya. Sebagai contoh, meski disibukkan dengan berbagai kegiatan, ia tetap berusaha merawat sendiri anak-anaknya. Maka ketika anak-anaknya masih balita, dia tak jarang membawa mereka ikut ke kantor. Terhadap suami, Sylvia selalu memperlakukannya sebagai kepala rumah tangga.

Kemudian terhadap orang tua, dia selalu berusaha menunjukkan kepatuhan dan penghormatannya. Terhadap ayahnya misalnya, walau mereka berseberangan dalam beberapa hal prinsip ekonomi, dia selalu menunjukkan penghormatannya. Dari sang ayah, Sylvia mengaku banyak mengambil pelajaran yang dipraktekkannya dalam kehidupannya. Salah satunya adalah hidup sederhana.

Itulah sebabnya, dia menolak tudingan orang yang menganggapnya selama ini hidup dalam kemewahan dan dimanja. Sebab kenyataannya tidaklah demikian. Sylvia mencontohkan, ketika sekolah dulu, dia sering menggunakan baju atau sepatu yang pernah digunakan kakaknya. Bukan karena mereka tidak mampu membeli baju tetapi karena ayahnya menganggap baju atau sepatu itu masih layak digunakan. e-ti | mlp

Data Singkat
Sylvia W Sumarlin, Direktur Utama PT Dama Persada-pemilik merek dagang chipset WiMax Xirka / Technopreneur di Balik Xirka | Direktori | Telematika, Teknologi Informasi, direktur, pakar

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini