
Bangso Batak menganut dua bentuk kekerabatan yakni kekeraĀbatan genealogis dan kekerabatan teritorial. Kekerabatan Genealogis yaitu kekerabatan berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal), silsilah (tarombo), marga; Kekerabatan Teritorial yaitu kekerabatan berdasarkan wilayah teritorial, luat, bius dan huta (Puak). Marga adalah kekerabatan genealogis (silsilah); Puak adalah kekerabatan teritotial (Parhundul, Dongan Sahuta). Kekerabatan genealogis dan teritorial itu adalah organ utama dari sistem kemasyarakatan Dalihan Na Tolu Paopat Sihalsihal.
Oleh Ch. Robin Simanullang
Kekerabatan Genealogis[1] ialah kekerabatan suatu kesatuan (komunitas) masyarakat yang teratur dan angĀgotanya terikat pada suatu pertalian darah atau garis keturunan ayah yang sama dari suatu leluhur (patrilineal). Dalam kekerabatan masyarakat Batak, kekerabatan genealogis tersebut adalah menurut garis keturunan ayah (patrilineal). Kekerabatan genealogis patrilineal tersebut disusun secara teratur dalam bentuk tarombo (silsilah) mulai dari generasi (grad) leluhur tertentu menjadi kelompok keturunan marga-marga. Hal mana marga-marga tersebut merupakan elemen utama dari sistem kemasyarakatan Dalihan Na Tolu (DNT).
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |



Kekerabatan Teritorial atau geologis[2] adalah kekerabatan suatu kesatuan masyarakat yang para anggotanya berdomisiĀli pada suatu wilayah, luat, bius dan huta (kampung) tertentu dan hidup teratur diikat suatu nilai dan tradisi adat tertentu di samping adanya ikatan pertalian darah langsung atau tidak langsung. Dalam kekerabatan Batak, kekerabatan geologis (teritorial) ini berwujud dalam bentuk puak (subsuku), bius dan parsahutaon, Parhundul atau Dongan Sahuta juga termasuk aleale (sahabat). Maka dalam kekerabatan Batak dikenal perumpamaan: Jonok dongan partubu, jonokan dongan parhundul. Dekat saudara seibu-bapa (genealogis patrilineal), lebih dekat saudara/teman sekampung (geologis, teritorial).
Kekerabatan teritorial inilah yang kemudian melahirkan peĀngelompokan puak-puak atau subsuku Bangso Batak. Jadi puak atau subsuku Bangso Batak adalah kekerabatan Dalihan Na Tolu yang dianut orang-orang dari berbagai kelompok marga yang menetap di suatu wilayah (luat) tertentu, yakniĀ yang menetap di daerah Toba disebut Batak Toba; yang meneĀtap di daerah Angkola disebut Batak Angkola; yang di daerah Mandailing disebut Batak Mandailing; yang di daeĀrah Simanlungun disebut Batak Simalungun, yang di daerah Pakpak-Dairi disebut Batak Pakpak Dairi; dan yang di Tanah Karo disebut Batak Karo.
Jadi adanya pendapat bahwa Batak Toba sebagai induk dari semua puak Batak[3] adalah penyebutan yang kurang tepat.Ā Sebab Batak Toba adalah kekerabatan teritorial yakni orang-orang Batak yang tinggal di Toba. Penyebutan yang lebih tepat sesuai Mitologi Batak bahwa Batak adalah induk semua marga-marga Batak yang menyebar di wilayah Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun, Pakpak-Dairi dan Tanah Karo, bahkan Gayo, Alas dan Nias. Semua marga-marga Batak yang berdomisili di setiap wilayah itu berproses dengan tradisi tata laksana adat Dalihan Na Tolu dan dialek bahasa (aksara) Batak dengan variasi (ciri khas) masing-masing. Variasi (ciri khas) tata laksana adat DNT dan bahasa Batak tersebut mengelompokkan diri dalam sistem kekerabatan teritorial yang penyebutannya (penamaannya) sesuai dengan nama teritorial (luat atau wilayah) masing-masing. Pada awal pengelompokan dan penyebutannya adalah variasi tata laksana adat Batak dan dialek bahasa Batak di wilayah teritorial masing-masing.
Jadi Batak Toba bukan induk semua (marga) Batak, melainkan Batak Toba adalah salah satu bagian dari (puak) Batak yang terdiri dari lima[4] puak atau subsuku (teritorial) yakniĀ Batak yang tinggal di Toba, Angkola-Mandailing, Simalungun, Pakpak-Dairi dan Karo. Walaupun, Toba adalah wilayah pusat Tanah Batak, dan beberapa ahli ethnologi, seperti Dr. Hagen dan Neumann, yang telah mempelajari Batak dalam beberapa tahun, menyebut bahwa orang-orang Batak berasal dari dataran Toba.[5] Kearifan Mitologi Batak juga mengisahkan bahwa Manisia (Batak) berasal dari keurunan Illahi yang lahir di Sianjur Mulamula, Pusuk Buhit, Danau Toba, yang kemudian berkembang dan menyebar (berdiaspora) ke seluruh Tanah Batak Raya dan berbagai penjuru dunia.
Secara khusus di Tanah Batak, berkembang dan membentuk lima komunitas adat Dalihan Na Tolu secara teritorial, dengan berbagai variasi, dialek, dan perbedaannya, yang tentu juga dipengaruhi budaya tetangga (terutama Aceh, Melayu dan Minangkabau) dan pendatang lainnya; Berbeda dengan orang Batak yang tinggal di pusat Tanah Batak (Danau Toba), yang belakangan disebut Batak Toba, yang secara etnografi mempertahankan keasliannya dalam isolasi indah selama ribuan tahun, sampai tahun 1800-an. Sehingga antar komunitas teritorial DNT Batak tersebut timbul beberapa corak, ciri khas atau variasi, dan dialek dalam tataran teknis pelaksanaan adatnya, namun tetap sama-sama memegang prinsip filosofi dan nilai-nilai ideal adat dan sistem kekerabatannya.
Joustra menarasikan hal tersebut sebagai berikut: āDalam kasus beberapa perbedaan – mungkin lebih tepat: corak yang berbeda – dalam study, sering kali ada kesamaan besar dalam kasus-kasus utama, atas dasar di mana orang Batak juga dapat dianggap sebagai kesatuan etnologi; sifat-sifat umum terutama menyangkut bidang hubungan kesukuan dan keluarga dengan segala sesuatu – dan itu sangat banyak – yang ada dalam hubungan yang dekat atau lebih jauh dengan ini, dan pada tingkat yang lebih kecil lingkaran representasi dan kebiasaan animistik.ā[6]
Joustra pun menjelaskan secara singkat tentang poin-poin utama tersebut, antara lain tautan suku atau koneksi suku, marga yang berkuasa dan Marga Boru. Joustra menjelaskan:
Tautan Marga: Seluruh orang Batak terdiri dari sejumlah besar unit silsilah, baik esensial atau imajiner, dilambangkan dengan kata marga (Toba, dll.) atau merga (Karo), yang dipahami termasuk unit suku yang begitu besar, seperti divisi silsilah yang lebih kecil. Setiap orang Batak, dari daerah mana pun, dapat, jika diminta, segera menunjukkan marga mana yang dia miliki. Garis keturunan ayah, dan itu saja, yang menentukan. Meskipun demikian, keturunan ibu juga sangat penting, terutama dalam bidang perkawinan, tetapi tidak lagi memiliki arti penting dalam silsilah. āMarga yang berkuasaā (De āregeerendeā marga), di wilayah mana pun di tanah Batak yang dimasuki, akan selalu ditemukan salah satu suku yang tinggal di sana – yang mana bergantung pada daerahnya – yang memiliki keunggulan mencolok atas yang lain, dalam arti hanya anggotanya yang memiliki hak sebagai kepala desa.
Marga Boru, yakni di antara marga yang tidak āmemerintahā di suatu wilayah tertentu, biasanya ada satu yang berarti lebih dari yang lain. Mereka yang anggota laki-lakinya menikahi putri marga yang berkuasa.[7]
Joustra telah menyentuh substansi poin-poin utama tautan atau hubungan seluruh puak Batak, yakni unsur-unsur sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu, di mana salah satu instrumen utamanya adalah marga dan pernikahan, dimana Marga Boru yakni pihak yang menikahi puteri marga lain, sebagai Hulahula, yang dipahami Joustra sebagai āMarga yang berkuasa.ā Walaupun pemahamannya belum sempurna: Bahwa tautan utama puak-puak Batak adalah sistem kekerabatan DNT, dengan instrumen kelompok marga-marga dalam perkawinan eksogami patrilineal.
Mantan Hakim Agung Dr. HP Panggabean SH, MH, KeĀtua Umum DPP Kerabat (Kerukunan Masayarakat Batak) menarasikan bahwa setiap warga Batak pada umumnya memiliki kebanggaan kultural untuk menjunjung asal-usul mereka berdasar hubungan darah (ius sanguinis) dengan dukungan hubungan-hubungan asal tempat tinggal (ius soli).[8] Sebagai ahli hukum, Panggabean menyinonimkan kekerabatan genealogis (hubungan darah, keturunan) dengan ius sanguinis dan kekerabatan teritorial dengan ius soli yang merupakan azas kewarganegaraan, untuk memperkaya pemahamannya.
HP Panggabean menyebut bahwa karakter kehidupan warga Batak mudah ditemukan di Tano Parserahan, karena kebaĀnyakan warga Batak mampu untuk terus membina komunitas parmargaon dan parsahutaon di berbagai kota di Indonesia. Masing-masing komunitas Batak itu telah terbentuk dalam berbagai organisasi kemasyarakatan karena mereka terikat pada ruhutruhut paradaton, pedoman etika kekerabatan dalam berbagai upacara adat; Dan, hal itu telah merupakan bentuk spiritual kultur Batak.[9]
Nijland (1893) dalam Schetsen uit Insulinde mengemukakan bahwa tradisi umum rakyat berbicara untuk ini, seĀperti halnya apa yang lazim dalam keluarga di wilayah selatan, Mandailing dan Angkola, menyatakan tentang silsilah keluarga mereka, yang mereka peroleh dari Toba. Pendapat yang sama juga dikemukakan ahli bahasa yang terpelajar, Dr. Neubronner van der Tuuk, dengan alasan linguistik: bahwa Toba menaklukkan wilayah Selatan (dat de Tobaās de Zuidelijke gewesten veroverden). Selain persatuan dalam bahasa, ada juga kesepakatan dalam adat dan moral. Persatuan juga muncul dalam agama (kepercayaan) sebelum kedatangan Islam.[10]
Juga sangat banyak tradisi ritual yang sama, atau mempunyai akar yang sama, di semua puak. Selain kepercayaan kepada Debata (Dibata, Naibata), juga irama dan syair tonggotonggo (doa), endeende (kidung) dan andungandung (ratapan). SepertiĀ ratapan yang di Toba, Angkola dan Mandailing disebut andungandung atau marbilangbilang, di Karo disebut bilang-bilang, di Simalungun disebut sumansuman. Andungandung atau Bilang-bilang atau Sumansuman adalah salah satu ekspresi seni ratapan etnografi Batak, semua puak. Karakter (tulisan Batak) dari ratapan tersebut diekspresikan sebagai: ācurahan kesedihan.ā Sebagaimana dikemukakan oleh JH. Neumann (1929) dalam Bilang-Bilang, bahwa bilang-bilang adalah ungkapan kesedihan, tetapi juga dokumen aksara Batak Karo, yang dituliskan di atas bambu sebagai produk sastra.[11]
Dimana penyair menuangkan perasaan duka ke dalam wujud tertentu (kemungkinan selain penyair Batak, tidak bisa dijelaskan), mereka memiliki wujud tertentu. Orang Karo-Batak menemukan bentuk ini dalam bahasa bilang-bilang, semacam lirik prosa. Tidak ada sajak di dalamnya, juga tidak ada syair tertentu, namun ada irama tertentu di dalamnya.[12]
Memang timbul berbagai variasi yang menjadi pembeda atau ciri khas setiap puak, seiring interaksi tetangga terutama di perbatasan, sehingga, antara lain, timbul perbedaan dialek bahasa. Demikian juga penuturan atau pencatatan silsilah serta pembentukan marga-marga baru yang semakin beragam dan bahkan berbeda-beda.
Di samping itu, intervensi kekuasaan penjajah dalam mengutak-atik silsilah, telah menjadi singkam mabarbar (latar belakang) makin meluasnya konflik antarmarga dan antarkampung di Tanah Batak. Sebab tarombo tersebut digunakan untuk kepentingan penjajah Belanda. Bukan untuk kepentingan kebenaran silsilah itu sendiri, atau bukan untuk kepentingan orang Batak. Belanda menganggap penting mencatat tarombo tersebut untuk mengetahui dan mengadu-domba marga-marga yang ada di satu wilayah dan kampung (huta) dan marga apa yang menjadi pendirinya (si pungka huta), serta dari antara turunan āsi pungka huta,ā tersebut siapa keturunan sulung, yang akan dijadikan Hapalo Nagari (Raja Ihutan, Kepala Negeri) dan Raja Pandua (Paidua, Kepala Kampung). Jika ada keturunan sulung yang tidak berkompromi dengan kekuasaan Belanda maka hak kesulungannya didegradasi dengan mengutak-atik silsilah. Lalu, ketika kekuasaan Belanda melalui Raja Ihutan dan Raja Pandua tersebut dipaksakan menguasai setiap wilayah dan kampung, maka terdegradasi pulalah fungsi Dalihan Na Tolu untuk mengatasi setiap permasalahan kekerabatan di tengah masyarakat adat Batak.
Beberapa turiturian Batak yang hakikatnya mengusung pesan kearifan sesuai dengan filosofi Dalihan Na Tolu (DNT), juga banyak yang dimanipulasi menjadi penuh kebencian, late, teal, dengki dan balas dendam antarbersaudara (dongan sabutuha, hulahula dan boru). Jauh bertentangan dengan nilai-nilai luhur kebatakan DNT: Manat mardonga tubu (arif bersaudara); Somba marhulahula (hormat kepada ipar dan paman); dan Elek marboru (sayang, membujuk, kepada keluarga putri).
Salah satu nilai luhur kebatakan yang sangat mendasar adalah jika ada masalah antara bersaudara (dongan tubu) harus cepat diselesaikan, tidak boleh ada dendam dan dengki. Seperti air yang ditebas, hanya sekejap terpisah, lalu dengan cepat meĀnyatu kembali, tanpa ada bekas tebasan (Tampulon aek do na mardongan sabutuha). Bersaudara, juga seperti pohon yang tumbuh berdekatan, jika ditiup angin puting-beliung akan bergesekan, tetapi saat bersamaan pasti saling menopang (Hau na jonok do marsiososan, alai laos i do marsitungkolan). Itulah prinsip nilai-nilai persaudaraan bagi orang Batak. Maka sangat mustahil pujangga leluhur Batak mengisahkan turiturian yang justru mengusung kebencian dan adu-domba antarsaudara, bertentangan dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Buku ini membawa pesan, kiranya Bangso Batak kembali ke jatidiri kekerabatannya. Kisah-kisah yang mengusung kebencian dan dendam kesumat harus disikapi dengan cerdas dan arif oleh orang Batak modern saat ini. Harus mampu menguji setiap turiturian atau sejarah apakah sesuai atau tidak deĀngan nilai-nilai luhur kebatakan yang tersimpul dalam filosofi Dalihan Na Tolu Paopat Sihalsihal (Tiga unsur kekerabatan yakni dongan tubu, hulahula dan boru, ditambah unsur keempat yakni aleale atau sahabat dan dongan sahuta atau teman sekampung).
Demikian juga halnya catatan atau pernyataan silsilah yang dibuat penjajah untuk kepentingan subjektif penjajahannya, tidak serta-merta dapat digunakan sebagai acuan kebenaran. Tetapi harus diuji dengan catatan atau turiturian yang lain. Bahkan catatan silsilah yang ditulis penjajah itu harus diasumsikan sebagai alat adu-domba Belanda untuk menguasai Tanah Batak.
Adalah kenyataan sejarah (empiris) bahwa sejak Belanda menggunakan silsilah marga sebagai alat adu-dombanya, timbullah (semakin marak) pertikaian antarkampung dan antarmarga di komunitas Batak. Bahkan pertikaian itu berurat-berakar hingga saat ini. Hampir di semua marga ada pertikaian siapa anak sulung di antara mereka. Jika mengacu pada DNT, hal ini sebenarnya akan mudah diatasi. Tetapi lantaran sejak awal sudah sarat intervensi kekuasaan penjajah maka system DNT itu tidak dapat lagi berfungsi secara efektif. Karena elemen utama sistem DNT itulah yang dicemari oleh penjajah tersebut, yakni silsilah marga (kekerabatan genealogis patrilineal) dan parsahutaon (kekerabatan teritorial).
Maka jadilah orang Batak modern yang cerdas, arif dan teguh pada jatidiri Dalihan Na Tolu. Hanya dengan prinsip Dalihan Na Tolu, seseorang pantas disebut orang Batak, yakni insan berperilaku Anak ni Raja dan Boru ni Raja. Behaviour Anak ni Raja dan Boru ni Raja itu punya impian dan prinsip primus inter pares dan/atau the chosen one. Banggalah sebagai orang Batak, sebagai suatu suku bangsa yang paling baik dan teratur sistem dan struktur kekerabatan dan kemasyarakatannya di dunia saat ini. Yakni sistem kemasyarakatan Dalihan Na Tolu yang orisinil milik orang Batak.
Cuplikan dari Buku Hita Batak A Cultural Strategy Jilid 1 Bab Lima. Selengkapnya baca dalam buku tersebut. Informasi lebih lanjut kunjungi: https://tokoh.id/buku-hita-batak/
Footnote:
[1]Ā Ā Genealogis berasal dari kata genealogi (bahasa Yunani: genea, artinya keturunan dan logos, artinya ilmu, pengetahuan). Genealogi adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Ahli genealogi menggunakan tuturan dari mulut ke mulut, catatan sejarah, analisis genetik, serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi mengenai suatu keluarga dan menunjukkan kekerabatan dan silsilah dari para anggotanya. KBBI mengartikan genealogi/geĀ·neĀ·aĀ·loĀ·gi/ /gĆ©nĆ©alogi/ n 1 garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah. Kekerabatan Genealogis ialah kekerabatan suatu kesatuan masyarakat yang teratur dan anggotanya terikat pada suatu pertalian darah atau garis keturunan yang sama dari suatu leluhur. Dalam kekerabatan masyarakat Batak, kekerabatan genealogis ini menurut garis keturunan ayah (patrilineal) yang kemudian berbentuk marga (silsilah marga). Genealogis berasal dari kata genealogi (bahasa Yunani: genea, artinya keturunan dan logos, artinya ilmu, pengetahuan). Genealogi adalah kajian tentang keluarga dan penelusuran jalur keturunan serta sejarahnya. Ahli genealogi menggunakan tuturan dari mulut ke mulut, catatan sejarah, analisis genetik, serta rekaman lain untuk mendapatkan informasi mengenai suatu keluarga dan menunjukkan kekerabatan dan silsilah dari para anggotanya. KBBI mengartikan genealogi/geĀ·neĀ·aĀ·loĀ·gi/ /gĆ©nĆ©alogi/ n 1 garis keturunan manusia dalam hubungan keluarga sedarah.
[2]Ā Ā Geologis berasal dari kata geologi (Yunani: ge-, bumi dan logos, ilmu, alasan) adalah ilmu (sains) yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses pembentukannya. Geologis artinya letak suatu wilayah berdasarkan susunan batuan yang ada dipermukaaan bumi. Atau teritorial, bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara atau komiunitas. Kekerabatan Geologis (Teritorial) adalah kekerabatan suatu kesatuan masyarakat yang para anggotanya berdomisili pada suatu wilayah dan huta (kampong) tertentu dan hidup teratur diikat suatu nilai dan tradisi adat tertentu di samping adanya ikatan pertalian darah langsung atau tidak langsung. Dalam kekerabatan Batak, kekerabatan geologis (territorial) ini berwujud dalam bentuk subsuku, bius dan parsahutaon. Geologis berasal dari kata geologi (Yunani: ge-, bumi dan logos, ilmu, alasan) adalah ilmu (sains) yang mempelajari bumi, komposisinya, struktur, sifat-sifat fisik, sejarah, dan proses pembentukannya. Geologis artinya letak suatu wilayah berdasarkan susunan batuan yang ada dipermukaaan bumi. Atau teritorial, bagian wilayah (daerah hukum) suatu negara atau komiunitas.
[3]Ā Ā Saragi, Daulat, Dr. M.Sn., Pengaruh Islamisasi Terhadap Bentuk Visual Seni Ornamen Bagas Godang Mandailing, Mudan: Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Medan, h.10-11.
[4]Ā Ā Lima Subsuku Batak: Sebagian mengelompokkannya enam atau tujuh subsuku dengan membedakan Angkola dan Mandailing serta Pakpak dan Dairi. Bahkan Batak Toba (adat Batak Toba) sebenarnya hanyalah satu pengelompokkan adat Batak di Pusat Tanah Batak yang terdiri dari adat Toba Holbung, Toba Humbang, Toba Silindung dan Toba Samosir, yang masing-masing memiliki variasi (ciri khas) masing-masing.
[5]Ā Ā Nijland, E., 1893: Schetsen uit Insulinde, Utrecht: C.H.E. Breijer, b.188.
[6]Ā Ā Joustra, M., 1926: Batakspiegel, b.10.
[7]Ā Ā Joustra, M., 1926: Batakspiegel, b.11.
[8]Ā Ā Panggabean, HP, Dr, SH, MH (2007): Pembinaan Nilai-Nilai Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu (Himpunan Karya Tulis), Bahasan Khusus: Manajemen Konflik dalam Ajaran Adat Budaya Batak Dalihan Na Tolu; Kerabat (Kerukunan Masyarakat Batak & Dian Utama, Jakarta, h.131.
[9]Ā Ā Panggabean, HP, Dr, SH, MH (2007): h.126.
[10]Ā Nijland, E., 1893: b.188-189.
[11]Ā Neumann, J.H., 1929: Bilang-bilang; in Feesbundel Deel II; Digital Library of India Item 2015.281403, b.215.
[12]Ā Neumann, J.H., 1929: Bilang-bilang; b.216.
Video Peluncuran | Video Promo | More InfoĀ | Ā Beli Buku |


