
[WAWANCARA] – NAMA Eva Riyanti Hutapea, Chief Executive Officer PT Indofood Sukses Makmur (ISM) Tbk melekat dengan perusahaan yang melahirkan produk mi, terigu, sawit, dan berbagia produk makanan lain. Dia berhasil membawa ISM mengarungi gelombang krisis moneter tahun 1997/1998. Perusahaan ini–karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang tidak diduga sebelumnya, merugi hingga Rp 1,2 triliun pada tahun 1997– berhasil meraup laba Rp 150 miliar setahun kemudian. Tahun 1999, dengan nilai penjualan Rp 8,4 triliun, laba perusahaan naik 550 persen menjadi Rp 825 miliar.
Tahun lalu nilai penjualan ISM Rp 16,5 triliun. Tidak heran sarjana akutansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (FE UI)dan lulusan Senior Executive Program Stanford University Amerika Serikat ini tidak merasa nyaman bila banyak orang seperti terbelenggu pada citra Indonesia sebagai negara miskin.
Pengajar FE UI ini justru melihat peluang berkembang dan menciptakan berbagai produk baru. Istri Deputi Gubernur Bank Indonesia Bunbunan Hutapea dan ibu dari Patricia Imelda (26), Margaret Ivana (20), dan Anastasia Emanuella (10) ini antara lain meningkatkan nilai tambah Indomie dengan memproduksi mi untuk kelompok berpenghasilan tinggi, membuat mi dengan rasa per pulau di Indoensia setelah selera provinsi (Indomie Selera Nusantara), dan Indomie Mutiara Lintas Keluarga Bahagia. Selain itu, ISM juga meniingkatkan proses branding terigu Bogasari, minyak goreng (Bimoli), makanan bayi, minuman ringan, hingga susu yang industrinya sedang dikembangkan.
Perempuan kelahiran Jakarta tanggal 26 Desember pada 51 tahun lalu dan bergabung dengan Indofood sejak tahun 1994 sebagai steering committee yang menyupervisi Indofood dan pada tahun sama diangkat sebagai CEO Indofood itu dengan optimis mengatakan, “…tidak lama lagi tanpa terasa penjualan kami bisa melampaui Rp 20 triliun.
Bagaimana Anda menembus apa yang diistilahkan bagi eksekutif perempuan di perusahaan sebagai langit-langit kaca
Barangkali karena ajaran Nenek yang mengatakan dahulukan laki-laki. Maksudnya, sebagai wanita kita dianugerahi Tuhan dengan kelebihan dan keunikan. Keunikan itu-barangkali kekurangan, ya-yang emosilah; yang datang tanpa pakai tanya langsung ngomel… Tetapi, kelebihannya juga banyak yang karena kelebihan itu saya bisa berbuat banyak. Misalnya dalam berunding saya bisa ndabeg, terus maju. Saya pikir saya perempuan, memang mereka mau apakan saya. Hal-hal seperti itu saya nikmati.
Hal lain?
Sebagai wanita, harus penuh kasih sayang. Dunia ini panas, maka fungsi saya memberi kehangatan untuk anak-anak (buah). Anak-anak betah dan dengan begitu mereka kerja dengan baik.
Hal lain, saya selalu berpikir kalau orang berbuat salah, barangkali itu karena kurang mengenal kita. Karena itu saya menetralisir dengan mendekatkan diri. Justru kalau dia bisa berubah (karena pendekatan saya) itu suatu achievement. Jadi, jangan dimusuhi, tetapi didekati. Cuma mendekatinya pakai strategi. Kalau sedang marah jangan didekati, nanti malah tambah marah.
Saya sering didorong untuk berjuang, emansipasi. Saya kurang setuju-nanti saya dimarahi lagi, tetapi saya mau bicara ini di televisi (dalam rangka Hari Kartini). Saya sering bertanya kepada diri sendiri, saya menjadi CEO karena saya perempuan atau karena saya bukan laki-laki? Jawaban saya, karena saya reputable. Lalu, saya mesti berjuang tidak? Ya harus berjuang. Berapa besar? Barangkali triple efforts dibandingkan laki-laki.
Buat saya, tanpa seorang perempuan menjadi presiden direktur, tetapi berada di rumah mendidik anak dengan baik, itu prestasi. Tentu bila sudah duduk di sini, saya akan bilang “aku mau dong perempuan jadi kepala cabang.” Tetapi, bukan sembarang perempuan.
Anda dibesarkan untuk menjadi high achiever?
Saya tidak menyebut diri saya high achiever, saya merasa biasa-biasa saja. Keluarga saya biasa-biasa saja, tetapi penuh kasih sayang. Orangtua memiliki tujuh anak, tetapi yang hidup hanya tiga sehingga kami menjadi pusat kasih sayang dan perhatian seluruh keluarga, termasuk nenek yang disiplinnya luar biasa, dan juga guru di sekolah karena orangtua dekat dengan guru.
Orangtua adalah pedagang komoditi yang tidak pernah membuat kontrak dalam berdagang, tetapi sangat menjaga janjinya. Mereka tidak pernah menuntut saya menjadi sesuatu. Hanya satu yang diminta Ibu yaitu ketika saya ingin belajar seni. Kata Ibu, saya belajar bisnis dulu, setelah itu terserah.
Selama 23 tahun menikah, kami tinggal di kompleks Bank Indonesia, tidak memilih tinggal di rumah seperti apa…
Bagaimana dengan pembagian tugas di rumah?
Terus terang, suami saya tidak senang dengan tipe ibu rumah tangga. Itu berarti memudahkan saya. Kalau saya naik pangkat, dia senang. Di ISM saya orang nomor satu setelah pemegang saham, tetapi di rumah saya tidak mau jadi yang nomor satu. Saya nomor tiga, karena anak yang paling besar jadi yang nomor satu. Sekali-sekali saya mau dong diatur, tetapi tidak urusan pekerjaan, lho! Misalnya, pakai baju ini bagus apa enggak.
Lingkungan suami saya yang Batak, sangat patriarkhat. Dalam pertemuan keluarga, saat perkawinan adat misalnya, yang laki-laki berkumpul di baris pertama, yang wanita di baris kedua. Kalau saya ikut di baris pertama, saya jadi aneh dong. Tetapi, kalau berada di tempat orang Sumatera Barat mungkin saya di baris depan, dan suami di baris belakang.
Bagaimana menoleransi perbedaan di tempat kerja?
Kadang-kadang bila omongan saya tidak ada yang menanggapi berbeda, saya merasa sepi dan timbul perasaan, “Ini benar atau tidak?” Menurut saya, justru multivoices lebih baik.
Di lain pihak, saya juga melihat bila mereka tidak bisa memberi solusi lebih baik saya harus maklum. Karena itulah saya mendapat gaji lebih besar…
Tidak ada masalah anak buah bicara, cuma saya tidak boleh terpancing emosi. Saya bicara hanya mengenai pekerjaan, tidak pernah (menjadi sesuatu yang) pribadi. Biasanya saya tidak ingat lagi anak buah saya pernah bikin salah apa.
Enggak tahu… bisa interview anak buah saya. Saya ingin tahu juga apa pendapat mereka.
Ada yang mengatakan Anda galak?
Ha, ha… Saya streng seperti kepala sekolah. Kalau saya perhatikan, pemimpin itu selalu punya dua karakter, yin dan yang. Suster Francesco Marianti OSU dari Santa Ursula dan Indira Gandhi. Suster Francesco, guru anak saya, tegas sekali, tetapi di lain pihak kehangatannya bisa menggugah perasaan orang. Ketika saya mengantar anak sekolah ke Ursula, saya lihat bagaimana kalau ada anak terlambat. Lalu, pulang sekolah anak saya juga cerita.
Ide dari bawah bisa muncul dan diterima?
Kami punya marketing forum terdiri dari 80 orang, mulai dari saya sampai tingkat supervisor, bertemu tiap Kamis. Di situ kami bicara apa saja, melontarkan ide. Misalnya membuat Warung Barokah untuk di desa, kerja sama dengan Bank Rakyat Indonesia, yang barangnya kami yang memasok.
MENJELANG wawancara dua pekan lalu, mantan Director General Instant Ramen Manufacturers Association (1999-2001), Chairman Association of Bread, Noodles and Biscuit Manufacturers, anggota Good Corporate Governance, Wakil Ketua Dewan Pengurus Lembaga Komisaris dan Direktur Indonesia, anggota Ikatan Akuntan Indonesia, dan anggota Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia ini sempat memperlihatkan koleksi lukisan di perpustakaan merangkap ruang kerjanya di Gedung Ariobimo, Jakarta Pusat. Dia juga bercerita mengenai koleksi lukisannya di Galeri Toba di lantai dasar Ariobimo.
Tahun lalu, Indofood memulai tradisi baru dengan meluncurkan Indofood Art Award yang diberikan setiap tahun. Ini penghargaan pertama yang diberikan untuk dunia seni rupa Indonesia oleh korporasi Indonesia. Penghargaan bergengsi sebelumnya diberikan perusahaan multinasional Philip Morris.
Eva juga menaruh minat pada mode dan ingin mendorong supaya kain dan kriya tradisi mendapat tempat dalam dunia mode Indonesia. Ketika itu dia mengenakan setelan blaser dan rok panjang batik dengan syal batik pula. Di Galeri Toba juga dipamerkan kain songket palembang koleksi Eva, selain sulam kerawang dari Sulawesi Utara.
Kenapa Indofood membuat art award?
Manusia dilahirkan, lalu diberi makan supaya tumbuh, kemudian diberi pendidikan supaya lebih lengkap kemampuan berpikir dan pengetahuannya juga berkembang. Saya ibaratkan Indofood sebagai pabrik makanan.
Dalam pencapaian hidup, manusia mengalami tingkatan dan ketika mencapai puncak dia memerlukan keseimbangan. Bukan semata-mata bicara soal uang, tetapi sesuatu di luar itu yang bisa menggugah perasaan. Saya kira seni bisa menggugah perasaan. Seni melengkapi perjalanan manusia dalam perjalanannya yang selapis demi selapis untuk menjadi lebih sempurna.
Selain itu, kami melakukan aktivitas sosial karena ingin mengungkapkan rasa terima kasih kepada komunitas yang telah mempercayai Indofood. Indofood laku berjualan karena ada konsumen yang memberi top line revenue yang memungkin kami berkembang. Setiap kepercayaan yang diberikan masyarakat kami harus membayar kembali sebagai ungkapan terima kasih.
Kami berpendapat kami adalah bagian dari masyarakat, tidak bisa mengklaim kami saja yang makmur. Karenanya kami mengatakan mereka bagian dari kami, kami bagian dari mereka. Apa yang bisa kami bantu untuk meningkatkan kehidupan mereka, kami bantu. Ketika mereka meningkat kehidupannya, otomatis akan memacu kami meningkatkan diri.
Dalam melakukan itu adalah bagian dari strategi pemasaran. Meningkatkan citra perusahaan, yang tergantung dari individu di Indofood.
Dari mana asal pemikiran Indofood Art Award?
Saya banyak berkomunikasi dengan (kritikus seni rupa) Agus Dermawan T, juga diskusi dengan beberapa pelukis. Dulu, saya melihat lukisan “rata”. Daya tariknya apa? Dalam masa krisis, saya melihat kita perlu pengungkapan yang indah-indah. Kalau mengungkapkan Indofood, ah Indofood kan makanan rakyat, harganya cuma Rp 1.000. Jadi, kaitan komersialnya ada yaitu untuk meninggikan gengsi (citra produk Indofood).
Di Indonesia ada 60 juta orang miskin dan 160 juta orang yang tidak miskin. Ambil 10 persen saja dari yang tidak miskin, ada 16 juta orang, cukup kita garap pasar yang itu. Kalau bilang Indonesia miskin terus, tidak baik, karena orang terus bikin produk murah, tidak memperhatikan kualitas.
Menyentuh yang tidak miskin itu dengan membuat produk high end, juga bukan high end sesungguhnya karena harganya cuma Rp 2.000. Harga itu sudah digandakan, tetapi masih kurang high end, jadi saya sedang cari tahu sampai harga berapa mi dibilang mahal.
Saya katakan salah bila mereka yang kelas atas memakan juga mi yang sama seperti yang lain, karena itu berarti kami tidak memberi pilihan kepada mereka. Lama-lama mereka akan lari. Konsumen itu harus dijaga, tidak boleh dibiarkan lari.
Itu juga antisipasi untuk globalisasi?
Betul. Globalisasi membuat kami tidak boleh berpikir Indonesia saja meskipun target kami pasar domestik, karena yang dari luar akan datang. Karena itu kami sediakan selera Thailand, selera Filipina, Jepang. Kami sediakan Selera Asia, misalnya mi rasa sapi lada hitam, rasa sapo tahu. Kami lebih siap karena kami terbukti halal dan lebih tahu selera orang Indonesia.
Kesadaran hidup ini bukan hanya uang, muncul sejak kapan?
Sebenarnya ajaran ini saya dapatkan dari orang-orang di sekitar saya. Pertama-tama tentu dari rumah. Kedua, dari para pendiri perusahaan. Pak Sudono Salim misalnya, banyak sekali sumbagannya, tetapi tidak terbukti atas nama beliau. Jangankan melakukan PR (public relations), beliau itu diomongin jelek diam, diomongin baik juga diam.
Kemudian ketika Indonesia terkena krisis moneter tahun 1997, saya punya satu pegangan bahwa bila kita baik kepada orang, kita tidak perlu takut sehingga timbul rasa percaya diri. Tahun 1997 tiba-tiba Indofood merugi Rp 1,2 trilyun. Orang mengatakan, Indofood pasti bangkrut. Walau akuntan publik mengatakan sebagian kerugian boleh dimasukkan tanggungan, tapi kami berpendapat, “Tidak, kami hadapi. Dibukukan sebagai kerugian.” Mau dipecat, silakan. Sakit? Ya.
Dengan berterus terang, saya merasa lega dan lalu bergerak mencari solusi berikut.
INDOFOOD Sukses Maksur Tbk 51 persen sahamnya dimiliki First Pacific yang berbasis di Hongkong. Keluarga Salim memiliki 47 persen saham First Pacific dan sisanya milik publik. Baru-baru ini direksi ISM memutuskan mengeluarkan saham baru sebesar lima persen untuk 47.000 karyawannya, yang dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama sudah selesai, tahap kedua sedang berjalan. IMS memfasilitasi dengan memberi kredit kepada karyawan melalui bank dengan bunga delapan persen.
Apakah para pendiri masih ikut memberi pengarahan?
Ada orang merasa itu ikut campur, tetapi saya melihat bila toh mereka melakukan itu, bila untuk kebaikan perusahaan, mengapa tidak. Kami malah berterima kasih. Tetapi, harus dilihat apakah sepatutnya. Mereka enggak boleh dong memerintah anak buah.
Bila ada persoalan pelik, kepada siapa Anda berkonsultasi? Konsultan pribadi atau suami barangkali?
Yang paling utama, saya tidak bertanya kepada suami. Kami sejak awal berjanji tidak mencampuri dan menanyakan urusan pekerjaan masing-masing.
Bila ada persoalan pelik, pertama-tama saya bertanya pada diri sendiri, lalu direksi, management committee. Berdasarkan pengalaman tahun 1997, sejak tahun lalu kami membuat Unforseen Circumtances Committee, bukan paranormal, tetapi melihat berbagai aspek untuk mengantisipasi masa datang, futuris.
Saat tahun 1997, kami tetap dengan komitmen membayar utang karena untuk kami kepercayaan sangat penting. Sekarang kami punya dana hedging sebesar 310 juta dollar yang kami beli dengan harga Rp 5.000 per dollar, sudah diasuransi dan extended. Utang kami sekarang 458 juta dollar, nilai ekspor 259 juta dollar. Berarti bila dana hedging dipakai membayar utang, masih bersisa 100 juta dollar yang bisa kami pakai untuk hal lain.
Grup ini sebelum reformasi dikenal dekat dengan kekuasaan?
Saya bukan mau membela, tetapi bicara fakta sebagai pebisnis. Bogasari yang paling tua, didirikan tahun 1968. Saat itu belum ada orang Indonesia mengenal pabrik terigu dan konsumennya pun belum terbentuk. Lalu ada yang mendirikan pabrik terigu yang investasinya mahal. Sekarang saja perlu sedikitnya Rp 600 milyar. Ketika itu, untuk ekspor pun siapa yang terpikir mau beli dari Indonesia. Di situ saya menaruh penghargaan. Saat itu Bogasari hanya jadi pembuat terigu, menjual hanya kepada Bulog. Kalau dipikir, siapa yang menanggung risiko? Kan investor, sementara pemerintah tidak melakukan investasi dan tidak menanggung risiko. Memang ada yang bilang pesanan pasti datang, tetapi itu tergantung dari Bulog, Bulog tergantung konsumen.
Konsumen dibentuk melalui Indofood?
Ya, karena Indomie melakukan proses branding sejak lama. Di Bogasari, branding baru kami lakukan sekarang melalui Cakra, Segi Tiga Biru, Kunci. Menurut saya, investor menyia-nyiakan waktu selama hampir 40 tahun. Bayangkan, berapa banyak merek yang bisa dikembangkan selama waktu itu, tetapi tidak bisa karena investor melulu mendedikasikan diri mereka kepada pemerintah. Kembali lagi, hal seperti ini dulu tidak pernah dikomunikasikan kepada publik.
Tentang industri hulu sampai hilir di Indofood?
Bogasari dan mi berada dalam satu perseroan terbatas. Artinya, saya membeli gandum di mana dalam satu aliran produksi menghasilkan produk akhir, dan kami bisa menyajikan produk makanan yang murah untuk rakyat Indonesia yang sekarang masih ada yang bertanya “apa makan hari ini”, bukan “makan apa hari ini”.
Mulai tanggal 2 Juli pun pemerintah sudah memutuskan, tidak perlu lagi membayar Pajak Pertambahan Nilai dari terigu ke mi karena gandum yang beli Indofood Tbk dan terigu yang jual Indofood Tbk. Tidak ada jual beli di situ karena satu badan usaha. Cuma memang IMS menjadi sorotan, katanya kami akan memanfaatkan. Dalam akunting pun jelas tidak diperlukan lagi pembukuan tambahan karena badan usahanya satu, yaitu IMS Tbk.
Indofood berhasil mengubah cita rasa orang Indonesia sehingga menerima mi sebagai makanan utama mengganti nasi. Lalu ada yang menolak makan mi dan terigu?
Itu berarti komunikasi kami masih kurang, masih ada masyarakat yang kurang mengerti posisi kami. Tetapi, membuat semua orang mengerti kami, juga tidak mungkin. Bila mayoritas sudah menerima, cukuplah. Sekarang, kalau saya membuat pengumuman di koran, mulai ada yang mengatakan, “Oh, kamu untung besar ya, karena kamu punya banyak aktivitas sosial sehingga banyak yang mendoakan.”
Memang betul kami mengimpor gandum, tetapi kami ekspor sawit. Sepanjang ekspor lebih besar dari impor, itu kan positif (untuk neraca perdagangan). Impor gandum memberi lapangan kerja (daripada langsung berbentuk terigu). Juga Bogasari mulai mengembangkan tepung tiwul. Jadi, kami kumpulkan sisi yang positif, kami kurangi yang negatif.
***
Eva Riyanti Hutapea
Kerja Sama PT UKM-PT Amway
Jakarta, Kompas 10/52005: Kerja sama antara PT Usaha Kita Makmur Indonesia dan PT Amway Indonesia dalam memasarkan produk minyak jagung dan beras dengan merek UKMWAY memberikan kepastian pendapatan bagi petani jagung maupun beras. PT UKM membeli beras langsung dari ratusan petani di Cianjur, Jawa Barat, sementara jagung dibeli dari 120 petani di Bantul, Yogyakarta; dan Kebumen, Jawa Tengah. Selanjutnya, kedua produk tersebut dipasarkan oleh PT Amway kepada 250.000 mitra usahanya.
Petani beras dan jagung sering kali mengalami kesulitan dalam memasarkan hasil panen mereka. Oleh sebab itu, dalam rangka membantu petani serta pengembangan usaha kecil, PT Usaha Kita Makmur Indonesia (UKM) mengambil inisiatif untuk membeli langsung beras dan jagung dari petani. Dengan demikian, mereka memiliki kepastian bahwa hasil panennya pasti dibeli.
Demikian diungkapkan Direktur Utama PT UKM Indonesia Eva Riyanti Hutapea dalam peresmian pemasaran produk beras dan minyak jagung oleh PT Amway, Senin (9/5) di Jakarta. “Selama ini petani terjebak oleh tengkulak dan panjangnya rantai pemasaran. Dengan membeli langsung hasil pertanian mereka, kemudian diolah dan dipasarkan lagi oleh Amway, PT UKM berharap rantai panjang tersebut bisa diperpendek. Selanjutnya, petani juga mendapatkan keuntungan yang lebih besar,” kata Eva.
Jagung tersebut dibeli PT UKM dari 120 petani yang ada di Bantul dan Kebumen dengan total luas lahan 70 hektar dan perkiraan hasil panen sebesar 300 ton per tahun. Selanjutnya, jagung tersebut diolah menjadi minyak jagung oleh PT Siba Tbk, perusahaan yang menghasilkan produk berbasis jagung. Kemudian, PT UKM meneruskannya ke PT Amway untuk dipasarkan.
Untuk komoditas beras, PT UKM masih membeli dari PT Alam Makmur yang berhubungan langsung dengan petani. Pembelian beras langsung dari petani oleh PT UKM masih sulit dilakukan sebab sistem yang ada sudah mengakar. PT Alam Makmur juga yang mengolah gabah menjadi beras yang kemudian dikemas. Beras yang sudah dikemas itu selanjutnya oleh PT UKM diteruskan ke Amway untuk dipasarkan.
“Kami membeli jagung dan beras itu dengan tunai. Bahkan, kadang kala kami memberikan uang muka bagi para petani tersebut,” ungkap Eva.
Presiden Direktur PT Amway Indonesia Koen Verheyen mengatakan, keuntungan bagi petani bukan hanya kepastian hasil pertaniannya dibeli, namun juga harga jual yang mereka peroleh lebih tinggi dari harga pasar.
“Saat ini, untuk setiap kilogram jagung, kami beli dari petani Rp 200 lebih mahal dari harga yang ada di pasaran. Misalnya harga pasaran Rp 650 per kilogram, kami akan membeli Rp 850 per kilogram,” katanya.
Kemahalan harga beli Rp 200 per kilogram itu tentunya berdampak pada harga jual minyak jagung. “Namun, kami kan punya hubungan istimewa dengan mitra usaha, maka harga suatu produk bisa dinaikkan. Dengan pertimbangan bahwa membeli produk ini bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok, melainkan juga ingin membantu para petani,” ujar Koen.
Harga
Harga jual beras UKMWAY untuk independent business owner (IBO) atau distributor adalah Rp 27.000 per lima kilogram, sedangkan untuk harga ecerannya Rp 28.000. Harga jual minyak jagung per 1 liter untuk IBO Rp 31.000, sedangkan harga eceran naik Rp 1.000 menjadi Rp 32.000. Pendistribusian kedua komoditas itu dilakukan melalui Amway Distribution Centre dan Amway Product Centre yang ada di Jawa, Bali, dan Sumatera.
Pakar pemasaran yang sekaligus Komisaris PT UKM Rhenald Kasali mengatakan, yang dibutuhkan usaha kecil adalah adanya kepastian pendapatan (fixed income). “Selama ini usaha kecil sulit menjadi besar karena mereka tidak fokus pada usahanya akibat ingin punya fixed income. Para pengusaha UKM ini akhirnya banyak yang beralih ke dunia politik karena memberikan kepastian pendapatan. Nah, apa yang dilakukan PT UKM dan Amway ini memberikan kepastian bagi para petani,” ujarnya. (TAV) e-ti
*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)