Opsi C, Vonis DPR Mewakili Rakyat
[OPINI] – Skandal Bank Century – Catatan Kilas Ch. Robin Simanullang (12/03/2010): Ibarat gempa bumi, episentrum krisis ekonomi dan politik tahun 1997/1998 berada di Indonesia dan beberapa negara ASEAN sendiri. Sedangkan episentrum krisis keuangan global 2008 berada jauh di Amerika Serikat sana, tanpa krisis politik pula di Indonesia.
Pada tahun 1997/1998 terjadi krisis kepercayaan ekonomi dan politik yang episentrumnya di Indonesia sendiri. Jauh berbeda dengan krisis keuangan global 2008, Indonesia tidak mengalami krisis kepercayaan, baik di bidang ekonomi maupun bidang politik.
Awam juga tahu, kendati terjadi penarikan rupiah ke dollar, sehingga nilai tukar rupiah sempat merosot, bukan karena faktor krisis kepercayaan atas sistem keuangan dan perekonomian serta kestabilan politik Indonesia. Melainkan karena terjadinya arus dana pulang kandang untuk menyelamatkan krisis keuangan di negara (Amerika dan Eropa) masing-masing. Sekali lagi, bukan karena terjadi krisis kepercayaan terhadap perekonomian dan politik Indonesia. Bahkan, berdasarkan berbagai jajak pendapat, tingkat kepercayaan publik kepada Presiden SBY ketika itu berada di puncak.
Jadi, jika terjadi kepanikan pada pengendali atau otoritas moneter serta pada diri pemerintah Indonesia saat itu adalah sangat berlebihan atau hanya karena faktor keteguhan kepemimpinan saja. Pada saat itu, investor asing sangat percaya pada perekonomian Indonesia. Rakyat (dalam negeri) juga sangat percaya kepada pemerintah Indonesia. Pada tahun 2008, tidak ada teriakan untuk menjatuhkan Presiden seperti terjadi pada tahun 1997/1998. Kesimpulannya, pada tahun 2008 tidak ada krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Hanya, harus diakui, sedikit terasa getaran akibat krisis keuangan yang episentrumnya jauh di Amerika Serikat.
Itulah sebabnya, kita memandang pembandingan krisis ekonomi 1997/1998 dengan krisis keuangan 2008, sebagai landasan pembenaran pengambilan kebijakan pemberian FPJP dan PMS kepada Bank Century pada tahun 2008, sangat tidak patut dikemukakan oleh pemimpin yang berkarakter kuat dan berniat baik. Salah satu ciri pemimpin berkarakter kuat adalah berani mengambil risiko dengan perhitungan yang tangkas.
Apa lagi bila hal itu dikemukakan untuk menggiring rakyat agar menganggap DPR dengan keputusannya yang menyatakan bahwa kebijakan pemberian FPJP dan PMS Bank Century itu salah dan dikualifikasikan sebagai dugaan tindak pidana korupsi, adalah sebagai fitnah.
Jika hal inilah niatan yang terkandung dalam pidato Presiden tersebut, sungguh sangat buruk terhadap proses perkembangan demokrasi dan penegakan hukum di negeri ini. Benar, seperti kata Ketua Umum Partai Golkar dalam pidato yang mengapresiasi kerja keras Pansus DPR Angket Bank Century, sehari setelah Pidato Presiden bahwa DPR adalah rumah rakyat.
Secara konstitusional, DPR adalah representasi perwakilan rakyat. Mereka adalah wakil-wakil rakyat dalam keberagamannya yang dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilu. DPR adalah penyalur suara rakyat. Melalui DPR (wakil rakyat), rakyat melakukan pengawasan terhadap pemerintah. Dalam konteks demokrasi, keputusan DPR adalah keputusan rakyat.
Maka, sangat lucu dan tidak mendidik dalam proses demokrasi, bila Presiden tidak merasa bahwa keputusan DPR itu adalah keputusan rakyat. Melalui tayangan langsung televisi, rakyat menyaksikan proses penyelidikan yang dilakukan DPR melalui Pansus Angket Bank Century selama tiga bulan, sampai pada proses pengambilan keputusan dalam Rapat Paripurna DPR (3 Maret 2010). Ada Opsi A dan Opsi C serta Opsi A+C. Opsi A menyatakan kebijakan FPJP dan PMS Bank Century tidak salah. Opsi C menyatakan kebijakan FPJP dan PMS Bank Century salah. Opsi A+C gabungan Opsi A dan C.
Melalui voting terbuka, diambil keputusan. Sebanyak 212 suara, mewakili (representasi) suara rakyat yang terwakilkan dalam Fraksi Partai Demokrat 148 suara, PAN 39 suara dan PKB 25 suara, memilih Opsi A. Dan, sebanyak 325 suara, mewakili (representasi) suara rakyat yang terwakilkan dalam Fraksi Partai Golkar 104 suara, PDIP 90 suara, PKS 56 suara, PPP 32 suara, PKB 1 suara, Gerindra 25 suara dan Hanura 17 suara, memilih Opsi C.
Dalam Rapat Paripurna DPR pengambilan keputusan tersebut tidak ada satu pun anggota DPR yang memilih abstain. Anggota DPR yang tidak hadir dua anggota dari Fraksi Partai Golkar, empat anggota dari FPDIP, tujuh anggota FPAN, enam anggota FPPP dan satu anggota dari Gerindra.
Keputusan tersebut merupakan vonis politik dari DPR yang memang bertugas, kompeten dan berwenang mewakili rakyat secara politik. Keputusan itu adalah sah secara demokratis, kendati ada 212 suara yang memilih Opsi A. Dalam demokrasi, jika keputusan telah diambil secara demokratis, hasil keputusan itu adalah keputusan bersama dan menjadi tanggung jawab bersama, termasuk bagi pihak yang pada awalnya tidak sepaham dengan opsi yang menjadi hasil akhir keputusan tersebut.
Kesadaran seperti inilah yang seharusnya dikembangkan setiap orang yang taat pada asas demokrasi. Pengingkaran akan hal ini, baik oleh para anggota DPR sendiri maupun pihak eksekutif (Presiden) jelas pasti tidak akan dilakukan seorang yang mengaku sebagai demokrat. Jika ada orang yang mengaku demokrat, tetapi justru mengingkari hal tersebut, dia pastilah bukan orang yang jujur. Kendati dia berpidato berapi-api mengatakan menghargai proses demokrasi itu, tetapi justru menolak dan melecehkan keputusan yang demokratis itu, pastilah dia seorang manusia yang bertipe lamet-lamet hata ni begu, sebagaimana termaknakan dalam ungkapan Batak terurai dalam seri terdahulu (Presiden Lecehkan DPR)
Sama halnya, jika seorang demokrat melecehkan keputusan rakyat yang memilih langsung Presiden. Kendati sebanyak 39,2 persen rakyat yang menggunakan hak pilih tidak memilih Presiden SBY yang dipilih 60,8 persen rakyat pemilih sah dalam Pemilu Presiden 2009, semua rakyat harus mengakui dan menghormatinya sebagai Presiden RI.
Walaupun, sebaiknya Presiden SBY dan Wapres Boediono jangan merasa bahwa dia adalah lebih berhak menyatakan diri sebagai representasi suara (mewakili) rakyat daripada DPR. Dalam ketatanegaraan yang kita anut, rakyat memilih Presiden untuk menjadi pemimpin pemerintahan (eksekutif) dan Kepala Negara, bukan sebagai wakil rakyat.
Apalagi, yang memilih SBY-Boediono adalah 60,8 persen (73.874.562) dari 72,24 persen (yang gunakan hak 127.999.965) pemilih terdaftar ( DPT + KTP = 177.195.786). Dikurang lagi suara tidak sah 6.495.484 (5,07%) dan ditambah Golput 49.212.158 (27,77%).
Jadi yang memilih SBY-Boediono adalah 73.874.562 dari 226.407.944 (DPT + KTP 177.195.786 + Golput 49.212.158) rakyat yang berhak memilih. Atau hanya 32,63 persen dari total suara rakyat yang seyogyanya berhak memilih. Dalam hal ini pula beberapa elemen masyarakat yang bersuara di jalanan, di luar parlemen, perlu mendapat perhatian, baik oleh Presiden maupun DPR.
Maka sangat bijak, jika Presiden SBY janganlah sering mencoba cenderung lebih berhak mengatasnamakan rakyat dari DPR, atau bahkan dari parlemen jalanan sekalipun. Presiden adalah pilihan langsung rakyat adalah betul, tetapi DPR-lah yang berfungsi dan berhak sebagai wakil rakyat. Dalam hal ini, Presiden harus menghormati DPR sebagai wakil rakyat untuk mengawasi pelaksanaan kekuasaan demi kesejahteraan rakyat. DPR pun harus menghormati Presiden pilihan rakyat secara demokratis. Presiden dan DPR mempunyai kedudukan yang sejajar.
Namun, jika Presiden melakukan penyimpangan dalam menjalankan kekuasaan eksekutifnya, DPR yang mewakili rakyat harus mengawasinya. Karena memang, itulah salah satu fungsinya. Dan, Presiden seharusnya menghormatinya, bukan malah melecehkannya, apalagi dengan kecenderungan lebih merasa mewakili suara rakyat atau bahkan mengumbar suara Presiden sebagai representasi suara rakyat.
Dalam hal penggunaan hak angket DPR tentang kasus Bank Century, pengamatan kita menunjukkan bahwa mayoritas suara publik percaya kepada DPR yang memilih Opsi C. Walaupun sebagaian rakyat juga ada yang sependapat dengan Opsi A. Cobalah dengar suara rakyat terkini, mulai dari warung-warung kopi di desa maupun di kota. Juga terlihat dari pandangan para pengunjuk rasa, pengamat dan civil society tentang kasus ini. Bahkan, sepertinya, masih menyimpan perasaan adanya tumpukan kekurangjujuran Presiden dalam proses pengambilan keputusan bail out Bank Century.
Konon, keputusan diambil oleh KSSK yang dipimpin Menteri Keuangan dengan anggota Gubernur Bank Indonesia, tanpa lebih dulu sepengetahuan Presiden dan Wakil Presiden. Karena Presiden berada di luar negeri dan Wakil Presiden yang berada di dalam negeri bertugas sebagai pelaksana tugas sama sekali juga tidak diberitahu. Padahal, menurut Opsi A dan Pidato Presiden, kebijakan itu diambil karena ancaman krisis keuangan yang amat mengerikan, dengan membandingkannya dengan krisis ekonomi 1998. (Bersambung: KSSK yang Luar Biasa) ti
*** TokohIndonesia.Com (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)